Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77256 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indra Kurnianto K.
"Sebagai sebuah partai pemenang PEMILU tahun 1999 dengan peroleh suara mencapai 35 % dari total suara,maka secara otomatis menjadikan PDI-P menjadi partai pemenang PEMILU tahun 1999.Padahal partai PDI-P merupakan salah satu partai baru walaupun dari sejarah diketahui bahwa partai ini merupakan pecahan dari partai PDI semasa orde baru,banyak partai yang merupakan pecahan dari partai lama namun PDI-P adalah salah satu yang berhasil memperoleh suara yang cukup signifikan pada PEMILU tahun 1999. Tak terasa sudah hampir 4 tahun sejak pemilu 1999 hal ini menandakan bahwa masa PEMIT sudah hampir dekat. Setiap partai peserta PEMILU tahun 2004 sudah tentu ingin memperoleh dukungan suara sebanyak-banyaknya,sehingga hampir dapat dipastikan tingkat persaingan pada PEMILU 2004 akan lebih ketat ditambah lagi akan diterapkan sistem pemilihan langsung baik pada calon anggota legeslatif maupun calon presiden.Dengan diterapkan pola PEMILU seperti itu maka partai-partai khususnya PDI-P harus mulai menerapkan startegi marketing yang baik agar tetap mampu survive pada PEMILU 2004. Disisi lain pihak PDI-P saat ini sedang menghadapi banyak persoalan baik yang bersifat internal organisasi seperti kasus kasus KKN yang diduga melibatkan oknum-oknum kader PDI-P maupun persoalan eksternal partai seperti konflik dengan partai lain ,semua hal tersebut secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi penilaian baik dari pendukung maupun dari non-pedukung yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat perolehan suara Dihadapkan dengan keadaan seperti itu maka. PDI-P diharapkan dapat melakukan analisa perspsi bagaimana pendapat masyarakat terhadap PDI-P,dengan diketahui bagaimana persepsi dari masyarakat maka dapat dijadikan sebgai input dalam menyusun strategi marketing yang baik.Dalam penelitian ini akan diketahui bagaimana persepsi dari dua buah kelompok yaitu kelompok mahasiswa serta kelompok simpatisan PDI-P terhadap attriut dari PDI-P. Dari hasil analisa Attitude toward Object (Ao) diketahui bahwa nilai dari kelompok simpatisan sedikit lebih tinggi dari nilai kelompok mahasiswa,kemudian dari hasil analisa semantic differential ditemukan adanya persamaan dalam melihat kepentingan attribut pemilihan partai serta adanya kesamaan dalam memandang attribut PDI-P. Yang membedakan antara kelompok mahasiswa dengan kelompok simpatisan PDI-P adalah nilai yang diperoleh keompok PDI-P cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nilai yang diperoleh oleh kelompok mahasiswa. Hasil analisa cluster menunjukan bahwa ada sebagian dari kelompok mahasiswa yang memandang baik terhadap PDI-P ,serta ada sebagian dari kelompok simpatisan PDI-P yang memandang PDI-P dengan buruk."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
S19428
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sobalely, Jonas Ricardo F.
"Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kota Depok Studi mengenai Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kota Depok ini menjadi penting karena akan memberikan penjelasan tentang faktor-faktor yang berperan dalam kemenangan PDI-P pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Depok Penelitian ini difokuskan pada besarnya perolehan suara yang diraih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kota Depok dan faktor-faktor yang berperan terhadap kemenangan tersebut. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan konsep-konsep dan teori-teori untuk menganalisanya. Konsep dan teori kampanye politik dari Patrick J. Sellers, Riswanda Imawan digunakan untuk melihat mobilisasi partai dengan isu populisme, konsep dan teori perilaku pemilih dari Seymour M. Lipset dan J. Kristiadi digunakan untuk melihat identifikasi partai, dan konsep dan teori ideologi politik dari Terence Ball & Richard Dagger untuk melihat bagaimana sentimen politik. Konsep dan teori kampanye politik dari Riswanda Imawan, serta konsep dan teori strategi politik dari Peter Schroder digunakan untuk melihat peran pengurus dan kader partai dalam memenangkan PDI-P serta strategi apa yang digunakan untuk itu.
Dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan studi pustaka, dikumpulkan data-data yang kemudian dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif. Kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota Depok diraih dengan perolehan suara sebesar 20,05 persen suara dan memperoleh 11 kursi di DPRD Kota Depok. Ada dua faktor yang berperan terhadap kemenangan PDI-P itu, yaitu faktor eksternal yang terdiri dari : (1) Mobilisasi Partai dengan isu populisme; (2) Identifikasi partai; (3) Sentimen politik. Dan faktor internal yang terdiri dari : (1) Peran pengurus dan kader partai; dan (2) Strategi partai.

The Winning of PDI-P on Legislative Election 2014 in Depok City The background of this research is about the winning of PDI-P on Legislative Election 2014 in Depok City important because it would be showing explanation of the indicators on role play by the strategic of the PDI-P in the 2014 year to win Legislative Election in Depok City. This research focused on the amount of votes achieved by the PDI-P on Legislative Election 2014 in Depok City and also the indicators that contribute to the victory. To answer these problems used the concepts and theories to analyze on it. The concepts and theories of political campaign by Patrick J. Sellers, Riswanda Imawan used to analyze the mobilization of the party by the issue of populism; concepts and theories of voting behavior by Seymour M. Lipset and J. Kristiadi used to see party identification; and at least the concepts and theories of political ideology by Terence Richard Ball & Dagger to row how the political sentiment played. The concepts and theories of political campaign by Riswanda Imawan, as well as the concepts and theories of political strategy by Peter Schroder used to show the role of the board and the party cadres in the result of winning the PDI-P and what strategies are used to achieve it.
By using the technique in depth interviews and literature study to collecting data then analyzed by using qualitative methods. The winning of PDI-P on Legislative Election 2014 in Depok City achieved by votes of 20.05 percent in result of the all votes and gained by 11 seats in Parliament of Depok City. There are two indicators that contribute to the victory of The PDI-P?s namely external factors consist of, (1) Mobilization party with the issue of populism; (2) Identification of the parties; (3) Political sentiment. And internal factors which consist of; (1) The role of the structure and the party cadres, and (2) Strategy party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T43525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad
"Skripsi ini membahas fenomena presidentialized party yang terjadi di Indonesia pasca adanya perubahan landasan konstitusional yakni amandemen UUD 1945. Dalam amandemen tersebut, Indonesia mulai mempertegas sistem presidensialismenya dengan melaksanakan pemilihan umum secara langsung presiden dan wakil presiden. Mekanisme ini mendorong partai politik untuk memilih kandidat yang paling populer sekalipun ia merupakan outsider partai. Hal ini memiliki resiko yakni partai atau ketua umumnya selaku principal akan kesulitan mengontrol dan mengendalikan agent atau outsider yang mereka usung. Presidensialisme setidaknya merubah perilaku partai politik dalam hal penominasian nominating , pemilihan electing , dan pemerintahan governing. Melalui metode kualitatif dan tipe penelitian eksplanatif, penelitian ini mengangkat studi kasus perilaku Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P dalam pencalonan Joko Widodo sebagai Calon Presiden Republik Indonesia di Pemilu 2014. Dengan mengombinasikan model presidentialized party Samuels-Shugart 2010 dan Kawamura 2013 sebagai teori utama, ditambah dengan perspektif dari Poguntke-Webb 2005, skripsi ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, PDI-P walaupun tetap didominasi peran Megawati Soekarnoputri dalam keputusan partai, namun memanfaatkan popularitas sosok outsider, Joko Widodo, untuk memenangkan Pemilu 2014. Kedua, dalam kasus PDI-P ini, relasi principal-agent cukup unik karena principalnya hanya Megawati seorang mengingat peran sentralnya dalam partai. Adapun untuk agent terdapat dua pihak yaitu pertama para pengurus partai yang tunduk dengan Megawati, dan sejak Pemilu 2014, muncul agent kedua yaitu Joko Widodo yang mendapat mandat untuk mengelola eksekutif. Ketiga, terdapat beberapa dinamika konflik internal yang didominasi antar agent yang berbeda kepentingan. Keempat, Megawati selaku principal cukup kesulitan memegang/mengontrol agentnya yaitu Jokowi sehingga Megawati kerap mengingatkan dengan istilah ldquo;petugas partai';. Penelitian ini menyimpulkan bahwa PDI-P mengalami presidensialisasi walaupun tetap memiliki karakter personalized party.

