Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176324 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Rini Hapsari
"Jumlah kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, Pada tahap tertentu, penggunaan narkoba secara terus menerus dapat berkembang menjadi ketergantungan (addiction). Ketergantungan pada narkoba tentu membawa berbagai akibat yang merugikan bagi penderitanya. Menurut cognitive model of addiction Marlatt, ketergantungan dapat dijelaskan dengan empat proses kognitif, yang salah satunya adalah atribusi kausal. Atribusi kausal adalah penyimpulan mengenai sebab dari suatu peristiwa atau tingkah laku, yang dapat dibedakan menurut berbagai dimensi, antara lain locus, stability, controlability, dan globality. Atribusi kausal ini diketahui berhubungan dengan berbagai konsekuensi psikologis, di antaranya adalah harga diri. Harga diri merupakan keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya berharga, penting, mampu menghadapi tantangan dalam hidup, serta layak mendapatkan kebahagiaan.
Harga diri adalah variabel yang berperan penting dalam masalah ketergantungan, termasuk juga dalam menentukan kesembuhan. Didasari hal tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara atribusi kausal terhadap penggunaan narkoba dengan harga diri pada penderita ketergantungan narkoba yang sedang dalam masa penyembuhan. Selain itu, ingin diketahui juga gambaran atribusi kausal dan harga diri para penderita ketergantungan tersebut. Subyek penelitian adalah penderita ketergantungan narkoba yang sedang dalam masa penyembuhan dari ketergantungan, dengan jumlah 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-probability sampling, yaitu purposive sampling. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner. Untuk mengukur atribusi kausal terhadap penggunaan narkoba, digunakan alat ukur yang disusun oleh peneliti. Untuk mengukur harga diri digunakan, Sel/ Esteem Inventory dari Coopersmith (1967).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, subyek mengatribusikan penggunaan narkobanya pada sebab yang internal, dapat dikontrol, tidak stabil, dan global. Mengenai harga diri, sebagian besar subyek diketahui memiliki harga diri yang cenderung tinggi. Selanjutnya, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara atribusi kausal dalam keempat dimensi dengan harga diri. Berarti, atribusi kausal subyek terhadap penggunaan narkobanya tidak berhubungan dengan tinggi rendah harga dirinya. Tidak signifikannya hubungan kedua variabel di atas diduga disebabkan oleh pengaruh variabel yang tidak terkontrol, yaitu treatment yang diperoleh subyek dalam penyembuhannya. Untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh variabel treatment tersebut terhadap kedua variabel penelitian, dilakukan wawancara dengan satu orang subyek. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa tinggi rendahnya harga diri subyek lebih berkaitan dengan treatment yang diperolehnya, daripada dengan atribusi kausalnya.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan penelitian dengan memasukkan treatment yang diperoleh subyek sebagai salah satu variabel penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan berharga bagi treatment rehabilitasi untuk penderita ketergantungan narkoba."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3395
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Yuanita Prananto
1993
S2388
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Octavia
2003
S3315
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Di tengah serbuan arus informasi pada era globalisasi sekarang ini, manusia
dihadapkan pada tingginya kompetisi. Kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
yang demikian cepat dapat membuat manusia tertinggal oleh perubahan yang ada.
Karenanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibarengi dengan
kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang juga kian kompleks. Di sini
terlihat arti penting pengembangan kreativitas , sejalan dengan upaya untuk
menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh.
Bagi bangsa Indonesia, upaya pengembangan kreativitas menjadi hal yang
mendesak. Ini berkaitan dengan adanya kenyataan akan lemahnya kreativitas
masyarakat Indonesia (Supriadi, 1994). Kesenjangan antara hal yang ideal dengan
kenyataan di lapangan , mendorong penulis untuk meneliti bagaimana hubungan
antara kreativitas, dalam hal ini sikap kreatif dengan sejumlah variabel.
Dalam Alisjahbana (1983), dikatakan bahwa rendahnya kreativitas di
Indonesia antara lain diduga karena masih dominannya sikap santai. Selain sikap
tersebut, dalam budaya kolektivis individu juga kurang tampil sebagai pribadi yang
utuh, mereka terlalu melebur (Alisjallbana, 1983). Konformitas semacam ini
menghalangi munculnya kreativitas individu. Di sisi lain, budaya individualis yang
mengutamakan kebebasan indiyidu diduga akan ikut menunjang kreativitas. Dalam
penelitian ini ingin dilihat apakah ada hubungan antara nilai idiosentrisme dengan
sikap kreatif. Idiosentrisme adalah sebutan lain untuk konsep individualisme pada
tataran individu.
