Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124592 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Coutrier, Farah Novita
"ABSTRAK
Diantara anggota famili Cervidae, genus Muntiacus
terbukti memiliki variasi kromosom yang sangat tinggi/
juga pada tingkat spesies. Telah dilakukan penelitian
terhadap kromosom subspesies Muntiacus muntjak dari
Pulau Jawa, yaitu M. muntjak muntjak (Zimmermann) yang
dipelihara di Kebun Binatang Jakarta dan Surabaya.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah kromosom 2n = 8$/9d.
Telah dilakukan deskripsi kariotipe M. m. muntjak,
presentasi pola G-banding dalam bentuk idiogram, serta
penyajian letak daerah heterokromatin hasil pewarnaan C-banding.
Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari hasil
penelitian ini adalah: (1) Adanya homologi antara pola
G-banding kromosom nomor 1 dan 3 M. m. muntjak dengan
pola G-banding kromosom nomor 1 M. m. vaginalis Boddaert
menyatakan bahwa peristiwa fusi kromosom merupakan
mekanisme yang menyebabkan perbedaan jumlah kromosom
antara kedua subspesies tersebut; (2) Pewarnaan Cbanding
menghasilkan pita gelap yang menandai daerah
heterokromatin seluruh set kromosom dengan intensitas
yang berbeda-beda; paling lebar pada sentromer kromosom
X dan paling sempit pada sentromer kromosom nomor 1.
Pewarnaan C-banding mengkonfirmasikan teori bahwa
hilangnya urutan DNA repetitif pada heterokromatin
autosom menunjukkan telah terjadi peristiwa fusi sentrik
yang berulang-ulang.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1994
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Bambang Pangestu
"Kromosom merupakan massa padat dari materi genetik yang terdapat dalam inti sel yang menentukan pewarisan sifat genetik suatu spesies dari generasi ke generasi berikutnya. Analisis kariotipe kromosom umurrmya didasarkan kepada dua sifat kromosom, yaitu jumlah diploid kromosom dalam sebuah sel somatik dan karakter morfologis setiap kromosom dalam set tersebut. Karakteristik morfologis sebuah kromosom ditentukan oleh posisi sentromer serta panjang relatif kromosom terhadap kromosom-kromosom lairmya dalam satu set haploid.
Telah dilakukan penelitian untuk mempelajari kariotipe monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca namesirina). Kedua spesies primata ini banyak digunakan dalam berbagai perielitian ekologi, tingkah laku, nutrisi dan genetika, serta banyak pula dimanfaatkan dalam berbagai penelitian biomedis untuk studi berbagai jenis penyakit manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jumlah kromosom, karakteristik kariotipe dan penyusunan idiogram monyet ekor panjang dan beruk, serta membandingkan kariotipe antar kedua spesies primata tersebut.
Preparat kromosom untuk studi kariotipe dan penyusunan idiogram dipersiapkan dua kultur sel darah putih (leukosit), yang dikoleksi dari darah periferi tiga ekor monyet ekor panjang jantan dan tiga ekor beruk jantan. Kultur jangka pendek dengan penggunaan mitogen PHA dan ConA dilakukan pada suhu 37°C selama 72 jam. Melalui perlakuan peighambatan pembentukan spindel dengan penberian kolkisin dua jam sebelum akhir kultur, perlakuan hipotonis dengan larutan KCI 0.075 M dan perlakuan fiksasi dengan larutan methanol dan asam asetat dalam perbandingan 3:1, diperoleh selsel metafase untuk analisis kariotipe.
