Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60755 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dimas Widiananto
Universitas Indonesia, 2010
S24914
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reinhard Richard S
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20328
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusraad Darmawidjaja
"ABSTRAK
Lembaga Leasing khususnya. Financial Leasing baru dikenal di Indonesia
pada awal tahun 1974 yang berasal dari Negara Amerika
Serikat yang tumbuh sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Per
kembangan lembaga ini di Indonesia demikian cepat, hal ini
mudah dipahami karena dev/asa ini tidak sedikit perusahaan
yang mendapat kesulitan di dalam memperoleh sumber keuangan
untuk capital equipment,
Sebagai lembaga baru sudah barang tentu landasan hu
kum tidak dapat diketemukan di dalam'Hukum Perdata Positip
di Indonesia. Namun demikian mengingat peranan lembaga lea
sing ini cukup besar didalam meningkatkan pembangunan pere
konomian nasional, maka Pemerintah pada tanggal 7 Pebruari
197k menetapkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan ,
Perdagangan dan Industri Nomor Kep. 122/MK/IV/2/197^> No -
mor 32/MK/SK/2/197A-> Nomor 30/KPB/I/197^ ten tang Perizinan
Usaha Leasing, disusul kemudian dengan Peraturan-peraturan.
pelaksanaan. Dari pasal 1 Surat Keputusan Bersama tersebut
diperoleb pengertian mengenai leasing, yang dapat disimpul
kan sebagai salah satu metode pembiayaan barang modal yang
dipergunakan perusahaan lessee ( pemakai barang modal ) un
tuk jangka waktu tertentu dengan pembayaran berkala kepada
pihak lessor ( penyedia dana ) disertai hak pilih ( optie))
untuk membeli barang modal atau memperpanjang waktu leasing setelah kontrak berakhir.
Bagi lessor dalam suatu Financial Leasing,tujuan utamanya
adalah memperoleh kembali biaya yang telah dikeluarkan-
untuk pembiayaan penyediaan barang yang di lease dengan
keuntungan, Sedangkan bagi pihak lessee adalah mendapatkan
pembiayaan untuk penambahan peralatan tanpa adanya
keinginan untuk memiliki sendiri barang modal tersebut kecuali
apabila lessee melaksanakan hak opsi membeli barang
modal setelah berakhirnya perjanjian leasing. Pemilikan ba
rang yuridis atas barang modal tetap berada ditangan pihak
lessor, sedangkan pemilikan ekonomis sepenuhnya berada di
tangan pihak lessee.
Didalam Financial Leasing ini, pihak lessor mempu -
nyai resiko yang lebih besar bertalian dengan barang modal
yang dilease jika dibandingkan dengan pihak lessee,Hal ini
mudah dipahami karena penguasaan fisik atas barang , modal
yang dilease berada sepenuhnya ditangan pihak lessee.
Yang menjadi permasalahan bagi pihak lessor . adalah
bila pada v/aktu pelaksanaan kontrak leasing, pihak ; lessee
melakukan v/anprestasi, terjadi kepailitan, penangguhan pem
bayaran, kerusakan atau hilangnya atas barang modal yang
di lease, penyitaan ataupun penyerahan barang kepada pihak
ketiga.
Untuk mencegah kerugian-kerugian yang akan -timbul
di pihak lessor maka menurut penulis perlu diterapkannya -
lembaga jaminan didalam perjanjian Financial Leasing ini
sama halnya dengan jaminan-jaminan untuk kredit perbankan,
yakni berupa jaminan kebendaan, jaminani perorangan/persero
an mengingat kepemilikan yuridis atas objek barang leasing
belum cukup kuat.

