Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13188 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tutty Kartawidjaja
"Judul dan masalah pokok skripsi diambil dari buku karangan Theodore Roszak berjudul : The Making of A Counterculture dengan anak judul : Reflections on the Technocratic Society and Its Youthful Opposition. Dalam buku tersebut Roszak rnemperkenalkan istilah Counterculture yang oleh penulis diberi padanan dalam bahasa Indonesia Kebudayaan Tandingan. Roszak dalam karangannya tersebut mengemukakan bahwa dalam kebudayaan teknokratis yang melanda dunia secara dahsyat setelah Perang Dunia II, dalam tahun 1960-an ada kelompok kecil, suatu minoritas yang terutama terdiri dari kalangan muda yang berani menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan disertai tindakan. Mereka merasa terasing dari generasi, orangtua mereka dan masyarakat sekelilingnya. Mereka sendiri tidak tahu apa yang ingin mereka capai. Mereka merupakan barisan orang muda yang tidak puas dengan tatanan mayarakat yang ada. Mereka muncul di berbagai pelosok negara bagian Arnerika Serikat dan negara maju lainnya sebagai barisan yang tidak terorganisir yang ingin berontak terhadap Cara hidup orangtua mereka. Mereka menunjukkan gejala kebudayaan tandingan sebab mereka menganut nilai-nilai yang berbeda secara radikal dari apa yang berlaku dalam masyarakat mapan, yang dewasa kini dikuasai teknokrasi. Menurut Roszak teknokrasi yang menguasai dunia itu ternyata hanya mampu mengurangi ketegangan yang ada dalam hidup bermasyarakat termasuk kesengsaraan dan ketidakadilan. Teknokrasi tidak mampu mengatasi atau melenyapkannya. Para pemuda ini menolak apa yang ditawarkan teknokrasi dam oleh orangtua dan masyarakat sekeliling mereka dan berpaling kepada nilai-nilai dunia Timur, termasuk agama dan mistik. Mereka juga menggunakan psikedelika dalam upaya mencari kebenaran dan mengadakan eksperimen mencari bentuk-bentuk baru atas Cara hidup komunal. Roszak berpendapat bahwa walaupun para pemuda itu merupakan suatu minoritas dan tempat berpijak mereka masih sangat goyah untuk menimbulkan suatu Umwentlung, mereka merupakan barisan depan suatu gelombang pembaharuan, skripsi juga mengetengahkan pemikiran Prof. Pr. C. A. van Peursen dalam buku berjudul Cultuur in Stroomversnelling een geheel bewerkte uitgave van Strategic van de Cultuur, terbit dalam tahun 1970 di negeri Belanda, dan Alvin Toffler dalam buku karangannya berjudul Future Shock yang terbit di Amerika Serikat dalam tahun 1970 sebagai bahan pembanding. Penulis berpendapat bahwa gejala Kebudayaan Tandingan terdapat pada setiap kebudayaan manapun dan merupakan hal yang relevan juga untuk Indonesia yang kini dalam tahap pembangunan."
Depok: Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrarto Darudoyo
"Penelitian mengenai verba refleksif dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia secara sintaktis telah dilakukan secara kontrastif. Tujuannya ialah untuk mendeskripsikan verba refleksif dalam kedua bahasa tersebut dan menganalisisnya untuk penerjemahan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dan perolehan data tadi dikelompokkan menjadi tiga untuk bahasa Jerman dan tiga untuk bahasa Indonesia. Setelah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa persamaan dan perbedaan jenis, konstruksi, fungsi, dan distribusi verbs refleksif masing-masing bahasa. Juga dapat disimpulkan bahwa teori yang dipakai kurang sesuai untuk diterapkan. Sebaiknya ditinjau pula segi semantisnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S14638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.G. Soedijono
"Ki Hajar Dewantara yang nama kecilnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Sejak kecil, Ki Hajar Dewantara telah menyadari bahwa bangsanya hidup dalam kemiskinan. Sebagai orang terpelajar, Ki Hajar Dewantara tahu pula bahwa kemiskinan bangsanya itu bersumber dari penjajahan bangsa asing. Dengan demikian, kemiskinan yanhg melanda bangsa Indonesia tidak disebabkan oleh faktor keberadaan bangsa itu sendiri, tetapi akibat faktor ekstern. Kemiskinan yang disebut alienasi ekonomi itu seharusnya tidak terjadi. Di samping mengalami alienasi ekonomi, bangsa Indonesia mengalami pula alienasi budaya yang terbentuk dari faktor feodalisme di dalam masayarakat Jawa. Dalam alienasi budaya itu hubungan antar-manusia tidak dapat berlangsung secara wajar karena ada stratifikasi sosial yang tajam. Lama-kelamaan alienasi ekonomi dan alienasi budaya menimbulkan alienasi sosial dan alienasi politik. Keempat alienasi itu membentuk manusia Indonesia menjadi