Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117746 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 1999
S26300
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irawati Harsono
"Dalam disertasi ini saya ingin menunjukkan bahwa posisi polisi wanita (polwan) di Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan (Polrestro Jaksel) ditentukan oleh interaksinya dengan polisi Iaki-laki (polki) dalam sebuah dunia kerja yang disebut dunia kerja Iaki-Iaki. Hubungan polwan polki tersebut banyak dipengaruhi oleh struktur gender, meskipun demikian daiam berbagai struktur hubungan, struktur gender tersebut dapat di "simpan" sesuai dengan konteks yang melingkupi dan kebutuhan pelaku hubungan.
Disertasi ini menekankan bahwa penggolongan merupakan fenomena individual yang muncul dalam interaksi sosial. Fokus pembahasan ditujukan kepada polwan dan polki, baik sebagai individu maupun golongan dan hubungan keduanya dalam lingkungan dunia kerianya yaitu kepoiisian yang disebut dunia kerja Iaki-Iaki.
Dunia kerja di Polrestro Jaksel dipersepsikan sebagai dunia kerja Iaki-laki karena sangat lama kepolisian di Indonesia hanya mempunyai anggota polki dan baru pada pertengahan abad ke 20 polwan masuk ke dalamnya. Dengan anggota hanya Iaki-Iaki, kebudayaan polisiyang berkembang di sana menjurus bersifat patriarkal dan maskulin mengedepankan dan mengakomodasi kepentingan "patriark", bapak atau Iaki-Iaki. Hal ini tentu juga mempengaruhi Polrestro Jaksel sebagai bagian dari Polri. Kebudayaan tersebut menekankan pada temperamen maskulin yang cenderung mengakomodasi ciri-ciri bersifat teguh, kuat, agresif, ingin tahu, ambisius, perencana, Iugas, tegas, cepat, pragmatis, bertanggung jawab, original, kompetitif, dan berorientasi kepada hasil. Kebudayaan seperti itu cenderung menolak kehadiran perempuan/polwan dan mengedepankan chauvinisme laki-laki.
Sejarah Polri telah membuktikan signitikansi penolakan itu dengan kenyataan bahwa masuknya polwan ke dalam Polri bukan inisiatif dari Iingkungan Polri sendiri. Polwan masuk Iebih karena dorongan politis atau tekanan dari Iuar Polri yaitu ketika golongan perempuan di Indonesia memperjuangkan kesetaraan dengan golongan laki-laki. Terlebih lagi pada masa Polri menjadi bagian ABRI, penolakan terhadap perempuan bahkan muncul dalam berbagai aturan formal yang diskriminatif dan bias gender. Dengan demikian signitikansi batas golongan polwan-polki makin kuat dan posisi polwan makin bergeser dari kesetaraan dengan polki. Perubahan baru datang setelah Polri mandiri di tahun 2000 dan menentukan paradigma baru yang berupaya menjujung tinggi HAM. Akan tetapi karena bias gender berkaitan dengan kebudayaan, perubahannya tidak mudah dan penolakan terhadap perempuan atau anggapan bahwa perempuan adalah goiongan liyan yang tidak setara tidak dapat segera hapus.
Hubungan polwan-polki yang menentukan posisinya tercermin pada pengalaman polwan dan polki selama menjalani proses manajemen personal dan hubungan sosial polwan-polki sebagai atasan, bawahan, rekan sekerja dan anggota masyarakat yang membutuhkan peiayanan polisi. Posisi polwan Polrestro Jaksel dalam hubungan polwan-polki pada manajemen personal di kesatuan tersebut, menunjukkan bahwa penolakan atas dasar gender terhadap polwan masih tinggi.
Bias gender masih berlangsung pada proses seleksi rekrutmen, penempatan dan kesempatan untuk mengikuti pendidikan yang terjadi terutarna karena adanya konstruksi pemisahan pekerjaan polwan-polki di mana polwan cenderung ditempatkan di fungsi pembinaan dan poiki operasionai. Polwan juga mendapati bahwa semua nilai, norma, kebiasaan sampai kepada aturan formal seperti petunjuk peiaksanaan (juklak) dan petunjuk Iapangan (jukiap) disusun untuk mengakomodasi kondisi dan kepenting-an laki-laki serta tidak pemah disesuaikan untuk mengakomodasi kebutuhan perempuan yang me-mpunyai hak untuk menjalankan fungsi reproduksinya sambil bekerja Daiam hai ini hak perempuan untuk melaksanakan fungsi reproduksinya, hamil, melahirkan dan menyusui serta merawat balita selalu didikotomikan dengan profesionalitasnya sebagai polisi atau haknya untuk bekerja. Dengan adanya pemisahan pekerjaan atas dasar gender, membuat polwan jarang unggul dalam persaingan memperebutkan sumber daya PoIri.