Dari perhitungan kromosom dalam tiap sebaran metafase didapatkan bahwa jumlah diploid kromosom baik pada monyet ekor panjang maupun bank adalah 42 buah, terdiri dari 40 buah autosom, sebuah kromosom X dan sebuah kromosom Y. Panjang relatif kromosom untuk monyet ekor panjang dan beruk masing-masing berkisar antara 0.6324 ± 0.0063 dan 0.6317 ± 0.0056 (kromosom Y) sampai dengan 7.3705 ± 0.0106 dan 7.3714 ± 0.0095 (kromosom No. 1). Indeks sentromer untuk monyet ekor panjang dan beruk masing-masing berkisar antara 0 dan 0 (kromosom Y) sampai dengan 49.295 f 0.016 dan 49.295 ± 0.014 (kromosom No. 11). Nisbah lengan kromosom monyet ekor panjang dan beruk masing-masing berkisar antara 1.0284 ± 0.0006 dan 1.1024 f 0.0006 (kromosom No. 11) sampai dengan 2.6819 ± 0.0142 dan 2.6812 ± 0.0121 (kromosom No. 15), sedangkan nilai nisbah lengan untuk kromosom Y tidak dapat dihitung karena sentromer yang terminal (telosentrik).
Dari pengamatan dan perhitungan didapat jumlah dan morfologi kromosom monyet ekor panjang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05) dengan jumlah dan morfologi kromosom beruk Perbedaan morfologi dan anatomi yang sangat besar antara kedua spesies ini tidak tercermin dari kariotipenya (struktur makro materi genetik), diduga ada pads perbedaan struktur gen-gen, protein dan kodon-kodon dalam rangkaian DNA kedua spesies. Dengan pola pita replikasi terdeteksi adanya perbedaan pole pita pada tiga bush kromosom, yaitu pads kromosom No. 1, No. 5 dan No. 16.

An experiment has been conducted to study karyotypes of long-tailed and pig-tailed macaques. The objective of the experiment is to obtain information about chromosome number and their morphological characters, to construct idiograms for each species, and to compare the kariotype of long-tailed macaque and of pig-tailed macaque.
Chromosome preparation for the karyotype study and idiogram construction was obtained from Ieukocyte cells culture. Peripheral blood samples were collected from respectively three male long-tailed and pig-tailed macaques and cultured using standard culture procedure.
Observation on metaphase chromosome spreads obtained show that both long-tailed and pig-tailed macaques have diploid chromosome number of 42, consisting of 20 pairs of autosomes, an X chromosome, and an Y chromosome. Relative chromosome length for long-tailed and pig-tailed macaques ranged from 0.6324 ± 0.0063 and 0.6317 ± 0.0056 (Y chromosome) to 7.3705 ± 0.0106 and 7.3714 ± 0.0095 (chromosome No. 1), respectively. Centromere index for long-tailed and pig-tailed macaques ranged from 0 and 0 (Y chromosome) to 49.295 ± 0.016 and 49.295 ± 0.014 (chromosome No. 11), respectively. Arm ratio for long-tailed and pig-tailed macaques ranged from 1.0284 ± 0.0006 and 1.1024 ± 0.0006 (chromosome No. 11) to 2.6819 ± 0.0142 and 2.6812 ± 0.0121 (chromosome No. 15), respectively. Arm ratio for Y chromosome was not calculated because of its terminal centromere position.
