Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119395 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rini Hapsari
"Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, Pada tahap tertentu, penggunaan narkoba secara terus menerus dapat berkembang menjadi ketergantungan (addiction). Ketergantungan pada narkoba tentu membawa berbagai akibat yang merugikan bagi penderitanya. Menurut cognitive model of addiction Marlatt, ketergantungan dapat dijelaskan dengan empat proses kognitif, yang salah satunya adalah atribusi kausal. Atribusi kausal adalah penyimpulan mengenai sebab dari suatu peristiwa atau tingkah laku, yang dapat dibedakan menurut berbagai dimensi, antara lain locus, stability, controlability, dan globality. Atribusi kausal ini diketahui berhubungan dengan berbagai konsekuensi psikologis, di antaranya adalah harga diri. Harga diri merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya berharga, penting, mampu menghadapi tantangan dalam hidup, serta layak mendapatkan kebahagiaan.
Harga diri adalah variabel yang berperan penting dalam masalah ketergantungan, termasuk juga dalam menentukan kesembuhan. Didasari hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara atribusi kausal terhadap penggunaan narkoba dengan harga diri pada penderita ketergantungan narkoba yang sedang dalam masa penyembuhan. Selain itu, ingin diketahui juga gambaran atribusi kausal dan harga diri para penderita ketergantungan tersebut. Subyek penelitian adalah penderita ketergantungan narkoba yang sedang dalam masa penyembuhan dari ketergantungan, dengan jumlah 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-probability sampling, yaitu purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Untuk mengukur atribusi kausal terhadap penggunaan narkoba, digunakan alat ukur yang disusun oleh peneliti. Untuk mengukur harga diri digunakan, Sel/ Esteem Inventory dari Coopersmith (1967).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, subyek mengatribusikan penggunaan narkobanya pada sebab yang internal, dapat dikontrol, tidak stabil, dan global. Mengenai harga diri, sebagian besar subyek diketahui memiliki harga diri yang cenderung tinggi. Selanjutnya, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara atribusi kausal dalam keempat dimensi dengan harga diri. Berarti, atribusi kausal subyek terhadap penggunaan narkobanya tidak berhubungan dengan tinggi rendah harga dirinya. Tidak signifikannya hubungan kedua variabel di atas diduga disebabkan oleh pengaruh variabel yang tidak terkontrol, yaitu treatment yang diperoleh subyek dalam penyembuhannya. Untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh variabel treatment tersebut terhadap kedua variabel penelitian, dilakukan wawancara dengan satu orang subyek. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa tinggi rendahnya harga diri subyek lebih berkaitan dengan treatment yang diperolehnya, daripada dengan atribusi kausalnya.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian dengan memasukkan treatment yang diperoleh subyek sebagai salah satu variabel penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan berharga bagi treatment rehabilitasi untuk penderita ketergantungan narkoba."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3395
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Adzhani Awanis Latief
"Meningkatnya jumlah ibu penderita HIV/AIDS di Indonesia membuat perlunya untuk mengetahui dinamika kehidupan mereka, terutama keyakinannya dalam melakukan parenting terhadap anak. Keyakinan dalam melakukan parenting ini disebut sebagai parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan parenting self-efficacy dan dukungan sosial pada ibu dengan HIV/AIDS yang memiliki anak usia kanak-kanak madya.
Pengukuran parenting self-efficacy dilakukan melalui alat ukur Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (SEPTI) (Coleman & Karraker, 2000), sedangkan dukungan sosial diukur melalui dua komponen—yaitu persepsi terhadap jumlah orang yang dapat diandalkan dan kepuasan akan dukungan yang ada—dalam alat ukur Social Support Questionnaire-Short Form (SSQSR) (Sarason, Sarason, Shearin & Pierce, 1987). Partisipan penelitian ini berjumlah 30 ibu yang terinfeksi HIV dan memiliki anak usia lima hingga dua belas tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parenting self-efficacy dengan persepsi jumlah dukungan sosial (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) dan juga kepuasan akan dukungan sosial (r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail). Artinya, semakin tinggi parenting self-efficacy ibu, semakin tinggi pula dukungan sosial yang ibu persepsikan; begitu pula sebaliknya. Ditemukan pula bahwa domain parenting self-efficacy tertinggi adalah nurturance sedangkan yang terendah adalah disiplin. Analisis tambahan juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada parenting self-efficacy ibu dengan HIV/AIDS berdasarkan urutan kelahiran anak mereka yang berusia kanak-kanak madya.

