Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95138 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chrysta Pratiwi
"Isu mengenai third place mulai dikenal sejak munculnya buku The Great Good Place yang ditulis oleh Ray Oldenburg pada tahun 1990. Dalam buku ini Oldenburg membagi place, dimana manusia menjalani kehidupan sehar_-harinya, menjadi tiga yaitu first place, second place, dan third place. First place menurut Oldenburg adalah rumah, second place adalah tempat bekerja, dan third place adalah tempat bersantai (hangout) dan bersosialisasi. Bagi masyarakat perkotaan yang umumnya bersifat individualis, third place menjadi semacam kebutuhan, dimana di tempat-tempat tersebut mereka memiliki kesempatan menikmati hubungan sosial dengan orang lain dalam suasana yang santai. Pembahasan mengenai third place sejauh ini lebih banyak dikaitkan pada masyarakat daerah urban saja, sedangkan pembahasan pada daerah rural sulit ditemukan.Apa sebenarnya yang membuat sebuah tempat dapat dikatakan sebagai third place? Tempat-tempat seperti apakah yang menjadi third place bagi masyarakat daerah rural? Apakah peran third place ada hubungannya dengan rasa kekeluargaan yang tinggi yang umumnya kita temui di daerah rural? Untuk menjawab masalah secara umum, dilakukan kajian teori tentang third place, serta kajian teori tentang daerah rural dan gaya hidup masyarakat rural. Lebih jauh, dilakukan studi kasus pada daerah yang masih dapat dikategorikan sebagai daerah rural yaitu kota Kuningan-Jawa Barat, untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang ada. Kondisi fisik dan kondisi masyarakat daerah rural memiliki karakteristik yang berbeda dari daerah urban. Hal ini mempengaruhi karakteristik tempat-tempat yang dapat menjadi third place bagi mereka. Di daerah rural, sebuah tempat tidak harus dirancang khusus untuk menjadi tempat berkumpul bagi masyarakat. Hampir semua tempat dapat menjadi third place bagi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena inti dari sebuah third place adalah interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Interaksi yang berlangsung dalam keadaan santai dan nyaman dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhannya untuk bersosialisasi."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2007
S48364
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sita Arlini
"First Place ialah tempat untuk tinggal, second place untuk bekerja dan third place untuk bersosialisasi. Kini, Third place bukan hanya suatu tempat untuk rekreasi tetapi sudah tergabung menjadi bagian gaya hidup banyak orang. Tidak dipungkiri kehadiran third place juga dapat terjadi di second place atau tempat kerja. Dalam penulisan ini akan dibahas mengenai ruang break out di tempat kerja sebagai salah satu tempat interaksi bagi pekerja. Konsep ruang ini hadir untuk memfasilitasi aktivitas break out yaitu aktivitas untuk keluar dari kondisi atau situasi yang menahan diantara waktu bekerja. Dari kajian teori serta pembahasan di kantor Google Office Moscow dan L rsquo;oreal Indonesia terlihat bahwa ruang break out dari segi desain, lokasi dan fasilitas yang disediakan mengundang pekerja untuk datang ke ruang break out sehingga menciptakan sebuah interaksi yang informal maupun formal. Oleh karena itu, ruang break out memiliki peran sebagai tempat untuk berinteraksi bagi para pekerja.

First place for domestic, second place for work and third place for socialization. Third place is not merely recreational but has became a part of people's lifestyle. Hence, the existence of third place may happen within the second place or the work place. This thesis will discuss about break out room in the workplace as place for the worker's interaction. The room's concept came to existence to facilitate the break out activity which is the situation to take a break during work. From literature and the discussion about Google Office Moscow and L'Oreal Indonesia work place, it can be seen that these break out rooms, from the design, location and provided facilities point of view, can invite the workers to come into the room to generate both formal and informal interaction. Therefore, break out rooms have the role as to provide interaction place for the workers.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S66205
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tandhika Excellentio Yochanan
"Third place adalah bagian penting dalam pembentukan suatu komunitas dan juga sebagai tempat untuk melepas penat dari kegiatan rutin. Third place memberikan kesejajaran dan keselarasan, dimana orang-orang yang di kenal dapat di temukan dan juga memberikan tempat yang netral dimana orang bisa datang dan pergi sesuka hati (Oldenburg, 1989). Bagian terpenting dari third place, adalah menuntun ke bahagiaan, dimana orang dapat merasakan kehadiran sesame, tempat untuk berinteraksi yang di penuhi kegembiraan.