Meskipun demikian pada penanganan kasus di beberapa fungsi operasional atau dengan munculnya kepentingan-kepentingan individual tertentu, kebutuhan polwan untuk menjalankan peran gendernya sambil menjalankan profesinya dapat ditoierir dan diakomodasi oieh kesatuannya karena pengingkaran terhadap hak polwan sebagai perempuan akan berdampak mengurangi kinerja kesatuan dan prestasi kerja kepala kesatuan. Artinya, dalam hubungan polki - polwan, berbagai masalah atas dasar gender akan "diam" apabiia posisi polwan berkaitan dengan kepentingan-kepentingan individual pelaku hubungan.
Di samping itu Polri diadministrasikan meialui manajemen dan pengorganisasian secara sentralistik dan pada tiap tingkatan manajemen kesatuan kepolisian baik secara vertikai maupun horisontal, konteks pengaruh Iingkungannya berbeda. Dengan demikian penolakan atas dasar penggolongan apapun (gender, pangkat, Iulusan pendidikan dan Iainnya) juga akan "diam' apabila sebuah posisi ditentukan oleh kebijakan struktur yang iebih tinggi. Tetapi dalam kondisi yang Iain, apabila tidak ada intervensi kebijakan atasan, atau tidak ada kelarkaitan dengan kepentingan indvidual yang lain, karena kuatnya struktur gender dalam hubungan polwan-polki, posisi polwan Polrestro Jaksel terbukti rendah.

In this dissertation, I would like to show that the position of female police officer (police women or polwan) in Metro South Jakarta Resort Police (Polresto Jaksel) is determined by their interaction with male police officer (policemen or polki) within the working environment so-called men's world. The relationship between polwan and polki is greatly influenced by gender structure, although in many relationships, such structure can be "kept" in accordance with the surrounding context and the needs of the people in the relationship.
This dissertation stresses that grouping is an individual phenomena appearing in social interaction. The focus is placed on polwan and polki, both as individuals and groups and the relationship between the two of them within the police work environment which is often regarded as men's world.
The world of work al Polrestro Jaksel is seen as men's world because for a long time the Indonesian police force only accepted male police officers. lt was only in the mid 20th century that female police ofhcers started to be accepted to enter. With male only members, the culture that developed tends to be patriarchal and masculine, where the priority lies at accommodating men's interests. This also influenced Polrestro Jaksel as part of the Indonesian Police. The culture emphasizes on masculine temperament with characters such as tough, strong, aggressive, curious, ambitious, planning, straightfonivard, decisive, quick, pragmatic, responsible, original, competitive, and result-oriented. Such culture tends to deny the existence of female police officers and put fonivard male chauvinism instead.
Polri's history has proven the significance of such rejection with the fact that polwan started to enter Polri not as an initiative from Polri itself. Instead, it was more because of a political drive or outside pressure, which is when the women in Indonesia started to fight for equality to men. Even more when Polri became part of the Indonesian Army (ABRI), rejection against women even appeared inthe form of formal regulations that were discriminative and gender-biased Therefore, the significance of the difference between polwan-polki was stronger and polwan's position shifted even further from their inequality to men. A new change came when Polri became independent in 2000 and they found a new paradigm with efforts to uphold human rights. However, because gender-biased is related to culture, the change has not been easy and rejection against women or school of thought that says women are unequal cannot be eradicated anytime soon.
The relationship between polwan-polki that determined their positions is reflected in their experience during personnel management and the social relationship between polwan-polki as superior, subordinate, colleague and members of society who need police's service. Polwan's position in Polrestro Jaksel in their relationship to polki within the personnel management of the unit shows that rejection based on gender is still high.
