Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92582 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tangkilisan, Daniel Frits Maurits
"Jika kita mengajukan suatu permintaan, biasanya permintaan itu akan mendapat reaksi yang meluluskan atau menolaknya. Skripsi ini membahas bentuk-bentuk reaksi terhadap tindak bahasa meminta yang terdapat dalam komik berbahasa Belanda dan juga penyebab diluluskannya atau ditolaknya suatu permintaan. Dalam penelitian ini, saya menggunakan komik sebagai bahan analisis karena percakapan antara tokoh-tokoh dalam komik merupakan cerminan percakapan nyata yang kita lakukan sehari-hari. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada empat tindak bahasa meminta, tiga prapermintaan (ujaran yang muncul mendahului permintaan) dan sepuluh bentuk reaksi. Keempat tindak bahasa meminta tersebut adalah permintaan langsung, permintaan langsung konvensional, permintaan tidak langsung serta isyarat dan anjuran. Ketiga prapermintaan tersebut adalah prapermintaan yang mengandung isi permintaan, prapermintaan formal dan prapermintaan yang tujuannya baru diketahui setelah pendengar memberikan reaksinya. Sedangkan kesepuluh bentuk reaksi tersebut adalah pernyataan, pertanyaan, permintaan, ajakan, anjuran, interjeksi, isyarat, reaksi verbal yang bertentangan dengan tindakan, reaksi non-verbal dan reaksi non-verbal yang disertai ujaran yang tidak ada hubungannya dengan permintaan. Di samping itu terbukti juga bahwa dalam komik terdapat juga tindak-tindak bahasa meminta yang tidak mendapat dan tidak diketahui reaksinya."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
S15917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Bahasa kanak-kanak berbeda dengan bahasa orang dewasa, namun lama kelamaan bahasa itu berkembang sehingga tidak akan terdapat lagi perbedaan. Oleh karena kemampuan sensomotoriknya yang masih sangat terbatas, anak-anak melakukan interaksi dengan lingkungannya terutama untuk memuaskan kebutuhannya, sehingga ujaran-ujaran yang diproduksi oleh anak-anak sebagian besar merupakan tindak bahasa meminta. Meskipun kemampuan kebahasaan anak-anak masih sangat terbatas, ia mampu untuk menyampaikan permintaan. Lambat laun bentuk yang masih sangat terbatas itu berkembang menuju bentuk yang lebih sopan seperti halnya pada orang dewasa. Perkembangan bentuk itu berjalan paralel dengan proses pemerolehan bahasanya, dan penguasaan pragmatis anak-anak juga menentukan formulasi tindak bahasa meminta. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, disertai dengan data empiris yang diperoleh."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1983
S15741
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adila Ranasti
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas pelanggaran prinsip kerja sama Grice yang dilakukan oleh tokoh anak-anak berusia sekitar delapan tahun, Catootje, dalam salah satu komik Belanda berjudul Jan, Jans en de kinderen. Sebagai kanak-kanak, Catootje belum memiliki pengetahuan kebahasaan yang sempurna sehingga ada aturan-aturan kebahasaan yang tidak ia patuhi ketika menyampaikan maksud permintaannya, yaitu prinsip kerja sama Grice. Pelanggaran prinsip kerja sama yang dilakukan oleh Catootje juga dapat membangun efek humor di dalam cerita komik. Penelitian ini membahas mengenai pelanggaran prinsip kerja sama Grice yang dilakukan oleh Catootje ketika menyampaikan tindak tutur meminta yang dikaji dari segi pragmatik. Di dalam penelitian ini akan dijelaskan bentuk-bentuk maksim yang dilanggar oleh Catootje kepada mitra tutur dan apakah maksud permintaannya tersebut dapat dipahami meskipun tidak mematuhi prinsip kerja sama Grice. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pelanggaran pada tiga kategori maksim, yaitu maksim kuantitas, kualitas, dan cara. Namun, maksim yang cenderung dilanggar oleh Catootje ketika menyampaikan permintaannya adalah maksim cara. Pelanggaran maksim paling sering dilakukan Catootje ketika meminta kepada tokoh Ayah. Meskipun melanggar, maksud permintaannya tetap dapat dipahami oleh mitra tutur.

