Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7165 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Srihardinah Soebagjo
"Untuk memahami pikiran Kartini kita harus mengetahui 3 hal yaitu pertama, keadaan tanah air selama penjajahan Belanda dimana rakyat tertindas oleh kolonialiame penja-jah. Hal mana mengakibatkan rakyat menjadi bodoh dan berkesadaran budak. Kedua, adat feodal yang kolot dan membelenggu mendominasi kehidupan yang mengarah ke penderitaan terutama pada kaum wanita. Ketiga, biografi dan lingkungan keluarga Kartini yang walaupun sudah berpendidikan barat dan berbangsa tetap tidak lepas dari peraturan tersebut. Kartini, gadia bangsawan yang berpendidikan barat inipun tak luput, sehingga dalam mengejar cita-citanya ia sering terpukul oleh kekecewaan. Namun demikian Kartini wafat dengan rasa bahagia karena percaya bahwa ia telah merintia jalan bagi kemerdekaan bangsanya terutama bagi kaumnya. Di zaman Kartini khususnya manusia Jawa dapat digambarkan sebagai manusia yang hidup dalam dunia feodal yang sarat dengan peraturan-peraturan kolot yang meletakkan manusia pada 4 demensi yaitu demensi kolektif, pribadi, statia dan irasional. Di samping itu manusia Jawa mengalami berbagai macam alienasi yaitu alienasi sosial budaya dan alienasi ekonomi politik. Dengan keyakinan bahwa Tuhan menciptakan manusia tanpa perbedaan hakekat, Kartini mendambakan manusia yang mampu mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Terutama kaumnya yang diperlakukan sangat tidak manusiawi.. Peraturan adat yang ketat mengakibatkan terbentuknya kesadaran moral yang heteronom sehingga wanita menjadi makhluk yang kehilangan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Berbekal pendidikan dan pengetahuan yang ada padanya, dalam merefleksi keadaan tersebut di atas, Kartini berkesimpulan perlunya ada moderniaasi di dalam individu-individu bangsanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Untuk ini harus ada seseorang yang memulai. Maka ia sendiri yang akan mulai mendobrak adat yang baku serta membelenggu itu. la harus mencoba merubah cara berpikir dan pandangan hidup bangsanya. Kartini menginginkan moderniaasi tidak hanya pada individu-individu tetapi juga pada masyarakatnya. Modernisasi telah mewujudkan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia dan untuk ini pendidikan adalah satu-satunya cara. Kartini yang telah mendapat baik pendidikan barat formal dan non formal maupun pendidikan keluarga yang turun temurun mempunyai konsep pendidikan yang diyakini yaitu pendidikan bebas, memadukan sifat baik dari bangsa lain dengan sifat baik dari bangsanya sendiri untuk dapat membentuk kwalitas yang lebih tinggi. Kartini tidak hanya ingin mencerdaskan bangsanya tetapi juga ingin membentuk budi yang luhur. Ini berarti adanya keseimbangan antara intelektualitas dan moral; suatu paduan yang seimbang antara manusia yang individualistik dan sosial disamping manusia yang cinta pada bangsa dan tanah airnya. Khusus bagi kaumnya Kartini bercita-cita emansipasi agar mereka dapat menjadi manusia yang dewasa dan mandiri. Kartini sangat gigih menegakhan emansipasi bagi kaumnya, namun demikian kegigihan itu bukan sekedar mewujudkan hak persamaan dan kebebasan wanita saja tetapi perjuangan yang mengusahakan perubahan yang menyeluruh bagi bangsanya. la tidak hanya berusaha mendudukkan wanita di tempat yang semestinya dan mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia yang dilengkapi kepribadian kemanusiaan tetapi Kartini memperjuangkan cita-cita luhur yang berlandaskan kemanusiaan bagi seluruh bangsanya. Dalam menuju cita-citanya Kartini menitikberatkan pentingnya peranan pendidikan. Itulah sebabnya ia ingin menjadi seorang guru dan membuka sekolah bagi gadis-gadis. Pentingnya pendidikan bagi wanita dapat dilihat dari ucapannya yang berbunjyi Perempuan itu soko guru peradaban Dapat dikatakan bahwa cita-cita Kartini mengenai pendidikan terwujud dalam dua segi yaitu yang sifatnya fisik, misalnya dibukanya sekolah-sekolah, kemjuan yang dicapai dalam masyarakat, dan yang lebih fundamentil yaitu ketentuan perundang-undangan miaalnya ketentuan yang tercakup di dalam Pembukaan Undang--Undang Dasar 1945 dan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 108 tanggal 2 Mei 1964, Kartini ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Seorang wanita yang berjuang menegakkan negara Republik Indonesia lewat pemikirannya."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.G. Soedijono