This thesis discusses the phenomenon of presidentialized party that occurred in Indonesia after the change of constitutional basis namely amendment of UUD 1945. In the amendment, Indonesia began to emphasize its presidential system by conducting direct election of president and vice president. This mechanism encourages the political party to choose the most popular candidate even though he she is a party outsider. It has a risk that the party or the general chairperson as 'principal' will have difficulty controlling the 'agent' or outsider that they have nominated. Presidentialism at least changes the behavior of political parties in terms of nominating, electing, and governing. Through the qualitative method and explanative research type, this research raises the case study of the Indonesian Democratic Party of Struggle PDI P behavior in the nomination of Joko Widodo as the Presidential Candidate of the Republic of Indonesia in the 2014 Election. By combining Samuels Shugart 39 s model of presidentialized party 2010 and Kawamura 2013 as the main theory, coupled with the perspective of Poguntke Webb 2005 , this research produced several findings. First, PDI P, although it was still dominated by Megawati Soekarnoputri role in the party 39 s decision, but exploited the popularity of outsider figure, Joko Widodo, to win the 2014 Election. Second, in the case of PDI P, the principal agent relation is unique because its principal is Megawati only, remembering her central role in the party. As for the agents, there are two parties, first, the party administrators who obedient to Megawati, and since the 2014 election, came the second agent namely Joko Widodo who got the mandate to manage the executive. Third, there are several internal conflict dynamics dominated by conflict between different interests of agents. Fourth, Megawati as principal was having difficulty in controlling her agent, Jokowi, so Megawati was often reminded him with the term party officer . This study concludes that PDI P was presidentialized although it still had a personalized party character."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Primus Wawo
"Ketika pemimpin rezim Orde Baru, Soeharto, dijatuhkan oleh gerakan reformasi rakyat Indonesia pada bulan Mei 1998 harapan berlangsungnya sebuah pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang demokratis menjadi keinginan semua pihak. Semua pihak tentunya tidak ingin lagi melihat adanya berbagai bentuk intervensi dan pemerintah pusat yang berlebihan di luar aturan hukum yang ada, seperti yang tampak pada praktek pemilihan di era Orde Baru. Namun kenyataan justru tidak menunjukkan sebuah perubahan yang signifikan. Bahkan konflik muncul akibat bentuk intervensi seperti di era Orde Baru terlepas dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Studi ini berfokus pada konflik Internal PDI-P antara Megawati (DPP) dan Tarmidi Suhardjo (DPD) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007.
Metode penelitian yang digunakan studi ini meliputi empat aspek. Pertama, pendekatan kualitatif. Kedua, tipe penelitian deskriptif analitis. Ketiga, teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam (interview indepth), data sekunder dengan studi kepustakaan. Keempat, teknik analisis dengan kualitatif.
Adapun temuan-temuan yang dihasilkan dari studi ini dengan menggunakan metodologi di atas meliputi;
Legitimasi hukum yang telah diperoleh oleh Sutiyoso berupa ketetapan DPRD DKI Jakarta tentang mengakuan oleh DPRD DKI Jakarta sebagai Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007, dan penetapan atau pelantikan oleh Presiden RI setelah sebelumnya dipilih secara sah oleh sebagian anggota DPRD DKI Jakarta menunjukkan bahwa secara hukum Sutiyoso adalah Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007.
Meskipun Sutiyoso terpilih sesuai mekanisme perundang-undangan yang berlaku, namun munculnya berbagai kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) yang menolaknya sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan indikasi tidak maksimalnya legitimasi politik yang diperolehnya, Bahkan dukungan yang diberikan oleh Megawati (DPP) terhadap Sutiyoso tidak memperkuat legitimasi politik tersebut, karena Megawati (DPP) melakukannya di luar prinsip-prinsip demokrasi yang berlaku secara umum.
Begitu pula tampilnya elemen kekuatan politik masyarakat baik kelompok kepentingan (interest group) maupun kelompok penekan (pressure group) dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur yang memperjuangkan aspirasi dan calonnya masing-masing harus dipandang sebagai sebuah bentuk partisipasi politik masyarakat Jakarta yang memberi kontribusi terhadap proses demokrasi terutama pada mekanisme pencalonan dan pemilihan. Karena itu adanya penilaian bahwa sejumlah aksi atau demonstrasi tidak murni atau ditunggangi tentu tidak relevan lagi dibicarakan dalam kaitannya dengan proses-proses politik yang terkait dengan kekuasaan dan kepentingan.
