Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165022 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andini Murti
"Skripsi ini membahas consumer society dari pemikiran Jean Baudrillard dan Herbert Marcuse dan melakukan analisa komparasi terhadap pemikiran kedua filsuf tersebut. Marcuse merupakan filsuf teori kritis dari Mazhab Frankfurt yang mengkritik masyarakat industri maju mengenai yang memiliki suatu gaya hidup konsumtif akibat tendensi totalitarian dari teknologi. Individu pada masyarakat industri maju telah terbuai oleh kemudahan-kemudahan yang dihasilkan oleh teknologi dan terbuai oleh barang-barang yang berlimpah yang dihasilkan oleh teknologi serta terbuai oleh iklan-iklan yang terus menerus mengondoktrinasikan individu untuk terus menerus mengkonsumsi kebutuhan palsu (false needs) yaitu kebutuhan yang tidak benar-benar dibutuhkan oleh konsumen. Marcuse berpendapat bahwa gaya hidup konsumtif tersebut merupakan gaya hidup yang disenangi oleh masyarakat industri maju, sehingga individu pada masyarakat industri maju telah kehilangan kekuatan untuk berpikir kritis dan untuk mengadakan perlawanan terhadap teknologi dan gaya hidup konsumtif tersebut.
Baudrillard merupakan filsuf postmodern yang mencoba menganalisa mengenai consumer society dalam relasinya dengan sistem tanda. Menurutnya, dalam consumer society yang dikonsumsi bukanlah komoditas, melainkan mengkonsumsi tanda. Tanda itu berupa pesan dan citra yang dikomunikasikan lewat iklan. Menurut Baudrillard, yang berfungsi sebagai sarana untuk mengkomunikasikan tanda kepada konsumen adalah iklan dan yang dikonsumsi oleh consumer society bukanlah kegunaan dari suatu produk, akan tetapi citra atau pesan yang ditawarkan oleh produk tersebut melalui iklan. Baudrillard berpendapat bahwa konsumsi tidak lagi dilakukan karena kebutuhan, dan konsumsi juga tidak dilakukan untuk mendapatkan kepuasan atau kenikmatan akan tetapi konsumsi ditujukan untuk mendapatkan status sosial tertentu. Marcuse dan Baudrillard sama-sama membicarakan mengenai consumer society, namun ada beberapa perbedaan mendasar dari pemikiran mereka.
Kedua filsuf tersebut memiliki perbedaan mengenai konsep logika yang mendasari consumer society. Marcuse berpendapat bahwa ada suatu logika totalitarian yang membentuk consumer society, sedangkan Baudrillard berpendapat bahwa yang membentuk consumer society adalah suatu logika sosial diferensiasi. Menurut Marcuse, teknologi memproduksi barang-barang yang berlimpah, yang kemudian dipaksakan kepada konsumen lewat iklan-iklan. Tendensi totalitarian dari teknologi tersebut membuat masyarakat industri maju memiliki suatu gaya hidup yang konsumtif, gaya hidup untuk terus menerus mengkonsumsi kebutuhan-kebutuhan palsu. Berbeda dengan Marcuse, menurut Baudrillard yang membentuk consumer society adalah logika sosial diferensiasi, yaitu keinginan individu untuk terns menerus mengkonsumsi dengan tujuan untuk mencapai status sosial tertentu atau gaya tertentu. Konsekuensi logisnya adalah, Marcuse menyatakan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi, sedangkan Baudrillard menyatakan bahwa individu memiliki kesadaran dalam mengkonsumsi.
Dampak dari adanya kesadaran tersebut, Baudrillard mengatakan bahwa konsumen dapat melakukan penolakan terhadap konsumsi, sementara Marcuse mengatakan konsumen tidak dapat melakukan penolakan terhadap konsumsi. Di samping perbedaan-perbedaan tersebut, kedua filsuf ini memiliki persamaan, yaitu konsumsi merupakan sesuatu yang dipaksakan kepada konsumen dan iklan merupakan sarana untuk memanipulasikan produk-produk kepada konsumen. Pemikiran kedua filsuf tersebut sangat relevan pada masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang terperangkap antara logika totalitarian dan logika sosial diferensiasi. Pada masyarakat agraris yang tingkat pendidikannya rendah dan tingkat kemiskinannya tinggi berlaku logika totalitarian, sedangkan pada masyarakat komputer yang tingkat pendidikannya tinggi berlaku logika sosial diferensiasi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S15994
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Hastiti Pawanti
"Kegiatan sehari-hari masyarakat diwarnai dengan berbagai kegiatan konsumsi yang selanjutnya menjadi fenomena. Saat ini, informasi mengenai kegiatan konsumsi menyerbu kita kapanpun dan dimanapun. Informasi tersebut tak henti-hentinya menawarkan berbagai barang dan jasa kepada masyarakat melalui iklan diberbagai media cetak dan elektronik, seperti: televisi, koran, majalah, radio, internet, dan sebagainya. Fenomena yang tercipta di dalam masyarakat Indonesia tersebut disertai dengan kemajuan teknologi sehingga melahirkan perkembangan budaya konsumsi yang ditandai dengan perkembangan gaya hidup dan menciptakan masyarakat konsumeris.