Apartment Margonda Residence Satu dipilih sebagai contoh studi kasus karena dapat menunjukan keberagaman di dalam hunian vertikal. Kebanyakan dari penghuni adalah pelajar yang dimana mereka membutuhkan ruang publik untuk berkumpul dan beraktifitas. Ada juga unsur eksternal dan internal yang dapat mencegah terbentuknya third place.
Skripsi ini tertuju kepada kehadiran third place di Apartment Margonda Residence Satu. Tertuju kepada penghuni, fasilitas umum, unsur-unsur penunjang, kenyamanan, dan halangan yang mencegah terbentuknya third place. Unsur-unsur tersebut sangatlah penting untuk mencakup pengertian tentang keberadaanya third place di hunian bertingkat.

Third place become an important factor in the forming of community it also become a place of escape from the daily routines. Third place provide equality and leveler, where the regulars with familiar faces could be found and it provide neutral ground where people are able to come and go as they please (Oldenburg, 1989). The importance of third place it leads to happiness, where people are able to enjoy each other company, a place where the interaction is filled with playful mood.
The Apartment of Margonda Residence One is picked for the study case because it is able to represent the mix used vertical housing. Most of the residents are students where the need of public place to contain their activities is in high demand. There are some external and internal factors that prevent the third place from forming.
This thesis focuses on the existence of the third place in the Apartment of Margonda Residence One. Focusing on the residents, the public facility, supporting factor, comfort, and what obstacle that prevent the third place to form. These factors are important in order to acknowledge the existence of the third place in the vertical housing.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S55025
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifah Nur Izzati
"ABSTRAK
Kampung merupakan bagian dari kota yang secara efektif membentuk kota. Di kampung kota, terdapat warung sebagai tempat publik yang dikunjungi oleh masyarakat. Warung dijadikan sebagai tempat berkumpul selain bertransaksi jual beli. Terjadi pertukaran informasi diantara warga saat nongkrong, mereka duduk dan berinteraksi di warung untuk waktu yang lama. Interaksi yang terjadi adalah interaksi sosial. Tidak semua warung dapat dijadikan sebagai tempat nongkrong. Nongkrong menjadi pemicu munculnya kata lsquo;third place rsquo;. Disebut sebagai third place karena berbeda dari kegiatan rutinitas wajib sehari-hari dan memberikan suasana positif yang cenderung menyenangkan. Third place menjadi wadah untuk melepaskan diri dari first place dan second place. Skripsi ini mengkaji penyebab terjadinya warung yang merupakan third place di kampung kota, beserta aspek-aspek yang melingkupinya. Metode dalam mengkaji skripsi ini yaitu dengan studi literatur, studi kasus terhadap tiga lokasi warung yang berbeda di Kampung Sugutamu, Kota Depok, Jawa Barat, beserta analisis. Dengan demikian dapat diketahui penyebab warung yang berdiri secara permanen dan menjual kebutuhan sehari-hari beserta makanan yang diolah merupakan third place bagi masyarakat di kampung kota.

ABSTRACT
Kampung is part of city that formed the city effectively. In kampung, there is warung as the public place which is visited by residents. Warung is created as a gathering place in addition to buying and selling transaction. The exchange of informations among the residents happened while they nongkrong, they sit and interact in warung for a long time. Not all warungs can be used as a nongkrong. Nongkrong is the reason to trigger lsquo the third place rsquo word. Called as a third place because it is different from the daily mandatory routine activities and provide a positive atmosphere that tends to be fun. Third place becomes a place to break away from first place and second place. This thesis examines the cause of warung which is the third place in kampung kota, along with the surrounding aspects. The method in reviewing this thesis is by literature study, case study to three different warung locations in Kampung Sugutamu, Depok City, West Java, along with analysis. Thus it can be seen the cause of warung that stand permanently and sells daily necessities with processed food is the third place for residents in kampung kota."