Selanjutnya, adanya pengakuan anggota DPRD DKI Jakarta terutama anggota DPRD dari Fraksi PDI-P bahwa diantara mereka tidak diperintah memilih Sutiyoso dapat dianggap sebagai salah satu bentuk kebohongan publik. Sebab munculnya rekomendasi Megawati (DPP) Nomor: 94911NIDPPIVII12002 tanggal 15 Juli 2002 yang memerintahkan agar Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta memilih Sutiyoso setidaknya membuktikan adanya penyimpangan dalam proses politik. Dan penyimpangan itulah yang menjadi hakekat dari sumber konflik internal PDI-P antara Megawati (DPP) dan Tarmidi (DPD).
Konflik muncul karena Megawati (DPP) tidak menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokratisasi, yang berarti pula telah melanggar pokok-pokok pikirannya sendiri yang pernah dilontarkan ke publik sebelum menjadi Ketua Umum PDI-P. Dan sebagai dampak dari penyimpangan ini tidak hanya membuat Tarmidi Suhardjo dipecat sesuai Surat Nomor: 205/DPP/KPTSI/X/2002 tanggal 8 Oktober 2002 dan keluar dari PDI-P, tetapi akan mempengaruhi perolehan suara PDI-P pada pemilu 2004.
Dukungan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDI-P dan sebagai Presiden terhadap Sutiyoso merupakan bukti bahwa penguasa cenderung mempertahankan kekuasaannya. Karena itu dukungan Megawati terhadap Sutiyoso dalam pemilihan Gubennir/Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007 tidak lepas dari kepentingan jangka pendek dan jangka panjang Megawati (DPP). Kepentingan jangka pendek Megawati berupa kepentingan ekonorni dan jaminan stabilitas sisa masa jabatannya. Sedangkan untuk jangka panjang kepentingan Megawati (DPP) berupa naiknya kembali elit PDI-P dipanggung politik nasional setelah memenangi permilu 2004.
Karena itu terpilihnya Sutiyoso yang sangat ditentukan oleh adanya kekuatan politik DPP PDI-P harus dilihat sebagai bagian dari proses tawar menawar politik (bargaining) antara kepentingan Sutiyoso yang ingin terpilih kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta Periode Tahun 2002-2007 dan kepentingan Megawati yang ingin agar masa kekuasaannya yang tanggal beberapa bulan lagi dapat bertahan, serta kepentingan PDI-P untuk pemenangan pemilu 2004.
Namun bagaimanapun juga intervensi Megawati (DPP) dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta dengan mendukung Sutiyoso yang bukan kader PDI-P patut disesalkan oleh kader dan massa PDI-P, karena Megawati selaku Ketua Umum Partai dalam mengeluarkan rekomendasi dalam mendukung Sutiyoso tidak didahului dengan menjelaskan ke seluruh massa pendukungnya bahwa dukungannya terhadap Sutiyoso adalah demi kepentingan kekuasaannya dan kepentingan PDI-P."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13855
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Irawan
"Kekuatan politik yang mapan harus siap melakukan adaptasi dengan tuntutan-tuntutan perubahan politik yang terjadi di lingkungannya. Jika kekuatan politik itu tidak melakukan respon dan beradaptasi dengan perubahan politik, maka perubahan politik akan melemahkan kekuatan politik tersebut. Karenanya, jika kekuatan politik ingin tetap hadir dalam panggung politik maka ia harus terus berdaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Konflik politik di Golkar, pasca kejatuhan politik Soeharto, menunjukkan adanya keinginan dari organisasi ini untuk berubah. Namun, perubahan itu tidak berjalan mulus karena adanya tantangan dari kelompok yang tidak menyukai perubahan.
Konflik politik saat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Juli 1998 dan saat Sidang Umum MPR tahun 1999 menunjukkan keterpengaruhan Golkar akan tuntutan gerakan reformasi yang berada di lingkungan poiitiknya. Tesis ini ingin menjelaskan pengaruh gerakan reformasi terhadap Golkar yang terlihat dalam konflik politik di organisasi yang pernah berjaya di era Orde Baru masa lalu.
Metode penelitian tesis ini adalah deskriptif analitis yaitu menggambarkan hubungan antar fenomena yang terjadi sehingga dapat menjelaskan pokok permasalahan yang ada. Teknik menjaring data dengan cara mewawancarai lima orang tokoh aktivis di lingkungan Golkar yang terlibat dalam konflik-konflik yang terjadi. Selain itu, data juga dihasilkan melalui informasi media massa, dokumen-dokumen yang relevan dan dari buku-buku.
Penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh gerakan reformasi terhadap konflik di Golkar. Tekanan gerakan reformasi menjadi salah satu tekanan yang menyebabkan Harmoko mengeluarkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Digunakannya isu-isu yang sesuai dengan semangat reformasi menjadi bukti lain dari pengaruh gerakan reformasi tersebut.
Konflik politik di Golkar menunjukkan bahwa organisasi ini sangat rentan dengan perubahan. Konflik itu terjadi karena ada sebagian pihak yang tidak siap menerima perubahan-perubahan. Konflik politik adalah ekses yang harus ditempuh oleh Golkar manakala ia ingin melakukan perubahan. Dengan demikian dapat digambarkan bahwa konflik politik di Golkar merupakan salah satu hasil dari tuntutan terjadinya perubahan politik. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Candrasari
"Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan pembuat kebijakan masih sangat rendah baik pada demokrasi yang sudah mapan maupun bagi yang baru tumbuh. Jumlah perempuan menurut data statistik lebih dari 50 persen populasi, namun keterwakilan perempuan tidak proporsional pada semua tingkat pengaruh, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Ketimpangan keterwakilan demokrasi yang sangat besar sebenarnya bergantung pada political will di tingkat para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan yang pertama-tama harus dimulai di dalam sebuah partai politik sebagai stake holder. Sebenarnya konsep kesetaraan gender sama sekali bukan hal mewah dan sudah tidak dapat ditangguhkan lagi bagi negara untuk memberlakukannya.
Dalam dunia politik Perbedaan gender yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan gender atau gender inequalities dan budaya patriarkhi yang dimaksud merupakan suatu sistem dari struktur dan praktek-praktek sosial dalam mana kaum laki-laki menguasai dan menghisap, kata kuncinya adalah kekuasaan laki-laki atas perempuan.
Ketidakadilan gender ini dapat dilihat dari hasil Pemilu 1999 jumlah perempuan yang mendapatkan kursi di tingkat nasional DPR RI hanya mencapai 9 persen dan hasil Pemilu 2004 ada sedikit peningkatan yakni menjadi 11,08 persen. Dan sebagai studi kasus dalam tesis ini diambil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dengan pertimbangan sebagai salah satu partai terbesar dan partai nasionalis.
Dari hasil penelitian data perempuan di struktur harian PDI Perjuangan terutama pada Jabatan Ketua dan Sekretaris hampir dibawah 1 persen mengakibatkan posisi tawar untuk caleg jadi juga rendah karena ada peraturan yang dikeluarkan Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan yakni di dalam SK 304 dan SK 267,tahun 2004 tentang tata cara penjaringan dan penyaringan yang mengatur jabatan Ketua dan Sekretaris berhak mendapat prioritas utama untuk mendapat nomor unit jadi. Adanya standar ganda yang dipergunakan dan masih sangat bias gender karena tidak adanya political will dari para elit-elit partai. Tim penjaring dan penyaring untuk caleg PDI Perjuangan 99, 9 persen terdiri dari laki-laki yang sekaligus para elitis pengurus partai.
Para elit di struktur harian partai di PDI Perjuangan-beranggapan dengan memberikan quota 30 persen bagi perempuan adalah sangat tidak demokratis karena mengacu pada hak istimewa bagi perempuan sehingga mengabaikan laki-laki.
Sehingga di dalam perjalanan perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang setara dengan laki-laki di dunia politik dirasakan perlu di definisikan kembali tentang peran gender dan mengkoreksi stereotip-strereotip dan ketidakseimbangan untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap sumber daya.
Jumlah halaman : 141 : pustaka : 56 buku : 8 dokumen : 12 artikel Surat Kabar/majalah :30 narasumber wawancara : 12 Tabel : 6 lampiran)

Daily Structural Position Influence in the Indonesia Democratic Party the Struggle Against Legislative Recruitment Pattern in the 2004 ElectionWomen involvement in decision and policy making is still underprivileged both in well established and the under developing democracy. Statistical data stated that women were more than 50 percent of population; nevertheless, women's representation is less likely proportional in every influencing level, within the decision and policy makers. This overwhelmingly unbalanced of democratic representation is actually depends on political will amongst those decision and policy makers, which initially started within a political party as the stake holder. Literally, the gender equality concept is not something considered as an inapplicable luxury, and it should not be postponed for the state to apply.