Selain faktor individualisme di atas, penulis juga menduga bahwa faktor
kepribadian mempunyai peran terhadap sikap kreatif. Dalam hal ini penulis
rnengangkat konsep harga diri. Secara teoritis respon individu akan berbeda
tergantung tingkat harga dirinya. Berdasarkan hal tersebut maka diduga sikap kreatif
sebagai respon seseorang juga akan beragam tergantung tingkat harga dirinya.
Mengenai harga diri, dikatakan bahwa individu yang mampu mengembangkan
harga diri yang positif maka akan mencapai taraf aktualisasi diri atau berfungsi
sepenuhnya (dalam Schultz, 1991). Salah satu ciri mereka adalah adanya
kemampuan untuk mengekspresikan diri secara otonom serta dimilikinya keyakinan
diri yang kuat. Selain itu mereka juga lebih ulet (Leary, dkk, 1995). Penulis
menduga, sejumlah ciri tersebut akan berhubungan dengan sikap kreatif.
Penelitian ini melibatkan sampel remaja. Hal ini didasari oleh kenyataan
bahwa dari segi kuantitas, jumlah mereka adalah satu per lima dari seluruh
penduduk Indonesia. Jadi mereka melupakan aset yang besar bagi bangsa Selnin itu, adanya temuan yang memperlihatkan hubungan yang negatif antara
proses berpikir remaja dengan kreativitas ikut mendorong penulis (Wolf dalam
Rice, 1990).
Sebanyak 52 orang subyek dilibatkan dalam penelitian, di mana mereka
diambil dengan cara non probability sampling. Alat ukur yang dipergunakan
berupa kuesioner Skala Sikap Kreatif (Singgih, 1990), Indcol 1994 (Triandis, 1994)
dan Culture Free Self Esteem Inventory (Battle, 1981).
Dengan menggunakan teknik perhitungan multiple regression, penulis
mendapatkan sejumlah hasil. Secara keseluruhan ditemukan adanya hubungan
yang signifikan antara idiosentrisme dan harga diri dengan sikap kreatif. Variabilitas
SK yang dipengaruhi oleh interaksi ke dua variabel adalah sebesar 14,235 %.
Sementara dengan mengontrol salah satu variabel, ternyata hanya variabel harga diri
yang berhubungan secara signifikan dengan sikap kreatif pada los 0,05 ; dengan
sumbangan varians sebesar 39,9 %. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
skor harga diri maka makin tinggi pula skor sikap kreatif subyek. Sedangkan
idiosentrisme tidak secara signifikan berhubungan dengan sikap kreatif. Dari hasil
tambahan juga terlihat bahwa mayoritas subyek memiliki Sikap Kreatif (SK)
sedang (73,1 %). Mean skor SK subyek yang antara lain dikelompokkan
berdasarkan jenis kelamin, jabatan dalam kegiatan Ekstra Kurikuler di Sekolah,
kegiatan membaca di waktu luang, , temyata juga tidak berbeda secara signifikan.
Sehubungan dengan hasil yang tidak signifikan antara idiosentrisme dengan
sikap kreatif dapat dikatakan bahwa idiosentrisme tidak selalu berhubungan
dengan sikap kreatif. Dalam hal ini dapat muncul dugaan baru, yakni alosentrisme
lah yang ternyata berhubungan dengan sikap kreatif. Diduga teori yang dijadikan
kerangka analisis dalam penelitian ini kurang sesuai dengan keadaan di Indonesia,
atau dunia Timur (kolektivis/alosentris) pada umumnya. Artinya, bisa saja kondisi
sosial yang dituntut unluk tumbuhnya kreativitas manusia Timur dan Barat tidak
seluruhnya sama. Ini dituniang oleh sejumlah fakta yang diduga mempengaruhi
kreativitas , yakni antara lain adalah adanya persepsi bahwa kerja merupakan
sebuah pengabdian, adanya daya tahan dan kegigihan untuk menghasilkan prestasi
yang maksimal, tidak cepat puas (ada delay gratification) , kemauan untuk bekerja
keras dalam waktu yang lama, adanya wawasan ke depan (orientasi futuristik) yang
mendorong mereka untuk gigih , tabah dan percaya diri. Penulis juga memandang
ada faktor lain yang ikut berperan, yakni pengalaman sejarah, ketidak pastian masa
depan dan kondisi alam.
Mengingat gambaran di atas maka diperlukan kajian yang lebih mendalam,
antara lain dengan memperluas sampel dan ruang lingkup aspek yang dilibatkan.
