Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rina Kartika Sari
"Salah satu contoh kerjasama pemerintah dengan swasta (public-private partnership) pada sektor air di Indonesia adalah kerjasama antara PDAM Jakarta (Pam Jaya) dengan PT. Aetra Air Jakarta (Aetra). Penulis meneliti sifat hubungan hukum dan bentuk imbalan yang terdapat pada perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan swasta, serta meneliti sifat hubungan hukum dan bentuk imbalan yang terdapat pada perjanjian kerjasama antara Pam Jaya dengan Aetra. Metode yang digunakan untuk meneliti adalah yuridis normatif yaitu meneliti norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dengan tipologi penelitian evaluatif.
Tesis ini menyimpulkan bahwa sifat hubungan hukum yang ada pada perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan swasta adalah kerjasama yang berbentuk operasional/pemeliharaan, kelola, sewa, konsesi, bangun guna serah, bangun serah guna, bangun sewa serah, rehabilitasi kelola serah, bangun tambah kelola serah, dan patungan; sedangkan sifat hubungan hukum yang ada pada perjanjian kerjasama antara Pam Jaya dengan Aetra adalah kerjasama berbentuk konsesi. Bentuk-bentuk imbalan yang digunakan pada perjanjian kerjasama pemerintah dengan swasta adalah fee (pembayaran) yang dibayarkan pemerintah kepada swasta dan bagi hasil imbalan antara pemerintah dengan swasta. Bentuk imbalan pada perjanjian kerjasama Pam Jaya dengan Aetra adalah bagi hasil imbalan, di mana masing-masing Aetra dan Pam Jaya menerima Pendapatan Yang Dibagi dan Pendapatan Yang Tidak Dibagi.
Pada akhir tesis, penulis memberikan saran agar Pemerintah Indonesia membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedoman pemberian imbalan dalam perjanjian kerjasama pemerintah dengan swasta, khususnya di sektor air.

An example of public-private partnership in water sector in Indonesia is the partnership between PDAM Jakarta (Pam Jaya) and PT. Aetra Air Jakarta (Aetra). The writer conducted a research in the legal nature relation and the form of charge of the public-private partnership contract and the legal nature relation and the form of charge of the partnership contract of Pam Jaya and Aetra. The method that is used in the research is juridical normative, which conducted a research of legal norm in the regulations, with the evaluatif research typology.
This thesis concludes that legal nature relation of the public-private partnership contract is a partnership in the form of operational/ maintenance , management, lease, concession, build operate transfer, build transfer operate, build lease transfer, rehabilitate operate transfer, build rehabilitate, operate transfer, and joint venture; and the legal nature relation of the Pam Jaya-Aetra partnership contract is concession. Forms of charge of public-private partnership contract are divided into service fee that is paid by the public to the private and revenue sharing between public and private. Form of charge of Pam Jaya-Aetra partnership contract is revenue sharing, where each Pam Jaya and Aetra receives shared revenue and unshared revenue.
At the end of this thesis, the writer proposes an idea to the Government of Indonesia to enact a regulation that governs the guidance of charge giving in the public private partnership contract, especially in water sector.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28696
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhani Patrianingrum
"ABSTRAK
Dalam rangka penyediaan infrastruktur yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air, maka pemerintah perlu mengadakan kerjasama dengan swasta untuk mengatasi masalah keterbatasan dana dan alokasi resiko terhadap resiko-resiko yang muncul berkenaan dengan pengelolaan sumber daya air bagi masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, Kerjasama Pemerintah dengan Swasta seringkali terdapat permasalahan-permasalahan, yaitu antara lain mengenai kedudukan Pemerintah dalam perjanjian Keriasama Pemerintah dan Swasta dibidang air minum. Kemudian guna memahami lebih dalam mengenai perjanjian kerjasama Pereintah dengan Swasta, maka perlu menganalisis perjanjian yang sudah berjalan, dalam penulisan ini menganalisa perjanjian kerjasama Penyediaan dan Peningkatan Pelayanan Air Bersih di Wilayah Barat Jakarta antara PDAM DKI Jakarta dengan PT. PAM Lyonnaise Jaya, khususnya ketentuan mengenai alokasi resiko tarif air minum. Kedudukan Pemerintah dalam perjanjian Kerjasama PDAM dan Swasta dibidang air minum adalah bukan merupakan Pihak dalam Perjanjian. Namun, Pemerintah selaku pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam Perjanjian Kerjasama maka Pemerintah memiliki kewenangan yang mutlak dalam menetapkan tarif, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan SPAM.Dalam Perjanjian Kerjasama Antara PDAM DKI Jakarta dengan PT.PALYJA, ketentuan mengenai alokasi resiko tarif disebutkan dalam pasal 26 ayat 1 yang berisi tentang kewenangan penetapan tarif. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kewenangan penetapan tarif air minum bukan berada pada DAM DKI Jakarta, melainkan berada pada Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta. Berdasarkan jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada data sekunder, yaitu bahan-bahan pustaka mengenai yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan artikel. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer, dengan cara mengamati penerapan ketentuan-ketentuan hukum tersebut dalam praktik.