2017
S67121
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Fernanda Zeta
"ABSTRAK
Pulau Pramuka ditetapkan sebagai pusat Administrasi Kepulauan Seribu pada tahun 2001. Secara general masyarakat pesisir dihuni oleh komunitas laut dimana mereka menggantungkan kehidupannya pada alam laut. Penulis melihat adanya isu pada site yaitu, adanya irisan ruang-ruang tepi air yang digunakan oleh orang pulo untuk berkumpul pada waktu tertentu. Ruang tersebut memiliki potensi sebagai third place. Melalui skripsi ini penulis mencari tahu bagaimana third place yang terbentuk oleh orang pulo di kawasan pesisir, dimana orang pulo itu sendiri hidup dan berpenghidupannya tidak dapat lepas dari alam lautan. Ditemukan bahwa Third place yang terbentuk di Pulau Pramuka sebagian besar terjadi di area rataan terumbu karang reef flat serta perairannya ruang antara laut dan darat . Third place di Pulau Pramuka juga tidak dapat lepas dari peranan warga yang multi usia dan multi profesi sebagai pengguna ruang, terlebih Pulau Pramuka beridiri karena asas kekeluargaan. Third place di Pulau Pramuka memiliki ciri lain yaitu dinamis, area third place dengan cepat terbentuk walau semula area tersebut kosong dan sebalik. Hal itu juga dipengaruhi faktor meteorologi dan geomorfologi Pulau Pramuka. Fenomena lainnya adalah overlapping core setting dalam satu tempat, working place dan third. Third place di Pulau Pramuka terjadi juga secara waterfront, karena itu merupakan faktor utama bagi orang pulo dalam menggunakan sebuah ruang untuk berkumpul.

ABSTRACT
Pramuka Island was designated as the center of the Thousand Islands Administration in 2001. In general, coastal communities are populated by marine communities where they depend on marine life. The author sees an issue on the site that is, the existence of waterfront spaces used by orang pulo to gather at a certain time. The spaces may have potential as a third place. Therefore, through this undergraute thesis the author intended to find out how the third place is formed by orang pulo in coastal areas, where orang pulo live and gather who can not separated from the natural ocean. It is found that the third place formed on Pramuka Island mostly occurs in the reef flat area and waters body space between the sea and the land . Third place in Pramuka Island is also can not be separated from the role of citizens of multi age and multi profession as a the user, especially the due to the principle of kinship. Third place in Pramuka Island has another characteristic that is dynamic, by the quickly formed eventhough the area is empty, and also is influenced by the meteorology and geomorphology factor of Pramuka Island. Another phenomenon is an overlapping core settings in one place, working place and third. Third place on Pramuka Island occurs also at waterfront, as a major factor for orang pulo in using a space to gather. "
2017
S67152
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalia Febyola Puspita Hadi
"Seiring berkembangnya waktu, kota-kota perlu memperhatikan kebutuhan manusia yang berubah sebagai makhluk sosial. Menciptakan sebuah lingkungan yang mengundang, termasuk third places, adalah fenomena yang menarik karena kemunculannya merupakan suatu urgensi demi meningkatkan kualitas hidup manusia. Disebutkan oleh Oldenburg, third place adalah jangkar sebuah komunitas dan kehidupan publik perkotaan untuk tumbuh. Menurutnya, third place adalah tempat netral, tidak ada yang bertindak sebagai tuan rumah, informal, dan penuh dengan individu di luar ranah rumah dan pekerjaan. Karakteristik yang disebutkan Oldenburg jauh sebelum teknologi informasi dan komunikasi (ICT) bersama dengan media sosial dan internet belum diciptakan. Di era modern ini, ICT telah menjadi “the fabric of everyday life” (Weiser, 1991), ICT memiliki peran penting dalam meningkatkan ruang fisik (Anacleto & Fels, 2013) dan mengambil tindakan untuk keberadaannya. Dengan begitu, kebutuhan masyarakat akan berubah dan mereka menuntut lebih banyak kebutuhan di dalam third place. Third place hari ini perlu dipertimbangkan kembali agar sesuai dengan kebutuhan dan gaya hidup manusia, termasuk komunitas yang hidup di dalamnya. Sebagai metode, penelitian ini menggunakan observasi langsung dan analisis kualitatif komunitas Sketsa Pulang Kerja yang berkumpul di Platform 78 Café sebagai third place, serta studi preseden terhadap Pixar Studio untuk melihat third place di era kontemporer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fasilitas dan integrasi teknologi adalah aspek terpenting untuk menumbuhkan rasa kebersamaan. Kehadiran ICT berdampak pada sosialisasi di third place, orang-orang sering melekat pada teknologi dan layanan jaringan. Hal ini terjadi karena ada bentuk sosialisasi yang lain.