In the political world, gender differential, in which ends up by creating gender inequalities and patriarchy culture, meaning as a system of structure and social practices, where men rules and absorbs, the keyword is men rules over women.
This gender inequality can be seen from the result of the 1999 Election, where the number of women earned positions in the DPR RI at national level were only 9 percent, and from the result of the 2004 Election, there was only a minor increase to 11,08 percent. In consideration as one of the largest political and nationalist party, the case study for this thesis was taken from the Indonesia Democratic Party the Struggle (PDI Perjuangan).
Taken from the study on women's data in the daily structure of the Indonesia Democratic Party the Struggle, focused on its chairman and secretary, which nearly less than 1 percent causing ineffective position to inaugurated legislatives recruits, also low for the policy pronounced by the Central Administration Board of the Indonesia Democratic Party the Struggle, in its SK 304 and SK 267, year 2004, regarding procedures and conducts of recruitment and screening, which placing the Chairman and Secretary position in primary priority to have inaugurate serial number. The use of existing double standard and refractivity in gender caused by lack ness of political will from the Party's elites. The legislative recruitment and screening team of the Indonesia Democratic Party the Struggle were 99.9 percent are men; who also elite of the Party's administrative.
Elites in daily structure of the Indonesia Democratic Party the Struggle considers that, by giving 30 percent of quota to women is so not democratic, because it points to the women's special rights, thus ignoring men.
So that in women's journey toward equality of rights against men in political world is necessary to redefine the gender role and correcting stereotypes and inequalities, in regard to ensure that each citizen is having equal access to resources.
Pages : 141 : Literatures : 56 books : 8 documents : 12 newspaperlmagazine articles : 30 informant interviews : 12 tables : 6 appendixes)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya
"Untuk pertama kalinya Pemilihan Umum (Bab VIIB Pasal 22E) dimasukkan dalam amandemen UUD '45. Selanjutnya Pemilu diatur oleh Undang-Undang nomor 12/2003 yang diantaranya memuat tentang Sistem Pemilu Proporsional Dengan Daftar Calon Terbuka. Sistem Pemilu itu merupakan suatu terobosan politik yang baru di Era Reformasi sehingga menarik untuk diteliti.
Dari latar belakang tersebut timbul pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah Sistem Pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka cukup efektif untuk menjaring calon legislator pilihan rakyat atau malahan menciptakan konflik dan fragmentasi di dalam partai?; 2. Apakah Undang-Undang Pemilu menguntungkan Partai Politik Besar dan merugikan Partai Politik Kecil?; 3. Apakah Undang-Undang Pemilu dapat menciptakan sistem multi-partai sederhana seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang Partai Politik nomor 31 tahun 2002 ?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian penulis memakai pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 7 orang informan kunci dan penelusuran transkrip rekaman persidangan selama pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu sampai disahkan menjadi Undang-Undang No.1212003, didukung data sekunder hasil pemilu 2004, serta studi pustaka.
Teori yang untuk menganalisa penelitian ini memakai: Teori Transisi demokrasi O'Donnel, Teori Sistem Pemilu Reynolds, dan Teori Demokrasi Inklusif Young.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemilu gagal menjaring calon legislator pilihan rakyat, bahkan sebagian menimbulkan masalah dikalangan legislator terpilih. Undang-Undang Pemilu No. 1212003 memberikan keuntungan bagi Partai Besar berupa over-representation, dan merugikan Partai Kecil dengan under-representation. Undang-Undang Pemilu belum dapat menciptakan sistem multi-partai sederhana, tetapi dampaknya mengurangi jumlah peserta Pemilu 2004.
Implikasi teoritisnya adalah teori transisi demokrasi O'Donnel berlaku dalam penelitian ini khususnya bagi Partai Besar PDIP dan Golkar (partai lama), yang mana. Partai Besar cenderung mempertahankan kekuasaannya terhadap pemilih maupun terhadap Partai Kecil dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu No. 12/2003.

For the first time, election (section VIIB article 22e) is included in the amendment of UUD 1945. Furthermore, election is arranged by the Law number 23 years 2003 which inserts the open list proportional system. This system is a new political breakthrough in the reformation era so that interesting to be explored.
From that background, some research questions rise. They are 1) is the system of open List proportional effective to select legislative candidates who are chosen by the voters or does it emerge political conflict and fragmentation among the parties; 2) does it give any advantages for major parties and oppositely disadvantages minor political parties; 3) is the law can develop simple multiparty system as mentioned in the Law number 31 year 2002 on Political Party.