Mothers living with HIV/AIDS are significantly increasing in Indonesia. By then, it's important to know further about their life, including their belief in parenting their children. The mother’s belief in parenting is called parenting self-efficacy (Coleman & Karraker, 1997). This study examined the relationship between parenting self-efficacy and social support among HIV/AIDS mothers with middle childhood children.
Parenting self-efficacy was measured by Self-Efficacy Parenting for Tasks Index (SEPTI) (Coleman & Karraker, 2000), while social support measured through it's two elements (the perception of available others to whom one can turn in times of need and the degree of satisfaction with the available support) in Social Support Questionnaire-Short Form (SSQSR) (Sarason, Sarason, Shearin & Pierce, 1987). The participants in this study were 30 mothers infected HIV with middle childhood children.
The result shows that there is a significant, positive relationship between parenting self-efficacy and both of the elements of social support, which are the perception of social support numbers (r = 0,386 ; n = 30; p < 0,05, two-tail) and the satisfaction of the support (r = 0,409 ; n = 30; p < 0,05, two-tail). Those indicates that the higher mothers parenting self efficacy, the higher they perceive social support, and vice versa. This study also found that the highest domain in parenting self-efficacy is nurturance, while the lowest is discipline. Furthermore, this study found that there is a difference between mothers parenting self-efficacy based on their middle childhood child's ordinal position.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52751
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Verdiana Azra
"Beberapa penelitian menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif, dipengaruhi oleh pemberian bimbingan dan dukungan dari keluarga. Pada remaja dengan status sosial ekonomi (SES) rendah, parentification merupakan kondisi yang tidak bisa dihindari, sehingga mereka perlu mengembangkan kemampuan positif yang ada di dalam diri, salah satunya resiliensi, untuk menghindari terjadinya parentification yang bersifat destruktif. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara parentification dan resiliensi pada remaja SES rendah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Parentification diukur menggunakan alat ukur Parentification Inventory yang disusun oleh Hooper (2009) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Resiliensi diukur menggunakan Resilience Scale (RS-14) yang disusun oleh Wagnild dan Young (1993) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 183 orang remaja dari keluarga dengan status ekonomi sosial (SES) rendah. Hasil utama penelitian menunjukkan parentification berkorelasi positif signifikan dengan resiliensi (r=0.320; p=0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Dapat diartikan bahwa semakin tinggi parentification seseorang maka semakin tinggi pula resiliensinya.

Some researchers have shown that parentification can be constructive and destructive, influenced by the provision of guidance and support from family. In adolescents with low socioeconomic status (SES), parentification is a condition that can not be avoided, so they need to develop positive capabilities that exist within their, one of resilience, to avoid destructive parentification. This research was conducted to find the relationship between parentification and resilience. This research used the quantitative approach. Parentification was measured using Parentification Inventory (PI) which was constructed by Hooper (2009) and had been adapted to Indonesian context. Resilience was measured using Resilience Scale (RS-14) which constructed by Wagnild and Young (1993) and had been adapted to Indonesian context. The participants are 183 adolescences with low socioeconomic status. The main result of this research showed that parentification positive correlated significantly with resilience (r=0.320; p=0.000, significant at L.o.S 0.01). That mean, the higher parentification of one’s own, the higher his/her resilience."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53611
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelva Citra
"Literatur menunjukkan bahwa parentification dapat bersifat konstruktif dan destruktif, yang ditentukan dengan pemberian bimbingan dan dukungan dari keluarga. Pada remaja dengan Status Ekonomi Sosial rendah, kurang mendapatkan bimbingan dan dukungan, sehingga akan menimbulkan parentification yang bersifat destruktif. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan mental remaja, salah satunya akan menimbulkan psychological distress.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara parentification dengan psychological distress pada remaja dengan Status Ekonomi Sosial (SES) rendah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang melibatkan sebanyak 183 remaja usia 11-22 tahun dan bersekolah di Yayasan Sekolah Masjid Terminal (Master), Depok. Parentification diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Hooper (2009), yaitu Parentification Inventory (PI). Untuk psychological distress diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Weinberger (1995), yaitu Weinberger Adjustmen Inventory (WAI).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara parentification dan psychological distress (r = 0,338, n = 183, p > 0,05). Hasil lain menunjukkan, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara instrumental parentification dan psychological distress (r = 0,199, n = 183, p < 0,05). Sementara itu, emotional parentification dan perceived benefit of parentification tidak terdapat berhubungan dengan psychological distress.