"
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutauruk, Rufinus
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Riana Putri
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan hak atas informasi, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan, hak untuk memilih jasa dalam putusan, hubungan hukum antara konnsumen dan pelaku usaha serta analisis terhadap putusan mengenai pertanggungjawaban PT Wahana Auto Ekamarga. Terkait dengan pembahasan tersebut, digunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. PT Wahana Auto Ekamarga melanggar hak konsumen untuk didengar keluhannya dan hak konsumen untuk memilih jasa. Sesuai dengan asas konsensualisme, di antara R.E. Baringbing dan PT Wahana Auto Ekamarga telah terjadi hubungan kontrak. Atas pelanggaran hak-hak konsumen dan wanprestasi, PT Wahana Auto Ekamarga seharusnya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian konsumen.
Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam layanan jasa bengkel, pelaku usaha sebaiknya tidak melakukan perbaikan sebelum ada kesepakatan dari pihak konsumen meskipun perbaikan sebenarnya dibutuhkan, konsumen sebaiknya membaca petunjuk perawatan berkala dalam buku manual dan majelis BPSK serta majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani perkara ini sebaiknya dapat menjadikan tindakan pelaku usaha yang telah melakukan perbaikan tidak sesuai dengan kesepakatan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kesalahan pelaku usaha.

This thesis discusses about the implementation of the right to information, the right to be heard on expressing opinion and complaints, the right to choose the services, legal relation between consumer and entrepreneur, as well as analysis of decision about responsibility of PT Wahana Auto Ekamarga for the loss suffered by consumers of garage services. The Law that is being used related in this thesis is Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. PT Wahana Auto Ekamarga violated the rights of the consumer to be heard in expressing complaints and to choose the services. In accordance with the principle of consensualism, contractual relationship between R.E. Baringbing and PT Wahana Auto Ekamarga has been made. For that infringement of consumer rights and breach of contract, PT Wahana Auto Ekamarga should be responsible to indemnify the damages suffered by consumer.
Research suggest that entrepreneur should not do the repairment before consumer gives their agreement despite it is needed, consumer should read the periodic maintenance instructions in the manual, and the judges that handled this case should be able to make the act of entreprenuer who repair that not based on the agreement from consumer as a basis of consideration in determining the mistake of entrepreneur.Keyword Consumer Protection Legal Relation The Rights of The Consumers."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S67370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna
"Berdasarkan hukum perjanjian, pihak yang terdampak peristiwa keadaan memaksa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Namun, dalam hal perjanjian memuat prinsip hell or high water, yang umumnya terdapat pada perjanjian sewa guna usaha pesawat, kewajiban penyewa bersifat absolut dan tanpa syarat, serta tanpa memperhatikan kondisi apapun yang dialami penyewa, termasuk apabila terdampak oleh peristiwa keadaan memaksa, sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak. Keberlakuan prinsip hell or high water apabila terjadi peristiwa keadaan memaksa menjadi menarik untuk dibahas. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh peristiwa keadaan memaksa terhadap pengaturan prinsip hell or high water dalam perjanjian sewa guna usaha pesawat. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan didukung dengan wawancara terhadap narasumber di Maskapai Penerbangan X. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prinsip hell or high water dimuat secara konsisten, bersifat
fundamental, dan merupakan praktik kebiasaan dalam sewa guna usaha pesawat.
Peristiwa keadaan memaksa tidak mempengaruhi keberlakuan klausul hell or high water. Namun pada praktiknya, para pihak masih dapat melakukan negosiasi terhadap penerapan prinsip hell or high water. Kewajiban penyewa tetap harus dilaksanakan secara absolut, akan tetapi waktu pelaksanaannya dapat disepakati bersama dengan mempertimbangkan kondisi penyewa. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan peran serta pengadilan untuk menerapkan teori keadilan komutatif dan asas keseimbangan dalam berkontrak dalam rangka melindungi pihak yang terdampak peristiwa keadaan memaksa, terutama apabila para pihak tidak dapat menyepakati penyesuaian ketentuan dalam perjanjian pada tahapan negosiasi secara komersial.