To answer those question, this research applies qualitative approach and the category of the research is descriptive analytic. Primary data collection is examined by using in-depth interview with seven key informants and tracking transcript of codification sessions of the law. is also supported by secondary data such as the result of election in 2004 and literature study.
Theories applied in the research to analyze the issues are theory of transition to democracy from O'Donnel, theory of election from Reynolds, and theory of inclusive democracy from Young.
The result shows that the system of election applied in the law fail to select legislative candidates chosen by the voters, and even raises problems for elected candidates. The law gives advantages for major parties in term of over-representation and disadvantages minor parties in term of under-representation. The Law of Election has not developed simple multiparty system, even though the implication is degradation the number of political parties which involve in the election.
The theoretical implication of the research is that theory of transition to democracy from O'Donnel is relevant with the result of the research, especially for major parties such as Indonesian Democratic Party-Struggle and Golkar, which tend to maintain their power to their voters and minor parties in the codification of the law.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Suhawi
"Penelitian tentang "Peranan Partai Politik Era Reformasi Terhadap Integrasi Nasional yang metigambil studi kasus PDT Perjuangan dan PK Sejahtera" ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan peranan parpol dalam mengintegrasikan aspirasi masyarakat didalam menjaga kohesifitas bangsa Indonesia; Mengkaji peranan PDI Perjuangan dan PK Sejahtera dalam meningkatkan aspek integrasi nasional; Serta mengkaji implikasi reformasi bagi ketahanan nasional dimana PDI Perjuangan dan PK Sejahtera menjadi aktor demokrasi yang diakui secara konstitusional.
Penelitian memakai metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan permasalahan secara asosiatif kepada PDI Perjuangan dan PK Sejahtera dimana sumber data berasal dart sumber primer dan sumber sekunder. Penelitian dilakukan dengan menggunakan indikator ideologi, pola rekrutmen, pola pengorganisasian, sebaran dukungan, kebijakan dari kedua partai terutama yang terkait dengan integrasi nasional.
Adapun teori atau pendapat para ahli yang digunakan untuk melakukan penelitian berkisar seputar teori peranan, partai politik, integrasi nasional, dan ketahanan nasional, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Fertama, Parpol era reformasi melaksanakan peran integrasi nasional melalui fungsinya sebagai sarana komunikasi, sosialisasi, rekrutmen politik, dan pengatur konflik serta tetap menjadi sarana artikulasi dan mengaggregasi kepentingan. Namun peranan parpol era reformasi terhadap integrasi nasional mengalami pent roan kualiths karena perluasan partisipasi masyarakat tidak berbanding lures dengan kemampuan sumberdaya parpol, termasuk lembaga-lembaga negara lainnya; Kedua, PDI Perjuangan dan PK Sejahtera memiliki peran panting bagi terwujudnya integrasi nasional. PDI Perjuangan sebagai partai terbuka dapat menunjang penguatan aspek integrasi nasional Indonesia sebagai bangsa majemuk. Begitu pula dengan PK Sejahtera, karena ia mengikuti kaidah - kaidah demokrasi didalam memperjuangkan tujuan idiilnya; Ketiga, Euforia politik selama reformasi menjadikan negara pada posisi tidak stabil akibat ledakan partisipasi rakyat yang tidak mampu dikelola oleh institusi politik yang ada. Hal demikian disadari oleh partai - partai politik era reformasi, karma itu ia melalui kadernya di badan legislatif mulai membuat regulasi jurnlah partai melalui pemilu agar bisa menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi ketahanan nasional bersendikan demokrasi. Artinya, parpol era reformasi insyaf akan pentingnya sistem multi partai terbatas (proporsional) dalam rangka konsolidasi demokrasi sehingga tercipta kohesi sosial dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Terkait dengan temuan penelitian ini, peneliti merekomendasikan agar peranan parpol era reformasi terhadap integrasi nasional bisa lebih optimal, maka setiap parpol perlu segera berbenah did dengan meningkatkan sumber days yang dimiliki sehingga dapat mengelola partisipasi masyarakat dan mampu melembagakan konflik atau kepentingan yang sating bersaing. Oleh sebab itu, parpol juga perlu mengetahui lingkup serta intensitas perbedaan agama dan etnis, kesenjangan antara kelompok tradisional dan kelompok modem, kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan, termasuk ideologi - ideologi yang saling bersaing. Karena semua itu hams diagregasi dan diartikulasikan oleh parpol yang eksis dalam pentas politik nasional. Apalagi jumlah parpol selama transisi demokrasi sangat tergantung pada fragmentasi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Dengan begitu, parpol era reformasi melalui lembaga legislatif dan eksekutif hazes memastikan bahwa ia melaksanakan perannya dalam memperkuat integrasi nasional dimana secara gradual mengurangi emosentrisme yang mengancam integrasi nasional melalui Undang-undang tentang partai politik dan pemilihan umum.