ABSTRACT
This thesis examines speech acts of an eight years old character, Catootje, in one of Dutch comics which is titled Jan, Jans en de kinderen. As a child, Catootje has not possessed the perfect linguistic knowledge, thus she often violated the linguistic rules when making requests, which is the Grice rsquo s co operative principle. The violations of Grice rsquo s co operative principle can also build a humor effect in the story. By using the pragmatic approach, this study discusses the violation of Grice 39 s co operative principle which is done by Catootje when she is making requests. This research will describe the maxim forms that is violated by Catootje and whether the speech acts is still understandable for the speech 39 s partner. The method used in this research is the qualitative method. The finding shows that Catootje has violated three maxims categories, which are namely the maxim of quantity, quality, and manner, with maxim of manner as is the most frequent. This thesis also shows that the most frequent violation is when Catootje making requests to her father. Although Catootje is violating the maxim, the goal of the request is still understandable for the speech 39s partner."
[, ]: 2017
S68798
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filia
"ABSTRAK
Tuturan yang mengungkapkan tindakan merupakan salah satu fungsi bahasa sebagai instrumen tindakan. Austin (1962:12) mengatakan: "Say something is to do something; or in which by saying or in saying something we are doing something". Dengan demikian ketika seseorang melakukan tindakan dengan bahasa, secara bersamaan mengungkapkan tindak itu sendiri. Tindakan dalam bahasa disebut juga tindak tutur. Searle (1969) juga mengatakan bahwa tindak tutur itu sendiri merupakan tindakan.
Ada pelbagai tindak tutur, salah satu tindak tutur yang digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesama adalah tindak tutur meminta maaf. Tindakan meminta maaf dilakukan ketika ada prilaku yang melanggar norma sosial, antara lain apabila penutur berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan atau telah melukai perasaan petutur. Jika hal ini terjadi hubungan kedua belah pihak menjadi tidak seimbang. Salah satu cara untuk memperbaiki ketidakseimbangan itu ialah dengan meminta maaf (Cohen dan Clshtain, 1983).
Jika hal itu dikaitkan dengan konsep muka yang dikemukakan Brown dan Levinson (1978;1987), meminta maaf merupakan salah satu upaya menghargai muka penutur (karena muka petutur terancam oleh tindakan penutur), akan tetapi di sisi lain muka penutur pun terancam. Untuk menyelamatkan muka kedua belah pihak, penutur dapat memilih cara atau strategi dalam mengungkapkan permintaan maaf.
Berkaitan dengan hal di atas, penulis memfokuskan penelitian tindak tutur meminta maaf dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Memang, Jepang memiliki latar budaya yang berbeda dengan Indonesia. Nakane (1973: 31) mengatakan, dunia orang Jepang terbagi dalam tiga kategori, sempai (senior), kohai (junior), doryo (pangkat yang sama). Dengan demikian, ada perbedaan kadar perhatian orang atas kaidah-kaidah penghormatan rnenurut pribadi tiap-tiap orang (Nakane, 1973:37).
Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, tiap-tiap suku memiliki budayanya sendiri. Jika dalam masyarakat Jepang secara tegas dikatakan terdiri dari tiga kategori seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak demikian halnya dengan masyarakat Indonesia"
2006
T16840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katubi
"Tindak tutur meminta maaf merupakan tindak tutur yang mengemban fungsi perbaikan jika berkaitan dengan permintaan maaf retrospektif. Sementara itu, tindak tutur meminta maaf dapat mengemban fungsi pelunakan jika berkaitan dengan permintaan maaf antisipatoris atau prospektif. Penelitian ini bertolak dari tindak tutur meminta maaf sebagai tindak retrospektif.
Agar penutur dan petutur tidak kehilangan muka, dalam interaksi penutur perlu memilih strategi meminta maaf. Dengan menggunakan parameter solidaritas dan kekuasaan dalam tiga jenis pelanggaran, penelitian ini melihat strategi meminta maaf dan ungkapannya dalam bahasa Indonesia oleh kelompok etnis Minangkabau. Setelah itu, hasil penelitian dianalisis dari perspektif gender.