Gender bias still continues during selectionlrecruitment process, placement and education opportunities. This occurs mostly because of the construction that separates the work of polwan-polki where polwan tends to be placed in preemptive function while polki in operational. Polwan also hnds that all the values, norms, customs and formal regulations such as implementation guidelines (juklak) and field guidelines (juklap) were formulated to accommodate men's conditions and interests and they were never adjusted to accommodate women's rights to exercise their reproductive rights while working. In this case, women's right to exercise their reproductive rights such as being pregnant, giving birth and breastfeeding, as well as taking care of young children, is always dichotomized with their professionalism as polioe ofticers or their right to work. The gender-based work separation has caused polwan to have fewer opportunities to excel in the competition over Polri's resources.
Nevertheless, in terms of case handling in several operational functions or when certain individuals' interests arise, the need for polwan to play their gender role while still living their profession can be tolerated and accommodated by their units because denial against polwan's rights as women will impact on less unit performance and the achievement of the unit chief. This means that in the relationship between polki and polwan, various gender problems will be "still" when polwan's position is related to the interests of the individuals within the relationship.
Apart from that, Poln is centrally managed and organized, and on every management level in police units both vertically and horizontally, the context of environmental influence is difference. Therefore, the rejection based on any classifications (gender, rank, educational baclgqround and others) will also be "silent" when a position is detennined by higher structural policy. However, in another condition, when there is no intenrention on the superior's policy, or there is no relation to other individuals' interests, the strong gender structure within polwan-polki relationship has been proven to cause polwan from Polrestro Jaksel to have low position."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D856
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Sri Santi
"Latar Belakang
Indonesia sejak pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mulai mengambil alih tampuk kekuasaan negara, maka secara pasti telah menempatkan diri di barisan Negara sedang berkembang yang memberi prioritas pertama kepada pembangunan.1)
Pembangunan itu sendiri, sesungguhnya merupakan proses perubahan sosial yang direncanakan (planed) dan dikehendaki (intended), sehingga dalam penyelenggaraannya pembangunan tersebut dilaksanakan aecara bertahap dan berencana. Untuk, mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, pembangunan bertujuan pula membentuk manusia Indonesia seutuhnya, seJahtera lahir dan batin.
Sebagai akibatnya, tak satupun bidang kehidupan masyarakat tidak tersentuh oleh roda pembangunan, hanya barang tentu ada perbedaan dalam kadar dan ukuran.
Behubungan hal tersebut, ada satu hal yang dapat ditarik dalam pengertian ini ialah bahwa kehidupan rnasyarakat desa ini terasa semakin kompleks yang diwarnai oleh berbagai perubahan di dalam masyarakat ini Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa "Indonesia kini berada di tengah-tengah perubahan social yang berlangsung secara sitimatis dalam arti direncanakan. Adapun juga ciri-ciri dalam perubahan tersebut, ia tidak menghilangkan ciri-ciri perubahan social pada umumnya".
Pembangunan. menciptakan berbagai masalah yang kontradiktif antara berbagai keadaan yang baik dan buruk, untung dan rugi. Pembangunan dan perubahan social adalah dua gejala yang saling berkaitan, setiap pembangunan baik yang bersifat. (teknologi) maupun rohani. (mental) diharapkan akan membawa perubahan? perubahan social seperti yang diharapkan. Dengan pembangunan akan menimbulkan perubahan-perubahan seperti yang kita alami sekarang ini. Masalah keamanan dan ketertiban sebagai salah satu sasaran pembangunan itu sendiri ternyata merupakan satu masalah yang paling pelik yang dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat, karena masalah ini merupakan hal yang esensial bagi adanya suatu masyarakat.
Hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan di situ. Oleh karena itu Ia bekerja dengan cara memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula ia berupa norma.3)
Sebagai norma maka hukum itu mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum itu. Sebagai norma hukum berarti hukum itu harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepadanya. Dalam rangka proses memberikan perhatian terhadap penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat hukum tidak selalu memberikan keputusannya dengan segera, ia membutuhkan waktu menimbang-nimbang yang bisa makan waktu lama.
Guna mengatasi masalah-masalah tersebut diperlukan suatu sarana untuk dapat menyelaraskan antara kehidupan masyarakat di situ pihak, dengan permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai dampak pembangunan di lain pihak. Hukum dalam arti kehadiran dan penegakannya, merupakan salah satu bidang dalam kehidupan masyarakat, hukum terasa mutlak peranannya. la senantiasa dibutuhkan. lebih-lebih dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan, seperti halnya masyarakat Indonesia."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amad Syarifudin
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sosiodemografi (umur, riwayat hipertensi keluarga, IMT, persen lemak tubuh, lingkar pinggang, status dan pernikahan) dan gaya hidup (aktivitas fisik, merokok, stres, asupan karbohidrat, protein, lemak, natrium dan kalium) terhadap hipertensi pada polisi laki-laki di Purworejo, Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain penelitian cross sectional. Pada penelitian ini melibatkan 139 polisi laki-laki di Purworejo.
