Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147208 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sostenes Godgonang
"Penelitian tentang pengawasan pemberian remisi terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Paledang Bogor terdiri dari 1 (satu) masalah pokok yaitu ketidak jelasan batasan ukuran atau kriteria pelaksanaan pemberian remisi dan pengawasan oleh Lembaga pengawasan dalam Sistem Pemasyarakatan. Dari masalah pokok tersebut dirumuskan 3 (tiga) pertanyaan permasalahan yaitu : (1) bagaimana jaminan hak narapidana tentang remisi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia; (2) bagaimana pelaksanaan pemberian remisi dan pengawasannya dalam sistem pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan; (3) apa yang menjadi faktor penghambat serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.
Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif yakni mencari data-data akan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab serta tujuan dari Lembaga Pengawasan diadakan sesuai dengan Undang-Undang kemudian diteliti implementasinya di lapangan serta dikaitkan pola pemberian remisi yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dari data yang ada kemudian dianalisis secara deskriptif analistis untuk memberikan gambaran mengenai tugas-tugas dan tanggung jawab secara lengkap dan menyeluruh serta dapat memberikan jawaban permasalahan yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemberian remisi kepada narapidana mengalami pergeseran baik dari pengertian, kriteria maupun tujuannya. Menurut ketentuan, remisi aslinya adalah hak narapidana, bergeser menjadi semacam hadiah yang diberikan oleh pemerintah, dan terakhir bergeser menjadi ajang/arena jual beli kepentingan.Akibat pergeseran tersebut, terjadi pengaburan terhadap aturan-aturan hukum pemberian remisi yang secara otomatis berdampak pada pengawasannya. Tiga lembaga pengawasan yang dibentuk oleh Undang-Undang yaitu Hakim Pengawas dan Pengamat, Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan sama sekali belum dapat berfungsi secara optimal. Ketidak jelasanb aturan pemberian remisi dan lemahnya fungsi pengawasan adalah sebagai akibat tidakb konsistennya pengaturan lembaga pengawasan dalam Undang-Undang yang mengatur secara umum, seperti di KUHAP maupun Undang-Undang khusus Pemasyarakatan, tidak mandirinya kelembagaan pengawasan maupun lembaga pemasyarakatan yang ada, kelebihan penghuni Lapas yang melampaui ambang batas toleransi menyebabkan kepanikan sehingga pemberian remisi dijadikan alat kepentingan pemerintah, dan tidak diteruskannya (dimatikan) program Lembaga Hakim Wasmat secara sistematis melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

The study on the monitoring of giving remission upon the convicts in Class IIA Paledang Bogor Penitentiary Facility consists of one substantial issue namely the unclear of the limitation of parameter or criteria used in the giving of remission and the monitoring by the monitoring body in penitentiary system. There are three issues derived from the one substantial issue which are namely: First is how to guarantee the convict?s rights of remission in criminal justice system in Indonesia. Second is how to implement the giving of remission and its monitoring in penitentiary system in penitentiary facility? Last but not least is what the constraining factors are and how to overcome them.
The method of the study is normative Juridical which seeks data of the tasks and responsibilities as well as the objectives of the monitoring body in accordance with domestic Laws, then study its implementation in practice and relates it with the pattern of the giving of remission implemented in penitentiary facilities. From that data, the study descriptively analyses to give a thoroughly picture of tasks and responsibilities of the body as well as o answer the issues studied. The result of the study shows that the implementation of the giving of remission upon the convicts deviates from time to time. The deviation includes its definition, criteria or objectives as well. In accordance with laws, originally, remission is the convict?s rights now is likely a gift given the government and finally becomes an arena of transaction of people's interests.