Responden penelitian ini berjumlah 196 orang yang terdiri atas 102 responden wanita dan 94 responden pria. Semua responden berusia 27--50 tahun dan semuanya staf pengajar di Universitas Bung Hatta, Padang. Hal itu dimaksudkan agar ada kesamaan kelompok usia, latar sosial, dan profesi karena variabel itu turut berperan dalam penelitian bahasa dan gender.
Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan strategi meminta maaf yang digunakan oleh responden kelompok wanita dan pria. Perbedaan penggunaan strategi itu tampak, baik pada pelanggaran I, II, dan III maupun secara keseluruhan berdasar penghitungan statistik uji F.
Perbedaan penggunaan strategi meminta maaf itu dapat dijelaskan dari perspektif gender. Dalam pandangan adat Minangkabau, wanita dikonstruksi secara berbeda dengan pria dalam konteks sosial budaya. Salah satu aturan dan pantangan yang harus dipatuhi wanita Minangkabau adalah aturan dan pantangan berbahasa. Aturan seperti itu tidak ditemukan pada kelompok pria. Oleh sebab itu, sangat mungkin perbedaan itu berpengaruh terhadap penggunaan strategi berbahasa, termasuk meminta maaf."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T3673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Prisilla
"Dalam skripsi ini saya menganalisis realisasi leksikal onomatope dalam komik bahasa Jerman dan komik bahasa Indonesia. Fokus penelitian saya adalah membandingkan persamaan dan perbedaan realisasi leksikal onomatope yang muncul dalam komik berbahasa Jerman dan realisasi leksikal onomatope yang muncul dalam komik berbahasa Indonesia, dari segi semantik dan fonologi. Skripsi ini terdiri dari empat bab. Teori-teori yang tersaji dalarn bab II terdiri dari teori struktur teks dalam komik dari Noth, teori konsep dasar tanda Peirce, teori penandaan makna dari Humboldt, teori tiruan bunyi dari Gross, serta teori sistem bunyi bahasa Jerman dan sistem bunyi bahasa Indonesia. Hasil dari penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa, pada realisasi leksikal onomatope dalam komik, baik komik berbahasa Jerman maupun komik berbahasa Indonesia, terdapat persamaan bunyi dominan dan kesan yang ditimbulkan oleh kata-kata onomatope, yang mengacu pada makna referensial yang sama. Kesamaan yang dimiliki oleh kata-kata onomatope berbahasa Jerman maupun onomatope berbahasa Indonesia tersebut, menunjukkan bahwa meskipun dalam kedua bahasa tersebut memiliki tafsir yang berbeda satu sama lain terhadap suatu realita bunyi yang sama, tetap terdapat kemiripan dalam onomatope pada keduanya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S15149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risca Salina
"Skripsi tentang onomatope bahasa Jepang dalam komik dilakukan dengan tujuan untuk meneliti apakah bunyi-bunyi bahasa sebagai unsur pembentuk onoatope mencerminkan makna-makna tertentu. Onomatope yang diteliti di sini ialah onomatope yang ditemukan pada komik-komik. Langkah penelitian yang dilakukan Onomatope yang berasal dari satu cerita dikelompokan dan dicari maknanya. Kemudian dilihat hubungan natara unsur-unsur pembentuk Onomatope dan makna dari kata Onomatope tersebut. Untuk melakukan penelitian ini digunakan teori-teori tentang onomatope. Pertama-tama diperkenalkan teori onomatope secara umum seperti teori dari J.G. Herder, Stephen Ullman, dan lain-lain. Kemudian baru diperkenalkan teori onomatope dari Otsubo Heiji. Otsubo Heiji memberi istilah Giseigo untuk mengacu makna onomatope bahasa Jepang. Teori Otsubo Heiji ini sangat berperan dalam penganalisaan masalah pada skripsi ini. Hasil analisa skripsi ini menunjukkan bahwa ternyata bunyi-bunyi bahasa sebagai unsur pembentuk onomatope mencerminkan makna-makna tertentu. Sebagian besar hasil analisa tersebut kurang lebih sama dengan hasil penelitian dari Otsubo Heiji."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S13783
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Dwi Madyani