Dari penelitian ini didapat prevalensi hipertensi pada polisi laki-laki sebesar 54,7 %. Terdapat hubungan yang signifikan antara lingkar pinggang dengan hipertensi (p = 0,025 OR=2,306 95 % CI : 1,166-4,564) dan jumlah rokok yang dihisap setiap hari dengan hipertensi (p = 0,024). Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur, riwayat hipertensi keluarga, IMT, persen lemak tubuh, status dan pernikahan, aktivitas fisik, merokok, stres, asupan karbohidrat, protein, lemak, natrium dan kalium dengan hipertensi.
Prevalensi hipertensi pada polisi laki-laki di Purworejo termasuk tinggi. Untuk itu, polisi-laki-laki harus berwaspada terhadap hipertensi karena hipertensi merupakan silent killer. Polisi perlu melakukan cek tekan darah secara teratur untuk mengontrol tekanan darah. Polisi sebaiknya mengurang kebiasaan merokok dan melakukan aktivitas yang dapat mengurangi kegemukan.

Objective of this study was to know the relationship between sosiodemography (age, family history of hypertension, body mass index, percent body fat, waist circumference, marital status) and lifestyle (physical activity, cigarettes smoking, stress, carbohydrat intake, protein intake, fat intake, sodium intake and potasium intake) to hypertension on policemen in Purworejo, Central Java. This was a quantitative study using cross sectional as study design. 139 policemen were included as respondents.
This study found that hypertension prevalency policemen Purworejo was 54,7 %. There were significant relationship between waist circumference with hypertension (p = 0,025 OR=2,306 95 % CI : 1,166-4,564), number of cigarettes smoked per day and hypertension (p = 0,024). There were no significant relationship betwen age, family history of hypertension, body mass index, body fat percent, marital status, physical activity, smoking status, stress, carbohydrat intake, protein intake, fat intake, sodium intake and potasium intake with hypertension.
The prevalency of hypertension on policemen was categorized as high. Policemen should be aware with hypertension because hypertension is a silent killer. They need to check their blood pressure regularly to control their blood pressure. Policemen also should reduce cigarettes smoking and do activities that can reduce obesity.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Binsar
"ABSTRAK
Tesis ini adalah tentang Penanganan Pos Polisi Pulomas terhadap para pengemis di persimpangan Coca Cola. Yang menjadi fokus adalah penanganan petugas Pos Polisi Pulomas untuk melibatkan para pengemis dalam membantu tugas-tugas Kepolisian.
Metode penelitian dalam tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tehnik pengumpulan data berupa pengamatan, pengamatan terlibat, pedoman wawancara, serta kajian dokumen untuk memahami dan mendalami bentuk penanganan yang dilakukan dalam membantu tugas-tugas kepolisian memelihara keamanan dan ketertiban umum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan pengemis oleh Pos Polisi Pulomas dilakukan dengan cara mengkoordinir keberadaan mereka, sehingga terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara polisi dengan pengemis melalui hubungan interaksi patron Mien. Hubungan patron Mien yang terjadi antara petugas dengan para pengemis -bersifat temporer artinya-secara sosiologis-hubungan-tersebut digambarkan terjadi antara petugas dengan para pengemis. Sebenarnya hubungan seperti ini tidak diatur dalam pelaksanaan tugas kepolisian, namun dalam kenyataan bahwa pengemis membantu petugas dalam mewujudkan keamanan di lokasi tersebut. Selain patron Mien, Pos Polisi Pulomas juga menerapkan sistem pemolisian komuniti. Hal ini dilakukan oleh petugas dalam sebagai upaya agar masyarakat mau bekerjasama dengan polisi dalam mencegah terjadinya kejahatan.
