Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82272 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ronardo Safendo
"Sejarah filsafat dipenuhi dengan berbagai peristiwa yang melatarbelakangi bagaimana filsafat itu berkembang dan menjadi sebuah bidang yang terdiri dari bentukan segala aspek kehidupan seperti kebudayaan dan lingkup sosial yang sedang beriangsung. Filsafat dengan metodenya yang kritis dan reflektif dapat menjadi panduan dalam menemukan sebuah jalan keluar permasalahan. Namun sebuah jawaban yang diberikan filsafat tidak lagi menjadi sesuatu yang selalu mutlak, atau bukan sebuah warisan pemikiran atas permasalahan yang digunakan secara universal dan selamanya, bukan sebuah ketaatan buts terhadap kebenaran (semu).
Sebagaimana manusia, kebudayaan dan kehidupan sosial yang selalu mengalami perubahan yang terus menerus serta senantiasa dinamis, maka filsafat pun sebagai bagian dari kehidupan manusia harus senantiasa mengikuti tuntutan sosial sebagai wujud konkret dari akal budi manusia dalam menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik. Filsafat tidak lagi berada dalam menara gading yang hanya berfungsi sebagai panoptikon untuk mengawasi manusia, melainkan bagaimana filsafat harus turun dan lebih menyentuh kehidupan konkret dalam lingkup sosial yang nyata dan majemuk. Kita tidak dapat membuat sebuah garis besar haluan bagi manusia untuk menemukan kebenaran yang satu, yang baik dan yang benar untuk berlaku bagi seluruh manusia tanpa adanya unsur kritis dan reflektif dari filsafat yang sangat penting namun sering dilupakan demi mengejar sebuah ambisi pencapaian kebenaran yang justru bersifat sementara.
Sebagaimana kita ketahui sebuah kebenaran akan selalu memiliki kaitan dengan unsur kuasa dan kepentingan, sehingga tidak bisa kita terapkan secara membabi buta tanpa daya kritis. Dengan melihat situasi yang majemuk dan plural, maka diperlukan semangat emansipasi dan penghargaan terhadap suara-suara yang selama ini tidak didengar. Oleh karena itu dekonstruksi Derrida melanjuti semangat filsafat yang kritis dan reflektif dari kemapanan filsafat yang dianggap sudah berhenti dan mencapai kepenuhan dalam menjawab permasalahan. Derrida mendekonstruksi tradisi filsafat barat seperti fonologisme dan strukturalisme. Wujud konkret dekonstruksi sendiri lebih menonjolkan sisi etis dan politis di dalam kehidupan sosial, dengan selalu memurnikan dan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Di dalam dekonstruksi tidak ada sebuah pencapaian kebenaran yang mutlak dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik, melainkan akan selalu mengawali proses pemurnian dan terbuka bagi segala peluang dan yang lain."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S16086
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Setiawan
"Dekonstruksi mempertahankan ruh instabilitas yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang asing diantara pertandaan kebenaran dengan logos yang mengarahkannya. Dekonstruksi menghindari konsep stabilitas yang menjadi konstruksi kehadiran realitas, karena pertandaan akan sebuah realitas tidaklah selalu stabil. Hal tersebut terbukti dengan adanya ambiguitas makna pada metafora. Dalam posisi ini, dekonstruksi mendekonstruksi pemahaman subjek akan kehadiran logos yang berusaha untuk distabilkan (logosentrisme) melalui sebuah dominasi pertandaan terhadap sebuah struktur bahasa (strukturalisme linguistik). Dekonstruksi melihat sebuah kemungkinan yang diberikan oleh metafora untuk tidak terjebak pada sebuah proses dominasi dan diskriminasi konsep. Metafora membantu dekonstruksi untuk memahami lebih dalam mengenai instabilitas, tapi bukan berarti dekonstruksi menggunakan metafora sebagai alat untuk mencapai keutuhan konsep instabil itu sendiri.. Dekonstruksi menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mendekonstruksi dirinya sendiri ketika dihadapkan pada proses pengukuhan instabilitas sebagai sebuah bentuk otonom dari sebuah sistem pertandaan. Dekonstruksi berada pada posisi yang instabil diantara filsafat dan metafora untuk menegaskan bahwa instabilitas itu sendiri merupakan sebuah originalitas yang selalu ada, baik itu di dalam filsafat, metafora bahkan dekonstruksi itu sendiri. Dalam hal ini, untuk membuktikan bahwa dekonstruksi tidak mengingkari metodenya sendiri, maka dekonstruksi harus bisa berada pada posisi inkonsisten terhadap inkonsistensi itu sendiri. dan hal tersebut bisa dilihat ketika Dekonstrruksi mendekonstruksi dirinya sendiri melalui teks-teks instabil seperti metafora.

