Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159341 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elfi Mufida
"Akutagawa Ryunosuke adalah pengarang yang mewakili pengarang-pengarang pada zaman Taisho. Sebagian besar karangan-karangannya bersumber dari kesusastraan kuno seperti Konjaku Monogatari dan Ujishui Monogatari. Menjelang saat-saat terakhir hidupnya, karangan_karangannya cenderung berubah. Kalau sebelumnya karangan_karangannya berisi kritikan terhadap kehidupan manusia, karangan-karangan terakhirnya banyak menceritakan keadaan dirinya, misalnya Yabu no Naka, Kappa dan Haguruma. Dalam novel Haguruma, dari awal hingga akhir cerita, Akutagawa menceritakan dengan jelas penderitaan, keadaan hatinya dan ketakutan yang dialaminya. Selama hidupnya ia selalu dihantui perasaan takut kalau-kalau suatu saat nanti ia juga menjadi gila seperti ibunya. Tragedi yang menimpa ia dan keluarganya sangat berpengaruh pada jiwanya terutama kematian suami kakak perempuannya yang mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri dan kematian ibunya yang disebabkan oleh gangguan jiwa yang diderita. Semua masalah itu berbaur dalam jiwanya bingga ia menderita penyakit migran yang disebabkan oleh faktor kejiwaan. Jadi dapatlah disimpulkan, bahwa novel Haguruma merupakan kisah pribadi Akutagawa sendiri yang mengalami masalah kejiwaan yang kompleks, dan ia sudah tidak sanggup lagi mengatasinya. Untuk mengakhiri semua itu, akhirnya Akutagawa memilih untuk bunuh diri."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S13588
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Sarasworo
"Imogayu karya Akutagawa Ryunosuke pertama kali dimuat dalam Shinshosetsu terbitan bulan September tahun 5 Taisho (1916). Bahan ceritanya diambil dari cerita yang terdapat dalam Konjaku Monogatari volume 26 bab 17. Imogayu mengisahkan seorang samurai kelas kelima (Goi) yang mempunyai keinginan yang sangat besar untuk dapat makan imogayu. Imogayu atau bubur ubi rambat adalah makanan lezat yang pada masa itu dianggap sebagai makanan mewah. Pekerja rendahan seperti Goi hanya bisa menikmatinya sekali setahun pada saat pesta Tahun Baru di kediaman Fujiwara. Karena itu, wajar saja jika keinginannya itu telah terpendam selama bertahun-tahun. Akhirnya, keinginannya itu dapat terwujud berkat usaha dan kebaikan hati Fujiwara Toshihito, seorang samurai yang berasal dari kelas atas. Tetapi setelah di hadapannya terhidang berliter-liter imogayu, Goi malah merasa cemas dan ragu-ragu untuk menyantapnya. Skripsi ini menganalisis tokoh utama dan tokoh bawahan dalam Imogayu. Apakah tokoh itu termasuk tokoh pipih atau tokoh bulat. Kemudian, dianalisis pula metode yang digunakan oleh Akutagawa dalam penokohan dari segi asal usul, keadaan lahiriah dan watak tokoh-tokohnya. Dalam penokohan dikenal metode analitik, yaitu metode yang men-ceritakan secara langsung tentang si tokoh, dan metode dramatik, yang menjelaskan tokoh itu melalui cakapan dan lakuannya. Tokoh Goi tidak menunjukkan perubahan yang mencolok dari sikap dan sifatnya, maka ia adalah tokoh pipih. Sedangkan, tokoh Fujiwara Toshihito memperlihatkan perkembangan lakuan yang cukup mencolok, sehingga ia termasuk tokoh bulat. Penokohan dalam Imogayu dilakukan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik digunakan untuk menjelaskan asal usul dan keadaan lahiriah tokoh Goi dan Fujiwara Toshihito. Metode dramatik digunakan untuk menjelaskan watak Fujiwara Toshihito. Sedangkan watak Goi dijelaskan dengan menggunakan metode analitik dan metode dramatik."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S13704
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rum
"Pokok yang dipilih untuk penulisan skripsi ini sa_ngat terbatas, yakni satu karya Akutagawa Ryunosuke (selanjutnya disebut Akutagawa saja), yaitu Hana (Hidung) - sebuah novel pendek yang dihasilkan Akutagawa pada awal karirnya di dalam dunia kesusastraan. Hana ditulis Akutagawa pada tahun 1916, dimuat di dalam majalah Shin shicho (15 Pebruari 1916, periode IV, nomor perdana), kemudian dimuat lagi di dalam majalah Shinsosetsu, 5 Mei 1916. Hana merupakan basil saduran Akutagawa yang berasal dari cerita rakyat pada jaman Heian (797-1190) yang didapat Akutagawa di dalam kumpulan cerita rakyat Konjaku Monogatari dan Ujishui Monogatari_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1982