manusia yang tidak utuh, manusia yang serba tergantung dan manusia yang tidak mampu mandiri. Dengan perpaduan beberapa pemikiran seperti pemikiran Friedrich Froebel, Maria Montessori, Rabindranath Tagore dan alam pikiran Jawa, Ki Hajar Dewantara berusaha merubah alienasi tersebut. Dengan refleksinya yang tajam, Hajar Dewantara berpendapat bahwa alienasi itu harus dihapuskan dengan cara meletakkan kedudukan manusia pada posisi yang sebenarnya yaitu manusia sebagai makhluk yang berbudaya sekaligus manusia seutuhnya. Dalam melaksanakan tugas manusia sebagai makhluk berbudaya, manusia adalah bagian dari alam dan memiliki kewajiban mengolah alam itu sebab manusia berada di dalam kodrat alam. Dengan dinamikanya manusia merubah alam dan membentuk kebudayaan. Melalui seluruh potensinya manusia mengubah hidupnya menjadi budaya. Budaya adalah ekspresi kemanusiaan. Manusia yang mampu mengekspresikan budinya adalah manusia yang utuh. Keutuhan manusia itu terwujud dalam bentuk kepribadiannya. Kepribadian itulah yang menentukan kemanusiaan seutuhnya sebab dengan kepribadian itu unsur dinamika jiwa sudah diatur oleh penguasa jiwa. Dengan adanya penguasa jiwa yang menertibkan cipta, rasa, karsa dan panca-indera maka tiap manusia memiliki perbedaan kepribadian yang terpusat pada aku. Dengan akunya manusia mampu mempertahankan diri, melanjutkan keturunan dan mengisi hidupnya dengan cara merealisasi potensi-potensi jiwa menjadi kebudayaan. Kebudayaan adalah suatu yang inheren pada diri manusia. Untuk menemukan hakekat kebudayaan, Ki Hajar Dewantara melihat peranan adat dalam kehidupan. Di dalam adat, manusia tidak hanya berhubungan dengan manusia saja, tetapi juga wajib berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat waktu. Dengan adat itulah manusia mengatur hidupnya secara harmonis. Meskipun manusia yang hidup dalam adat dapat menyelaraskan dirinya dengan alam, tetapi manusia dapat terperangkap dalam kebekuan adat itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengikuti perkembangan zaman perlu kreativitas agar manusia mampu mencapai kebudayaan yang luhur. Untuk itu diperlukan adanya kebangkitan kesadaran berbudaya yang membuat manusia tidak terikat oleh adat, tetapi justru mengatur dan mengembangkan adat sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan adat itu terjadi dalam percampuran kebudayaan. Percampuran kebudayaan adalah usaha pembudayaan yang berjalan secara wajar, terencana dan terarah. Oleh karena itu usaha yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan itu manusia dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan sekaligus manusia mampu mengekspresikan potensi-potensinya menjadi kebudayaan. Landasan moral yang digunakan dalam pendidikan adalah keharusan memperhatikan tindakan yang manusiawi yaitu tindakan yang baik terhadap manusia lain (sesamanya), lingkungannya (alam), dan Tuhan. Landasan itu digunakan untuk membentuk konsepsi pendidikan yaitu segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa yang dimulai dari bawah. Untuk mewujudkan konsepsi pendidikan itu Ki Hajar Dewantara menggunakan teori konvergensinya dalam bentuk kegiatan pendidikan. Sedangkan untuk merealisir cita-cita pendidikan tersebut, dicanangkanlah Pendidikan Nasional yang harus berlaku di seluruh tanah air."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S16092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elis Teti Rusmiati
"Pemikiran kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana diawali dengan penarikan garis yang membedakan dengan jelas antara kebudayaan tradisional Indonesia dengan kebudayaan modern Barat. Perbedaan terutama ditekankan pada konfigurasi nilai dari masing-masing kebudayaan itu; nilai-nilai mana yang lebih dominan. Dengan mengelompokkannya kepada enam nilai (mengikuti Eduard Spranger: nilai teori, ekonomi, agama, seni, kuasa dan solidaritas), Takdir menyebut bahwa dalam kebudayaan tradisional Indonesia berlaku nilai-nilai ekspresif yang menyebabkan kebudayaan itu states, sedangkan di negara-negara Barat, di mana gugus ilmu pengetahuan itu unggul, berlaku nilai-nilai progresif yang mengantarkan negara itu menjadi negara yang modern. Indonesia, hemat Takdir, harus mengadopsi nilai-nilai dari Barat itu yang bercirikan: intelektualisme, individualisme dan materialisme. Dengan kata lain, untuk membina kebudayaan Indonesia itu diperlukan upaya modernisasi mutlak guna meraih kemajuan sebagaimana yang telah diperoleh negara-negara Barat. Gerakan modernisasi seperti ini mendapat banyak tentangan karena dianggap mengancam hilangnya kepribadian bangsa.