Deconstruction maintains the spirit of instability that had been considered as something strange among signification of truth with the logos that direct it.Deconstruction avoids the concept of stability which is the presence of construction of reality, because signification of a reality is not always stable. This is proven by the ambiguity of meaning of a metaphor. In this position, deconstruction deconstructs understanding of the subject about the presence of logos that are tried to be stabilized through the domination of signification of a language structure. Deconstruction sees a possibility given by the metaphor to not get stuck on a concept discrimination process. Metaphor helps deconstruction to understand more about the instability, but that does not mean deconstruction uses metaphor as a tool to achieve the wholeness concept of instability itself. Deconstruction use himself as a tool to deconstruct itself when faced with the solidity process of instability as an autonomous form of a signification system. Deconstruction is in an unstable position between philosophy and metaphor to emphasize that the instability is itself an originality that is always there, whether of philosophy, metaphor even deconstruction itself. In this case, to prove that deconstruction is not denying his own method, deconstruction should be in the inconsistent position of the inconsistency itself. And it can be seen when deconstruction deconstructs itself through the unstable texts as a metaphor."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43828
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yuwita Margareth
"Oposisi biner adalah metafisika kehadiran. Oposisi biner ini terdapat dalam struktur sehingga memunculkan hierarki. Hierarki ini merupakan sejarah filsafat barat. Oposisi biner memunculkan makna yang stabil dan pasti. Hal inilah yang didekonstruksi oleh Derrida. Dekonstruksi Derrida ini memunculkan konsekuensi tentang makna teks. Metode dekonstruksi digunakan untuk menemukan dan menunjukkan konsekuensi dekonstruksi Derrida itu. Dekonstruksi Derrida terhadap oposisi biner tidak untuk mencari makna, melainkan menciptakan makna yang terkait dengan teks, konteks, intertekstualitas, penafsir, dan permainan bahasa. Derrida menolak oposisi biner dan muncul pluralitas makna.

The binary opposition is a metaphysics of presence. This binary opposition can be found in structure that emerge hierarchy. This hierarchy is history of Western philosophy. The binary opposition emerge stable and certain meaning. This case is deconstructed by Derrida. This deconstruction of Derrida emerge the consequence about meaning of text. The method of deconstruction is used to find out and to point out that consequence of Derrida's deconstruction. The deconstruction of Derrida on the binary opposition is not looking for meaning, but it creates meanings that related to text, context, intertextuality, interpreter, and language games. Derrida rejected binary opposition and emerge plurality of meanings."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42262
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Norris, Christopher
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
100 NOR m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Sembiring, Dermawan,author
"Dekonstruksi kebenaran dalam seni rupa yang dimaksudkan di sini adalah praksis Dekonstruksi oleh Derrida terhadap konstruksi pemikiran beberapa filsuf dan perupa tentang status ontologis seni rupa dan juga hubungan logis antara pernyataan dengan kenyataan yang berhubungan dengan seni rupa dan penafsiran karya seni rupa. Secara umum dekonstruksi dapat dimengerti sebagai cara membaca kritis dan spontan terhadap filsafat Barat yang logo dan fonosentris, dan yang memahami ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, dekonstruksi adalah suatu praksis demonstratif untuk membuktikan bahwa kenyataan ada (kebenaran sejati) tidak hadir bagi yang memikirkan dan yang menuliskannya.