"Skripsi ini merupakan kajian awal linguistik dan semiotik mengenai interjeksi di dalam komik berbahasa Prancis. Interjeksi merupakan salah satu alat untuk me-nyampaikan gagasan, keinginan, dan perasaan di dalam peristiwa komunikasi. Di dalam penggunaannya, satu interjeksi memiliki banyak makna sehingga cenderung tidak memiliki keterbatasan makna. Penentuan makna interjeksi didasarkan pada konteks dan situasinya. Konteks yang merupakan unsur bahasa dinyatakan dengan ujaran yang melingkupi interjeksi. Sementara itu, situasi dinyatakan dengan gambar (tanda ikonis) yang merupakan tiruan situasi komunikasi. Dengan menggunakan dasar-dasar teoretis mengenai interjeksi, komik, semantik, dan semiotik, diharapkan penelitian ini dapat menjawab masalah yang diajukan dalam skripsi ini, yaitu jenis interjeksi apa saja yang ditemukan di dalam sumber data berdasarkan tujuan penggunaannya dan apa maknanya berdasarkan konteks dan situasinya, dan dengan demikian, bagaimana penggolongan maknanya. Analisis data diklasifikasikan berdasarkan tujuan penggunaan interjeksi dan penggolongan maknanya yang di-dasarkan pada konteks dan situasinya.
Dari 343 interjeksi yang ditemukan di dalam tiga komik sari 1es Aventures de Tintin yang dijadikan sumber data, interjeksi yang bertujuan emotif memiliki jumlah terbanyak, yaitu 199 bush (58,02%). Jenis interjeksi lain yang juga ditemukan adalah perintah (53 buah/15,45%), intelektif (51 buah/14,87%), panggilan (33 buah/9,62%), sensitif (4 buah/1,17%), kesopanan (2 buah/0,58%), dan representatif atau imitatif (1 buah/0,29%). Berdasarkan penggolongan maknanya, interjeksi yang ditemukan dapat digolongkan menjadi 17 golongan makna, yaitu 'ungkapan emosi' (146 buah/42,57%), 'perintah' (52 buah/15,16%), 'permintaan' (43 buah/12,54%), 'heran' (34 buah/9,91%), 'lega' (33 buah/3,79%), 'berpikir' (9 buah/ 2,62%), 'ragu' (8 buah/2,3376), 'ingin tabu' (7 buah/ 2,04%), 'penegasan' dan 'mengetahui sesuatu' berjumlah 6 buah (1,75%), 'tidak ada harapan' dan 'mendapat ide' berjumlah 5 buah (1,46%), 'tidak peduli' dan 'tidak percaya' berjumlah 3 buah (0,88%), 'tiruan bunyi', 'berharap', dan 'menduga' berjumlah 1 buah (0,29%)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S15596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Fitriani
"Tindak tutur meminta maaf adalah tindak tutur yang ditujukan untuk memperbaiki suatu tindak pelanggaran dan mengembalikan keharmonisan hubungan sosial antara penutur dan petutur. Untuk mencapai tujuan itu, penutur perlu memilih strategi yang sesuai. Pemilihan strategi bertutur dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor kuasa dan solidaritas yang dimiliki oleh penutur dan petutur. Penelitian ini membahas strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pengajar dan pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta. Penelitian ini adalah penelitian sosiopragmatik yang menerapkan teori Olshtain dan Cohen (1983), Blum-Kulka dan Olsthain (1984), Holmes (1990), Trosborg (1995), dan Aijmer (1996) mengenai strategi meminta maaf.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan dan menjelaskan strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pengajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta,(2) mendeskripsikan dan menjelaskan strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta, (3) menjelaskan pengaruh faktor kuasa dan solidaritas terhadap pemilihan strategi meminta maaf, (4) mencari petunjuk apakah faktor jender, nilai TOEFL, pengalaman menetap di negara berbahasa Inggris, lamanya belajar, dan pengalaman mengajar mempengaruhi pemilihan strategi meminta maaf. Data penelitian ini diambil dari kuesioner survei yang telah diisi oleh 23 orang pengajar bahasa Inggris dan 88 orang pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lebih memilih strategi gabungan meminta maaf daripada strategi dasar meminta maaf. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa strategi meminta maaf yang digunakan oleh kelompok pengajar berbeda dengan strategi meminta maaf yang digunakan oleh kelompok pemelajar. Selain itu, ditemukan pula adanya pengaruh faktor kuasa dan solidaritas terhadap penggunaan strategi meminta maaf. Temuan lain dari penelitian ini adalah faktor jender, nilai TOEFL, pengalaman menetap di negara berbahasa Inggris, lamanya belajar, dan pengalaman mengajar mempengaruhi pemilihan strategi meminta maaf yang digunakan oleh responden.