Modernisasi yang terjadi di Barat, dalam pandangan Takdir berawal dari peristiwa Renaissans Itali yang aspek dasamya merupakan gerakan humanisme, menempatkan manusia pada posisi sentral. "Manusia", merupakan tema sentral dalam konsep kebudayaan Takdir. Dalam upaya mendefinisikan konsep kebudayaan, Takdir menekankan pada proses budi manusia; budilah yang melahirkan budidaya atau kebudayaan. Melalui kebudayaan, manusia mengubah alam agar menjadi lebih manusiawi. Nilai yang merupakan kekuatan integral dalam pembentukan pribadi, masyarakat dan kebudayaan, berada dalam proses budi manusia. Karena nilai itu juga berada dalam proses budi manusia maka kebudayaan oleh Takdir tidak diukur dengan teori empiris melainkan lebih berdasarkan teori nilai; nilai mana yang paling diutamakannya. Dengan demikian, kebudayaan akan lahir dengan penuh tanggung jawab.
Ketika terjadi akulturasi budaya ada sisi-sisi yang tidak bisa dihindari: ketidakberdayaan meraih nilai-nilai baru sementara yang lama pun sudah telanjur ditinggalkan. Untuk masalah ini, Takdir mengedepankan sisi-sisi manusianya: kreativitas (seperti judul buku yang ia tulis) dan kebebasan. Disamping itu, dalam usaha manusia rasional pada proses modernisasi itu, berkecenderungan untuk semakin irrasional, tetapi Takdir tetap optimis. Takdir juga menganggap ilmu-ilmu sosial telah terjebak - positivisme karena mengenyampingkan masalah nilai, ia lalu mengajukan sebuah konsep yang menyeluruh tentang ilmu manusia sebagai sintesa antara ilmu-ilmu positif dengan teori nilai.
Tidak bisa dihindari bahwa pemikiran-pemikiran Takdir mengenai humanisme dalam kebudayaannya terpengaruh oleh ideologi dari Barat, baik mengenai konsep individualisme, naturalisme, liberalisme maupun rasionalisme dan pemikirannya ini masih relevan untuk masa sekarang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Woro Aryandini Sumaryoto
"Bidang ilmu dari penelitian yang kini disajikan hasilnya adalah Sejarah Kebudayaan. Sejarah adalah studi mengenai masa lampau manusia. Yang menjadi kunci untuk memasuki wilayah sejarah ialah apa yang disebut sumber-sumber, seperti legenda, folklore, prasasti, monumen, alat-alat sejarah, perkakas rumah, dokumendokumen, surat kabar, dan surat-surat. Berkat ilmu sejarah dan arkeologi serta filologi manusia dapat mengetahui tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di zaman dulu. Dad tulisan-tulisan kuno, inskripsi-inskripsi dan sisa-sisa dari benda Iainnya, ahli sejarah dapat menyusun kernbali jalannya peristiwa-peristiwa tersebut dan mencoba memahami pertalian antara peristiwa yang satu dengan Iainnya.