Masyarakat konsumeris ini dianalisis dengan cermat oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf Prancis. Baudrillard menilai bahwa kegiatan konsumsi masyarakat telah mengalami pergeseran. Gejala tersebut dapat dilihat dengan jelas pada masyarakat konsumeris saat ini. Menurutnya, konsep konsumsi dalam masyarakat konsumeris lebih mengutamakan nilai simbolik dan nilai tandadari barang dan jasa yang dikonsumsinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan konsumsi tidak lagi berdasarkan pada pemanfaatan nilai guna, melainkan kepada nilai tanda. Oleh karena itu, nilai tanda menjadi sebuah elemen penting dalam masyarakat konsumeris. Jadi, bagaimanakah analisis Baudrillard mengenai sebuah nilai tanda di dalam fenomena tersebut yang menciptakan sebuah masyarakat konsumeris?

Society's daily activities have been coloring by consumption activities that became a phenomenon later. Nowadays, the information of consumption activities attacks us every time and everywhere. The information continually offers any goods and services to the society by spreading the advertisements in various printed and electronic media, such as television, newspaper, magazine, radio, internet, and so on. The phenomenon which has been created in Indonesian society is accompanied by the technological advances so that produced the development of consumption culture which is characterized by the development of lifestyle and created the consumptive society.
This consumptive society has been analyzed carefully by Jean Baudrillard, a French philosopher. He considered that the activities of consumption have shifted. The symptom can be seen clearly in today's consumptive society. According to him, the concept of consumption in consumptive society prefers the symbolic value and the value of sign of the goods and the services that they consumed. Thus, it can be said that the act of consumption is no longer based on the utilization of use-value, but the value of sign. Therefore, the value of mark became an important element in consumptive society. Thus, how is the analysis of Baudrillard about a value of sign in the phenomenon that created the consumptive society?
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Anggani
"Jean Baudrillard mengungkapkan bahwa fungsi konsumsi dalam masyarakat adalah sebuah elemen struktural dalam hubungan sosial. Konsumsi bukan hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan, namun juga untuk membedakan diri. Ia menganggap bahwa konsumsi merupakan inti dari ekonomi, sehingga objek konsumsi mengatur masyarakat. Artikel ini bertujuan untuk memberikan sumbangan informasi mengenai fenomena masyarakat konsumsi yang terlihat melalui menjamurnya gerai 7-11 atau Seven Eleven yang terjadi dewasa ini dengan menggunakan pemikiran Jean Baudrillard sebagai landasan untuk mengungkapkan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat, yang disebut sebagai masyarakat simulasi dan hiperrealitas.

Jean Baudrillard stated that the function of consumption in society is a structural element in social relation. Consumption, not only as a tool to meet the needs, but also to differentiate one self.He assumes that consumption is the core of the economy,therefor the object of consumption is controlling the society.This article aims to provide information about the consumer society phenomenonthat is seen through the proliferation of outlets 7/11 or Seven Eleven that is happening today, using Jean Baudrillard thinking as a foundation to analyze modernism, to reveal the shifts that occur in the structure of society, which is referred to as the simulation and hyperreality.Behavioral tendencies of modern consumerist society and the examples isdescribed in this article.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Karen Priyanka
"Penelitian ini membahas konsep pemikiran Jean Baudrillard mengenai hyperréalité yang tampak dalam fenomena koleksi benda antik. Adapun hyperréalité merupakan konsep gejala masyarakat yang tidak lagi mampu membedakan antara realitas dan representasinya, yang disebut dengan simulacra, dalam kehidupan masyarakat modern.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data penelitian ini adalah perilaku dan tindakan kolektor benda antik dari Komunitas Djadoel Djakarta dan dari kolektor benda antik tunggal di Jakarta dan sekitarnya.