In results, there is an uncertainty of the regulations of the giving of remission which automatically influences to its monitoring. There are three monitoring powers assigned by laws which are the monitoring and controlling judges, the Office of the consideration of penitentiary and the Team of monitoring observer. The Three are unable to function optimally. The uncertainty of regulations of the giving of remission and the weak function of the monitoring body is the result of the inconsistency regulation of the monitoring body. There are a numbers of issues relate to the matter such as namely: the inconsistency of the Criminal Law Procedures with the special law on Penitentiary, the non-independent of the Monitoring Body and Penitentiary Authority, the over-populated convicts live in penitentiary facilities, the giving of remission is used as a tool for government and the inactive of the institution of monitoring and controlling judges through the Law Number 12 the Year of 1995.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T 28680
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Teguh Pribady
"Pemberian remisi kepada narapidana baik narapidana sipil maupun militer merupakan perintah dari undang-undang sebagai rangsangan agar narapidana bersedia menjalani pembinaan untuk merubah perilaku sesuai dengan tujuan Sistem Pemasyarakatan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui Pemberian Remisi Terhadap Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan sipil dan Lembaga Pemasyarakatan Militer dihubungkan dengan Sistem Peradilan Pidana. Adapun sifat penelitian adalah yuridis normatif. Bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap. Data yang terkumpul dipilah dan dianalisis secara yuridis dan terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara sistematis dengan metode deduktif dan induktif. Pelaksanaan pemberian remisi untuk narapidana sipil melibatkan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM untuk diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, juga melibatkan Hakim Pengawas dan Pengamat. Sedangkan untuk narapidana militer pemberian remisi melibatkan Unit Pelaksana Teknis Lembaga pemasyaraktan Militer setempat untuk diteruskan kepada Kantor Wilayah Hukum dan HAM setempat setelah mendapat persetujuan dari Pusat Pemasyarakatan Militer (PUSMASMIL) yang juga melibatkan Hakim Pengawas dan Pengamat. Hambatan yang dihadapi dalam pemberian remisi adalah belum adanya sarana peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai payung hukum yang kuat yang merupakan landasan yuridis dan struktural sebagai penunjang atau dasar bagi ketentuan-ketentuan operasionil suatu pelaksanaan pemberian remisi khususnya narapidana militer, disamping adanya tindakan indisipliner dari narapidana, sehingga diupayakan untuk melaksanakan semaksimal mungkin peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan ketentuan operasionil suatu peraturan pemberian remisi khususnya yang terdapat di dalam Undang-Undang Pemasyarakatan. Dari penelitian lapangan ditemukan bahwa pemberian hak remisi di LP klas IIA Paledang Bogor sudah baik kendati ditemukan pula sejumlah hal yang menjadi kelemahan yang bisa mendorong tidak tercapainya dalam pelaksanan pemberian remisi. Dari penelitian lapangan Masmil Cimahi dalam pelaksanaan pemberian remisi terdapat hambatan yang dihadapi dalam pemberian remisi yaitu belum adanya peraturan secara khusus dan tegas sebagai payung hukum yang kuat yang merupakan landasan yuridis dan struktural sebagai penunjuang atau dasar bagi ketentuan hak-hak narapidana militer perihal pelaksanaan remisi.

The administration of remission to imprisoners civil or millitary is order of the law as a stimulation so that imprisioners are ready to receive the counseling to change the behavior according to goal of community system. The research is done to know the administration of remission to imprisoners civil an related with the goal of community system. The nature of this research in normative yuridic. The materials of library and study of documents and completing data. The data gathered will be interpreted systematic logically. The result shows that implementation of remission administration is a right of imprisoners and also as stimulation so that imprisoners are ready to receive the counseling to change the behavior according to the goal of Community System. The Implementation of remission for civil imprisoners involves Unit of Technique Implementor of Comminity, Regional of fice of law Departement and Human Right to be continued to Directorate General of Community, also involver the controlling Judge and observer. For the implementation of remisson for military imprisoners involves Unit of Tecnique Implementor of Community to be continued to Direcotorate General of Commonity after release from General Community Millitary (PUSMASMIL), also involves the controlling Judge and observer. The problem found in adminitration of remission is there is not yet the facility of statutes regulation and rule of implemetation as law umbrella to be supporting of base for operational the remission yuridical and structural foundation as supporting of base for operational requirement especially for the implementation of milltary remission administration, beside there is indiciplinary action of imprisoner, so that it is attempted to implement as maximum as possible the statutes and operational implementation rule of remission administration especially found in the law of Community. From the field research is found that remission administration in LP Klas IIA Paledang Bogor is right, but there is few problem that can be reach for implementation of remission administration. From the field research in military prisoners Community (Masmil Cimahi) the implementation of remission that there is found problem of remission administration. The problem found in adminitration of remission is there is not yet the facility of statutes regulation and rule of implemetation as law umbrella to be supporting of base for operational the remission yuridical and structural foundation as supporting of base for operational requirement especially for the implementation of milltary remission administration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28182
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Usman
"ABSTRAK
Penanggulangan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara komprehensif, yang
meliputi legal substance, legal structure, dan legal culture . Pemidanaan narapidana
di lembaga pemasyarakatan tidak semata-mata sebagai tujuan untuk menghukum orang
atau sebagai pembalasan bagi pelaku perbuatan pidana (tindak pidana), tetapi diterapkan
sebagai tempat pembinaan bagi narapidana agar nanti setelah keluar dari lembaga
pemasyarakatan dapat kembali menjadi manusia/orang yang berkelakuan baik, tidak
lagi melakukan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian atau keresahan
orang lain atau perbuatan yang dapat mengganggu ketenteraman hidup masyarakat.