"Ki Hajar Dewantara yang nama kecilnya Raden Mas Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta tanggal 2 Mei 1889. Sejak kecil, Ki Hajar Dewantara telah menyadari bahwa bangsanya hidup dalam kemiskinan. Sebagai orang terpelajar, Ki Hajar Dewantara tahu pula bahwa kemiskinan bangsanya itu bersumber dari penjajahan bangsa asing. Dengan demikian, kemiskinan yanhg melanda bangsa Indonesia tidak disebabkan oleh faktor keberadaan bangsa itu sendiri, tetapi akibat faktor ekstern. Kemiskinan yang disebut alienasi ekonomi itu seharusnya tidak terjadi. Di samping mengalami alienasi ekonomi, bangsa Indonesia mengalami pula alienasi budaya yang terbentuk dari faktor feodalisme di dalam masayarakat Jawa. Dalam alienasi budaya itu hubungan antar-manusia tidak dapat berlangsung secara wajar karena ada stratifikasi sosial yang tajam. Lama-kelamaan alienasi ekonomi dan alienasi budaya menimbulkan alienasi sosial dan alienasi politik. Keempat alienasi itu membentuk manusia Indonesia menjadi manusia yang tidak utuh, manusia yang serba tergantung dan manusia yang tidak mampu mandiri. Dengan perpaduan beberapa pemikiran seperti pemikiran Friedrich Froebel, Maria Montessori, Rabindranath Tagore dan alam pikiran Jawa, Ki Hajar Dewantara berusaha merubah alienasi tersebut. Dengan refleksinya yang tajam, Hajar Dewantara berpendapat bahwa alienasi itu harus dihapuskan dengan cara meletakkan kedudukan manusia pada posisi yang sebenarnya yaitu manusia sebagai makhluk yang berbudaya sekaligus manusia seutuhnya. Dalam melaksanakan tugas manusia sebagai makhluk berbudaya, manusia adalah bagian dari alam dan memiliki kewajiban mengolah alam itu sebab manusia berada di dalam kodrat alam. Dengan dinamikanya manusia merubah alam dan membentuk kebudayaan. Melalui seluruh potensinya manusia mengubah hidupnya menjadi budaya. Budaya adalah ekspresi kemanusiaan. Manusia yang mampu mengekspresikan budinya adalah manusia yang utuh. Keutuhan manusia itu terwujud dalam bentuk kepribadiannya. Kepribadian itulah yang menentukan kemanusiaan seutuhnya sebab dengan kepribadian itu unsur dinamika jiwa sudah diatur oleh penguasa jiwa. Dengan adanya penguasa jiwa yang menertibkan cipta, rasa, karsa dan panca-indera maka tiap manusia memiliki perbedaan kepribadian yang terpusat pada aku. Dengan akunya manusia mampu mempertahankan diri, melanjutkan keturunan dan mengisi hidupnya dengan cara merealisasi potensi-potensi jiwa menjadi kebudayaan. Kebudayaan adalah suatu yang inheren pada diri manusia. Untuk menemukan hakekat kebudayaan, Ki Hajar Dewantara melihat peranan adat dalam kehidupan. Di dalam adat, manusia tidak hanya berhubungan dengan manusia saja, tetapi juga wajib berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat waktu. Dengan adat itulah manusia mengatur hidupnya secara harmonis. Meskipun manusia yang hidup dalam adat dapat menyelaraskan dirinya dengan alam, tetapi manusia dapat terperangkap dalam kebekuan adat itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengikuti perkembangan zaman perlu kreativitas agar manusia mampu mencapai kebudayaan yang luhur. Untuk itu diperlukan adanya kebangkitan kesadaran berbudaya yang membuat manusia tidak terikat oleh adat, tetapi justru mengatur dan mengembangkan adat sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan adat itu terjadi dalam percampuran kebudayaan. Percampuran kebudayaan adalah usaha pembudayaan yang berjalan secara wajar, terencana dan terarah. Oleh karena itu usaha yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Dengan pendidikan itu manusia dapat membebaskan dirinya dari kebodohan dan sekaligus manusia mampu mengekspresikan potensi-potensinya menjadi kebudayaan. Landasan moral yang digunakan dalam pendidikan adalah keharusan memperhatikan tindakan yang manusiawi yaitu tindakan yang baik terhadap manusia lain (sesamanya), lingkungannya (alam), dan Tuhan. Landasan itu digunakan untuk membentuk konsepsi pendidikan yaitu segala daya upaya untuk menjunjung derajat bangsa yang dimulai dari bawah. Untuk mewujudkan konsepsi pendidikan itu Ki Hajar Dewantara menggunakan teori konvergensinya dalam bentuk kegiatan pendidikan. Sedangkan untuk merealisir cita-cita pendidikan tersebut, dicanangkanlah Pendidikan Nasional yang harus berlaku di seluruh tanah air."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S16092
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumampas, Lydia O.S.