Hasil analisis menunjukkan ada usaha pembentukan hyperréalité dalam fenomena koleksi benda antik. Penelitian tentang koleksi benda antik dapat menyadarkan masyarakat di dunia modern untuk tidak dikuasai oleh objek dan tidak teralienasi dari diri sendiri.

This research discusses the concept of Jean Baudrillard?s thought about hyperréalité which seen in the phenomenon of collecting antiquities. The hyperréalité is one of Baudrillard?s ideas about the society who are no longer able to distinguish between reality and its representation, as known as simulacra, in modern society.
The method used in this research is a qualitative research method. Author takes the behaviors and actions of the antiquities collector from Komunitas Djadoel Djakarta and from single antique collectors in Jakarta and its surrounding areas as the data of this research.
The results of the analysis concluded in this research indicate the existence of hyperréalité formation effort in collecting antiquities. Author?s analysis of collecting antiquities would remind society to not be ruled by the object, and to not be alienated from oneselves."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Harris Susanto
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27658
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vitria Ariani Soedjiarto
"Disertasi ini bertujuan untuk menganalisa secara kritis pariwisata sebagai gaya hidup manusia modern dengan sistem kapitalisme dalam budaya teknorasi yang membuat manusia menjadi teralienasi dan terkungkung dalam satu dimensi. Melalui pemikiran dari salah satu tokoh Frankfurt Schule Herbert Marcuse, pariwisata akan ditelaah secara mendalam melalui kaca mata manusia satu dimensi yang tergiring dengan adanya teknologi dan materi sebagai agen pemiskinan dimensi dalam dirinya. Gaya hidup berwisata dengan konsep pariwisata massal dan hedonisatik menjadi tujuan yang harus diberlakukan sebagai cara mencapai eksistensi hidup manusia satu dimensi ini.
Disertasi ini juga akan menemukan pariwisata dalam arti sesungguhnya yaitu berupa suatu kegiatan bagi manusia untuk dapat keluar dari kungkungan dirinya untuk memeperkaya dimensi-dimensi lain dalam hidupnya, bukan sebaliknya menjadikan manusia menjadi miskin terkerucutkan dimensinya dengan hanya berpijak pada dimensi ekonomis belaka. Pemikiran Marcuse membantu peneliti untuk membedah pariwisata massal hasil revolusi industri dengan industrialisasinya yang berpijak pada konsep satu dimensi dan pada akhirnya memberikan satu solusi dan jalan tengah bagi praktik-praktik pariwisata berbasis ekonomi kepada suatu bentuk pariwisata alternatif yang merupakan bentuk dari pariwisata multi dimensi yang mengembalikan pariwisata kepada akar sesungguhnya tanpa menghilangkan aspek ekonomisnya.

This dissertation aims to critically analyze tourism as a lifestyle of modern man with the capitalist system in technocracy culture that makes people become alienated and trapped in one dimension value. Adapting from Frankfurt School critical thinker Herbert Marcuse, tourism will be explored in depth through the lens of one-dimensional human beings who are led by the technology and materials as agents of impoverishment dimension within himself. Lifestyle is traveled with the concept of mass tourism and hedonistic value as a goal that must be applied as a way of achieving human life existences.
This dissertation will also discover the true meaning of tourism in the form of an activity for human beings to be able to get out of the confines himself to enrich other dimensions of his life, not the other way that reduce dimensions by simply rests on mere economic dimension. Marcuse help researchers to dissect the mass tourism industry revolution as the results of industrialization which is based on the concept of onedimensional and ultimately provide a middle ground for solutions and practices of tourism-based economy to an alternative form of tourism. This new form of tourism defines as multi-dimensional tourism that giving multi dimensional value of tourism without losing its economic aspects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
D1870
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Audiah Ulfah
"Skripsi ini membuktikan pengaruh media massa terhadap konsep kesempurnaan tampilan diri dalam praktek bedah kosmetik melalui teori simulasi Jean Baudrillard. Maraknya praktek bedah kosmetik pada era globalisasi sekarang ini dilatar belakangi oleh perkembangan teknologi dan sistem komunikasi, kapitalisme global, budaya popular, masyarakat konsumen serta media massa. Teori simulasi menjelaskan bahwa melalui praktek bedah kosmetik, tampilan diri berubah menjadi suatu arena tempat tanda, citra, dan kode dimanipulasi sedemikian rupa. Hal tersebut mengantarkan tampilan diri manusia kepada suatu keadaan yang disebut dengan hiperrealitas tampilan diri yang telah terputus dengan tampian diri aslinya.

