Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160076 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1993
S2285
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Sahidah Fitriana
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas pendekatan solution focused dalam meningkatkan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda dari keluarga dengan orangtua bercerai. Melalui desain penelitian single subject experimental, intervensi diberikan kepada dua orang partisipan dalam empat kali pertemuan dengan durasi 90-120 menit. Efektivitas intervensi dievaluasi secara kualitatif yaitu melalui pengamatan dan wawancara peneliti terhadap perkataan dan insight partisipan selama menjalani sesi intervensi. Efektivitas juga dievaluasi secara kuantitatif melalui pemberikan kuesioner Marital Attitude Scale dan optimism about relationship pada saat sebelum dan segera setelah intervensi selesai dilakukan. Kedua kuesioner ini dinyatakan berkorelasi secara signifikan dengan kualitas hubungan romantis. Hasil antara kuesioner sebelum dan sesudah intervensi kemudian diperbandingkan.
Berdasarkan hasil intervensi yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa intervensi dengan pendekatan solution focused efektif dalam meningkatkan kualitas hubungan romantis pada dewasa muda dari keluarga dengan orangtua bercerai. Partisipan memiliki sikap yang lebih positif terhadap pernikahan dan optimisme yang lebih besar terhadap kesuksesan hubungan romantis di masa depan. Partisipan juga mendapatkan manfaat intervensi berupa mengurangi pikiran-pikiran negatif, mempertahankan perilaku yang bermanfaat dalam hubungan romantis dan meningkatkan kualitas hubungan romantis terutama dalam hal komunikasi dengan pasangan.

The aim of this study is to find out the effectiveness of solution focused approach in enhancing quality of romantic relationship from adult children of divorce. With single subject experimental design, the solution focused approach was given to two participants in four sessions (90 - 120 minutes). Intervention effectiveness were being evaluated qualitatively by observing insight of the participants during intervention sessions. The effectiveness of intervention were also measured quantitavely by giving Marital Attitude Scale and Optimism about relationship scale before and after intervention. And then the results were being compared.
Based on the intervention result, it can be concluded that solution focused approach is effective in enhancing the quality of romantic relationship among adult children of divorce. Participant's attitude and optimism toward romantic relationship and marriage has increased significantly. Participants also gain some benefits from the intervention. The participants utter that their negative thought has decreased. They also can maintain behaviors that support quality of romantic relationship and increasing it through better communication skill toward their spouse.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T30575
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annajm Arradita Andhi Ajeng
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah keberfungsian keluarga dapat memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat apakah dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga yaitu problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement dan behavior control secara bersama-sama dapat memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai. Pengukuran intimacy dilakukan dengan menggunakan Miller Social Intimacy Scale MSIS sementara pengukuran keberfungsian keluarga dilakukan dengan menggunakan Family Assessment Device FAD yang didasari oleh teori McMaster Model of Family Functioning. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 188 perempuan dan 67 laki-laki dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai, berumur 20-40 tahun, sedang menjalin hubungan berpacaran, dan belum menikah. Hasil penelitian dengan teknik simple regression menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga tidak signifikan memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memilki orang tua bercerai. Hal yang sama juga ditemukan pada dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga, dimana hasil multiple regression menunjukkan bahwa dimensi-dimensi dari keberfungsian keluarga secara bersama-sama tidak signifikan memprediksi intimacy dalam hubungan berpacaran pada dewasa muda yang memiliki orang tua bercerai.

This study conducted to examined family functioning as predictor of intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. This study also examined whether the dimensions of family functioning problem solving, communication, roles, affective responsiveness, affective involvement and behavior control could simultaneously predict intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. Intimacy was measured with Miller Social Intimacy Scale MSIS and family functioning was measured with Family Assessment Device FAD based on McMaster Model of Family Functioning Theory. This study consisted of 188 females and 67 males young adults with divorced parents, aged 20 40, is in dating relationship during the study, and have not been married before. The result with simple regression indicated that family functioning not significantly could be a predictor of intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents. The same result was found on the dimensions of family family functioning in which multiple regression showed that the dimensions of family functioning could not simultaneously predict intimacy in dating relationship among young adults with divorced parents."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farica
"Tujuan utama dari penelitian ini adalah membuktikan keberfungsian keluarga sebagai prediktor dari kepercayaan pada dewasa muda yang menjalin hubungan pacaran dan memiliki orang tua bercerai. Keberfungsian keluarga diukur dengan Family Assessment Device FAD yang berasal dari Teori McMaster. FAD yang digunakan terdiri dari 6 dimensi, yaitu problem solving, communication, roles, affective responssive, affective involvement, dan behavior control, serta satu skala general functioning. Sedangkan untuk kepercayaan diukur dengan Trust In Close Relationships Scale yang terdiri dari 15 item. Partisipan penelitian ini berjumlah 225 orang dengan rentang usia 20-40 tahun, yang terdiri dari 67 laki-laki dan 188 perempuan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode simple and multiple regression. Hasil dari simple regression menunjukkan bahwa keberfungsian keluarga tidak memprediksi kepercayaan R=.032, p>.05. Lalu berdasarkan hasil multiple regression, dimensi-dimensi keberfungsian keluarga tidak memiliki kontribusi dalam memprediksi kepercayaan R=.175, p>.05.