The literature suggests that parentification can be constructive and destructive, which is determined by the provision of guidance and support from family. In adolescents with low social economic status, lack of guidance and support, so it will cause destructive parentification. This will affect the mental health of adolescene, one of them will lead to psychological distress.
This study was conducted to examine the relationship between the psychological distress parentification in adolescents with low social economic status. This research is a quantitative study involving as many as 183 teenagers aged 11-22 years and attended the School of Masjid Terminal (Master), Depok. Parentification was measured using Parentification Inventory (PI) which was constructed by Hooper (2009). Psychological distress was measured using Weinberger Adjustmen Inventory (WAI) which was constructed by Weinberger (1975).
The results showed that there was no significant correlation between psychological distress and parentification (r = 0338, n = 183, p > 0,05). Other results show, there is a positive and significant relationship between psychological distress and instrumental parentification (r = 0,199, n = 183, p < 0,05). Meanwhile, parentification emotional and perceived benefits of parentification are not associated with psychological distress.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54441
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Cinantya Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara komitmen dan kepuasan perkawinan pada individu dalam tahap perkawinan yang memiliki anak remaja. Sebanyak 157 partisipan diminta untuk mengisi kuesioner komitmen (sub-skala komitmen dari Sternberg’s Triangular Love Scale) dan kepuasan perkawinan (Fowers and Olson’s ENRICH Marital Satisfaction Scale). Pada penelitian ini, partisipan ditemukan memiliki komitmen dan kepuasan perkawinan yang cukup tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen dan kepuasan perkawinan (r = .462, p < .01). Selain itu, ditemukan pula adanya hubungan yang signifikan antara lama berpacaran dan kepuasan perkawinan (r = . 164, p < .05).

This research was aimed to examine the relationship between commitment and marital satisfaction in individuals who are in the stage of marriage with teenagers. A total of 157 participants were asked to fill out questionnaires commitment (subscale commitment of Sternberg's Triangular Love Scale) and marital satisfaction (Fowers and Olson's Enrich Marital Satisfaction Scale). In this research, participants were found have quite high commitment and marital satisfaction. The results also indicate a positive and significant relationship between commitment and marital satisfaction (r = .462, p < .01). In addition, a significant correlation was found between courtship length and marital satisfaction (r = . 164, p <.05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52798
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Didit Hersanto Putra
"Manusia sering menghadapi kondisi dimana ia harus melakukan sebuah pertaruhan, yakni pada sebuah kondisi yang hasilnya ditentukan oleh kejadian acak dan manusia dapat mengalami kekeliruan dalam menilai berbagai hal saat dihadapkan pada kejadian acak. Terlebih lagi pada remaja yang memiliki kecenderungan untuk bertindak dengan penuh resiko, potensi kerugian yang akan diderita oleh remaja menjadi lebih besar. Salah satu kekeliruan yang mungkin dialami adalah hot-hand fallacy, yakni kecenderungan seseorang untuk menganggap peluang terjadinya suatu kejadian semakin membesar setelah ia mengalaminya sebanyak beberapa kali secara berturut-turut. Hot-hand fallacy dapat terjadi karena dipicu beberapa hal, salah satu pemicunya adalah persepsi seseorang terhadap kendali yang dimilikinya. Semakin seseorang menganggap dirinya memiliki kendali, maka ia akan semakin cenderung mengalami hot-hand fallacy.
Di sisi lain, terdapat sebuah fenomena yang disebut illusion of control, yakni persepsi adanya kendali pada kejadian yang sebenarnya ditentukan secara acak. Karena salah satu pemicu hot-hand fallacy adalah persepsi adanya kendali, dan illusion of control memunculkan persepsi tersebut, maka penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya pengaruh illusion of control terhadap kemunculan hot-hand fallacy pada remaja. Penelitian dilakukan kepada 55 subyek dengan metode eksperimen. Subyek diminta untuk bertaruh mengenai kartu yang akan keluar (merah atau biru) dan dilihat besar taruhannya saat menghadapi rentetan kemenangan serta kekalahan. Pada kelompok eksperimen partisipan bisa memilih kartu yang hendak dibuka, sedangkan pada kelompok kontrol tidak. Dari hasil penelitian ini akhirnya diketahui bahwa illusion of control memiliki pengaruh signifikan terhadap kemunculan hot-hand fallacy pada remaja.