S13728
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Fauzia
"Astrid Fauzia Kritik sosial dalam Uma no ashi karya Akutagawa Ryunosuke Dengan menggunakan teori mengenai kedudukan sastra dalam masyarakat, tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengungkapkan kritik sosial yang tersembunyi dalam Uma no Ashi, sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Akutagawa Ryunosuke, serta mencari tahu pemicu yang menyebabkan Akutagawa memunculkan kritik tersebut dalam cerita ini. Setelah membaca banyak referensi, penulis menemukan bahwa melalui cerita yang dipublikasikan pada tahun 1925 ini, Akutagawa mengkritik kebijakan sensor yang diberlakukan oleh pemerintah terhadap kesusastraan Jepang, sistem birokrasi, dan system keluarga masyarakat Jepang yang memberikan beban terberat hanya kepada kepala rumah tangga. Kritik sosial tersebut dihadirkan secara tidak langsung melalui fragmen-fragmen cerita yang disampaikan dengan nada satir. Akugawa juga memasukan makna tersembunyi pada nama tokoh-tokohnya serta mengelaborasi lebih lanjut ide dasar pembuatan cerita ini, yakni peribahasa Jepang yang berbunyi bakyaku wo arawasu (terbongkarnya penyamaran atau rahasia kelam yang selama ini ditutupi).

Using the theory about literature position in society, the purposes of this research are to reveal social critics hidden in Uma no Ashi, short story written by Akutagawa Ryunosuke, and find out the trigger why Akutagawa put those citics in this sotry. After read up many references, the writer found out that through this story, which was published in 1925, Akutagawa critisized the censorship enacted by government in Japanese literature, bureaucracy system, and japanese family system which gives the heaviest burden only to the head of family. Those social critics were expressed indirectly through some fragments of the story with satirical way. Moreover, he too put some hidden meanings in names of characters and elaborated the basic idea of this story; Japanese phrase called bakyaku wo arawasu (to reveal one's true nature).
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S13485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wibawarta
Jakarta: Kalang, 2004
895.64 BAM a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tamalia Arundhina
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami sebuah masalah sosial Jepang yaitu hikikomori dan untuk mengetahui tentang minimnya peranan orangtua dalam kehidupan anak melalui pemahaman akan sebuah karya Tatsuhiko Takimoto yang berjudul NHK ni Youkoso! baik dalam novel ataupun kehidupan nyata. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, sedangkan dalam analisa dicoba menggunakan teori Sosiologi Sastra yang dikembangkan oleh Rene Wellec dan Austin Warren tentang sosiologi sastra yang berkaitan dengan isi, tujuan, dan hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra tersebut yang berhubungan dengan masalah sosial, teori Tamaki Saito tentang hikikomori yang mendefinisikan hikikomori sebagai suatu keadaan bukan nama penyakit atau diagnosis dan teori Meguro Yoriko seorang pakar keluarga Jepang yang mengatakan bahwa kehidupan keluarga Jepang sudah berubah menjadi kehidupan indivudialitas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang seharusnya menjadi teladan untuk anak-anaknya sudah mulai kehilangan kualitas sebagai orangtua yang baik. Dalam novel, peran serta orangtua tokoh utama yang merupakan pelaku hikikomori sangatlah minim bahkan tidak ada, hal tersebut menyebabkan keadaan hikikomori tokoh utama terus berlanjut. Minimnya peran serta orangtua terhadap perkembangan kesembuhan pelaku hikikomori juga terjadi pada kehidupan nyata. Begitu juga dengan kurangnya komunikasi antar orangtua dan anak merupakan salah satu penyebab utama terjadinya hikikomori. Kurangnya komunikasi antar orangtua dan anak terjadi karena kehidupan keluarga yang sudah berubah menjadi kehidupan individualitas. Dengan kehidupan keluarga yang sudah berubah inilah yang menyebabkan kurangnya peran serta orangtua dalam kehidupan anak."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S13944
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Iswardani Adianto
1995
T37919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Indriana M.