This study aim to examine the role of family functioning as predictor of trust among young adults in dating relationship with divorced parents. Family functioning was measured with Family Assessment Device FAD from McMaster Theory. FAD consists of 6 dimension, namely problem solving, communication, roles, affective responssive, affective involvement, and behavior control, along with general functioning as a scale. The measurement of trust was using Trust In Close Relationships Scale, that consists 15 items. The participants in this study were 255 with an age range of 20 40 years old, which is 67 man and 188 woman. Hypothesis testing using simple and multiple regression. Simple regression showed that family functioning can not be the predictor of trust R .032, p .05 . The results of multiple regression showed that the dimensions of family functioning can not be the predictor of trust too R .175, p.05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Maulina
"ABSTRAK
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Pada masa sekarang interaksi
antar suku bangsa yang ada cukup besar, karena banyak suku bangsa yang hidup
bersama dalam suatu daerah. Untuk itu dibutuhkan pengertian satu sama lain agar
tidak teijadi konflik dalam pergaulan, misalnya dalam hubungan persahabatan
maupun dalam perkawinan antar suku bangsa. Pemahaman ini penting karena
tingkah laku individu dipengaruhi oleh kebudayaan dalam masyarakat. Walaupun
telah teijadi interaksi yang lama antar kelompok budaya, namun perbedaan tiap
budaya tetap ada. Oleh sebab itu penelitian ini mengambil dua suku bangsa di
Indonesia untuk diteliti, yaitu Jawa dan Batak, yang dianggap cukup banyak
masyarakat pendukungnya di Indonesia.
Tingkah laku individu yang terutama ingin diteliti dalam kaitannya dengan
budaya adalah kehidupan keluarga. Latar belakang budaya keluarga perlu
diketahui oleh individu, karena pengalaman yang diperoleh individu dari
keluarganya dapat mempengaruhi sikap individu ketika berinteraksi dalam
masyarakat. Penanaman nilai-nilai budaya telah dilakukan sejak kecil pada
individu, dan dapat dilihat paling jelas dari kehidupan keluarganya. Sebagai
kesatuan sosial yang terkecil dalam masyarakat, keluarga merupakan media yang
paling tepat dan efektif dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan pada individu.
Keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan pembentukan
kepribadian individu, dan bagaimana keluarga mempengaruhi tingkah laku
individu akan ditentukan oleh latar belakang budaya dimana keluarga menjadi
bagian.