ABSTRACT
In order to ready infrastructure related to management water resource, hence government require to have cooperation with private sector to overcome the problem limitation of risk allocation and fund to risks which emerge with reference to management resource irrigate to society. But in its execution, Governmental cooperation with private sector oftentimes there are problems, that is for example hitting to domicile Government in Governmental cooperation agreement and Private sector drinking water area. Then utilize to comprehend deeper regarding Governmental cooperation agreement with private sector, hence require analyzing agreement wich have walked, in this writing analize ready cooperation agreement and Make-Up Service Clean Water in Region West Jakarta between PDAM DKI Jakarta with PT. PAM Lyonnaise Jaya, specially rule concerning drinking water tariff risk allocation. Domiciling Government in cooperation agreement of PDAM and private sector drinking water area is not representing side in agreement. But, Government as third party owning importance in cooperation agreement hence government have absolute authorized in specifying tariff, as mentioned in rule Regulation Government No. 16 year 2005 about Management SPAM (drinking water supply system).
In cooperation agreement between PDAM DKI Jakarta with PT. Palyja, rule concerning tariff risk allocation mentioned in section 26 containing article 1 about authority stipulating of tariff. In section mentioned that authority stipulating of drinking water tariff none residing at PDAM DKI Jakarta, but reside at Local Government Province DKI Jakarta and Parliament Area of DKI Jakarta. Pursuant to its type, this research represent research of bibliography having the character of normative jurisdiction, that is research which as at data secondary, that is book materials regarding covering law and regulation, books, and article. Then continued with research to primary data, by perceiving applying of rules of the law in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T36951
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca Admira Adjani
"Tulisan ini membahas mengenai penyebab terbengkalainya pembangunan proyek transportasi massal monorel di DKI Jakarta dari segi Hukum Perdata. Proyek tersebut dilaksanakan berdasarkan perjanjian kerjasama dengan skema Build, Operate, and Transfer (BOT) antara pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT. Jakarta Monorail. Terdapat beberapa pendapat mengenai hal terbengkalainya pembangunan monorel, yaitu: tidak terpenuhinya pembiayaan proyek yang dijanjikan investor, perjanjian kerjasama tersebut telah batal (baik batal demi hukum ataupun karena adanya pembatalan), atau perjanjian tersebut sedang direnegosiasikan oleh para pihak yang bersangkutan. Melihat fakta-fakta dilapangan, perjanjian kerjasama monorel tersebut saat ini tengah direnegosiasikan oleh para pihak, sehingga pelaksanaan pembangunan monorel pun terhenti.

This paper discusses the causes of the abandonment of construction of the monorail mass transit project in Jakarta in terms of civil law. The project is implemented based on a cooperation agreement with the scheme of Build, Operate, and Transfer (BOT) between Provincial Government of DKI Jakarta and PT. Jakarta Monorail. There are some arguments on the matter of it, namely nonfulfillment of its project financing, the cooperation agreement has been canceled (either void or because of cancellation), or the agreement is being renegotiated by the concerned parties. Given by the facts in field, the monorail cooperation agreement is currently being renegotiated by the parties, so that the implementation of monorail construction was halted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58798
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspla Dirdjaja
"Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi perubahan mendasar mengenai pengetahuan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya di bidang Administrasi Pemerintahan rnaupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dikenal sebagai Otonomi Daerah.
Dalam era Otonomi Daerah yang sekarang ini, Daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antara daerah dan mendorong timbulnya inovasi.
Penyusunan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian keduanya dikenal sebagai Undang-undang otonomi Daerah, adalah dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang efisien, efektif, akuntabel.
Hal ini dapat diperhatikan dalam penjelasan Undangundang tersebut yang menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokratis, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah perlu ada dukungan berupa kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengkturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, Berta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Konsekuensi dari penyerahan kewenangan yang demikian besar sudah barang tentu adalah tanggung jawab yang semakin besar pula terutama dalam hal penyelenggaraan seluruh kewenangan sehingga pemberdayaan, kreativitas dan inovasi menjadi kata kunci bagi setiap daerah otonom.