Sehubungan dengan ini, khusus di bidang seni dan seni rupa, Derrida menyangkal anggapan para filsuf bahwa seni memiliki kebenaran tunggal (ontologis) yang dapat dijelaskan dengan bahasa. Ia juga menyangkal dapat tercapainya kebenaran relasi (logis) antara bahasa dengan obyek bahasa dalam kegiatan penafsiran karya seni rupa. Filsuf, menurut pendapatnya "membatasi" keanekaragaman seni di dalam seni-seni diskursif : "percakapan" (phonic) dan pemikiran (logos). Oleh karena itu, wacana tentang seni (dalam hal ini seni rupa) menjadi tidak produktif. Agar produktif, Derrida menciptakan wacana yang "mobil". Bergerak di dalam dan di luar bingkai filsafat yang logo dan fonosentris.
Derrida memahami semua yang ada hanya sebagai teks dan ditandai tekstualitas. Baginya teks berasal dari, dan sebagai pengantar kepada teks-teks berikutnya. Teks juga adalah rangkaian tanda-tanda yang distrukturkan oleh "jejak jejak" (traces) otonom. Dengan demikian, seni rupa juga adalah teks yang merupakan jalinan tanda-tanda yang distrukturkan oleh jejak-jejak otonom atau berdiri sendiri-sendiri. Lebih jauh, dia juga menyikapi teks sebagai tulisan, dan tulisan sebagai barang mati. Oleh karena itu, karya seni rupa juga adalah teks atau tulisan, dan barang mati.
Berdasarkan pemikiran seperti ini, dalam mengapresiasikan karya seni rupa, ia secara bebas mengapresiasikan infrastruktur khusus atau ":jejak-jejak" goresan pada karya yang menarik perhatiannya tanpa mengindahkan makna yang dikomunikasikan oleh perupanya. Ia menghubungkan jejak-jejak atau infrastruktur karya dengan teks-teks, baik filsafat, maupun teks-teks lainnya sejauh ia menghendakinya. Teks-teks dilepas dari konstruksi kesatuannya. Dengan ini, konstruksi pemikiran tentang seni yang selalu cenderung mengarah kepada kesatuan atau totalitas, dialihkannya ke wacana pertebaran jejak-jejak otonom.
Dari pemikiran dan contoh-contoh yang diberikannya, dekonstruksi Derrida terhadap "kebenaran" dalam tema seni rupa adalah usaha untuk memperluas wacana "kebenaran" (kenyataan ada) karya seni rupa ke luar wacana yang dibingkai filsafat yang logo dan fonosentris. Gerakan ke luar "melampaui" (goes beyond) filsafat ini tidak diberi batasan yang tegas, kecuali ia bermain dengan wacana tersebut dan pada waktu dan keadaan tertentu ia memutuskan "permainan"nya sudah cukup. Putusan cukup inilah yang membatasi karya seni, dalam hal ini karya seni rupa, dengan dunia.
Dalam khasanah percakapan dan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia ciri dekonstruksi seperti melanggar batas-batas defenisi dan kategori-kategori dalam teori seni dan keindahan, ketidakhadiran subyek dalam karya, dan usaha memperkenalkan karya seni rupa yang menentang estetika kesatuan dan keselarasan, telah dapat diidentifikasikan. Tetapi ciri-ciri tersebut baru sebatas bagian dari ciri-ciri umumnya saja. Ciri-ciri itupun, secara terpisah, dapat diidentifikasikan pada karakteristik karya seni rupa di luar wacana dekonstruksi. Usaha untuk menunjukkan mana karya seni rupa yang sepenuhnya dekonstruktif bukan pekerjaan mudah. Karena batasan dari dekonstruksi itupun tidak mudah ditegaskan.