The research about " The Role Of Political Party Era Reform To National Integration taking case study of PDI Perjuangan and PK Sejahtera conducted with the objective as a mean to describe the role of political party in integrating society aspiration in taking care of Indonesian nation cohesively; Studying the role of PDI Perjuangan and of PK Sejahtera in improving the national integration aspects; And also to study the reform implication to national resilience whereas PDI Perjuangan and of PK Sejahtera become democracy actors confessed constitutionally.
The research uses qualitative method by using approach of analysis description where the source of data came from the primary and the secondary sources. The research conducted by using ideology indicator, pattern of recruitment, organizational pattern, dispersion support, policy of both party - especially which related to national integration.
As for opinion or theory of experts used to conduct research gyrate in around role theory, political party, national integration, and national resilience. So that it obtained the following conclusion: First, political parties in reform era has been doing the role of national integration through communication medium function, socialization, political recruitment, conflict management, and remain consistent in being articulation medium and interest of aggregation. But the quality of the role of political parties in reform era to national integration is declining because the expansion of people participation is not directly proportional with capability and capacity of parties resources, including other state institutions; Second; that both parties have their important roles to form the National integration. PDI Perjuangan as an open party can support reinforcement of national integrity aspects to Indonesia as a plural nation. So does with the PK Sejahtera, because it follows democracy methods in achieving its ideal target; Thirr Political Euphoria during reform will make unstable state on course effect of people participation explosion which unable to be managed by existing political institution. This condition is realized by political parties in reform era; therefore, through their cadre in legislative institution, they begin to make regulation of parties number through the election in order to create more conducive climate of national resilience based on democracy. It means that political parties have realized the importance of definite multi parties (proportional) in order to make democracy consolidation so it can be created social cohesion that involve people participation.
Related to the invention of this research, the researcher recommends that in order to make the role of political parties in reform era to national integration more optimum, each party needs to improve themselves by increasing their resources so they are capable to manage people participation and also able to institute the conflicts or compete interests. Therefore, political parties need also to know the scope and the intensity of ethnic and religion diversity, the gap between traditional and modem group, the gap between city and rusticity, including the compete ideologies, because those all factors must be aggregated and articulated by political parties that exist in national political stage. Moreover, number of political parties within democracy transition is much depend on the fragmentation happened between society. Therefore, political parties in reform era through Legislative and executive institution must ensure that they can implement their role in strengthening national integration and gradually decreasing that menace national integration through political party regulations and general election.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T24551
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Meissy Sabardiah
"Partai Politik memegang peranan penting dalam upaya mewujudkan demokrasi di suatu negara, mengingat kedudukannya sebagai peserta pemilihan umum yang berusaha menjaring suara dan aspirasi masyarakat untuk meraih kekuasaan dalam negara dan mewujudkan aspirasi tersebut dalam kebijakan publik. Dengan diundangkannya Undang-undang No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik maka terhadap parpol dapat diajukan gugatan perwakilan masyarakat sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran Undang-undang oleh partai politik tersebut, dimana apabila terbukti maka terhadap partai yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi diantaranya sanksi pencabutan hak partai politik untuk ikut serta dalam pemilu. Proses penjatuhan sanksi di atas dilakukan setelah melalui proses peradilan di Mahkamah Agung yang diatur lebih lanjut melalui PERMA No. 2 tahun 1999 Tentang Pengawasan Partai Politik sebagai pedoman dalam melaksanakan proses peradilan termaksud. Pengaturan ini tidak mengatur Hukum Acara apa yang dijadikan acuan dalam memeriksa, menyidangkan dan memutus perkara tersebut. Namun dalam kasus, mekanisme peradilan terhadap gugatan atas partai politik dilakukan dengan berpedoman pada Ketentuan H.I.R dan ketentuan dalam PERMA No. 2 tahun 1999."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>