Remisi adalah merupakan salah satu bagian dari fasilitas pembinaan yang tidak
bisa dipisahkan dari fasilitas pembinaan yang lainnya, dimana hakekat pembinaan
adalah selain memberikan sanksi yang bersifat sanksi /nestapa (punitive), juga
memberikan hadiah (reward) sebagai salah satu dari upaya pembinaan.

ABSTRACT
The prevention of corruption have to be comprehensive, covering "legal
substance, legal structure, and legal culture". Corruption offenses classified as
"extraordinary crime", so as to eradicate it takes "extraordinary measure".
Sentencing inmates in correctional institutions are not solely to punish the person
as an end or as a reprisal for the perpetrators of criminal acts (a crime), but
applied as a guidance for inmates so later after coming out of prison can get back
into a human / person of good character, no longer perform acts that cause harm
or anxieties of others or act that may disturb the public life. Remission is a one
part of coaching facilities that can not be separated from the other coaching
facilities, where the essence of coaching is in addition to sanctions that are
sanctioned / sorrow (punitive), also give a gift (reward) as one of the construction
effort."
Universitas Indonesia, 2013
T35230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakky Ikhsan Samad
"ABSTRAK
Tesis ini membahas adanya permasalahan pengetatan dan pembatasan pemberian remisi sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah PP Nomor 99 Tahun 2012. Ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana sejarah dan perkembangan pemberian remisi dalam sistem pemidanaan di Indonesia, apakah pengetatan dan pembatasan pemberian remisi bagi terpidana korupsi dan narkotika telah sesuai dalam perspektif sistem pemasyarakatan dan perlindungan HAM, dan bagaimanakah bentuk yang solutif kedepannya dalam menyusun kebijakan pemberian remisi, khususnya terkait dengan adanya pembahasan untuk merevisi PP Nomor 99 Tahun 2012. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan Perundang-Undangan, pendekatan analitis, dan pendekatan historis. Data-data yang diperoleh diolah secara kualitatif dan diuraikan secara sistematis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa, konsep pemberian remisi sangat terkait erat dengan perkembangan tujuan pemidanaan, dan sistem pemasyarakatan yang berlaku. Remisi tidak lagi sebagai suatu reward/hadiah akan tetapi sudah menjadi suatu hak bagi seluruh narapidana. Namun, sejak berlakunya PP Nomor 99 Tahun 2012 kebijakan pemberian remisi ini seolah menempatkan konsep pemberian remisi kembali mundur kebelakang dengan seolah menempatkan konsep remisi sebagai suatu hadiah dari penegak hukum yang tidak sesuai dengan konsep remisi. Kebijakan pemberian remisi dalam PP tersebut secara filosofi telah menyimpangi dan mengingkari konsep pemasyarakatan yang ada. Selain itu, ketentuan PP ini juga telah bertentangan aspek yuridis, sosiologis, dan manajemen pemasyarakatan. PP tersebut juga telah menimbulkan suatu bentuk diskriminasi pemidanaan baik terhadap individu, maupun jenis tindak pidananya yang merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM.