Khusus dalam wacana kritik pada.karya seni rupa kontemporer di Indonesia, sejauh penelitian penulis, gaya kritik dekonstruktif belum memperlihatkan fenomena yang berarti. Wacana kritik masih terfokus pada karya dan perupanya; sedangkan kritik dekonstruktif lebih terfokus kepada otoritas "pembaca" atau kritisinya, dan mengembangkan wacana ke arah wacana produktif, intertekstualitas dan tanpa batas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T8976
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Asmarandani
"Disertasi ini mengulas pemaknaan estetika keburukan topeng bondres Bali sebagai tokoh dalam dramatari topeng Bali. Pembahasan ini diawali dengan epistemologi tentang topeng (bondres) sebagai sebuah realitas dari representasi dari “ada" atau sebagai karakter manusia yang terwakili oleh topeng. Maskharah dalam bahasa Arab berarti "badut", yang berasal dari kata kerja "Sakhira" yang artinya "mengejek", sedangkan dalam bahasa Romawi Kuno topeng dapat diartikan sebagai "Persona" atau "Prosophone" yang artinya manusia. Dalam dramatari topeng Bali, topeng bondres (tokoh rakyat) ditampilkan dengan ekspresi wajah buruk sebagai makna transformasi personal dan transformasi sosial. Dengan memanfaatkan dasar kosmologi topeng (bondres) yang pembacaannya disandingkan dengan pemikiran inti Jacques Derrida, melalui dekonstruksi Derida menolak gagasan ordinat dan subordinat atau mengunggulkan yang satu dengan meminggirkan yang lain, konsep utamanya adalah menolak kebenaran tunggul. Melalui dekonstruksi Derrida dapat diperoleh teks dan makna baru melalui pembacaan ulang. Dengan differance , pembacaan perbedaan yang langsung dapat menampung 2 hal yang berbeda, pembacaan perbedaan terhadap totalitas makna dalam teks. Dengan grammatology secara garis besar merupakan ilmu "tanda dari tanda", dalam hal ini keburukan topeng Bondres merupakan tanda yang merujuk pada tanda yang lain, dan bagi Derrida, tanda adalah trace atau jejak yang berkaitan dengan "kehadiran" dan sekaligus sebagai "ketidakhadiran".
Studi ini menghasilkan, bahwa dalam sistem kosmologi Bali, nilai keburukan topeng bondres merupakan sesuatu yang berdiri sendiri , otonom dan mandiri, eksistensi nilai keburukan yang menempati ruang kesadaran masyarakat Bali sebagai sistem nilai yang tak terpisahkan dari sistem nilai kehidupan. Pembacaan makna kosmologi topeng Bondres disandingkan dengan beberapa pemikiran-pemikiran Derrida, Topeng Bondres dapat dipahami sebagai dimensi keburukan estetis yang otonom dan sama nilainya dengan kecantikan karena mampu menghasilkan sensasi estetis yang sama. Topeng bondres mempunyai penilaian bentuk (form) dan penilaian isi (content) , penilaian terbuka dan penilaian yang tersembunyi yang hadir karena peran dan fungsi bondres dalam pertunjukan topeng; penilaian ini berkenaan dengan emosi,afeksi dan apresiasi manusia yang terangkum dalam bingkai-bingkai (frame) yang terbentuk. Sehingga topeng Bondres dapat mengkonstruksi kategori-kategori baru bahwa dalam keburukan wajah terkandung dimensi kebebasan manusia yang sublim.

This dissertation analyze the meaning of ugliness aesthetic of Balinese topeng Bondres as a figure on Balinese topeng dance drama. This study is started by epistemological study on topeng bondres as a reality of being representation or a human character that represented by topeng. Maskharah in Arabic means "a clown" from verb "shakira" means "parodying". In ancient Roman, topeng means "persona" or "prosophone" means human being. In Balinese topeng dance drama, topeng bondres (as folk character) is shown through ugly face expression which has a meaning of personal and social transformation. With using the cosmological basic of topeng bondres and Jacques Derrida's point of views prove that Derrida's deconstruction ignores the idea between ordinate and subordinate or to prevail one over the other. His main thought is ignore the sole truth. By mean of Derrida's deconstruction may earn a new text and its meaning through a new model of reading. By differance, direct reading of differences can accommodate two difference things as a reading model of totally text meanings. By grammatology that generally as a science of sign proves the ugliness of topeng bondres as a sign that refers to the other sign. For Derrida, a sign is a trace or imprint that related to presence and absence.