According to the contract law, party affected by force majeure cannot be held responsible for not performing its contractual obligations. However, this does not apply if the agreement includes a hell or high water principle, generally found in the aircraft lease agreement, which stipulates lesseeā€™s obligations to be absolute and unconditional, without regard to any circumstances, including force majeure, consistent with freedom of contract principle. It is interesting to discuss the applicability of hell or high water principle in case the lessee experienced force majeure event. This study aims to analyse
how force majeure events affects the application of the hell or high water principle in the aircraft lease agreement. The approach of this study is normative juridical approach supported by information obtained through interviews with employees of Airline X. This study shows that the hell or high water principle is stipulated consistently, fundamental in nature and a customary practice in aircraft leasing. Force majeure events do not affect the enforceability of a hell or high water principle. However, in
practice, the parties can still negotiate the application of the hell or high water principle. Lessee still absolutely obliged to perform the terms of the agreement, but the parties can mutually agree on the time of such performance, by taking into account circumstances surround Lessee. Even so, the role of the court is still needed to apply the commutative justice theory and the contractual balance principle in order to protect the party affected by the force majeure events, particularly if the parties cannot agree on adjusting the terms of the agreement at the commercial negotiation stage
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Safarina
"Pesawat terbang sebagai salah satu alat transportasi bagi manusia mempunyai karakteristik mampu mencapai suatu tempat dalam waktu cepat, berteknologi tinggi dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan. Pesawat terbang dalam perkembangannya semakin dibutuhkan manusia sehingga banyak dilakukan usaha pengadaan pesawat terbang oleh berbagai perusahaan penerbangan. PT Mandala Airlines sebagai salah satu perusahaan penerbangan di Indonesia, untuk meningkatkan pelayanan jasa penerbangan juga menambah armadanya dengan membeli pesawat terbang, namun karena harga pesawat terbang yang mahal, PT Mandala Airlines menemui kesulitan untuk membeli pesawat terbang secara tunai, sehingga ditempuhlah salah satu cara yaitu membeli pesawat terbang dengan sistem leasing. Perjanjian leasing tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, namun hal ini tidak menghalangi berkembangnya hukum perjanjian yang telah ada di Indonesia. Pelaksanaan perjanjian leasing didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang dibatasi oleh pasal 1339 KUHPerdata, di mana para pihak yang mengadakan petjanjian boleh mengadakan perjanjian apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum. Di Indonesia belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing. Pengaturan tentang leasing diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan R.I. No.1169/ KMK.Ol/1991 tanggal27 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa - Guna - Usaha (Leasing). Perjanjian Leasing pesawat terbang -boeing 73 7 - 200 Advanced Aircraft pada PT Mandala Airlines pada prakteknya menganut asas kebebasan berkontrak, di mana PT Mandala Airlines sebagai Lessee telah menyetujui lease agreement yang dibuat oleh Lessor, sehingga lessee terikat kontrak dengan lessor dan harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh lessor dalam lease agreement pesawat itu. Namun di kemudian hari lessee wanprestasi yaitu lessee melakukan pembayaran, tetapi tidak sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian leasing sehubungan dengan perbaikan mesin yang ada pada pesawat Boeing tersebut. Hal ini tetjadi karena adanya salah paham dalam menginterpretasikan bahasa dalam perjanjian leasing tersebut, sehingga persepsi antara lessor dan lessee terhadap isi perjanjian leasing berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Widita Kusumowidagdo
"ABSTRAK
Kegiatan leasing merupakan hal yang umum dilakukan di Indonesia dan merupakan
jenis pengadaan utama yang biasanya dilakukan dalam kegiatan komersil terkait
pesawat udara. Perjanjian leasing pesawat udara yang dilakukan di Indonesia
cenderung bersifat melintasi batas negara (internasional) sehingga masuk ke dalam
ruang lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI). Aspek-aspek HPI yang terdapat
dalam skripsi ini diantaranya mengenai status personal badan hukum, pengakuan dan
pelaksanaan putusan (Recognition and Enforcement), pilihan hukum dan pilihan
forum dalam kontrak. Skripsi ini termasuk penelitian hukum normatif. Skripsi ini
juga membahas perbandingan ketentuan hukum Indonesia dengan ketentuan
UNIDROIT Model Law on Leasing dan bagaimana leasing internasional diterapkan
di Indonesia.