Instrumen penelitian juga perlu diperbaiki. Sementara saran aplikatif yang mungkin
diwujudkan antara lain adalah perlunya pengembangan dan pemupukan harga diri."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Prasetiyo
Depok: Universitas Indonesia, 1994
S2920
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirmala Ika Kusumaningrum
"ABSTRAK
Masa dewasa muda merupakan suatu masa yang cukup sulit, karena masa itu merupakan masa persiapan dimana seseorang mulai memikirkan perkawinan dan persiapan membentuk sebuah keluarga. Namun disisi lain masa tersebut juga merupakan suatu masa isolasi, dengan masuknya seseorang ke dunia keija dan makin berkurangnya ketergantungan dengan keluarga. Pada masa ini kehadiran teman, sahabat dan khususnya kekasih sangat berarti bagi seseorang, ketidak hadiran orang-orang tersebut dapat menimbulkan perasaan kesepian. Perasaan kesepian itu dapat dipengaruhi oleh rendahnya harga diri yang dimiliki seseorang. Dalam usaha mempertahankan hubungan yang sudah dimiliki dengan pasangannya, orang sering dituntut untuk melakukan pengorbanan. Namun bentuk pengorbanan yang diberikan itu bisa bermacam-macam, salah satunya adalah dengan mau melakukan hubungan seksual pranikah. Dari penelitian sebelumnya diperoleh hasil bahwa orang yang memiliki harga diri rendah cenderung lebih permisif terhadap perilaku seksual pranikah. Untuk itu dibuat penelitian ini untuk melihat apakah perasaan kesepian dengan kontrol dari harga diri berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk mau berkorban dengan melakukan hubungan seksual pranikah. Dan juga akan dilihat apakah kesepian akan berpengaruh terhadap kesiapan seseorang untuk berkorban dengan melakukan hubungan seksual pranikah atau malah harga diri seseorang yang akan berpengaruh terhadap hal tersebut.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan seksual pranikah dari lingkup usia dewasa muda, karena selama ini penelitian mengenai hal tersebut lebih banyak dilakukan dikalangan remaja. Selain itu juga untuk mencoba mengangkat masalah pengorbanan sebagai salah satu alasan dari tujuan melakukan hubungan seksual pranikah.
Teori yang digunakan sebagai landasan meliputi kesepian, harga diri, hubungan seksual pranikah dan pengorbanan serta batasan tentang usia dewasa muda.
Dalam penelitian ini ada 3 buah kuesioner yang digunakan yaitu UCLA Loneliness Scale, Sel/ Esteem Inventory dan vignet yang berisi 3 macan cerita yang masing-masing memberikan stimulasi yang berbeda-beda terutama pada alasan mengapa seorang wanita mau berkorban. Perbedaan alasan pengorbanan yang diberikan adalah karena ketakutan akan munculnya perasaan kesepian sosial, perasaan kesepian emosional dan karena cinta terhadap pasangannya. Perhitungan yang digunakan adalah dengan menghitung coefficient contingency dengan menggunakan chi-square sebagai dasar perhitungannya. Sehingga hasil yang di dapat bisa dianalisa secara lebih mendalam.
Data yang diperoleh dari dari hasil perhitungan terhadap 109 subyek, menunjukkan bahwa subyek sudah memenuhi karakteristik sampel yang dibutuhkan dan penyebaran subyek sudah terbagi cukup merata. Namun ternyata sebagian besar subyek memiliki tingkat kesepian yang rendah dan harga diri yang cukup tinggi.
Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa perasaan kesepian tidak berhubungan dengan kesiapan seseorang untuk berkorban berupa melakukan hubungan seksual pranikah. Sedangkan harga diri berhubungan dengan kesepian seseorang untuk berkorban berupa melakukan hubungan seksual pranikah hanya jika pengorbanan itu dilakukan karena ketakutan akan munculnya perasaan kesepian emosional. Dan harga diri sebagai variabel kontrol juga tidak berpengaruh terhadap hubungan antara perasaan kesepian yang dirasakan seseorang dengan kesiapannya untuk berkorban berupa melakukan hubungan seksual pranikah.
Saran yang diajukan untuk penelitian ini adalah memperbesar jumlah sampel sehingga dapat diperoleh orang-orang yang memang memiliki tingkat kesepian yang tinggi dan harga diri yang rendah. Selain itu ada baiknya jika dilakukan penelitian lain yang juga berkaitan dengan masalah pengorbanan. Karena dari penelitian ini muncul kenyataan bahwa sebagian besar subyek menerima bahwa dalam suatu hubungan memang memerlukan pengorbanan namun saat ini mereka belum dapat menerima hubungan seksual pranikah sebagai suatu bentuk pengorbanan."