This study proves that in the Balinese cosmological system, the ugliness of topeng bondres is autonomous. The existence of ugliness occupies the domain of Balinese's consciousness as unseparated value system from their collective life system. The reading of cosmological meaning of topeng bondres may compare with Derrida's mode of thoughts that topeng bondres can be understood as an autonomous dimension of the aesthetics of ugliness and has a same value with beauty because able to create the same aesthetics sensation. Topeng bondres has both form and contain assessments as well as open and hidden assessments because of its role and function in topeng performances. These assessments relate to framing of human emotion, affection, and appreciation. It means topeng bondres can construct new categories that in ugly face contains the sublime of human freedom.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2014
D1938
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Khairina
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari identitas diri dan self-serving altruism ketika adanya orang lain yang diuntungkan terhadap intensitas perilaku tidak etis. Partisipan berjumlah 200 orang (usia= min. 18 thn, laki-laki= 58 orang), dan secara random dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan aktivasi identitas diri (priming vs. non priming)dan menipulasi pembayaran (individual dan dyad). Selfserving altruism diukur menggunakan skala likert 7-poin sebanyak 10 pernyataan. Sedangkan intensitas perilaku tidak etis diukur menggunakan jumlah klaim jawaban yang ditulias partisipan. Hasil analisi dengan multiple regression (regresi berganda dengan moderator) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan baik antara identitas diri terhadap penurunan intensitas perilaku tidak etis, antara selfserving altruism terhadap peningkatan intensitas perilaku tidak etis, maupun antara adanya kehadiran orang lain yang diuntungkan terhadap peningkatan intensitas perilaku tidak etis. Namun hasil penelitian ini juga menujukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan ketika aktivasi identitas diri diinteraksikan dengan hadirnya orang lain yang diuntungkan terhadap intensitas perilaku tidak etis. Hasil ini menunjukkan bahwa walau menerima aktivasi identitas diri (priming), yang disertai dengan adanya orang lain yang diuntungkan dari perilaku tidak etis yang dilakukan seseorang, dapat meningkatkan intensitas perilaku tidak etis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktivasi identitas diri, self-serving altruism dan Orang yang Diuntungkan secara simultan (secara bersamaan) tidak mempengaruhi intensitas perilaku tidak etis.

This study aimed to look at the influence of self-identity and self-serving altruism when there are others who benefited on the intensity of unethical behavior. Participants were 200 people (age=min. 18 years old, men = 58 people), and randomly divided into 4 groups based on activation of identity (priming vs. non priming) and manipulating payments (individual and dyad). Priming in question was priming identity with nouns (e.g., do not be a cheater). Self-serving altruism was measured using a 7-point Likert scale of 10 statements. As for the dependent variable in this study, the intensity of unethical behavior, will be measured using the number of claims written by participants. The results of the analysis with multiple regression (multiple regression with moderator) showed that there was an insignificant relationship between self-identity to decrease the intensity of unethical behavior,
between self-serving altruism to increase the intensity of unethical behavior, and between the presence of other people who benefited to increase the intensity of unethical behavior. But the results of this study also show that there is a significant relationship when the activation of self-identity is interacted with the presence of other people who benefit from the intensity of unethical behavior. These results indicate that while accepting activation of self-identity (priming), accompanied by
the presence of other people who benefit from unethical behavior by a person, can increase the intensity of unethical behavior. So it can be concluded that the activation of self-identity, self-serving altruism and beneficiaries simultaneously does not affect the intensity of unethical behavior.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S24406
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>