Observation, measurement and statistical analyses show that there were no significant differences (P>0.05) between chromosome number and morphology of long-tailed macaque and those of pig-tailed macaque. Using replication banding technique, different banding pattern were detected at chromosome No. 3, 5 and 16. Great differences in anatomical and life history variables between these two primate species seem to be due to differences in the level of genes, proteins and codons in DNA strands of the two species.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syavana Levaretna Arsy
"Ion kalsium (Ca2+) adalah salah satu kation divalen yang berperan dalam proses kondensasi kromosom. Pengaruh Ca2+ pada kondensasi kromosom dengan melihat pola banding dan nilai kromosom belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ion kalsium (Ca2+) pada kondensasi struktur kromosom sel HeLa dengan teknik G-banding-trypsin-Leishman (GTL-banding) dan karyotyping. Sebaran kromosom pada tahap metafase diperoleh dengan mengkultur sel HeLa pada suhu 37 °C (5% CO2). BAPTA 1 mM sebagai chelator spesifik Ca2+ dan EDTA 1 mM sebagai chelator kation diberikan sebelum pemanenan kromosom. Kromosom yang telah dipanen selanjutnya dilakukan banding dengan pewarna Leishman. Pengaruh Ca2+ pada kondensasi kromosom diamati dengan membandingkan kromosom pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Data dianalisis secara kualitatif dengan mengamati struktur kromosom dan pola banding kromosom, serta secara kuantitatif dengan mengacu pada Quality Assessment (QA) berdasarkan International System for Human Cytogenetics Nomenclature (ISCN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kromosom pada kelompok kontrol memiliki struktur yang padat dengan pola banding yang jelas teramati dengan nilai kromosom 2 hingga 5. Kelompok perlakuan 1 mM BAPTA memiliki struktur kromosom yang tidak padat dengan ukuran yang lebih besar dari kelompok kontrol dan memiliki pola banding yang kurang jelas dengan nilai kromosom 2 hingga 5. Kelompok perlakuan 1 mM EDTA memiliki struktur kromosom yang tidak padat dan fibrous dengan ukuran yang lebih besar dan panjang dari kelompok kontrol serta memiliki pola banding yang kurang jelas dengan nilai kromosom 2 hingga 6. Kromosom pada kelompok perlakuan 1 mM BAPTA dan 1 mM EDTA memiliki struktur lebih tidak padat dan pola banding yang kurang jelas jika dibandingkan dengan kelompok kontrol sehingga mengindikasikan peran Ca2+ dalam kondensasi struktur kromosom.

Calcium ion (Ca2+) is one of the divalent cations involved in the chromosome condensation process. The effect of Ca2+ on chromosome condensation by observing banding patterns and chromosome value has yet known. This study aimed to determine the effect of calcium ion (Ca2+) on HeLa cell chromosome structure condensation using G-banding-Trypsin-Leishman (GTL-banding) technique and karyotyping. Metaphase chromosome spreads were obtained by culturing the HeLa cell at 37 ℃ (5% CO2). 1 mM BAPTA as Ca2+ chelator and 1 mM EDTA as cation chelator was added prior to the chromosome harvest. G-banding was carried out on harvested chromosomes using Leishman dye. The effect of Ca2+ on chromosome condensation was determined by comparing the treated chromosome to the control chromosome. The data were obtained and analyzed qualitatively by observing chromosome structure and banding pattern, as well as quantitatively by referring to the International System for Human Cytogenetics Nomenclature (ISCN). The result showed that the chromosome in the control group had a condensed structure with a clear banding pattern and chromosome value ranged from 2 to 5. Chromosome treated with 1 mM BAPTA had a less condensed structure with a bigger size compared to the control group and had chromosome value ranged from 2 to 5. Chromosome treated with 1 mM EDTA was also less condensed with longer and fibrous structure and had chromosome value ranged from 2 to 6. BAPTA-treated and EDTA-treated chromosomes had a less condensed structure with less clear banding pattern compared to the control which indicated the role of Ca2+ in the chromosome condensation process."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari Pujiastuti
"Latar belakang penulisan tesis ini adalah banyaknya kekalahan yang diderita oleh Direktorat Jenderal Pajak atas sengketa transaksi cash pooling di Pengadilan Pajak. Makin banyaknya grup perusahaan yang menggunakan transaksi ini dalam cash management-nya juga menjadi latar belakang yang mendorong penulisan tesis ini. Tujuan penulisan tesis ini untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai transaksi cash pooling itu sendiri berikut analisis dari sisi perpajakannya. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif, dengan teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak terkait.
Cash pooling merupakan aplikasi dari cash management. Dalam pelaksanaannya tidak dapat dihindari bahwa transaksi ini akan menimbulkan efek perpajakan karena pada hakekatnya menimbulkan hubungan hutang piutang dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Secara umum cash pooling dilakukan melalui dua skema yaitu Cash Concentration (zero/target balancing) dan Notional Cash Pooling.