"Makna idiom tidak dapat dipahami dari makna unsur-unsur pembentuknya. Menerjemahkan idiom merupakan suatu hal yang sulit dilakukan karena setiap idiom bersifat khas bahasa dan khas budaya. Setiap bahasa menggunakan idiom yang berbeda untuk menyatakan makna yang lama. Penelitian ini mengkaji masalah dalam penerjemahan idiom bahasa Jepang ke dalam bahasa Indonesia, dengan menganalisis tiga cerita pendek karya Akutagawa Ryunosuke (1915/1997) berjudul Rashomon, Hana, dan Yabu no Naka beserta terjemahannya karya Bambang Wibawarta (2004) dalam buku berjudul Akutagawa Ryunosuke: Terjemahan dan Pembahasan "Rashomon ", "Yabu no Naka" dan "Hana". Dari tiga cerita pendek ini ditemukan 50 idiom, yang semuanya memiliki acuan manusia.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan menggunakan ancangan kualitatif; yang secara deskriptif menganalisis masalah penerjemahan idiom bahasa Jepang (BSu) ke dalam bahasa Indonesia (BSa) yang terdapat dalam tiga cerita pendek tersebut di atas. Tahapan analisis penelitian ini dimulai dari penentuan idiom bahasa Jepang dengan memperhatikan kontinuum, kenonkomposisionalan dan kenonproduktifan, serta diperkuat dengan keberadaannya di dalam kamus idiom bahasa Jepang. Setelah itu, idiom-idiom tersebut beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia dicatat dalam kartu data. Kemudian data tersebut dikategorisasikan menurut cara penerjemahannya dan dianalisis dari segi kesepadanan pesan. Tahap terakhir adalah analisis prosedur penerjemahan idiom. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 idiom BSu yang ditemukan, 2 diterjemahkan menjadi idiom BSa, 39 diterjemahkan menjadi non idiom atau dengan cara parafrasa, dan 9 tidak diterjemahkan (omission). Dan segi kesepadanan pesan, sebagian besar, 43 idiom mendapat terjemahan yang sepadan. Sementara itu 7 idiom tidak mendapat terjemahan yang sepadan. Dari 7 idiom ini, 2 memiliki makna literal dan idiomatik, yang diterjemahkan secara literal sehingga pesan tidak sepadan, sementara 5 tidak diterjemahkan atau tidak dialihkan. Hal ini tidak mengganggu jalan cerita secara keseluruhan, namun dirasakan kurang lengkap karena pesan yang terkandung dalam idiom BSu tidak tersampaikan dalam BSa. Penerjemah tampaknya lebih mementingkan isi cerita daripada detil ungkapan-ungkapan dalam BSu, dalam hal ini idiom. Prosedur penerjemahan yang ditemukan meliputi transposisi dan modulasi, yang menghasilkan geseran bentuk dan makna. Geseran bentuk yang ditemukan adalah geseran tataran yaitu geseran dari gramatikal ke leksikal, dan geseran kategori yang meliputi geseran struktur, unit, kelas kata, dan intrasistem. Geseran tataran terjadi disebabkan oleh sistem bahasa Jepang dan Indonesia yang berbeda. Verba atau adjektiva bahasa Jepang memiliki akhiran yang mempunyai makna gramatikal dan dapat berkonjugasi menjadi berbagai bentuk seperti bentuk negatif lampau, progresif lampau. Sementara itu modulasi yang ditemukan meliputi geseran sudut pandang, cakupan makna, serta modulasi bebas yang bertujuan untuk memperjelas makna. Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi penelitian penerjemahan bahasa Jepang ke bahasa Indonesia, khususnya penerjemahan idiom.

The meaning of an idiom cannot be understood from the meaning of its constituents. Translating idiom is not an easy thing to do because every idiom is language-specific and culture-specific. Every language may use different idioms to convey the same meaning. This research analyzes problems found in translating Japanese idioms into Indonesian. The data are taken from three short stories written by Akutagawa Ryunosulce (191511997) which are Rashomon, Hana, and Yabu no Naka, and their translation written by Bambang Wibawarta (2004), in his book Akutagawa Ryunosuke: Terjemahan dan Pembahasan "Rashomon ", "Yabu no Naka" dan "Hana ". This research found 50 idioms which all refer to human.