As time develops, cities need to pay attention to human changing needs as social beings. Creating such an inviting environment, including third places, is an interesting phenomenon because it is such an emergence in order to enhance the quality of life. Mentioned by Oldenburg, third places are the anchor of community and urban public life to grow. According to him, third place is a neutral place, no one acts as a host, informal, and filled with individuals beyond the realms of home and work. The characteristics that Oldenburg mentioned were long before information and communication technology (ICTs) along with social media and the internet had not yet been created. In this modern era, ICTs has become "the fabric of everyday life" (Weiser, 1991), it has an important role in increasing physical space (Anacleto & Fels, 2013) and taking action for its existence. That way, society's needs will change and they demand more needs within third place. Third place today needs reconsideration to fit in the community. As a method, this study used direct observation and qualitative analysis of Sketsa Pulang Kerja community that congregated in Platform 78 Café as the third place, and precedent study of Pixar Studio as a contemporary third place. The result showed that amenities and technology integration were the most important aspects to foster the sense of community. The presence of ICTs impacts the sociability in third place, people are often attached to technology and networking services. This happened because there was another form of socialization."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Tracy Salsabila
"Kampung merupakan wilayah pemukiman yang padat penduduk, berada berdampingan dengan kota, dimana mereka memiliki tempat tinggal yang hidupnya tradisional, susunannya tidak terencana, serta pekerjaan penghuninya cenderung informal (Sihombing, 2023). Perbedaan tersebut tentunya mempengaruhi cara hidup masyarakat kampung, terutama kebiasaan masyarakat kampung dalam berkumpul di ruang publik yang ada di luar tempat tinggal dan di luar tempat bekerja/sekolah, yaitu third place. Saat ini, menurut Badan Pusat Statistik 2020, generasi Z merupakan generasi dengan jumlah terbanyak di Indonesia, yaitu dengan jumlah 27.94%. Generasi Z merupakan generasi yang communitarian, yaitu generasi yang gemar berkumpul dan membentuk komunitas. Terlebih lagi, kondisi ekonomi masyarakat kampung kota lemah, sehingga kebiasaan generasi Z di kampung kota dalam berkumpul dan membentuk komunitas berbeda dengan generasi Z lainnya yang tinggal di luar kampung. Maka dari itu, generasi Z yang tinggal di kampung kota dengan karakter yang communitarian dan hidup dalam kemiskinan tentu memiliki pertimbangan/preferensi sendiri dalam mencari ruang yang mampu membentuk komunitas diantara mereka, baik dilakukan secara sadar ataupun tidak. Oleh karena itu, skripsi ini membahas tentang faktor pembentuk third place yang mempengaruhi pilihan third place generasi Z di kampung dan pengaruhnya terhadap terbentuknya komunitas.

The urban village (kampung) is a residential area that is densely populated, located side by side with the city, where they have traditional living habits, unplanned building pattern, and the occupants' work tends to be informal (Sihombing, 2023). These differences certainly affect the living habits of the kampung’s residents, especially the habit of gathering in public spaces outside their homes and outside their workplaces/schools, namely the third place. Currently, according to the 2020 Population Census, generation Z is the generation with the largest number in Indonesia (27.94%). Generation Z is a communitarian generation, the generation that likes to gather and form communities. Furthermore, living under awful economic conditions impacts their habit of gathering and shaping communities, thus showing differences from other Z generations outside kampung. Therefore, generation Z who live in kampung with communitarian characteristics that lives under poverty certainly have their own considerations in finding spaces that are able to form community among them, whether done consciously or not. Therefore, this thesis discusses third place shaping factors that affect generation z in kampung’s third place selection and its impact towards community formation."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dixon, Chris J.