This research applies Baudrillard's simulations theory to show that mass media have influenced our conception about bodily appearance which have encouraged people to do cosmetic surgery. The rise of cosmetic surgery in this globalization era caused by the development of technology and communication, global capitalism, pop culture, consumer society, and mass media. Through cosmetic surgeries, bodily appearance have become manipulation arena of sign, image, and code. This condition creates the hyperreality of bodily appearance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47145
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurist Surayya Ulfa
"Tesis ini adalah tentang fenomena budaya nge-mall yang belakangan telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Jakarta. Mal, bagi warga Jakarta menjadi suatu arena yang memungkinkan orang-orang memaknai dan memahami realitas kehidupan sosial. Sebagaimana yang dinyatakan Jean Baudrillard, mal menjadi tempat akulturasi, konfrontasi dan pengujian kode-kode sosial serta penilaian sosial. Penelitian ini menganalisa arti penting mal dalam kehidupan sosial masyarakat Jakarta dan bagaimana masyarakat konsumen jakarta mempelajari kode-kode sosial—personalisasi diri, diferensiasi sosial dan cara bersosialisasi—melalui konsumsi tanda di mal.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, bersifat kualitatif. Desain penelitian adalah studi kasus, yaitu mengangkat fenomena nge-mal pada masyarakat Jakarta, yang mana dianalisa dengan teknik illuslrative case study dengan teori konsumsi serta teori hipermarket dan hiperkomoditas dari Jean Baudrillard. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian posmodemisme.
Dari penelitian ini, diketahui bahwa pola pikir masyarakat konsumen Jakarta dibentuk dan dirasionalisasi oleh konsumsi, sehingga kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kode-kode konsumsi. Pemahaman tentang identifikasi dan personalisasi diri serta klasifikasi dan stratifikasi sosial, merujuk pada tanda- tanda yang melekat pada barang konsumsi. Mal sebagai situs yang menampilkan beraneka barang konsumsi bersifat signifikan dalam konstruksi sosial masyarakat konsumen Jakarta. Mal menjadi tempat orang melihat dan mengamati objek dan tanda pada objek konsumsi, yang mana juga sekaligus tempat orang memaknai dan memahami kode-kode sosial. Barang-barang yang dipajang di etalase di mal menjadi media belajar bagi orang-orang yang melihatnya.
Implikasi dari penelitian ini adalah kesadaran, bahwa mal sangat berperan dalam membentuk pola pikir masyarakat. Mal menguatkan rasionalitas konsumsi sehingga membuat orang semakin mengorientasikan hidupnya, menghabiskan waktunya untuk mengejar kebahagiaan materialis, yang mana target dan standarnya bisa ditemukan di berbagai barang konsumsi di mal. Mal mendefinisikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yang mana semuanya berorientasi pada kebutuhan bernilai status sosial lebih tinggi.

This thesis is about phenomenon of hanging out in mall that recently becoming part of Jakarta society lifestyle. For most of Jakarta people ma is an area that enables them to learn and comprehend the social life reality. As Jean Baudrillard States, mal is a place of acculturation, confrontation and social codes testing and social judgement This thesis analizes the significance of mal in Jakarta people social life and how they learn social codes—self personalization, social differentiation dan way to socialize—through signs consumption in malls.
This thesis is a qualitative descriptive research The research desgn is case study, where the writer is tiying to explore the hanging out in mall habbit phenomenon of Jakarta people. It is analyzed by employing illustrative case study technique with the consumption and hypermarket theories of Jean Baudrillard. This research is meant to be a post modernism one.