ABSTRACT
This thesis discusses the issue of remissions rsquo restriction and constriction as stipulated in Government Regulation PP Number 99 of 2012. The scope of the study is the history and development of remissions in Indonesian sentencing system, the correspondence between remissions rsquo restriction and constriction for corruption convicts and narcotics to the perspective of correctional system and human rights protection,and thoughtful policy making, particularly on plans to revice Government Regulation No.99 Year 2012.In this study, the method used is normative juridical literature, by using statute approach, analytical approach, and the historical approach. The data that has been acquired and processed qualitatively are then presented systematically. The result of the study concluded that the concept of remission are closely related to the development of sentencing objective and the correctional system implemented.Remission is no longer as a ldquo reward rdquo but has become a right for all prisoners. However, since the regulation No.99 Year 2012 applied, policy of remissions seemed to put the concept into decline as the concept of remission applied by law enforcement is not in accordance with the ideals of remissions itself. Philosophycally, the policy of remissions in that regulation has deviated and denied the concept of correction. In addition, the provisions of this Regulation also has opposed the judicial aspect, sociological, and correctional management. The regulation also has led to various forms of discrimination against both the individual criminalization and the types of criminal acts, which are the form of human rights violation. "
2017
T47112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Basuki Katono
"ABSTRAK
Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru untuk senantiasa mengikuti perkembangan masyarakat, termasuk ketentuan mengenai remisi. Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Bagi narapidana tindak pidana narkotika¬-psikotropika, korupsi, terorisme, dan kejahatan HAM berat, remisi diberikan setelah mereka menjalani sepertiga masa pidana dan berkelakuan baik. Hal ini berbeda dengan peraturan sebelumnya yang tidak membedakan jenis tindak pidana.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana fungsi remisi dalam pembinaan narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat dan mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dalam pemberian remisi bagi mereka.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dan dikategorikan sebagai penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap petugas Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM DKI Jakarta, dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang berkaitan secara langsung dengan bidang remisi, registrasi dan statistik maupun narapidana tindak pidana narkotika¬p-sikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.
Analisis penelitian menunjukkan bahwa pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat belum berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Fungsi remisi maupun langkah-Iangkah yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah dan Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya sama seperti tindak pidana umum lainya dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Untuk itu perlu direkomendasikan agar Pemerintah segera melakukan pengkajian untuk memberikan kejelasan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, sehingga memberikan kepastian hukum bagi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah maupun Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika-psikotropika, korupsi, terorisme dan kejahatan HAM berat.

ABSTRACT
This study aimed to determine whether Changes in evaluation system demands new norms in social life to always in track with development within society, including regulations about remission. Government passed Regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights. For inmates granted with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation, remission is granted after they have done one third of conviction time and recorded good behavior. This is different from the previous regulation which did not differentiate the nature of criminal cases.
This study is conducted to find how remission works inmates in drugs, corruption, terrorism and human rights violation cases, and various steps that need to be taken by Director General of Correction, Jakarta Regional Office of Law and Human Rights, and Correctional Institution of Class I Cipinang in granting remission for them.
This study is a descriptive analysis and categorized as qualitative research. Sources of information were obtained from interview with officers in Correctional Institution Class I Cipinang, Regional Officer of Law and Human Rights, and Director General of Correction who have direct access to area of remission, registration and statistic, as well as inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
This research also revealed that informants feel that remission for those inmates has not in accordance with government Regulation Number 2812006. Remission and other treatments conducted by Director General of Correction for those special inmates are basically the same as with other inmates, which is based on Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements of Inmates' Rights and Presidential Decree Number 174/1999 about Remission.
Therefore it is recommended that the government should do through examination to clarify Government regulation Number 28/2006 about alteration to Government Regulation Number 3211999 about Conditions and Requirements to give assurance to Director General of Correction, Regional Officer of Law and Human Rights and Correctional Institutional in granting remission for inmates with cases of drugs, corruption, terrorism and human rights violation.