Penelitian ini mengambil empat aspek kehidupan keluarga untuk diteliti,
yaitu peran-peran dalam keluarga, nilai-nilai keluarga, family bonds, dan self
construal. Peran dalam keluarga berkaitan dengan posisi atau kedudukan individu
dalam keluarga. Nilai keluarga merupakan sesuatu yang dianggap bemilai oleh
keluarga. Family bonds merefleksikan kekuatan dan bentuk ketergantungan
individu terhadap keluarga. Sedangkan self-construal menggambarkan bagaimana
individu memandang dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Keempat aspek
keluarga tersebut diambil dengan dugaan akan menghasilkan perbedaan dalam
suku bangsa yang diteliti, yaitu Jawa dan Batak. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan peran dalam keluarga, nilai keluarga, family bonds, dan selfconsirual
antara individu dengan latar belakang budaya Jawa dan individu dengan
latar belakang budaya Batak.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dan metode yang
digunakan adalah metode kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa,
terdiri dari 115 orang yang mewakili suku bangsa Jawa dan 128 orang yang
mewakili suku bangsa Batak. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan teknik incidental sampling. Alat pengumpul data adalah empat
buah kuesioner yang masing-masing mengukur peran dalam keluarga, nilai
keluarga, family bonds, dan self-construal. Peran dalam keluarga yang diteliti
mencakup peran ayah, ibu, kakek, nenek, dan paman/bibi. Family bonds dilihat
berdasarkan ikatan emosional subyek terhadap anggota keluarga inti dan anggota
keluarga luas. Sedangkan pengukuran self-construal terdiri dari pengukuran
terhadap independent self-construal dan interdependent self-construal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada peran dalam keluarga, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan dalam peran ayah dan peran nenek antara
subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Perbedaan yang signifikan
terdapat pada peran ibu dalam pengasuhan anak, peran paman/bibi dalam menjaga
hubungan dan meneruskan nilai-nilai, serta peran paman/bibi dalam pengasuhan
anak. Pada nilai keluarga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan
antara subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Pada ikatan
emosional terhadap anggota keluarga inti dan anggota keluarga luas juga tidak
ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara subyek dengan latar belakang
budaya Jawa dan Batak. Sedangkan pada self-construal perbedaan yang signifikan
hanya terdapat pada independent self-construal.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan umum
bahwa banyak hasil penelitian ini yang berlawanan dengan dugaan semua.
Walaupun terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak sebesar yang
diperkirakan secara teoritis. Dari hasil tersebut diduga bahwa mungkin bagi
masyarakat Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidak jauh berbeda
antara satu budaya dan budaya lain. Keluarga masih dianggap penting bagi sctiap
individu, sehingga variasi yang terdapat dalam kehidupan keluarga di budayabudaya
Indonesia tidak terldu banyak. Secara umum falrtor-faktor yang mungkin
merupakan penyebab tidak ditemi^annya banyak perbedaan dalam penelitian ini
antara lain lokasi penelitian yang sama-sama merupakan kota kecil, subyek
penelitian yang termasuk spesifik, serta tingkat pendidikan orangtua subyek yang
tergolong tinggi. Dari hasil tersebut penulis mengajukan beberapa saran yang
berguna bagi penelitian selanjutnya. Saran yang diajukan antara lain melakukan
penelitian tidak hanya di kota kecil tapi juga di kota besar, kemudian melakukan
penelitian pada budaya-budaya lain untuk memastikan apakah memang tidak
terdapat variasi yang banyak dalam kehidupan keluarga di Indonesia. Selain itu
penulis juga menyarankan untuk memperluas tingkat pendidikan subyek sehingga
mungkin dapat diperoleh perbedaan yang lebih banyak dalam membandingkan
kehidupan keluarga di dua budaya."
2002
S2829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2602
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umaira Fotineri
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Pengukuran sikap terhadap pernikahan menggunakan alat ukur Marita Attitude Scale (MAS) (Braaten & Roosen, 1998), dan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiraysti, 2004). Jumlah sampel penelitian ini berjumlah total 55 orang yang merupakan dewasa muda dari keluarga bercerai. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara sikap terhadap pernikahan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai (r = 0.247, p < 0.05). Artinya semakin positif sikap terhadap pernikahan, maka semakin tinggi kesiapan menikahnya. Dalam penelitian ini, terdapat empat area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan sikap terhadap pernikahan, yaitu komunikasi, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Berdasarkan hasil penelitian, usia, jender, tingkat pendidikan, usia ketika orang tua bercerai dan status pernikahan orang tua saat ini memberikan pengaruh kepada sikap anak terhadap pernikahan.