By this research, it is found out that the Jakarta consumer society mindset is fonned and rationalized by consumption, thus their social life are mostly affected by codes of consumption. The understanding about identification, self personalization, classification and social stratification are reffered to the signs embedded to consumed goods. Malls as sites that display various consumption goods bave great significance in the social construction of Jakarta consumer society. Mall is place where people find and examine objects of consumption. Thus it is becoming a place where people leam and understand the social codes. Goods at displays in mall etalase are truning into leaming media of those who stare at them
This research implication is an understanding that mall is highly influencing in the construction of the society mindset. Mall strenghtens the consumption rationality thus encourage people to further orienting their life, spending their time chasing material happiness, which its target and standards can be found in various consumption goods in malls. The mall identifies the needs of society, where everything is oriented to higher social status.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T25750
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Xemandros, Wolfgang Sigogo
"Iklan sebagai salah satu bentuk masivitas informasi, bekerja di dalam prinsip semiotik, yakni mengenai relasi tanda. Relasi tanda ini tidak lagi bersifat referensial, melainkan berupa manifestasi dari pertukaran simbolik. Kondisi ini adalah apa yang disebut sebagai hiperrealitas oleh Jean Baudrillard; suatu situasi di mana kita tidak lagi bisa membeda-bedakan status realitas. Iklan pada akhirnya bekerja di dalam prinsip hiperreal.

Advertising, as a massively form, run in the semiotics principle. This semiotics is not longer referential, but a form of symbolic exchange. This situation is what Jean Baudrillard call hyperreality; a situation which we are not able to classify the reality. Advertising, as Baudrillard thought, run in hyperreal principle."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16024
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Novelia
"Media dewasa ini berada dalam tahap perkembangan yang paling krusial, dimana media massa tidak lagi menjadi penyebar realitas, tetapi sudah menjadi penyebar hiperrealitas. Hiperrealitas adalah era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi. Dunia yang nampak lebih real daripada realitas itu sendiri. Media sangat menentukan bagaimana masyarakat memandang dunia dan menyikapi kehidupan berkat kemampuannya memanipulasi realitas menjadi hiperrealitas. Realitas sosial direkayasa sedemikian rupa oleh sejumlah besar pesan dan tanda yang torus menerus ditampaikan oleh media. Seperti yang dikatakan oleh Marshall McLuhan, seorang teoritikus media sekaligus pakar komunikasi yang juga menjadi acuan hagi sosiolog sekaligus ahli tilsafat posmodern Jean Baudrillard, bahwa media massa adalah suatu kekuasaan. la berkuasa menciptakan pesan yang tidak lain menurut Baudrilllard adalah tanda. Menurut McLuhan media adalah pesan dan juga perluasan tubuh manusia (Medium is a message : L:rteniion_s q/ Man). Kalau radio adalah perpanjangan telinga manusia, koran adalah perpanjangan mata manusia, mobil adalah perpanjangan kaki manusia, maka televisi adalah perpanjangan otak manusia. Media sebagai sebuah pesan dapat dilihat dari bentuk atau format tampilannya. Sebuah tayangan sinetron misalnya, yang menarik bukan hanya isi pesannya tetapi juga bagaimana pesan itu dikemas. Sinetron sebagai media kekuatannya terletak pada kemampuan untuk merekayasa fakta dan fiksi, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan dalam rangkaian tanda. Yang cukup merisaukan pada perkembangan tayangan sinetron dewasa ini adalah pada sistem yang melekat didalamnya yaitu keharusan untuk setiap saat menghibur nasyarakat. Bahayanya bukan terletak pada keterhiburan masyarakat, melainkan bahaya lanjutannya yakni masyarakat menjadi lupa akan realitas real sehari-hari. Padahal realitas yang ditampilkan sinetron bukanlah realitas real, melainkan citraan abstrak hasil rckayasa. Kekuatan yang lain yang juga rnerupakan kunci kekuatan sinetron sebagai media adalah 'bentuk'-nya. Bentuk suatu media mempengaruhi bagaimana massa menerima informasinya. Dengan bentuknya yang ideal, sinetron sebagai media mampu memanipulasi segala sesuatu yang sesuai dengan kepentingan kapitalisme global yang menghidupinya. Sinetron mampu merekayasa konteks waktu dari suatu peristiwa atau hal dan membuat segalanya masuk dalam konteks 'kekinian' yang semu. Sinetron sebagai media mereproduksi segala kenangan masa lampau dan ilusi masa depan menjadi fakta semu yang sedang berlangsung. Sinetron telah menciptakan tanda-tanda semu. Seperti yang diungkapkan Baudrillard, media menciptakan realitas simulasi, suatu rangkaian tanda yang tak lagi diketahui mana yang otentik dan mana yang tiruan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang real dan mana yang palsu. Realitas simulasi yang diciptakan media, menjadikan kode sebagai prinsip utama dalam kehidupan sosial ini. Simulasi dan kode menarik seluruh realitas menuju hiperrealitas..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>