Implikasi teoritis dari bahasan tesis ini adalah : pertama, perlunya optimalisasi pemolisian komuniti untuk membangun kemitraan polisi dengan masyarakat. Kedua, perlu pelatihan pemolisian komuniti pads unsur pimpinan kepolisian, sehingga dapat mengetahui faktor-faktor keinginan dan harapan masyarakat. Ketiga, perlu diberikan materi pemolisian komuniti pada setiap lembaga pendidikan kepolisian termasuk pendidikan tingkat dasar. Keempat, perlu dukungan anggaran operasional Pos Polisi agar idealisme dan motivasi anggota tidak hilang dalam menjalankan program pemolisian komuniti. Kelima, perlu dibuat kesepakatan kerjasama melalui MoU antar instansi pemerintah seperti Suku Dimas Ketentraman dan Ketertiban, Suku Dinas Pembinaan Mentas dan Kesejahteraan Sosial, Panti Sosial yang menangani masalah pengemis. Keenam, pemerintah perlu memberi subsidi pendidikan terutama bagi anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ketujuh, pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk menyelesaikan sengketa tanah antara PT. Pulomas Jaya dengan warga agar permasalahan tidak berlarut-larut. Kedelapan, penerapan sanksi hukum bagi para pengemis sebaiknya tetap mengaeu pads Pemerintah Pemerintah maupun Peraturan Daerah, narnun apabila wibawa hukum dirasakan mulai menurun maka pasal 504 KUHP dapat kembali diterapkan.

ABSTRACT
This Thesis is concerning handling all beggars by Pulomas Police Station in Coca Cola intersection. Becoming focus is handling by officer of Pulomas Police Station to entangle all beggars in assisting Police duties.
Method Research in this thesis use qualitative approach with collecting data technically in the form of perception, involve observation, interview guidance, and also document study to comprehend and deepen handling performed within assisting police duties to look after security and orderliness of public.
The result of research indicate that handling of beggars by Pulomas Police Station conducted by coordinating existence of them, so that happened mutualism symbiosis between police and beggars through the relation of patron client. The character relation of patron client between the officers with all beggars happened is temporary, it means in sociological that the relation is depicted happen between officers with all beggars. This relation is not arranged in police duties, but in fact that beggars assist the officers in realizing security in that location. Besides the patron client relation, Pulomas Police Station using the Community Policing. This matter is conducted by officer as effort so that the society is willing to work along with police in preventing the crimes.
Theoretical implication of this thesis discussion is: The first, the Community Policing is important to be developed to build partnership between police and society. The second, it needs to give Community Policing training for the leader police element, so they know the desire factors and society expectation. The third require to be given Community Policing items in all institute education of police including in elementary education level. The fourth, it needs to support operational budget op Police Station so that motivation and idealism of the officers do not lose in running the program Community Policing. The fifth require to be made agreement of cooperation through memorandum of understanding between governmental institution like Sub-Service of Tranquility and Orderliness, Sub-Service of Mental and Social Prosperity Construction, Social Home in handling the problem of beggars. The sixth, the government requires to subsidize the education especially for children coming from family which was indigent. The seventh, the government needs immediately to take the action to finish the dispute land between PT. Pulomas Jaya with citizen, so that the problem do not long draw out. The eight, applying the of sanction punishment to all beggars better remain to relate the Government Regulation, but if the law enforcement felt to start downhill, the hence section of 504 in Criminal Code is earn to be applied.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indar Triyanto
"Penyimpangan pada hakekatnya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma hukum dan norma agama serta membahayakan kehidupan masyarakat. Meskipun demikian perbuatan tersebut tetap saja terjadi dilakukan oleh setiap orang.
Penyimpangan dalam penegakan hukum lalu lintas di jalan raya yang terjadi di lingkungan PJR dari dahulu sampai saat ini masih terus berlangsung dan dianggap sebagai hal yang biasa sebagai interaksi antara petugas PJR dengan pengemudi kendaraan yang melakukan pelanggaran.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu partisipasi observasi / pengamatan terlibat karena secara kebetulan peneliti adalah anggota polisi yang bertugas di tempat tersebut. Penelitian dilakukan dengan cara pengamatan terlibat dengan menumpang pada kendaraan dinas patroli secara bergantian.