"Etika adalah topik yang hangat dibicarakan setiap saat, sebab menyangkut bagaimana seharusnya manusia bersikap / bertindak sesuai norma tingkah laku dalam masyarakatnya. Disini, etika sebagai suatu ilmu (Filsafat Moral) ingin mengangkat dan mengkaji secara kritis tentang nilai-nilai kebenaran, kebahagiaan dan cinta kasih dalam diri manusia. Etika ingin membuktikan sejauh mana nilai-nilai tersebut mampu diterapkan dalam menghadapi kekerasan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S16189
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Fuad
"Skripsi ini meninjau pandangan Maslow tentang manusia melalui kerangka yang disusun oleh penyusun buku 'Thories of personality' yaitu Ziegler dan Hjelle. Dari-buku ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa Maslow memiliki pandangan tentang manusia secara optimis dan banyak kemiripan dengan tema-tema filosofis dalam eksistensialisme dan fenomenologi. Selain itu Maslow merupakan tokoh psikologi, maka penulis berusaha menghubungkan filsafat dengan psikologi melalui pandangan Maslow sendiri sebagai pencetus psikologi humanistik dengan berbagai tema filsafat manusia dan budaya. Karena Maslow dan psikologi humanistiknya mengkritik pandangan tentang manusia menurut aliran psikologi (selainnya), maka penulis menghubungkan pandangan Maslow tersebut dengan situasi saat ini, khususnya relevansi pandangannya tersebut dengan kehidupan manusia di Indonesia. Akhirnya, tema-tema filosofis seperti tentang kebahagiaan, hakikat pendidikan, kebenaran, hakikat manusia dalam masyarakat dan potensi manusia oleh penulis diungkapkan sebagai tambahan atas konsepsi Maslow tentang manusia. Hal ini sangat berkaitan karena memang tema-tema tersebut pada dasarnya membicarakan persoalan manusia dan kemanusiaan juga. Dapat penulis simpulkan bahwa pandangan Maslow tentang manusia masih tetap relevan dengan kehidupan manusia saat ini, termasuk di Indonesia."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1990
S16180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi I.N. Musthofa
"Gagasan-gagasan tentang realitas dalam pemikiran mistik -seperti dalam sufisme-- tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan filsafat. Selain bersifat rasional, gagasan mistik sebenarnya telah merembes dan menyatu sedemikian rupa sejak tradisi kuno filsafat Yunani hingga berabad-abad lamanya. Di dalam arena diskursus filsafat modem di Barat, pemikiran-pesmikiran yang bersifat mistik ternyata memang telah dianut pula oleh banyak filsuf. Sungguh tidaklah mengherankan apabila dalam khazanah filsafat, pemikiran yang bersifat mistik telah mendapat tempatnya tersendiri. Obyek kajian filsafat sendiri adalah mengenai hakikat segala sesuatu. Hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya obyek-obyek pemikiran keduanya telah berada dalam wilayah yang sama. Dengan kata lain, pemikiran sufisme dapat ditempatkan sebagai bagian integral dari filsafat serta dernikian pula sebaliknya, filsafat merupakan bagian integral dari jalan mistik. Alasan-alasan ini secara faktual diperkuat pula dengan bukti bahwa dalam pertumbuhannya, di samping dipengaruhi oleh tradisi filsafat Neo-Platonisme, sufisme juga mempengaruhi pertumbuhan filsafat Islam. Sebagian besar filsuf Islam seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, menganut teori yang hampir sama dengan para sufi dalam memperbincangkan tentang kemungkinan manusia untuk berhubungan dengan `Yang Mutlak' (ittishal). Sementara itu, banyak pula sufi yang akrab dengan filsafat seperti: Dzun Nun al-Mishri, Jabir Ibn