"
2007
T20838
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Effectiveness on local autonomy implementation by local government is not only measured by how far is local government has achieved optimum performance, but also by how far is its implementation carried out whether it is appropriate to the forcing norms standard and procedure. To know the performance of local autonomy carried out by local government, its needs guidance and monitoring conducted by central government. It is making efficient use much to increase community's standard of living toward a better one. therefore, this article precent various issues concerning to the implementation of guidance and monitoring by central government in local autonomy implementation."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Mayreista
"ABSTRAK
Kajian dalam Tesis ini membahas mengenai Peran pengawasan Ombudsman RI terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah. Fungsi dan tugas aparatur pemerintah pada hakikatnya adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Salah satu indikator kesejahteraan adalah pemberian pelayanan publik yang baik oleh aparatur negara kepada masyarakat. Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan publik sebagai fokus isu tugas dan wewenang pengawasan Ombudsman RI merupakan sesuatu yang sangat esensial karena proses pelayanan sebagai interaksi antara penyelenggara negara dengan masyarakat merupakan salah satu pintu masuk bagi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik) dapat terlaksana pelayanan publik secara optimal sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

ABSTRACT
This thesis discusses the oversight role of the Ombudsman of Republic of Indonesia public service performed by government personnel. The functions and duties of the government apparatus is essentially to provide for the welfare of the people in order to realize a just and prosperous society. One indicator of welfare is the provision of good public service to the community by the state apparatus. The low quality of public services is one of the beams that are directed to the bureaucracy of government in providing services to the community. Public service as a focus issue supervisory duties and powers of the Ombudsman of Indonesia is something that is very essential because the service process as the interaction between state officials with the public is one of the entrances to the corruption, collusion and nepotism. Hopefully, by the Act No. 37 of 2008 on the Ombudsman RI and Act No. 25 of 2009 on Public Service) can be implemented in an optimal public service so that it can benefit to the community."
2013
T32166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Chandra Dewi
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisa tentang keefektifan pemberian insentif pajak berupa
fasilitas tax holiday di Indonesia untuk menarik investor luar dan dalam negeri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode analisa deskriptif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pemberian insentif pajak
berupa tax holiday mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap
peningkatan investasi di Indonesia. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
terdapat berbagai faktor dan tujuan investasi yang menciptakan suatu lingkungan
investasi yang merupakan pertimbangan utama bagi investor sebelum mengambil
suatu keputusan investasi. Lingkungan investasi di Indonesia sudah relatif baik,
sehingga ada tidaknya fasilitas tax holiday yang ditawarkan tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap keputusan investasi. Selain itu, pemberian tax holiday
bagi penanam modal asing hanya akan efektif apabila metode penghindaran pajak
berganda yang dianut adalah credit method yang disertai tax sparing dan
exemption method. Dari kesimpulan tersebut maka disarankan agar pemerintah
mempertahankan dan memperbaiki lingkungan investasi secara
berkesinambungan dan memberikan transparansi bagi para penanam modal
sehingga peningkatan investasi dapat direalisasikan.

ABSTRACT
The focus of this thesis is to analyze the effectiveness of tax incentives in the form
of tax holiday in Indonesia to attract both foreign and domestic investor. This
research utilises qualitative approach and descriptive analytical method. The
purpose of this research is to identify whether such tax incentive in the form of tax
holiday is capable to encourage the growth of investment rate in Indonesia. The
finding from this research indicates that many factors and investment purpose that
creates condusive investment environment are the main considerations for
investors to make any investment decision. Investment environment in Indonesia
has been relatively good thus regardless tax holiday facility offered, there is no
significant impact toward investment decision. Besides, tax holiday facility given
to foreign investors would only be effective if the type of tax treaty implemented
is credit method with tax sparing and exemption method. From previous
conclusion, it is recommended that govenrment maintain and improve investment
environment continuously and offers transparency for investors so that increase in
investment could be realized."
2012
T31468
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kelly Manthovani
"Sistem kepenjaraan telah bertransformasi menjadi sistem pemasyarakatan yang menjadikan narapidana sebagai subjek dalam pemidanaan. Sebagai subjek ia memiliki hak dan kewajiban, salah satu haknya adalah menerima pengurangan masa hukuman atau remisi, namun hak ini bukanlah hak yang otomatis dapat diperoleh karena memiliki syarat-syarat tertentu.
Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan telah menambah syarat remisi bagi narapidana kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), yaitu korupsi, narkotika-prekursor narkotika, psikotropika, terorisme, kejahatan keamanan negara dan kejahatan HAM berat lainnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.
Penelitian ini menunjukkan adanya penambahan syarat remisi bagi narapidana tindak pidana luar biasa tersebut dilakukan guna memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Hal ini mengingat sebelum peraturan pemerintah a quo ini terbit, pemberian remisi cenderung mencerminkan ketidakadilan, terutama apabila melihat keistimewaan pemberian remisi kepada narapidana kejahatan luar biasa, dan hal tersebut menyebabkan pesan penegakan hukum tidak sampai kepada narapidana dan masyarakat.