Abstract
Leasing transactions are common commercial practice and is one of the main
methods of aircraft financing in Indonesia and around the world. Aircraft leasing
agreements in Indonesia commonly have an international or cross-border
characteristic, making it a scope of study in Private International Law (PIL). PIL
aspects analysed in the thesis includes personal status of legal entities, recognition
and enforcement of court judgments, choices of law and forum in a cross-border
commercial agreement. This thesis adopts a normative method for research. This
thesis also includes a comparison of Indonesian Law and the UNIDROIT Model Law
on Leasing and its? implementation in international leasing contracts in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2012
S43674
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ita Roikhatul Jannah
"Pengadaan pesawat udara melalui perjanjian leasing di Indonesia menjadi salah satu cara maskapai penerbangan untuk mengembangkan bisnisnya dikarenakan mahalnya biaya pengadaan pesawat udara jika melalui jual beli. Untuk membantu pengadaan pesawat udara tersebut, Indonesia telah mengaksesi Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya dan telah melakukan penyesuaikan dalam Undang-Undang Penerbangan 2009. Namun demikian, aksesi tersebut menyebabkan ketentuan mengenai lembaga jaminan hipotek atas pesawat yang sebelumnya terdapat dalam Undang-Undang Penerbangan 1992 hapus. Dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 hanya menyebutkan bahwa pesawat untuk dapat dibebani kepentingan internasional yang merupakan terjemahan dari istilah international interest dalam Konvensi Cape Town 2001. Hal tersebut menimbulkan permasalahan lembaga jaminan apakah yang berlaku atas pesawat udara setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001. Dalam penulisan ini akan digunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder.
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa jaminan yang berlaku atas pesawat udara di Indonesia setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001 adalah hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162-1232 KUH Perdata dan Pasal 314-315 KUHD. Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Penerbangan 2009 yang menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Cape Town 2001 beserta Protokolnya berlaku sebagai lex specialis dalam undang-undang ini sehingga ketentuan Article VIII II Protokol Konvensi Cape Town 2001 yang mengatur mengenai pilihan hukum para pihak berlaku pula untuk menentukan hukum jaminan atas pesawat udara. Dengan demikian, ketiadaan peraturan yang mengatur mengenai jaminan atas pesawat udara secara tegas dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 tidak mengakibatkan terjadi kekosongan hukum karena ketentuan dalam KUH Perdata dan KUHD tentang hipotek dan ketentuan dalam Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya mengenai pilihan hukum berlaku untuk mengatur hukum jaminan atas pesawat udara.

Aircraft procurement through leasing agreement in Indonesia is one of several ways for airlines to develop their business due to the high cost of aircraft procurement by buying and selling. To assist the procurement of an aircraft, Indonesia has accessioned The Cape Town Convention 2001 and its protocol and also adopted it in Law Number 1 Year 2009 on Aviation. After the accession, the provisions regarding mortgage in Law Number 15 Year 1992 on Aviation is revoked. In the Cape Town Convention 2001, the term international interest is defined by Law Number 1 Year 2009 on Aviation as an ldquo kepentingan internasional rdquo . It raises the question of what securities under Indonesian law applies to the aircraft after the accession of the Cape Town Convention 2001. In this thesis will uses juridical normative research method using secondary data.
From the results of the research, the author found the law under Article VIII II of the Protocol to Cape Town Convention 2001 applies to the aircraft security after the accession of Cape Town Convention 2001. The provision of Article 1162 1232 Civil Code Indonesia and Article 314 315 Commercial Code Indonesia on mortgage still valid. Beside that, the provision of the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol is applicable under the virtue of the Article 82 of Law Number 1 Year 2009 on Aviation states that the provisions of the Cape Town Convention 2001 as lex specialis in this law. The absence of aircraft security regulations in the Law Number 1 Year 2009 on Aviation cannot be considered as a legal vacuum as the provision in the Civil Code Indonesia, Commercial Code Indonesia and the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol provide the laws governing aircraft security."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>