Hayyan, Muhyidin Ibn Arabi, Suhrawardi al-Maqtul, Ibn Sabi'in, dan jalaluddin Rurni, serta Al-Ghazali. Dimensi mengandung makna scope, substansi, ukuran, atau ruang. Filsafat dibatasi oleh akal budi manusia atau rasionalitas. Dimensi filsafat dapat diartikan sebagai ruang-ruang rasional filosofis yang fundamental Jadi membicarakan dimensi filsafat dalam sufisme artinya membicarakan hal-hal yang rasional-fundamental dalam pemikiran sufisme yang menetapkan hubungan antara berbagai segi pandangan sufisme mengenai manusia, dunia, dan Tuhan yang menuju pada satu keterarahan menyeluruh. Selanjutnya, upaya menangkap gagasan-gagasan pemikiran sufisme dalam kerangka sistem filsafat berarti pula rneletakkan konsep-konsep sufisme dalam diskursus pemikiran yang bersifat universal dalam menemukan kebenaran. Secara sepintas konsep-konsep sufisme sejak berabad-abad lalu telah menunjukkan muatan filsafatnya; sebut saja: Wahdah al-Wujud (dalam ontologi/metafisika), Kay (dalam epistemologi), Ma'rifah (dalam Teologi Adikodrati), Lathifat (dalam Psikologi filosofis), al-Insan al-Kamil (dalam filsafat manusia), Maqamat (dalam Etika), dan al-Ahwal (dalam estetika). Kesemua relasi filosofis terscbut hampir tak dapat dipisahkan, bahkan dapat direkonstruksikan menjadi sebuah sistem filsafat tertentu."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S16172
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyati Yarmani
"Skripsi ini mencoba untuk menyajikan salah satu pemikiran Bertrand Arthur William Russell tentang Atomisme Logis. Tujuan Atomisme Logis ialah menjelaskan hakekat bahasa dan realitas. Pengetahuan memerlukan bahasa sebagai alat. Dengan bahasa, seseorang dapat mengungkapkan pendapatnya, dan meyakinkan orang lain bahwa sesuatu hal yang dikemukakan itu mempunyai landasan yang cukup kuat. Dalam bukunya Irving M. Copi yang berjudul Introduction to Logic dikatakan bahwa bahasa mempunyai fungsi informatif, ekspressif, direktif, seremonial dan performatif. Fungsi bahasa yang pertama ialah untuk mengatakan informasi komunikasi. Bahasa digunakan untuk prosisi menyatakan atau proposisi menolak, atau untuk memberikan argumen-argumen. Tulisan atau ceramah informatif digunakan untuk menggambarkan dunia, dan pengertian mengenai hal tersebut. Apakah fakta-fakta yang digambarkan itu penting atau tidak penting, umum atau khusus tidak menjadi soal, dalam setiap kasus bahasa digunakan untuk menggambarkan atau melaporkannya. Dengan kata lain fungsi informatif menggambarkan dunia fakta atau realitas. Faham yang umum mengenai bahasa selama ini, bahwa bahasa tersebut merupakan alat mengungkapkan pikiran dan pendapat seseorang. Pemikiran manusia itu mendapat bentuk dalam bahasa, yang mampu member penjelasan yang baik dan betul. Akan tetapi penyelidikan Russell mengenai bahasa menghasilkan suatu pandangan baru. Russell bersama Moore dengan metoda analisa menganalisa bahasa. Menurut Moore, bahasa sehari-hari merupakan sumber akal sehat yang sudah mencukupi. Tetapi menurut Russel metoda analitis Moore belum memuaskan, karena bahasa sehari-hari kurang cocok. Kita dapat menyelidiki susunan kenyataan melalui analisa bahasa, karena memang bahasa merupakan suatu cermin dari kenyataan,tetapi agar cermin ini berfungsi dengan baik, kita harus menyempurnakan bahasa. Kita harus menciptakan suatu bahasa ideal yang secara logis sempurna. Bahasa yang secara logis sempurna terdiri dari unsur yang disebut atom-atom logis yang merupakan suatu deskripsi dari fakta-fakta atomis. Menurut penulis, atomis logis menjadi jelas, dengan diuraikan epistemologis Russell dari buku Problems of Philosophy sebagai pengantar untuk mengetahui pengetahuan realitas dan fakta, logika dan penerapan bahasa yang menguraikan proposisi."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S16062