The Speech act of apologizing is the speech act which is aimed at providing remedy for an offence and restoring social harmony between an addresser and an addressee. An addresser needs to decide appropriate strategies to achieve such goals. There are some factors that influence addresser in choosing appropriate strategies, such as power and solidarity the addresser or addressee has. This study employs sociopragmatic approach, applying theories of Olshtain and Cohen (1983), Blum-Kulka and Olshtain (1984), Holmes (1990), Trosborg (1995), and Aijmer (1996) on apologizing strategy.
This study aims at (1) describing and explaining apologizing strategies used by English lecturers at Jakarta State University, (2) describing and explaining apologizing strategies used by English learners at Jakarta State University, (3) explaining the influence of power and solidarity on apologizing strategies used by the respondents, (4) identifying the influence of gender, TOEFL score, respondentsÂ? experience living in English speaking countries, length of studying English, and teaching experience on apologizing strategies that are used by the respondents. The data of this study are derived from the questionnaires which had been completed by 23 English lecturers and 88 English learners at Jakarta State University.
The result of the study reveals that the majority of the respondents prefer to use combined apologizing strategies to main apologizing strategies. The finding further reveals that apologizing strategies used by English lecturers are different from those used by English learners. The finding also shows that power and solidarity influence the respondents in choosing apologizing strategies. Furthermore, gender, TOEFL score, respondentsÂ? experience living in English speaking countries, length of learning English, and teaching experience influence the respondents in choosing apologizing strategies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T39178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Andre Pratama
"Brown dan Levinson 1983, 1987 mengemukakan bahwa semakin tidak langsung penutur bertutur, maka semakin santunlah penutur tersebut. Namun, pola kesantunan ini telah diuji kembali Gao, 1999; Rue Zhang, 2008. Pernyataan Brown dan Levinson ini dianggap belum tentu berlaku pada berbagai bahasa dan hanya merepresentasikan bahasa barat.
Artikel ini akan mengamati strategi meminta sehari-hari yang muncul dalam cerpen berbahasa Mandarin. Penelitian ini menemukan bahwa bentuk mood derivable merupakan strategi yang paling banyak digunakan.
Terkait dengan keterkaitan antara ketidaklangsungan dengan kesantunan, penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun mood derivable muncul dalam situasi kedudukan petutur yang lebih tinggi dari penutur. Namun, tuturan tersebut masih tergolong santun karena penggunaan kata sapaan address term dan kata qing yang berarti 'tolong'. Secara umum, hasil penelitian ini mendukung pernyataan Gao 1996 bahwa tuturan langsung masih relevan dengan kesantunan dalam masyarakat Cina.

According to Brown and Levinson 1983, 1987 , the more indirect a speaker speaks, the more polite that speaker becomes. However, this model of politeness had been reexamined Gao, 1999; Rue Zhang, 2008 . Brown and Levinson rsquo;s remarks seem not necessarily applicable to all languages and only represent western languages.
This current study will observe the strategies of daily requests occurred in Chinese short fictions. This study finds mood derivable is the most dominant strategy utilised by the speakers.
With regards to the relationship between indirectness and politeness, this study proves that although a high-power speaker utilises mood derivable to ask a low-power addressee to do something, the request is still considered polite because of the usage of address term and the word ldquo; rdquo; which means 'please'. Overall, the finding supports Gao 1996 that explains direct request is still considered polite within Chinese society."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>