Bank adalah pihak yang berperan sebagai fasilitator dalam transaksi ini. Analisa atas Putusan Pengadilan Pajak yang dikeluarkan pada tahun 2008, yaitu sebanyak 3 (tiga) putusan yang berkaitan dengan sengketa transaksi cash pooling dengan skema cash pooling yaitu cash concentration dan transaksi terjadi pada grup perusahaan domestik, diperoleh hasil bahwa dilakukannya koreksi oleh DJP karena pada saat pemeriksaan maupun proses keberatan Wajib Pajak tidak memberikan data maupun dokumen yang berkaitan dengan transaksi ini.
Data ataupun bukti baru disampaikan Wajib Pajak pada saat proses banding di Pengadilan Pajak. Transaksi cash pooling yang mempunyai akibat timbulnya hutang piutang antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa maka analisa mendalam harus dilakukan untuk menilai transaksi ini apakah sesuai prinsip harga pasar wajar (arm's length price) dan memastikan keaslian pinjaman (yang diukur dengan Debt Equity Ratio/DER).
Saran yang diberikan dalam tesis ini adalah segera diselaraskannya Undang-undang Pengadilan Pajak dengan Pasal 26 A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Saran lainnya adalah segera diterbitkan aturan yang komprehensif berkaitan dengan masalah transfer pricing, berikut aturan yang menetapkan Debt Equity Ratio (DER) untuk mencegah timbulnya skema thin capitalization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T25853
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10385
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesri Maideliza
"Penelitian tentang anatomi organ vegetatif Dioscorea bulbifera L. (gadung) telah dilakukan dari Januari - Juli 2005, di Laboratorium Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. Penelitian dilaksanakan menggunakan metoda deskriptif dan kuantitatif, dengan pembuatan preparat permanen menggunakan metoda parafin dan pembuatan preparat semipermanen. Pada sayatan melintang struktur batang secara sentripetal terdiri atas satu lapis epidermis, korteks (6-9 lapis sel), endodermoid dengan sel sklerenkim (1-2 lapis sel) dan ikatan pembuluh. Anatomi daun terdiri dari epidermis atas dan epidermis bawah, mesofil sudah terdiferensiasi menjadi parenkim palisade dan parenkim spons (tipe daun dorsiventral). Stomata anomositik terdapat pada kedua permukaan daun. Anatomi akar terdiri dari satu lapis sel epidermis, korteks (9-11 lapis sel), ikatan pembuluh dan empulur. Sel endodermis satu lapis mengalami penebalan pada dinding dalam berbentuk U. Perisikel (1-2 lapis sel). Ikatan pembuluh ukurannya meningkat secara sentripetal dan tersusun dalam tiga lingkaran. Floem pada akar tersusun mengelilingi xilem (tipe amfikribal). Umbi didominasi oleh parenkim berisi pati. Pada umbi banyak didapatkan struktur khusus diduga berisi HCN. Kromosom berjumlah 2n=20.