New York: Routledge, 2015
307.141 2 DIX r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Nur Haliza
"Penelitian ini membahas kedai kopi sebagai ruang ketiga dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Dubai, serta pengaruh kedai kopi terhadap perkembangan industri kopi di Dubai. Dubai menjadi pusat inovasi dari kopi spesial. Dubai dapat mengembangkan pasar kopi walaupun tidak memproduksi biji kopi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pengumpulan data melalui studi pustaka dan observasi media sosial beberapa kedai kopi di Dubai. Teori yang digunakan adalah teori Third Place dan teori Third Wave Coffee. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedai kopi di Dubai kurang berperan sebagai ruang ketiga yang mendukung interaksi sosial, karena tidak mencerminkan netralitas sosial yang menjadi ciri dari ruang ketiga. Perkembangan industri kopi di Dubai didorong oleh dukungan pemerintah sehingga memperkuat posisi Dubai sebagai pusat inovasi kopi spesial. Kedai kopi modern terlihat tetap mempertahankan unsur budaya Emirat meskipun mengikuti tren global, menjadikan kedai kopi sebagai simbol perubahan sosial yang tetap menghargai tradisi. Penelitian ini akan memberikan pemahaman tentang dinamika sosial budaya di Dubai melalui kedai kopi dan industri kopi.

This research discusses coffee shops as a third place in the socio-cultural life of Dubai society, as well as the influence of coffee shops on the development of the coffee industry in Dubai. Dubai is the center of innovation for specialty coffee. Dubai can develop the coffee market even though it does not produce coffee beans. This research uses a descriptive qualitative method by collecting data through literature study and social media observations of several coffee shops in Dubai. The theories used are the Third Place theory and the Third Wave Coffee theory. The research results show that coffee shops in Dubai do not act as third spaces that support social interaction, because they do not reflect the social neutrality that is characteristic of third spaces. The development of the coffee industry in Dubai is driven by government support, strengthening Dubai's position as a center for specialty coffee innovation. Modern coffee shops appear to still maintain elements of Emirati culture despite following global trends, making coffee shops a symbol of social change that still respects tradition. This research will provide an understanding of the socio-cultural dynamics in Dubai through coffee shops and the coffee industry."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bey Sapta Utama
"Untuk mengatasi masalah perbedaan bobot dari banyaknya faktor
yang mempengaruhi pola mobilitas penduduk, maka analisis
migrasi harus diletakkan dalam konteks proses pembangunan
yang sedang berlangsung. Da1am konteks ini, analisis migrasi
dalam kerangka perbedaan pembangunan. antar, daerah di
Indonesia menjadi penting, terutama dalam kaitannya dengan
kebijaksanaan redistribusi penduduk dari Jawa ke luar Jawa,
dan tujuan pemerataan pembangunan antar daerah.
Dalam skripsi ini analisis migrasi antar daerah dikaitkan
dengan indikator-indikator pembangunan masing-masing daerah
menggunakan model place-to-place migration. Untuk merangkul
perbedaan perilaku migran antar wilayah, penulis menggunakan
variabel dummy untuk membedakan migrasi yang masuk dan keluar
dari Pulau Jawa, Sumatr.a , dan Kawasan Timur Indonesia. Dari '
penelitian tersebut penulis menemukan bahwa penanaman modal
di daerah asal dan daerah tujuan, aglomerasi di daerah tujuan
dan jarak mempengaruhi pola migrasi dari dan ke semua daerah.
Variabel kesempatan kerja di daerah tujuan, tingkat upah dan
kepadatan penduduk hanya mempengaruhi pola migrasi dari dan
ke daerah-daerah tertentu. Migran dari Jawa mempertimbangkan
probabilitas memperoleh pekerjaan dan tingkat upah di daerah
tujuan sebagai faktor penarik, dan tingkat upah di daerah
asal sebagai faktor pendorong. Migran yang menuj u ' Jawa
ditarik oleh tingkat penanaman modal dan tingkat aglomerasi
di Jawa, berhuQungan negatif dengan tingkat upah di Jawa,
dan didorong oleh pe~anaman modal dan aglomerasi di daerah
asal. Penulis menyimpulkan bahwa mobili tas penduduk antar
daerah dipengaruhi oleh variabel-variabel yang bersifat umum,
dan yang bersifat spesifik, demikian pula kebijaksanaan yang
harus diambil untuk mempengaruhi redistribusi penduduk dan
pembanqunan reqional. Untuk itu, penulis menvarankan aqar
intervensi Pemerintah melalui program transmigrasi harus
terkai t dengan kebij aksanaan yang mempengaruhi lokasi
investasi dan pengembangan wilayah, dengan tetap
memperhatikan faktor jarak sebagai penghambat arus migrasi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1994
S18770
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>