This research was conducted to determine the significant positive relationship between attitudes toward marriage and readiness for marriage in young adult whose parents divorced. The measurement of attitudes toward marriage use Marital Attitude Scale (MAS) (Braaten & Roosen, 1998), and the measurement of readiness for marriage use Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). The sample size for the research are 55 young adults whose parents divorced. The result of these research indicate that there is a significant positive relationship between attitudes toward marriage and readiness for marriage in young adults whose parents divorced (r = 0.247, p < 0.05). The result means that the more positive attitudes toward marriage, the higher the readiness for marriage. In this research, there are four areas of readiness for marriage which has a significant positive relationship with attitudes toward marriage. Those are communication, family background and relationships with family, religion, also the interest in and use of leisure time. Based on the result of the research, age, gender, educational level, age when parents divorced and marital status of parents today give impact to children?s attitudes toward marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S44770
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariska Ariesthia
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Pengukuran optimisme terhadap hubungan menggunakan alat ukur Optimism about Relationship (OAR) (Carnelly&Bulman, 1992) dan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiraysti, 2004). Jumlah sampel penelitian ini berjumlah total 55 orang yang merupakan dewasa muda dari keluarga bercerai. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah pada dewasa muda dari keluarga bercerai (r = 0.268, p < 0.05). Artinya semakin tinggi optimisme terhadap hubungan, maka semakin tinggi kesiapan menikahnya. Dalam penelitian ini, terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan optimisme terhadap hubungan, yaitu agama, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Berdasarkan hasil penelitian, aspek demografis seperti, usia, jender, tingkat pendidikan, usia ketika orang tua bercerai dan status pernikahan orang tua berkorelasi secara signifikan kepada optimisme terhadap hubungan dan kesiapan menikah.

This research was conducted to determine the significant positive relationship between relationship optimism and readiness for marriage of young adults from divorced families. Relationship optimism were measured using Optimism about Relationship (OAR) (Carnelly & Bulman, 1992) and marriage readiness were measured using Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004), using samples in total numbers of 55 young adults from divorced families. Results obtained indicate that there is a significant positive relationship between optimism toward relationships and marriage readiness of young adults from divorced families (r = 0268, p <0.05). Meaning that, the more positive an optimism in the relationship would generates higher marriage readiness. In this study, there are three areas in marriage readiness which has a significant positive correlation with optimism toward relationships, which are religion, family background and relationships with extended family, as well as interest in and use of leisure time. Based on this research, demographic aspects such as age, gender, education level, age when parents divorce, and marital status has significant correlation to optimism and readiness for marriage."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S43893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Raztia
"Masalah perceraian merupakan isu yang tidak habis untuk diperbincangkan, hal ini dikarenakan terus meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya. Dampak perceraian salah satunya adalah perkembangan pembentukkan peran jender pada anak yang berkaitan dengan pola asuh orangtua. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran karakteristik sifat peran jender androgini pada dewasa muda dari keluarga bercerai. Partisipan penelitian ini merupakan dewasa muda, sejumlah 104 partisipan. Karakteristik sifat androgini diukur dengan alat ukur Bem Sex Roles Inventory yang dikembangkan oleh Bem (1974).
Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas partisipan penelitian ini yang merupakan dewasa muda dari keluarga bercerai memiliki karakteristik sifat androgini, atau dengan kata lain tingkat karakteristik sifat androgini yang dimiliki oleh partisipan dalam penelitian ini adalah tinggi. Berdasarkan hasil analisa tambahan penelitian, terdapat perbedaan mean skor karakteristik sifat androgini antara usia partisipan pada saat ini dan jenis kelamin partisipan.

Divorce is an issue to be discussed, this is due to the increasing number of divorces each year. Impact of the divorce on children one of them is the development of gender roles that related to the way of parenting. This study aimed to look at the picture of the androgyny gender role's trait of young adults from divorced families. Participants of this study are young adults, with the amounts of 104 participants. Androgyny trait was measured by Bem Sex Roles Inventory developed by Bem (1974).