The study of anatomical structure and karyotype of West Sumatran Dioscorea bulbifora L. Had been done from March 2005 to January 2006 in plant Structure and Development Laboratory of Biology Department, Faculty of Mathematic and Natural Science, Andalas University. In present study were used descriptives and quantitatives method by preparing semi-permanent and permanent slide. Anatomycal structures of green aerial stem were consisting of epidermal, cortex with endodermoid cells and sclerechima tissue centripetally. Vascular bundle can be rocognized in three distinct rings with amphycribal type. Transverse section of leave anatomical composed by both a layer epidermal on upper and lower leaf surface, palysade parechima, and spons parenchyma (dorsiventral type). The stomata were anomocytic type on both upper and lower surface of leaf (amphystomatic type). Idioblast of cell raphides crystals and tannin containing founded in leaf structure. In transverse section each of eight individual bundle surrounded by sclerenchyma. The root anatomical structures consist of epidermal, cortex, endodermal (U shape wall thickening), pericycle and pith (with three ring of vascular bundles) centripetally. The air tuber lacking of starch grains containing of parenchyma cells. Idioblast cell expected contain of HCN distributed over all of tuber tissue. The somatic cell chromosome were diploid 2n=20 with basic chromosome number were x=10."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2007
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rachma Gullianne
"Tujuan: Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen Myosin 1H dan P561T dengan pertumbuhan dan perkembangan mandibula pada kasus maloklusi kelas I, II dan III. Metode penelitian: Subjek merupakan pasien dengan dengan kasus maloklusi skeletal kelas I, II dan III berusia 17 - 45 tahun yang sedang dan akan melakukan perawatan ortodonti di klinik ortodonti RSGM-FKGUI, yaitu 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas I sebagai kontrol, 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas II dan 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas III. Penentuan maloklusi kelas I, II dan III berdasarkan analisis radiografis sefalometri awal dengan metode Stainer. Sampel DNA diekstraksi dari potongan kuku dan folikel rambut pada kasus maloklusi skeletal kelas III dan menggunakan sampel yang sudah diekstraksi dari usapan bukal dan sel darah pada pada kasus maloklusi skeletal kelas I dan II. Amplifikasi sekuens DNA dilakukan dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Analisis Polimorfisme Genetik gen Myosin 1H dan P561T dengan teknik RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square dilakukan untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen Myosin 1H dan Fisher Exact Test untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen P561T. Hasil: Terdapat hubungan polimorfisme gen Myosin 1H dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Tidak terdapat hubungan polimorfisme gen P561T dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Kesimpulan: Polimorfisme gen Myosin 1H merupakan salah satu faktor resiko dari maloklusi kelas I, kelas II dan kelas III. Ekstraksi DNA dari folikel rambut memberikan hasil yang cukup baik dalam hal kualitas DNA dan cara pengambilan sampel yang relatif lebih mudah dibandingkan purifikasi sel darah dan usapan bukal.

Objectives: To determine the relationship between polymorphisms of Myosin 1H and P561T genes and the growth and development of the mandible in Class I, II, and III malocclusion cases. Methods: Subjects were patients aged 17-45 years old with Class I, II, and III skeletal malocclusion cases who were undergoing and/ or would undergo orthodontic treatment at the orthodontic clinic at RSGM-FKG UI, namely 50 people with Class I skeletal malocclusion, 50 people with Class II skeletal malocclusion, and 50 people with Class III skeletal malocclusion. Class I skeletal malocclusion was used as control group. Class I, II and III malocclusion were determined based on radiographic analysis of the initial cephalometry using the Stainer method. DNA samples were extracted from buccal swabs and blood cells in Class I and II malocclusion while nail clippings and hair follicles extracts were used in Class III malocclusion. DNA sequence amplification was carried out using the PCR (Polymerase Chain Reaction), while Genetic Polymorphism Analysis of Myosin 1H and P561T genes was performed with RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the Myosin 1H gene, while the Fisher Exact Test was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the P561T gene. Results: There is a relationship between Myosin 1H gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. There was no correlation between P561T gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. Conclusions: Myosin 1H gene polymorphism is one of the risk factors for Class I, II, and III malocclusion. Extraction of DNA from hair follicles gave good results in terms of DNA quality and was a relatively easier sampling method compared to blood cell purification and buccal swabs."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ari Pujianto
"Hasil dan Pembahasan: Dari hasil eksperimen diperoleh hasil kultur sebagai berikut: Dengan menggunakan teknik kultur konvensional, dari 7 metafase, diperoleh 1 kultur yang menunjukkan kromosom dengan kenampakan pita yang optimal. Sedangkan dengan menggunakan teknik kultur resolusi tinggi dengan menggunakan blocking agent pada fase metafase kemudian dilanjutkan dengan releasing agent, dari 13 metafase diperoleh 3 kultur kromosom dengan jumlah pita yang optimal.