Kebudayaan adalah kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan semua kemampuan sert kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat Namun kebudayaan sendiri berevolusi sesuai dengan keperluan. Dalam hal ini dapat dipinjam pendapat Forde bahwa kebudayaan itu tidak statis, ia adaptif dan dapat dimodifikasi disesuaikan dengan kondisi Iingkungan fisik. Dalam mempergunakan sumber-sumber tertentu atau dalam beradaptasi kepada kondisi lingkungan, orang-orang juga hares menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang diberikan oleh pola-pola kemasyarakatan dan konsep konsep religi.
Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa sejarah kebudayaan adalah studi mengenai masa lampau manusia berkaitan dengan semua aspek dalam kehidupan manusia. Sejarah kebudayaan merupakan subdivisi dari sejarah secara keseluruhan, yang perhatiannya meliputi perkembangan semua aspek kebudayaan. Tuiuan utamanya adalah mendapatkan pengertian dari perkembangan kebudayaan. Untuk mendapatkan pengertian tersebut sejarawan budaya memerlukan data nonkultural tertentu, seperti perubahan lingkungan, diferensiasi racial manusia sebagai akibat dari isolasi mekanis, diferensiasi yang sejajar dengan diferensiasi etnis, dan hal-hal yang berkaitan dengan faktor-faktor demografik masa lalu. Yang dikaji dalam sejarah kebudayaan adalah kebudayaan di waktu yang lampau dalam pertumbuhan dan perkembangannya dari masa ke masa, dan yang menjadi perhatian utama adalah perubahan dari kebudayaan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1998
D385
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyati Yarmani
"Skripsi ini mencoba untuk menyajikan salah satu pemikiran Bertrand Arthur William Russell tentang Atomisme Logis. Tujuan Atomisme Logis ialah menjelaskan hakekat bahasa dan realitas. Pengetahuan memerlukan bahasa sebagai alat. Dengan bahasa, seseorang dapat mengungkapkan pendapatnya, dan meyakinkan orang lain bahwa sesuatu hal yang dikemukakan itu mempunyai landasan yang cukup kuat. Dalam bukunya Irving M. Copi yang berjudul Introduction to Logic dikatakan bahwa bahasa mempunyai fungsi informatif, ekspressif, direktif, seremonial dan performatif. Fungsi bahasa yang pertama ialah untuk mengatakan informasi komunikasi. Bahasa digunakan untuk prosisi menyatakan atau proposisi menolak, atau untuk memberikan argumen-argumen. Tulisan atau ceramah informatif digunakan untuk menggambarkan dunia, dan pengertian mengenai hal tersebut. Apakah fakta-fakta yang digambarkan itu penting atau tidak penting, umum atau khusus tidak menjadi soal, dalam setiap kasus bahasa digunakan untuk menggambarkan atau melaporkannya. Dengan kata lain fungsi informatif menggambarkan dunia fakta atau realitas. Faham yang umum mengenai bahasa selama ini, bahwa bahasa tersebut merupakan alat mengungkapkan pikiran dan pendapat seseorang. Pemikiran manusia itu mendapat bentuk dalam bahasa, yang mampu member penjelasan yang baik dan betul. Akan tetapi penyelidikan Russell mengenai bahasa menghasilkan suatu pandangan baru. Russell bersama Moore dengan metoda analisa menganalisa bahasa. Menurut Moore, bahasa sehari-hari merupakan sumber akal sehat yang sudah mencukupi. Tetapi menurut Russel metoda analitis Moore belum memuaskan, karena bahasa sehari-hari kurang cocok. Kita dapat menyelidiki susunan kenyataan melalui analisa bahasa, karena memang bahasa merupakan suatu cermin dari kenyataan,tetapi agar cermin ini berfungsi dengan baik, kita harus menyempurnakan bahasa. Kita harus menciptakan suatu bahasa ideal yang secara logis sempurna. Bahasa yang secara logis sempurna terdiri dari unsur yang disebut atom-atom logis yang merupakan suatu deskripsi dari fakta-fakta atomis. Menurut penulis, atomis logis menjadi jelas, dengan diuraikan epistemologis Russell dari buku Problems of Philosophy sebagai pengantar untuk mengetahui pengetahuan realitas dan fakta, logika dan penerapan bahasa yang menguraikan proposisi."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bakker, J. W. M.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1984
306.01 BAK f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Judiantoro
Bandung: Alumni, 1983
340.598 JUD m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
B.S. Muljana
Depok: Departemen Ilmu Ekonomi FE-UI, 2011
338.9 MUL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>