This research is a case study using qualitative approach, which analyzes problems in translating Japanese idioms (SL) into Indonesian (TL). The analysis starts with deciding the idioms by testing them from their characteristics, which are continuum, non-compositional and non-productive, and consult their meaning with Japanese idiom dictionary. All the idioms and the translation in Indonesian are recorded on the data card, and are categorized by their ways of translating. After that they are further analyzed to assess their equivalence. Finally, the data are analyzed from their translation procedure. The result shows that from 50 SL idioms, 2 idioms are translated into TL idioms, 39 idioms translated by paraphrasing, and 9 idioms translated by omission. Most of them, 43 idioms, are proven to have good equivalence, while 7 idioms are not. From the 7 idioms proven not to have equivalence, 2 idioms are translated literally, the rest are translated by omission. The 5 idioms, which are translated by omission, fail to transfer the message. However, they do not interfere the flow of the story. The translation procedures found consist of transposition and modulation. The transposition results in level shift, that is from grammatical to lexical level, and category shift which consist of structure, unit, class and intra-system shift. Meanwhile, the modulation results in semantic field shift and free modulation, which aimed to enhance the meaning. Hopefully, this research might be useful for anyone who is interested in Japanese translation study, especially Japanese idiom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
T15359
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Agustina
"Skripsi ini merupakan telaah sastra bandingan atas dua novel, yakni novel pendek Sri Sumarah karya pengarang Indonesia Umar Kayam, dan The Scarlet Letter karya novelis Amerika abad ke-19, Nathaniel Hawthorne. Dalam telaah ini dibandingkan topik pernyataan eksistensi diri dua tokoh utama yang ada dalam kedua karya tersebut, yakni Sri Sumarah dan Hester Prynne. Kedua tokoh tersebut oleh para pengarangnya sama-sama ditampilkan sebagai sosok individu yang mengalami konflik nilai. Antara nilai-nilai individu yang mereka pegang di satu sisi, dengan nilai-nilai berlaku dalam masyarakat mereka. Konflik nilai yang dihadapi oleh kedua tokoh ini mempunyai dua segi. Pertama, konflik mereka dengan masyarakat (outer conflict), dan kedua konflik mereka dengan diri sendiri (inner conflict). Berbeda dengan tokoh rekaan Hawthorne, Hester Prynne, yang mengalami konflik dengan masyarakat yang statis (masyarakat yang mempertahankan nilai-nilai tradisional, yaitu nilai-nilai puritanisme), maka tokoh Sri Sumarah justru hares berhadapan dengan situasi masyarakat aura yang sedang mengalami masa transisi menuju ke alam modern. Di sisi lain, masuknya berbagai paham yang menantang identitas kejawaan sang tokoh utama turut mempertajam konflik yang dialaminya. Sikap dan tindakan yang diambil kedua tokoh ini, serta bagaimana hal-hal tersebut ditampilkan oleh pengarang, menjadi titik tolak pembahasan dalam skripsi ini. Di dalam telaah didapatkan bahwa tokoh Hester Prynne ternyata mempunyai tendensi untuk menentang status-quo yang telah sedemikian melembaga dan didukung oleh gereja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam masyarakat. Sementara Sri adalah tipe perempuan penjaga gawang tradisi. Pertarungan tradisi versus modernisasi menjadi konflik penting dalam diri Sri Sumarah.
Dalam menyelesaikan konflik yang dihadapi, kedua tokoh mengambil cara berbeda. Jika Hester mencoba membalikkan opini masyarakat terhadapnya melalui kerja keras yang bertujuan untuk mengangkat derajat kaum lemah, terutama buruh dan kaum wanita, maka Sri baru berada pada tahap mencoba mengerti situasi yang berkembang dalam masyarakatnya sambil berusaha mencapai hal yang terbaik bagi diri dan keluarganya. Usaha aktualisasi yang dilakukan Hester Prynne dalam rangka penyelesaian konflik membuat dirinya berhasil melampaui batas-batas kepentingan pribadi dan keluarganya untuk memperjuangkan kepentingan yang lebih besar lagi (baca: masyarakat), sementara Sri Sumarah masih berkutat pada masalah-masalah domestik. Tapi, meskipun berbeda dalam lingkupnya, terdapat kesamaan antara kedua tokoh tersebut, yaitu kemauan untuk bekerja keras dalam usaha meraih yang terbaik. Dalam kasus Hester kemauan tersebut didukung oleh pandangan puritanisme yang memang menghargai kerja keras, kesukarelaan, kesederhanaan, dan ketaatan dalam beribadah. Sementara keinginan kuat Sri untuk hidup dengan rencana-rencana dan harapan yang dibuatnya, serta tidak menyerah begitu saja kepada nasib, adalah faktor-faktor yang mendorong usaha kerasnya menghadapi situasi yang dinilainya tidak menguntungkan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S13999
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwiek Handayani
"Skripsi ini membahas novel The Rainbow yang mengungkapkan berbagai..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S14094
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>