Kecuali dari dana perimbangan ataupun dana yang dikeluarkan Pemerintah Pusat, Daerah harus mampu mencari sumber-sumber pembiayaan melalui Sumber-sumber Pendapatan Daerah termasuk Pendapatan Asli Daerah. Disinilah sebenarnya terletak peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan pendapatan melalui salah satu Sumber Pendapatan Asia. Daerah (PAD) yaitu aset daerah. Penyerahan kewenagan yang berimplikasi pada membengkaknya aset daerah di satu sisi dapat menguntungkan Pemerintah Daerah, namun di sisi lain dapat menjadi beban bagi pemerintah jika tidak dikelola dengan baik.
Disinilah letak perlunya pengelolaan aset daerah secara hati-hati dan baik. Karena tak jarang dijumpai adanya pengelolaan aset seperti aset properti (tanah, bangunan dan infrastruktur) yang pada umumnya merugikan. Tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola dan memastikan agar aset Pemerintah Daerah tidak lagi menjadi beban keuangan, tapi sebaliknya menjadi sumber pendapatan.
Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya pelimpahan kewenangan yang telah diberikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka dalam rangka memenuhi dari segi pembiayaan yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas di bidang pemerintahan tersebut, dapat terpenuhi dengan adanya kewenangan pemerintah daerah mencari sumber-sumber pembiayaan lain untuk pelaksanaannya yang didukung oleh perangkat peraturan Perundang-undangan Daerah yang berkenaan dengan hal dimaksud, terutama yang berkenaan dengan kerjasama dengan pihak ketiga, sehingga dapat mencapai hasil yang optimal, baik dari segi pemanfaatan aset maupun pemasukan terhadap pendapatan daerah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Witarsa
"ABSTRAK
Laju pertumbuhan penduduk di Jakarta yang cukup pesat dengan aktivitas ekonomi masyarakat yang semakin tinggi, memberi dampak ke segala sektor kehidupan masyarakat, seperti : sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat tersebut, antara lain disebabkan Jakarta menciptakan daya tarik (full factor) bagi Daerah lain, ini karena besarnya peluang bagi dunia usaha (lihat label 1), dan juga Jakarta berperan sebagai penampung akibat dari daya dorong (push factor) kemiskinan desa yang menyebabkan perpindahan penduduk desa ke kota. Kedua faktor tersebut menjadi trigger off (pemicu) masyarakat berurbanisasi ke Jakarta.
Urbanisasi tersebut mengakibatkan adanya kompetisi dan pertarungan kehidupan yang keras yang pada gilirannya menimbulkan masalah (problem) sosial, seperti PMKS. Orang-orang yang dikategorikan PMKS adalah orang-orang yang dikarenakan berbagai faktor, baik faktor dalam dirinya maupun faktor dari luar, kehilangan kemampuan untuk berinteraksi dalam melaksanakan peranan sosialnya (disfungsi sosial).
Salah satu Daerah yang masyarakatnya banyak berurbanisasi ke Jakarta dan banyak menjadi PMKS, antara lain Propinsi Jawa Tengah. Itulah sebabnya masalah sosial (PMKS) yang ada di DKI Jakarta tidak bisa ditangani secara sepihak DKI Jakarta saja, tapi hams secara komprehensif artinya ditangani dari hulu ke hilir. Konsep penanganan PMKS secara komprehensif inilah, yang melahirkan kerjasama antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Tengah.
Pelaksanaan kerjasama antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Tengah dalam penanganan PMKS, dievaluasi dari aspek Visi, Program, Anggaran dan Pengawasan. Adapun responden yang dijadikan informan dalam penelitian adalah pejabat/unit sebagai penentu kebijakan (policy), pelaksana program, pendukung program dan partisan.
Untuk mengevaluasi pelaksanaan kerjasama tersebut, digunakan metode evaluasi yakni membandingkan sesuatu dengan suatu standard. Evaluasi yang digunakan adalah evaluasi formatif, karena penelitian ini hendak melihat dan meneliti pelaksanaan program penanganan PMKS, mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program tersebut.
Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa temyata kesamaan visi sangat diperlukan dalam penanganan PMKS dalam kaitan kerjasama antara Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dengan Propinsi Jawa Tengah. Kesamaan visi tersebut dapat dijadikan arah/pedoman di dalam melaksanakan kegiatan penanganan PMKS.
Oleh karena itu, sesuai dengan pokok bahasan penelitian ini, maka sebagai rekomendasi kepada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Tengah dapat diperbaiki hal-hal sebagai berikut :
1. Untuk sub variabel Visi, perlu :
a. Ditingkatkan koordinasi antar unit/instansi yang terkait dalam penanganan PMKS.
b. Disosialisasikan visi penanganan PMKS kepada pejabat pimpinan unit serta ditetapkan strateginya
2. Untuk sub variabel Program, perlu :
a. Dibentuk Pokja Daerah yang khusus meneliti kebutuhan Daerah yang layak untuk dikerjasamakan
b. Ditegaskan bahwa program kerjasama antar Daerah harus terlebih dahulu dilakukan studi kelayakanlkajian.