2000
S2876
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fensen Kurniawan
"Kecanduan seks dunia maya merupakan perilaku berpola yang mencari kepuasan seksual secara daring. Saat ini, kecanduan seks dunia maya belum diakui secara resmi sebagai gangguan klinis, tetapi memiliki dampak serius terhadap individu yang mengalaminya. Maka dari itu, perilaku kecanduan seks dunia maya memerlukan penelitian lebih lanjut dan penanganan yang serius. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara kesepian dan kecanduan seks dunia maya pada mahasiswa, serta peran kontrol diri sebagai faktor moderasi dalam hubungan tersebut. Sampel penelitian terdiri dari 119 mahasiswa pengguna aktif internet dengan rentang usia 18-25 tahun (M = 21,31, SD = 1,429). Sampel ini terdiri dari 77,6% perempuan (n = 90) dan 22,4% laki-laki (n = 26). Pengukuran variabel dilakukan menggunakan Internet Sex Screening Test (ISST) untuk mengukur tingkat risiko kecanduan seks dunia maya, Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA) untuk mengukur tingkat kesepian, dan Brief Self Control Scale (BSCS) untuk mengukur tingkat kontrol diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol diri tidak signifikan dalam memoderasi hubungan antara kesepian dan kecanduan seks dunia maya pada mahasiswa (β = 0,0459, t(116) = 1,3205, p = 0,1895, p > ,05). Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa kontrol diri, jenis kelamin, dan orientasi seksual memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecanduan seks dunia maya pada mahasiswa. Dalam penelitian ini, kontrol diri ditemukan mempengaruhi kecanduan seks dunia maya secara negatif, di mana ketika kemampuan kontrol diri meningkat, maka risiko kecanduan seks dunia maya cenderung menurun.

Cybersex addiction is a pattern of behavior that seeks online sexual satisfaction. Currently, cybersex addiction is not officially recognized as a clinical disorder, but has serious impacts on individuals experiencing it. Therefore, cybersex addiction behavior requires further research and serious treatment. This study aims to investigate the relationship between loneliness and cybersex addiction among college students, as well as the moderating role of self-control in this relationship. The research sample consisted of 119 college students, active internet users, aged between 18 and 25 years (M = 21.31, SD = 1.429). The sample comprised 77.6% females (n = 90) and 22.4% males (n = 26). The measurement of variables was conducted using the Internet Sex Screening Test (ISST) to assess the level of risk for cybersex addiction, the Social and Emotional Loneliness Scale for Adults (SELSA) to measure the level of loneliness, and the Brief Self-Control Scale (BSCS) to measure the level of self-control. The results of the study indicated that self-control did not significantly moderate the relationship between loneliness and cybersex addiction among college students (β = 0.0459, t(116) = 1.3205, p = 0.1895, p > .05). Further analysis revealed that self-control, gender, and sexual orientation significantly influenced cybersex addiction among college students. In this study, self-control was found to have a negative impact on cybersex addiction, where as the ability to exercise self-control increases, the risk of cybersex addiction tends to decrease."
Depok: 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verina Adristi Maheswari
"Fenomena perselingkuhan daring semakin hari semakin meningkat dimana salah satu variabel yang berhubungan dengan perilaku perselingkuhan adalah tingkat kepuasan hubungan romantis yang rendah. Namun, terdapat faktor pelindung yang dapat mempengaruhi individu untuk tidak melakukan perselingkuhan daring, yaitu tingkat kontrol diri yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran kontrol diri sebagai moderator dalam hubungan antara kepuasan hubungan romantis dan perselingkuhan daring. Penelitian dilakukan kepada 239 partisipan yang sedang berpacaran selama minimal enam bulan dan menggunakan internet selama minimal tujuh jam seminggu yang didapatkan dengan convenience sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu modifikasi dari Internet Infidelity Scale (IIS), Relationship Assessment Scale (RAS), dan Brief Self Control Scale (BSCS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol diri berperan sebagai moderasi dalam hubungan antara kepuasan hubungan romantis dan perselingkuhan daring dengan β = 0,0513, t(239) = 3,8336, p<0,05. Ketika dianalisis lebih lanjut, ditemukan bahwa tingkat kontrol diri yang tinggi mampu berperan untuk menahan individu untuk tidak melakukan perselingkuhan daring pada hubungan romantis yang tidak memuaskan. Peran kontrol diri terbatas pada saat hubungan romantis memuaskan.

The phenomenon of cyber infidelity keeps increasing where one of the variables related to infidelity behavior is the low level of romantic relationship satisfaction. However, there are protective factors that can influence individuals not to commit cyber infidelity, it is a high level of self control. This study is aimed to examine the role of self control as a moderator in the relationship between romantic relationship satisfaction and cyber infidelity. The study was conducted on 239 participants who had been dating for at least six months and used the internet for at least seven hours per-week obtained through convenience sampling. The measuring instruments that are used in this study are modifications of the Internet Infidelity Scale (IIS), Relationship Assessment Scale (RAS), and Brief Self Control Scale (BSCS). The results of this study indicated that self control moderated the relationship between romantic relationship satisfaction and cyber infidelity with β = .0513, t(239) = 3.8336, p<.05. Analyzing further, it was found that a high level of self control restraining individuals from committing cyber infidelity in unsatisfied romantic relationships. The role of self control is limited to satisfied romantic relationships."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>