Ketiga kultur kromosom ini menunjukkan struktur kromosom yang lebih panjang jika dibanding dengan teknik kultur yang konvensional. Jika dilihat dari prosentase keberhasilan mendapatkan pita-pita yang jelas terlihat, tampak bahwa tidak banyak perbedaan antara teknik kultur konvensional dengan teknik kultur revolusi tinggi, namun jika dilihat dari hasil kulturnya tampak bahwa kultur kromosom resolusi tinggi (Foto 1) menghasilkan kromosom yang lebih panjang dibanding teknik konvensional. (Foto 2). Struktur kromosom yang panjang ini merupakan hasil yang cukup menggembirakan karena dengan struktur yang terentang akan lebih banyak pita yang akan terlihat. Pada Foto 3 dan 4 diperlihatkan kariogram dari kultur kromosom resolusi tinggi dan teknik kultur konvensional.
Masalah yang masih menjadi kendala dalam penelitian ini adalah hasil fotografi yang kurang bagus sehingga meskipun kromosomnya panjang namun pita-pita kurang jelas terlihat. Hal ini disebabkan oleh kaca obyektif yang kurang fokus. Perlu dilakukan penggantian lensa obyektif plan akromat untuk mendapatkan hasil yang optimal. Disamping lensa obyektif, variasi lama inkubasi setelah diberikan releasing agent juga sangat menentukan panjang pendeknya kromosom yang didapat.
Penelitian ini selain mencoba teknik kultur dengan menggunakan blocking agent juga berusaha memodifikasi prosedur agar didapatkan hasil kultur yang paling bagus, karena teknik kultur yang bisa diteruskan pada salah satu laboratorium belum tentu bisa bagus jika diterapkan laboratorium yang lain. Dengan demikian masing-masing laboratorium akan mempunyai kiat-kiat tersendiri untuk mendapatkan hasil yang bagus meskipun prinsipnya tidak jauh berbeda?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Kemas Muhammad Dahlan
"Latar Belakang: Faktor resiko terbesar Diabetik foot ulcer DFU adalah neuropati. Gen Vascular endothelial growth factor VEGF 7 merupakan gen yang mengkode protein Vascular Endothelial Growth Factor VEGF memiliki fungsi angiogenesis dan neurogenesis. VEGF berperan pada patogenesis terjadinya neuropati, angiopati dan penyembuhan luka karena trauma.
Metode Penelitian: Penelitian case control study, kasus diambil dari penderita DM tipe 2 dengan DFU dan kontrol dari DM tipe 2 tanpa DFU, dilakukan Polimerase Chain Reaction Restriction Fracment lenght Polymorphism PCR-RFLP untuk melihat genotipe gen VEGF, analisis statistik menggunakan SPSS 20.
Hasil: Genotip mutan GG gen VEGF 405C>G tidak memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya DFU pada penderita DM di RSCM GG CG/CC ; OR; 0,52, 95 CI; 0,15-1,73 p; 0,289. Alel G; kemungkinan sebagai faktor protektif OR;0,86, 95 CI 0,57-1,28 dan p;0,456. Genotip mutan TT gen VEGF -460 C>T; tidak memiliki hubungan yang bermana dengan DFU TT CT/CC ; OR; 0,97, 95 CI; 0,41-2,26 dan p; 0,942. Alel T kemungkinan sebagai faktor protektif OR;0,90, 95 CI; 0,59-1,37 dan p;0,641.
Kesimpulan: Genotip GG dan TT tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penyakit DFU, alel G dan alel T kemungkinan sebagai faktor protektif terhadap terjadinya DFU pada penderita DM Tipe 2.

Background: The greatest risk factor for Diabetic foot ulcer DFU is neuropathy. Vascular endothelial growth factor VEGF gene is a gene encodes a protein vascular endothelial growth factor VEGF, which has function of angiogenesis and neurogenesis. VEGF play a role in neuropathy, angiopathy and wound healing in DFU.