3. Untuk sub variabel Anggaran, perlu :
Persamaan persepsi tentang masalah PMKS, artinya PMKS di perkotaan tidak dapat diselesaikan secara single ended harus diselesaikan secara komprehensif.
4. Untuk sub variabel Pengawasan, perlu :
Ditetapkan satu prosedur dan mekanisme pengawasan tentang pelaksanaan/kegiatan/proyek kerjasama antar Daerah, artinya apakah programnya, hasilnya atau pelaksanaannya yang akan di evaluasi."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rika Herdiani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firman Yudiansyah
"ABSTRAK
Perjanjian Kerja Sama antara Telkom dengan Mitra adalah suatu keija sama
pengelolaan, pengoperasian dan pemeliharaan telepon umum coin milik Telkom di
Kandatel Jakarta Selatan. Bentuk Perjanjian Keija Sama ini cukup mirip dengan Perjanjian
Sewa Menyewa biasa, dimana Mitra menyewa jaringan dan pesawat telepon umum coin
milik Telkom untuk dikelolanya, dan untuk itu Telkom mendapatkan haknya berupa
pembayaran sewa. Dalam pelaksanaannya, jika terjadi resiko kerusakan yang diakibatkan
keadaan memaksa atau diluar kuasa para pihak, sudah sewajarnya jika hal tersebut
ditanggung oleh pemilik barang yang disewakan, dalam hal ini Telkom. Sebaliknya, untuk
kerusakan yang diakibatkan gangguan pihak ketiga, yang sebenarnya masih dapat
ditanggulangi Mitra, sudah sewajarnya pula jika menjadi tanggung jawab Mitra. Mengenai
kepemilikan aset, sebaiknya hal tersebut dikembalikan kepada aturan dan ketentuan
hukum yang berlaku, dimana terhadap pesawat telepon umum coin baru yang dibiayai oleh
Mitra, menurut Perjanjian Kerja Sama, adalah mumi menjadi milik Mitra. Sedangkan
untuk suku cadang yang diproduksi dan dibiayai oleh Mitra, tetap menjadi milik Telkom.
Hal tersebut dikarenakan penggunaan suku cadang tersebut melekat ke dalam unit pesawat
telepon umum coin eksisting yang memang milik Telkom. Selain itu, berdasarkan
Perjanjian Kerja Sama, Mitra memang bertanggung jawab penuh untuk perbaikan suku
cadang tersebut.

ABSTRACT
Cooperation Agreement between Telkom and Partner is a Telkom public phone operation
and maintenance cooperation in South Jakarta Telecommunication service area. The
structure of this Cooperation agreement is quite similar with common lease agreement,
whereas the Partner lease the Telkom network and its public phone coin, and therefore
Telkom is entitled for lease payment. In practice, if there is a defect risk which caused by
force majeure situation, normally the loss incurred, is bore by the owner of the lease
goods, which in this case is Telkom. In contrary, of the defect was caused by third party
disturbance, which actually can still be anticipated by Partner, it is common the loss
incurred is bore by the lessee, which in this case is Partner. In regard of asset ownership,
the cooperation agreement has ruled that for new public phone coin unit which financed by
Partner, is purely belong to Partner. Meanwhile, for spare parts which produced and
financed by Partner, the ownership is still in Telkom hand. The reason is, the usage of
spare parts is attached to existing public phone coin unit which owned by Telkom. In the
meantime, according to Cooperation Agreement, Partner is fully responsible for repair the
spare part."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37392
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hendarsyah
"Agen Tunggal Pemegang Merek adalah suatu perusahaan nasional yang memegang suatu merek dari Prinsipal luar negeri. Dasar perusahaan Agen Tunggal ini adalah PP No.36/77 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing Dalam Bidang Perdagangan. Perusahaan asing yang hendak melaksanakan usaha dilndonesia wajib untuk menunjuk suatu perusahaan nasional Indonesia sebagai unit usahanya. Perusahaan distributor itu adalah suatu perusahaan yang akan meneruskan barang sampai ke konsumen, baik itu berasal dari prinsipal atau dari agen tunggal dari suatu merek. Peranan Agen Tunggal pemegang merek dan Distributor terus akan berkembang sejalan dengan keinginan para investor untuk menanamkan modal mereka dilndonesia. Para pihak dalam perjanjian ini hendak mencapai suatu tujuan tertentu, untuk itu para pihak mengutarakan keinginan-keinginan mereka dalam suatu klausul perjanjian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
S20684
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>