As human, we often find ourself in a condition where we have to gamble. Meanwhile, gambling is still considered as a social pathology. Whereas if we refer to the scientific definition of gambling, there are many gambling activity in our daily life and adolescence has the most tendency to take risky decision, gambling included. The result of gambling activity is determined randomly, and human have a certain bias and fallacies when they face random events. One of those fallacies is the hot-hand fallacy, a tendency to assume that a streak will be more likely to continue. Hot-hand fallacy can be triggered by many things, including the perception of control upon the situation. The more someone assume that they have control; they are more likely to experience hot-hand fallacy.
There are also a phenomenon called the illusion of control, which defined as the perception of control over objectively chance-determined events. Perception of control is one of the trigger of hot-hand fallacy, and illusion of control could make someone perceive control upon the situation, therefore the researcher hypothesized that illusion of control may have influence upon the emergence of hot-hand fallacy on adolescence and do this research to test that hypothesis. Fifty five subjects are participating in this experiment, and they are given a gambling task where they have to gamble on which card would appears next (red or blue). The participants of experimental group may choose which card to open, while the participants of control group may not. This research found that there is a significant influence of the illusion of control to the emergence of hot-hand fallacy in adolescent.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Bayu Prasetyo
"Tugas anggota Kepolisian adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun pada kenyataannya terdapat banyak anggota Polisi yang melakukan pelanggaran hukum. Value yang dimiliki oleh anggota kepolisian diduga menjadi alasan dibalik tidak sejalannya perilaku yang diharapkan dan yang ditampilkan. Penelitian ini melihat perbedaan value set antara Anggota Kepolisian dengan masa dinas nol tahun dan minimal empat tahun di Polda Metro Jaya. Kuesioner yang digunakan adalah Portrait Values Questionnaire (PVQ) 5X. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada value set Self-transcendence, value set Openness to Change, dan value set Conservation. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena adanya pergeseran value pribadi, dimana seorang anggota Kepolisian menjadikan senior sebagai tauladan sehingga mengubah value yang ia punya untuk disesuaikan dengan value yang ada pada kelompok tersebut, dalam hal ini lembaga kepolisian.

Police officers' job is to maintain safety and order in society. But the fact shows that many police officers themselves break law. The difference between the expected and the shown behavior may be caused by their personal value. This research aims to see the difference of values between police officers with nil years and at least four years terms of office in Polda Metro Jaya. The questionnaire used is Portrait Values Questionnaire (PVQ). The result shows that there is a significant difference in value set Self-transcendence, value set Openness to Change, and value set Conservation. These differences may be caused by changes in police officers' personal value. They enter a new environment, in this case the police department, and see their superiors as an example so they adjust their own value into the group's value.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59061
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ros Santi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran mediasi pemenuhan kebutuhan dasar psikologis terhadap hubungan antara persepsi dukungan makna belajar dari dosen dan keterlibatan belajar mahasiswa. Jawaban dari hasil penelitian ini penting untuk dapat meningkatkan kualitas keterlibatan belajar, yang mampu menjadi intervensi awal dalam menekan angka putus kuliah.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui kuesioner, dengan partisipan sebanyak 736 mahasiswa tingkat satu. Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah Engagement Learning Index untuk mengukur keterlibatan belajar, Personal Meaning Profile untuk mengukur persepsi dukungan makna belajar mahasiswa dari dosen dan Basic Psychological Needs Scale untuk mengukur pemenuhan kebutuhan dasar psikologis. Data yang terhimpun dianalisis menggunakan regresi mediasi Hayess.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan psikologis secara signifikan memediasi secara parsial terhadap hubungan antara persepsi dukungan makna belajar dari dosen dan keterlibatan belajar mahasiswa. Temuan dari penelitian ini memperlihatkan bahwa dukungan makna belajar dari dosen berperan penting dalam memenuhi kebutuhan dasar psikologis untuk meningkatkan kualitas keterlibatan belajar mahasiswa.

The study aimed to answer, 'Is the fulfillment of basic psychological needs can be mediator between teacher's meaning support in learning and student engagement'. The answer of this research is important to improve the quality of student engagement, that can be the first intervention in reducing the drop out rate.
This is quantative reasearch with self report quesionnaire. 736 participans on first rate student. The measuring instruments are Engagement Learning Index to measure student engagement, Personal Meaning Profile to measure the perception teacher's meaning support in learning and Basic Psychological Needs Scale to measure the fulfillment of basic psychological needs. The collected data were analyzed using Hayess mediation regression.
The result of this research revealed that fulfillment of psychological needs significantly became a partial mediator between the perception teacher's meaning support in learning and Student Engagement. Finding from this study show that teachers have an important role in meeting basic psychological needs, to improve the quality of student engagement.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T48196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>