Methods: Case control study, case is type 2 DM with DFU and control is type 2 DM without DFU, Polymerase Chain Reaction Restriction Fracment lenght polymorphism was done to find genotype polymorphism of VEGF gene.
Results: Genotype GG VEGF 405C G does not have a significan association with DFU in DM patients GG CG CC OR 0.52, 95 CI 0.15 to 1.73 p 0.289. G allele is proposed as protective factor in DFU OR 0.86, 95 CI 0.57 to 1.28, and p 0.456. Genotype TT from VEGF gene 460 C T have no significant association with DFU TT CT CC OR 0.97, 95 CI 0.41 to 2.26 and p 0.942. T allele is predicted as protective factor in DFU OR 0.90, 95 CI 0.59 to 1.37 and p 0,641.
Conclusion: G alles and T alleles are predicted as a protective factors in DM patients associated with DFU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrana Nadhila
"Penyakit Graves (GD) merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar tiroid dan menjadi penyebab utama terjadinya hipertiroidisme. Manifestasi klinis ekstratiroid yang umum terjadi pada pasien GD ialah oftalmopati Graves (OG). Salah satu penentu genetik yang terkait dengan respon autoimunitas baik pada GD atau OG ialah gen CD40. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan variasi genetik CD40 (rs1883832 dan rs11086998) dan kadar sCD40 terhadap derajat keparahan oftalmopati pada penderita Graves. Studi potong lintang ini menggunakan 60 sampel DNA dan serum pasien Graves yang dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok OG kelas 0, kelas I-III, dan kelas IV-VI. Analisis variasi genetik dilakukan dengan metode PCR-RFLP dan pengukuran kadar sCD40 menggunakan metode ELISA. Derajat keparahan OG dinilai menggunakan klasifikasi NOSPECS yang mana data diperoleh dari rekam medik pasien. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa variasi gen CD40 pada bagian 5’UTR rs1883832 tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kadar sCD40 dan derajat keparahan OG (p>0,05), sedangkan pada ekson 9 rs11086998 tidak ditemukan variasi genetik (hanya diperoleh genotip CC dan alel C). SNP gen CD40 pada rs1883832 menunjukkan genotip TT dan alel T memiliki rata-rata kadar sCD40 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok variasi genetik lainnya pada penderita Graves. Disimpulkan, variasi genetik CD40 pada 5’UTR rs1883832 dan ekson 9 rs11086998 tidak berhubungan dengan derajat keparahan OG.

Graves' Disease (GD) is an autoimmune disease which causes hyperthyroidism by attacking the thyroid gland. The most common extra thyroid manifestation in GD is Graves' ophthalmopathy (OG). One of the genetic determinants associated with the autoimmune response to GD and OG is the CD40 gene. The aim of this study is to determine the association between genetic variation of CD40 gene (rs1883832 and rs11086998) and the serum level of sCD40 to the degree of ophthalmopathy severity in patients with Graves' disease. In this cross- sectional study, 60 DNA and serum of Graves patients were categorized into three groups; namely OG class 0, class I-III, and class IV-VI. Analysis of genetic variations were carried out using the PCR-RFLP method and ELISA method for the measurement of sCD40 levels. The severity of OG was assessed using NOSPECS classification where the data was obtained from medical records. The results showed that the genetic variation of the CD40 gene at 5’UTR rs1883832 does not have a significant association with sCD40 levels and degree of OG severity (p> 0.05). There was no genetic variation found in exon 9 rs11086998 with only CC genotypes and alleles C were obtained. SNP rs1883832 of the CD40 gene indicates that the TT genotype and the T allele have higher average of sCD40 levels compare to the other group of genetic variation in patient with Graves' disease. In conclusion, genetic variation in 5’UTR rs1883832 and exon 9 rs11086998 of CD40 gene have no correlation with the severity degree of OG."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>