Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124048 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imam Heykal
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25456
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Paman Nurlette
"Corak bangunan sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa ini sangat bervariatif, hal itu berimplikasi pada pergeseran fungsi, kewenangan dan kedudukan organ-organ Negara dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan. Salah satu implikasi dari Perubahan iklim sistem ketatanegraaan pasca Reformasi ialah, terjadi pemangkasan terhadap fungsi dan kewenangan lembaga MPR, Dahulu MPR memeliki kewenangan yang paling kuat dalam sistem ketatanegraaan Indonesia sebagai lembaga tertinggi Negara. Sehingga mendistribusikan kekuasaanya secara vertical-struktural, namun setelah terjadi Perubahan UUD 1945, maka kini MPR telah menjadi lembaga tinggi Negara dan kekuasaannya ada pada lembaga Negara lain secara horizontal-fungsional, sehingga MPR sudah bersetara dengan lembaga-lembaga Negara lain seperti DPR, Presiden, DPD, BPK, MA, MK dan KY. Akan tetapi tidak ada suatu hal yang salah dengan keinginan untuk memperkuatkan lagi fungsi dan kewenangan MPR dalam sistem ketatanegaraan. Fakta empiris membuktikan dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini eksistensi MPR lebih kepada lembaga seremonial, seharusnya sebagai lembaga yang menjadi tempat bernaungnya para anggota DPR dan DPD, seyogyanya MPR dapat menjadi tempat para wakil rakyat bermusyawarah untuk membicarakan hal-hal strategis. Namun selama ini Negara sudah kehilangan esensi bermusyawarah, DPR lebih kental dengan kekuatan politik partai yang penuh dengan lobi dan belum tentu apa yang diputuskan menjadi kepentingan seluruh masyarakat. Ketika MPR diperkuatkan fungsi dan kewenangan dalam sistem ketatanegraan Indonesia, maka ada kebijakan-kebijakan strategis dan substantif yang bisa dibahas secara bersama antara DPR dan DPD dengan melepas atribut partai atau kedaerahan. Akan tetapi tentu kewenangan MPR juga perlu dibatasi hanya pada hal-hal fundamental, seperti masalah penguatan ideologi, menjadi lembaga yang menengahi kisruh politik yang mampu memecah belah bangsa.

The style of building the Indonesian constitutional system today is very varied, it has implications for the shift in the function, authority and position of State organs in the hierarchy of statutory regulations. One of the implications of climate change in the post-Reform constitutional system is that there was a reduction in the functions and authority of the MPR institution. In the past, the MPR had the most powerful authority in the Indonesian constitutional system as the highest state institution of the State. So that it distributes its power verticallystructurally, but after the changes to the 1945 Constitution, the MPR has now become a high state institution and its power is horizontally functional in other state institutions, so that the MPR has become equal with other State institutions such as the DPR, the President, DPD, BPK, MA, MK and KY. But there is nothing wrong with the desire to strengthen the function and authority of the MPR in the constitutional system. Empirical facts prove that in the practice of the Indonesian constitution so far the existence of the MPR is more to ceremonial institutions, it should be an institution that houses the members of the DPR and DPD, should the MPR be a place for representatives of the people to deliberate to discuss strategic matters. But so far the State has lost the essence of deliberation, the DPR is more thick with party political power that is full of lobbying and not necessarily what is decided is in the interests of the whole community. When the MPR is strengthened functions and authority in the Indonesian administrative system, there are strategic and substantive policies that can be discussed together between the DPR and DPD by removing the party or regional attributes. But of course the authority of the MPR also needs to be limited to fundamental matters, such as the problem of strengthening ideology, becoming an institution that mediates political chaos capable of dividing the nation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sudiyatmiko Aribowo
"Tesis ini membahas tentang sistem pemilu yang berkembang saat ini termasuk di Indonesia. Pemilu merupakan pelaksanaan kehendak rakyat sebagai perwujudan dari demokrasi. Anggota legislatif yang terpilih adalah wakil rakyat yang diharapkan dapat mengemban amanat rakyat. Indonesia pada dasarnya menganut sistem pemilu proporsional dengan daftar calon yang disusun oleh partai pada daerah dengan perwakilan jamak. Pada awalnya sistem pemilu Indonesia menerapkan daftar tertutup (proporsional tertutup) tetapi sejak diberlakukannya UU Nomor 10 Tahun 2008, daftar calon bersifat terbuka (proporsional terbuka) sehingga calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan menjadi calon terpilih. Penetapan calon yang terpilih ternyata tidak semudah yang dibayangkan karena terdapat sistem yang mengatur tentang penghitungan dan pembagian kursi legislatif bagi partai dan calon. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan dilakukan dengan teori pemilu, teori aturan pemilu serta konsep tentang pemilihan sistem pemilu, perbandingan sistem pemilu, desain aturan pemilu, mekanisme pemilu, partisipasi pemilih, dan proporsionalitas. Untuk memperoleh kesimpulan dari tujuan penelitian, maka hal-hal yang disampaikan adalah meliputi sistem pemilu, perbandingan sistem penghitungan perolehan kursi DPR dalam UU pemilu, dan penerapan sistem penghitungan perolehan kursi dalam Pemilu Tahun 2009.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa sistem penghitungan perolehan kursi DPR pada Pemilu Tahun 2009 dan yang akan diterapkan dalam Pemilu Tahun 2014 ternyata sangat rumit dan tidak mudah untuk dipahami bagi penyelenggara pemilu, partai dan calon legislatif, apalagi rumusan yang dibuat oleh pembentuk UU ternyata tidak sederhana dan berbelit-belit. Akibatnya, terdapat berbagai penafsiran atas sistem penghitungan perolehan kursi DPR baik oleh KPU, partai maupun calon legislatif, sehingga pada Pemilu Tahun 2009, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan judicial review dan pengujian undang-undang yang saling bertentangan tentang sistem penghitungan perolehan kursi DPR. Kerumitan rumusan sistem penghitungan perolehan kursi DPR tersebut dapat mengakibatkan disproporsionalitas pembagian kursi DPR yang pada akhirnya banyak suara pemilih yang terbuang sia-sia.

This thesis discusses the development of electoral system developed, including in Indonesia . Election is the implementation of the will of the people as the embodiment of democracy . Legislators are representatives of the people, who are expected to carry out the mandate of the Indonesian people, basically adhere to the proportional representatives system with a list of candidates drawn up by the party in the multi member district. At first, Indonesian electoral system implements a closed list but since the enactment of Act No. 10/2008, electoral system implements an open list so that the candidate who gets the ost votes is elected . Determination of the elected candidate was not as easy as one might imagine because there is a complex system for calculation and distribution of legislative seats for parties and candidates . By using normative juridical research methods, the approach made by the theory of elections, electoral rules theory and the concept of electoral system choice, comparative electoral systems, the design of electoral rules, electoral mechanisms, voter participation, and proportionality. To obtain the conclusion of the study objectives were presented with the electoral system, the comparative of the legislative distribution seats system in the Indonesia election law, and the application of the distribution seats system in the general election at the 2009.
Based on the results of the research is that the distribution seats system at the election in 2009 and which will be implemented in the 2014 election are complicated and not easy to understand for the organizers of the election, prty and the candidates, especially the formulation made by the law maker was not a simple and complicated. As a result, there are different interpretations of distribution seats system, either by the electoral Commission, parties and candidates, so that the election of 2009, the Supreme Court and the Constitutional Court made an opposing judicial review about the distribution seats system. The complexity formula of distribution seats system could result in disproportionality distribution of legislative seats and at the end, many voters are wasted.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T38759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: BP. Dharma Bhakti, 2002
R 342.03 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andi Iswanto
"Skripsi ini mengkaji dan membahas topik fenomena peran fraksi DPR RI, sebagai isu yang tengah mengemuka, yaitu adanya upaya pembubaran fraksi oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) karena fraksi dinilai banyak berperan di dalam pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR dan dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sehubungan dengan itu, maka penelitian ini difokuskan pada salah satu pelaksanaan fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi dalam penentuan ambang batas parlemen dalam pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini diangkat karena dalam penentuan ambang batas parlemen terjadi perdebatan alot di antara fraksi-fraksi DPR. Di satu pihak, fraksi kecil (FPPP) yang khawatir gagal meraih suara signifikan, bersikeras mempertahankan besaran ambang batas parlemen 2,5%, sedangkan fraksi menengah (FPKS) menginginkan besaran ambang batas parlemen 3%-5%. Di pihak lain, fraksi besar (FPG), dengan hasrat meraih kursi lebih banyak, bersikukuh menaikkan besaran ambang batas parlemen 5%. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis. Data diperoleh melalui tinjauan pustaka dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran fraksi DPR kuat dan mendominasi dalam pelaksanaan fungsi legislasi DPR, yaitu dalam penentuan ambang batas parlemen dalam pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini sebagaimana terlihat, baik dari aspek pengorganisasian anggota fraksi, aspek substansi kebijakan fraksi maupun aspek sistem pengawasan fraksi. Sementara, jika ditinjau dari teori perwakilan politik maka termasuk dalam teori kebebasan dengan tipe hubungan yang partisan.