The punishment system has been transformed into a correctional system that makes inmates as subject in a criminal prosecution. As the subject, they have rights and obligations. One of the rights is to receive a sentence reduction or a remission, but this is not a right which is automatically obtained because it needs certain requirements.
The Government Regulation No. 99 of 2012 concerning the Second Amendment to Government Regulation No. 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Citizens Rights Patronage of Corrections has added some requirements for inmates of extraordinary crime in order to get remission, those are consists of inmate who are accused of corruption, narcotics-precursors of narcotics, psychotropic substances, terrorism, state security crimes and other serious human rights violations. This study uses a qualitative method.
This research shows that the additional of remission requirement for inmates of extraordinary crime were supposed to give a sense of justice to the people. In this regard, before this government regulation is published, the remissions tend to reflect unfairness, especially when granted to the prisoners of extraordinary crime, so that makes the society and inmates did not truly get the message of law enforcement."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S64360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhud Prabowo Mukti
"Penelitian ini menganalisis pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana Tindak Pidana Khusus. Pasal 14 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur mengenai hak-hak narapidana dan syarat pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut tentang itu dalam PP. Pelaksanaan hak-hak narapidana berupa remisi dan pembebasan bersyarat diatur lebih lanjut dalam PP No.99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana terorisme, narkotika, korupsi. kejahatan HAM berat, dan kejahatan transnasional terorganisir, yang diklasifikasikan dalam PP ini sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pengaturan tersebut tidak sejalan dengan tujuan sistem Sistem Pemasyarakatan, dan pengaturan tersebut berbeda materi muatan dengan peraturan diatasnya yaitu UU No. 12 Tahun 1995 yang tidak membedakan pemberian remisis dan pembesan bersyarat antara narapidana tindak pidana umum dan tidak pidana khusus. Perbedaan perlakuan dalam PP No. 99 Tahun 2012 terhadap narapidana tindak pidana khusus atas haknya untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat atas dasar untuk memenuhi keadilan masyarakat adalah bentuk diskriminasi. Temuan penulis adalah, pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 kurang menekankan pada pembinaan yang merupakan program lembaga pemasyarakatan, sehingga pengetatan pemberian remisis dan pembebasan bersyarat lebih kepada pembalasan dendam kepada warga binaan pemasyarakat (WBP) dengan kasus extra ordinary crime. Kedua, adalah adanya upaya penghukuman terhadap narapidana oleh pemerintah, dan ketiga, adalah adanya suatu bentuk diskriminasi terhadap WBP dengan kasus extra ordinary crime yang keseluruhan nilai yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah 99 Tahun 2012 tersebut adalah telah melanggar asas-asas Pemasyarakatan, Hak Asasi Manusia dan tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu peraturan yang lebih tinggi diatasnya.

This study analyzes the granting of remission and parole for inmates Special Crimes . Article 14 paragraph ( 1 ) of Act Number 12 of 1995 concerning Corrections governing the rights of prisoners and conditions of exercise of prisoners delegate more about the settings in government regulations . Implementation of the rights of prisoners in the form of remission and parole further stipulated in Regulation No.99 of 2012 on the Second Amendment Governemnt Regulations Number 32 of 1999 on the Terms and Procedures for Implementation of the Rights of prisoners were set tightening granting remission and parole for inmates terrorism , narcotics , corruption. serious crimes and transnational organized crime , which is classified as a crime in this Government Regulations extraordinary ( extraordinary crime ) . Such arrangements are not in line with the objective system Correctional System , and the different settings substance of the rules above , namely Law No. 12 of 1995 which does not distinguish granting conditional remisis pembesan between inmates and the general crime and criminal not special . Differences in the treatment of Government Regulation 99 of 2012, to convict a criminal act specifically on the right to get remission and parole on the basis to meet the community justice is a form of discrimination . The findings of the authors is , first , the Government Regulation No. 99 of 2012 is less emphasis on the development of a program of correctional institutions , thus tightening granting parole remisis and more to revenge the correctional prisoners in the case of extraordinary crime . Second , is the effort punishment of prisoners by the government , and the third , is the existence of a form of discrimination against prisoners with extraordinary crime cases that the overall value contained in the Government Decree 99 of 2012 is to have violated the principles of Corrections , Human Rights and of course it is not in accordance with the principles of the formation of legislation that higher regulations thereon ."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>