The main results of this study indicate that the majority of the study participants who are young adults from divorced families do have the androgyny trait, or in other words the level of androgyny trait possessed by the participants in this study was high. Based on the results of the study, there were differences in the androgyny trait's mean score between the current age category and the sex of participants.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S54091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Rakhmawati
"Keluarga merupakan lembaga sosial pertama dan terpenting bagi manusia untuk berinteraksi. Keluarga memprmyai peran yang sangat panting bagi perkembangan kepribadian dari sejak ia kecil sampai dewasa. Menurut Lidz,Fleck, dan Comelison (1965) keluarga dipandang sebagai kekuatan pembentuk kepribadian anak. Keluarga memberikan dasar yang sangat penting untuk pembentukan kepribadian anak melalui keturunan (hereditas), dan akan memberikan kontribusi yang terus menerus baik melalui contoh, pembelajaran, ataupun melalui interaksi dengan anggota keluarga yang lainnya. Di lingkungan keluargalah seorang manusia mulai mengenal rasa cinta kasih, memberikan rasa cinta kasih kepada sesama manusia, mulai belajar cara-cara melakukan hubungan interpersonal, dan menyesuaikan diri dengan orang lain di sekitarnya, serta berbagai kemampuan dasar bagi kehidupan seseorang nantinya yang akan sangat menentukan keberhasilannya dalam menghadapi hidup di masa yang akan datang. Oleh kanena itu segala bentuk komunikasi, kepribadian orang tua, serta situasi di dalam keluarga akan sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian anggota keluarga. Karena di dalam unit keluarga inilah anak dipersiapkan untuk berada dalam huhungan sosial dengan orang lain dan kelompok sosial di masyarakat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa dalam keluarga dengan kondisi yang patologis dapat memunculkan simtom skizofrenia pada anggota keluarga,terutama pada anak. Yang dimaksud dengan kondisi patologis disini terutama adalah hubungan antara anak dengan ibu, pola komunikasi yang tidak tepat, serta pola asuh orang tua yang kurang sesuai (Lidz, Fleck, & Cornelison,l965). Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap keluarga-keluarga dengan anak yang menderita skizofrenia menujukkan adanya masalah komunikasi dalam struktur keluarga, lebih jauh lagi, ternyata terdapat pola komunikasi yang berbeda antara keluarga dengan anak-anak yang yang menderita skizofrenia dengan keluarga dengan anak»anak yang normal (Salzinger, 1973). Meskipun dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan belum cukup meyakinkan untuk membuktikan bahwa pola komunikasi yang patologis menyebabkan skizofrenia, tetapi Clausen (dalam Salzinger, 1973) berpendapat bahwa pola komunikasi tetap memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kepribadian anak. Beberapa pasien skizofrenia biasanya berasal dari keluarga yang gagal menjalankan fungsinya dan memiliki perilaku patologis. Di dalam keluarga seperti itu secara signifikan akan meningkatkan stres pasien skizofrenia (Lidz,Fleck, & Comelison, 1965). Menurut Lidz (1965), skizofrenia juga merupakan defciency disease. Yang dimaksud dengan deficiency disease disini adalah gangguan ini muncul akibat kurangnya pengasuhan dan arahan untuk beradaptasi dari masa kanak-kanak ke arah hidupnya untuk menjadi orang dewasa yang mandiri (Lidz, Fleck,& Comelison, l965). Oleh ketiga tokoh tersebut, defisiensi ini dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu defisiensi pengasuhan orang tua, dimana biasanya anggota keluarga menjadi tidak mampu untuk mencapai otonomi diri. Defisiensi yang kedua adalah kegagalan keluarga sebagai institusi sosial untuk menggali kemampuan anak, menciptakan lingkungan keluarga yang bebas konflik, serta memberikan peran yang sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Defisiensi yang terakhir adalah adanya kerusakan atau gangguan pola komunikasi dan budaya dalam keluarga Beberapa penelitian menemukan bahwa pola komunikasi yang salah dari orang tua secara signifikan memainkan peranan dalam etiologi/penyebab munculnya skizofrenia. Penelitian ini dilakukan untuk melihat latar belakang keluarga pasien skizofrenia. Yang dimaksud dengan latar belakang keluarga, meliputi karakteristik orang tua; fungsi keluarga yang mencakup pengasuhan orang tua, fungsi keluarga sebagai institusi sosial, serta fungsi keluarga dalam transmisi komunikasi dan teknik adptasi; dan gaya komunikasi yang digunakan oleh keluarga, mencakup double bind, serta ekspresi emosi. Responden yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah pasangan suami istri yang memiliki anak dengan diagnosa skizofrenia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap kedua orang tua pasien skizofrenia. Hasil penelitian ini adalah, bahwa ketiga keluarga memilikj keunikan karakteristik orang tua. Kesamaan karaktenstik yang menonjol dari sosok ayah adalab sikap tidak mau terpengaruh oleh kebutuhan anak. Sedangkan karakteristik yang menonjol dari sosok ibu adalah memanjakan anak Dari ketiga keluarga, satu keluarga secara menonjol menampilkan kegagalan dalam menjalankan fungsi keluarga, sedangkan dua keluarga lainnya walaupun tidak menonjol tetap mengarah kepada kegagalan fungsi keluarga, yaitu adanya dekctive transmission of instrumenral techniques. Ketiga keluarga juga memiliki kecenderungan untuk melakukan double bind pada anak-anak, dengan tidak konsistennya reward dan punishment yang diberikan Hasil lainnya menunjukkan bahwa dua dari tiga keluarga responden menampilkan ekspresi emosi yang tinggi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T38487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>