Kerangka teori utama yang digunakan adalah mengacu kepada teori Differential Association (Sutherland) yang berkaitan dengan masalah penyimpangan dalam penegakan hukum di jalan raya, tertetak pada learning theory yang menjadi hakekat subtansi teori dimaksud, sedangkan teori-teori penyimpangan lain adalah sebagai teori penunjang.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa penyimpangan dalam penegakan hukum lalu lintas di jalan tol yang dilakukan anggota PJR terdapat dua pola penyimpangan yaitu pertama berupa denda damai dan yang ke dua adalah berupa salam tempel, pada masing-masing pola tersebut memiliki karakteristik yang bebeda. Pola-pola penyimpangan tersebut terus berlangsung sampai saat ini dikarenakan adanya kesempatan dalam tugas sebagai anggota PJR, adanya sosialisasi melalui pengalaman kerja, adanya dukungan kawan sejawat dan kurangnya pengawasan dalam pelaksanaan tugas di lapangan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10916
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Karjadi
Bogor: Politeia, 1976
363.2 KAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Wresniwiro
Jakarta: Mitra Bintibmas, 2002
R 363.2 Men
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kepolisian RI, Badan Pemelihara Keamanan Mabes Polri, Direktorat Polisi Satwa, 2011
R 363.2 IND m
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Adrianus Eliasta, 1966-
"Telah lama disepakati bahwa keberhasilan tugas-tugas kepolisian salah satunya ditentukan oleh tinggi-rendahnya tingkat partisipasi masyarakat (Rahardjo & Tabah, 1993). Namun di pihak lain, tingkat partisipasi itu sendiri nampaknya ditentukan pula oleh variabel lain seperti pengetahuan masyarakat pada umumnya maupun pengetahuan masing-masing individu pada khususnya mengenai peran polisi, kemampuan serta kewenangan polisional yang dimilikinya.
Bila dikhususkan pada kualitas pengetahuan individu baik terhadap peran polisi, kemampuan maupun terhadap kewenangan polisional itu sendiri, nampaknya banyak ditentukan oleh bagaimana hal-hal tersebut di atas dikomunikasikan ke masyarakat. Komunikasi tersebut tentulah dapat terjadi melalui suatu proses penginformasian maupun pencitraan yang dilakukan entah oleh individu polisi itu sendiri ataupun oleh Poiri sebagai organisasi kepolisian, baik secara sengaja atau langsung (misalnya dalam suatu forum penyuluhan) maupun tidak sengaja atau tidak langsung (dengan kata lain melalui penampilan para anggota polisi sehari-harinya).
Demikian pula pengkomunikasian itu dapat berlangsung secara teratur (misalnya bila seseorang tengah ikut dalam suatu program pendidikan yang diadakan oleh kepolisian), setengah teratur {misalnya, tatkala seseorang tengah belajar ilmu hukum dan sesekali pasti membicarakan tentang polisi) ataupun tidak teratur sama sekali (tergantung dari seberapa mungkin seseorang terlibat sebagai obyek kegiatan kepolisian berkaitan dengan aktivitas kesehariannya). Kebervariasian tersebut di atas nampaknya cukup wajar terjadi mengingat kompleksnya peran, kemampuan serta kewenangan polisi itu sendiri saat berinteraksi dengan masyarakatnya. Kenyataan bahwa polisi bertugas dan juga tinggal berbaur di tengah masyarakat juga sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan kalangan yang lebih luas terhadapnya.
Dalam kaitan itu perlu disebutkan bahwa bila peran polisi sebagai elemen sistem peradilan pidana saja, katakanlah sebagai penumpas kejahatan, yang terlalu banyak diperlihatkan (khususnya oleh media-massa), maka peran, kemampuan maupun kewenangan polisi yang lain (yakni bidang non penegakan hukum) sulit tumbuh atau tidak akan dikenal dalam struktur kognisi seseorang. Demikian pula bila media-massa senantiasa menginformasikan secara intens citra anggota polisi yang korup saja, tak pelak hal itu akan mempengaruhi dengan cara bagaimana seorang yang awam dalam bidang ini kemudian secara serba sedikit dapat memahami profil orang-orang yang seharusnya bertugas memelihara ketertiban mereka.
Bisa diduga bahwa proses di ataslah yang juga terjadi saat seseorang mengembangkan dan memelihara stereotipi tertentu tentang polisi. Stereotipi secara psikologis adalah konsep yang dibangun berdasarkan anggapan (belief) serta persepsi, dan bukannya oleh pengetahuan yang benar atau sahih tentang obyek tertentu (Sarwono, 1996).
Singkatnya, orang dapat membangun pengetahuan tentang polisi berdasarkan isyu atau anggapan `miring' bahkan salah tentang polisi atau yang lain berdasarkan fakta yang sebenarnya terjadi. Sebaliknya, secara teoritis, anggapan yang benar dapat saja terjadi walaupun faktanya tidak sejalan atau salah sama sekali."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>