This study examined and discussed the phenomenon topic on the role of the House of Representatives’ factions, as the central issue raised during the discussion, namely the dissolution of factions by the National Anti-Corruption Movement (GNPK) since factions were being assessed as playing a significant role in the execution of the functions, duties, and powers of the House of Representatives which were against the 1945 Constitution. Accordingly, this study focused on the exercise of one of the functions of the House, that is the legislation function in deciding parliamentary threshold during discussion on Bill on the Amendments to Law No. 10 of 2008 on the Election of Members of DPR, DPD and DPRD. The issue was raised because there were tough discussions among factions before the floor made any decisions on parliamentary threshold. On the one hand, faction with small number of MPs (PPP Faction) that was concerned on the failure to reach significant number of vote insisted on maintaining massive parliamentary threshold of 2.5%, while faction with not to large number of MPs (PKS Faction) wanted a massive parliamentary threshold of 3%-5%. On the other hand, faction with larger number of MPs (PG Faction), with an enthusiasm of getting more seats on the next election, insisted in raising thkeye percentage to 5% of parliamentary threshold. This study used a qualitative research design with descriptive analysis. Data were obtained through literature reviews and interviews.
The results showed that the ruling faction played significant role and dominated the legislation functions of the House, especially during the discussion on parliamentary threshold decision on Bill on the Amendments to Law No. 10 of 2008 on Election of Members DPR, DPD and DPRD. That conclusion was clearly manifested both in organizational aspect of faction members, faction's policy substance aspect as well as faction’s supervision system aspect. While, based on the review of the theory of political representation, it can be concluded that there was a theory of freedom with a partisan type of relationship that worked within.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S44060
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Valina Singka Subekti
"ABSTRAK
Disertasi ini membahas dinamika politik proses perubahan UUD 1945 di MPR 1999-
2002 pada masa transisi demokrasi, terhadap lima isu utama, yaitu : 1) dasar negara dan
agama, 2) DPR 3) DPD, 4) MPR dan 5) sistem pemilihan Presiden langsung. Tujuan
penelitian, pertama, melihat bagairnana pandangan dan sikap fraksi-fraksi di PAH BP
MPR terhadap lima isu tersebut, dan bagaimana perdebatan itu berlangsung. Kedua,
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan dan sikap fraksi. Apakah
dipengaruhi oleh latar belakang sejarah ideologis partai, atau oleh latar belakang
kepentingan partai. Ketiga, menjelaskan dan mengnalisis perkembangan ilmu politik
melalui studi proses perubahan UUD 1945.
Metode penelitian adalah kualitatiff Posisi peneliti sebagai participant-observer,
mempengaruhi otentisitas penelitian. Pendekatan struktural dan kultural digunakan unmk
memperoleh refleksi mendalam atas fenomena yang diteliti. Teori transisi demokrasi
digunakan untuk menjelaskan setting politik perubahan UUD 1945. Teori elite oleh
Robert Michell, teori aliran politik oleh Geertz dan Feith, dan teori lconflik oleh Maurice
Duvergor dan Maswadi Rauf untuk menjelaskan proses dan dinamika interaksi politik
fraksi-fraksi di MPR.
Hasil penelitian menunjukkan, pertama, peran elite fraksi di PAH BP MPR dan DPP
partainya sangat besar, juga masyarakat sipil dalam mempengaruhi proses pembahan
UUD 1945. Kedua, fraksi-fraksi bersikap bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah
final sehingga yang diperdebatlcan bukan substansi Pancasila, tetapi masalah
penempatannya saja. Ketiga, dalam masalah agama (Pasal 29) masih nampak wama
aliran mempengaruhi secara terbatas pandangan dan sikap fraksi. ?Aliran? disini berbeda
wujudnya dari aliran politik yang menjadi mainstream utama politik Indonesia masa lalu.
Aliran lebih bermakna sebagai identitas politik partai. Keempat, pada lima isu yang
dibahas, posisi fraksi-fraksi bergerak antara reformis moderat dan refomis progresif;
berlainan dengan temuan Blair mengenai dikotomi konservatif-progresif dalam
pengelompokan fraksi-fraksi di PAH BP MPR.
Implikasi teoritis memperlihatkan adanya perubahan dan kontinuitas dalam aliran politik
di Indonesia. Aliran politik tidak dapat lagi seutuhnya dilihat seperti yang dimaksudkan
Geertz maupun Feith. Aliran politik dewasa ini lebih digunakan sebagai alat identitas
politik partai. Fenomena perubahan ideologi di tingkat global dan menguatnya
pragmatisme di kalangan umat Islam akibat proses deideologisasi dan modernisasi
ekonomi selama Orde Baru telah memunculkan masyarakat Islam yang lebih
mengutamakan Islam kultural daripada Islam sebagai ideologi."
2006
D796
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>