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antika Narasanti
"Penelitian tentang sejarah nasionalisme Arab bertujuan untuk mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari timbulnya paham nasionalisme Arab dan bagaimana paham sekuler ini bisa berkembang pada bangsa Arab yang sebelumnya justru disatukan oleh ikatan keagamaan. Selanjutnya bagaimana perkembangan Gerakan dan cita-cita Gerakan Nasionalisme arab ini di zaman modern. Pengumpulan data penulisan dilakukan melalui studi kepustakaan yang bersumber pada buku-buku sejarah politik Arab dan Islam yang berkaitan dnegan masalah-masalah nasionalisme Arab. Metode penulisan yang digunakan dalam membahas topik ini adalah metode deskriptif analisis yang dimulai dengan pemapapran sejarah umum nasionalisme, sejarah latar belakang timbulnya nasionalisme Arab, ide-ide dan pemikiran tentang dasar nasionalisme Arab serta sejarah perkembangan Gerakan Nasionalisme Arab. Kesimpulan dari penelitian sejarah ini adalah, bahwa modernisasi di dunia Arab merupakan cikal bakal timbulnya kebangkitan politik bangsa Arab. Dan nasionalisme Arab adalah paham yang dihasilkan dari dampak modernisasi politik. Dalam perkembangan gerakannya nasionalisme Arab timbul sepenuhnya karena masalah politik yang dihadapi dunia Arab saat itu. Nasionalisme Arab baru benar-benar muncul ke permukaan jika ada tekanan politik dari luar yang memaksa kaum nasionalis untuk berbuat sesuatu. Persatuan Arab merupakan wujud dari cita-cita nasionalisme Arab. tetapi cita-cita persatuan Arab tampaknya tidak didukung oleh semua naggota-anggota negara Arab. Hambatan-hambatan yang menghalangi terwujudnya cita-cita itu disebabkan karena faktor politik, ekonomi, sosial budaya Arab, yang tidak merata pada anggota-anggota negara Arab. Sementara faktor terpenting yang sesungguhnya menghambat cita-cita itu adalah karena tidak adanya kemauan bersama bagi anggota negara-negara Arab untuk memajukan negara Persatuan Arab."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1991
S13167
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutty Kartawidjaja
"Judul dan masalah pokok skripsi diambil dari buku karangan Theodore Roszak berjudul : The Making of A Counterculture dengan anak judul : Reflections on the Technocratic Society and Its Youthful Opposition. Dalam buku tersebut Roszak rnemperkenalkan istilah Counterculture yang oleh penulis diberi padanan dalam bahasa Indonesia Kebudayaan Tandingan. Roszak dalam karangannya tersebut mengemukakan bahwa dalam kebudayaan teknokratis yang melanda dunia secara dahsyat setelah Perang Dunia II, dalam tahun 1960-an ada kelompok kecil, suatu minoritas yang terutama terdiri dari kalangan muda yang berani menyuarakan ketidakpuasan mereka dengan disertai tindakan. Mereka merasa terasing dari generasi, orangtua mereka dan masyarakat sekelilingnya. Mereka sendiri tidak tahu apa yang ingin mereka capai. Mereka merupakan barisan orang muda yang tidak puas dengan tatanan mayarakat yang ada. Mereka muncul di berbagai pelosok negara bagian Arnerika Serikat dan negara maju lainnya sebagai barisan yang tidak terorganisir yang ingin berontak terhadap Cara hidup orangtua mereka. Mereka menunjukkan gejala kebudayaan tandingan sebab mereka menganut nilai-nilai yang berbeda secara radikal dari apa yang berlaku dalam masyarakat mapan, yang dewasa kini dikuasai teknokrasi. Menurut Roszak teknokrasi yang menguasai dunia itu ternyata hanya mampu mengurangi ketegangan yang ada dalam hidup bermasyarakat termasuk kesengsaraan dan ketidakadilan. Teknokrasi tidak mampu mengatasi atau melenyapkannya. Para pemuda ini menolak apa yang ditawarkan teknokrasi dam oleh orangtua dan masyarakat sekeliling mereka dan berpaling kepada nilai-nilai dunia Timur, termasuk agama dan mistik. Mereka juga menggunakan psikedelika dalam upaya mencari kebenaran dan mengadakan eksperimen mencari bentuk-bentuk baru atas Cara hidup komunal. Roszak berpendapat bahwa walaupun para pemuda itu merupakan suatu minoritas dan tempat berpijak mereka masih sangat goyah untuk menimbulkan suatu Umwentlung, mereka merupakan barisan depan suatu gelombang pembaharuan, skripsi juga mengetengahkan pemikiran Prof. Pr. C. A. van Peursen dalam buku berjudul Cultuur in Stroomversnelling een geheel bewerkte uitgave van Strategic van de Cultuur, terbit dalam tahun 1970 di negeri Belanda, dan Alvin Toffler dalam buku karangannya berjudul Future Shock yang terbit di Amerika Serikat dalam tahun 1970 sebagai bahan pembanding. Penulis berpendapat bahwa gejala Kebudayaan Tandingan terdapat pada setiap kebudayaan manapun dan merupakan hal yang relevan juga untuk Indonesia yang kini dalam tahap pembangunan."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Mahmud
"Skripsi ini berusaha memaparkan salah satu tema pokok dari pemikiran Erich Fromm yaitu mengenai alienasi dalam masyarakat kapitalis, berdasarkan bacaan beberapa karyanya yang terpenting dengan dibantu ulasan berbagai pengarang atas karya Fromm. Secara garis besar, menurut pemikiran Fromm alienasi atau keterasingan seperti yang kita jumpai dalam masyarakat kapitalis modern hampir total, ia meliputi hubungan antara manusia dengan pekerjaannya, hubungan antara manusia dengan barang-barang yang dikonsumsikannya, hubungan antara manusia dengan sesama manusia, hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri dan hubungan antara manusia dengan negara. Manusia kapitalis sekarang telah kehilangan identitas pribadinya, karakter masyarakatnya merupakan karakter konformitas dan berorientasi ke pasar..."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1982
S16032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wayan Suwira S.
"ABSTRAK
Skripsi ini mencoba untuk menyajikan salah satu tema pokok pemikiran Mircea Eliade yaitu mitos dan realitas seperti dihayati oleh manusia primitif. Faham yang umum mengenai mitos selama ini bahwa mitos tersebut tidak lain daripada cerita yang sifatnya tidak benar-benar terjadi atau ilusi saja. Akan tetapi penyelidikan Eliade mengenai mitos menghasilkan suatu pandangan yang baru. Menurut dia ide pembaruan kembali (renewal) yang terdapat pada mitos-mitos dalam masyarakat primitif ternyata juga merupakan ide yang sentral pada agama-agama Timur, Kristen pada jaman permulaan dan bahkan juga dalam manifestasi-manifestasi secara modern pada Marx, Freud dan karya-karya seni. Dalam tingkat populer dapat kita temukan dalam mass-media berbentuk komik-komik bergambar, cerita-cerita kepahlawanan. Di kalangan elitepun terdapat suatu tingkah laku untuk menghindari diri dari waktu dengan membaca novel atau menonton film. Kesemuanya ini menunjukan bahwa manusia modern sekurang-kuranya masih memelihara beberapa sisa tingkah laku mitis. Dengan kata lain mitos memberikan pendasaran pada tingkah laku manusia secara umum...

"
Lengkap +
1984
S16076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>