Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124859 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jelli Rita
"Penulisan ini mengkaji Eksistensi Peradilan Militer Pasca Tunduknya Militer pada Peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum. Hal ini bertitik tolak dari pasal 3 ayat 4 huruf a Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Kemudian diatur kembali dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia pasal 65 ayat 2 khususnya yang mengatur Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Yang membawa perubahan sangat mendasar, karena selama ini Peradilan Militer berwenang mengadili semua tindak pidana yang dilakukan prajurit, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum.
Penelitian ini memberikan hasil bahwa hukum pidana militer merupakan lex spesialis dari hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi justisiabel peradilan militer. Saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas RUU tentang Perubahan terhadap UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sebagai tindak lanjut dari pasal 65 ayat 2 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Merubah UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer hanya melakukan perubahan yang parsial, karena hanya merubah aspek structural saja. Sedangkan untuk Aspek substansi (hukum pidana materiel) tentang pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh militer diatur dalam KUHPM pada pasal 2 yang menyatakan terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab Undang-undang ini (KUHPM) yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan Peradilan Militer diterapkan hukum pidana umum. Menurut KUHPM tindak pidana yang dilakukan militer adalah tindak pidana yang diatur dalam KUHPM terdiri dari tindak pidana militer murni (hanya mungkin dilakukan oleh militer) misalnya, desersi, insubordinasi dan tindak pidana militer campuran yang pada prinsipnya sudah diatur dalam KUHP atau ketentuan lain tetapi dianggap ancaman pidananya perlu diperberat.

This thesis focuses on the existence of military court after placing the military under direction of general court in case of it member excecutes a general criminal action. The starting point of this study begin with article 3 paragraph 4 sub paragraph a, of People's Consultative Council Establishment number VII/MPR RI/2000 of Military and Police Role. Futhermore, this issue has been rearranged in law number 34 year 2004 of Indonesian Army, especially in article 65 paragraph 2 with is stated that soldiers should be processed in military court in case of the committed military criminal action, and yet should be processed in general court in case of they committed general criminal action. This brings a fundamental changes regarding authority of processing the soldiers who so far had been processed in military court, either they committed general criminal action or military criminal action in particular.
The study shows that military criminal law is a lex specialis of general criminal law which is applicable in military court jurisdiction. Recently, the Government and House of Representative have been discussing the Draft of Amendment of Law Number 31 year 1997 of Military Court as a follow up of article 65 paragraph 2 of Law number 34 year 2004 regarding Indonesian Army. By changing the law number 31 year 1997 of Military court is only necessary partial changes which focus only on structural aspect perse. While its substantial aspect i.e, material of criminal law itself regarding desecration to general criminal law committed by soldiers arranged in article 2 of Military Criminal Code (KUHPM) which is stated that over any criminal action which is not regulated in this code (KUHPM) committed by people that should be processed in military court affected by general criminal law. In KUHPM, criminal action committed by military covers what is known as pure military criminal which is only possible committed by military members such as desertation, insubordonance, and mixed military criminal action which have been regulated in Criminal Code, principally, or other regulations but the punishment of such action should be imposed heavier.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T38073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Saptaning Putri
"ABSTRAK
Tesis ini mengkaji Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Peradilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan Tindak Pidana Umum Pasca Berlakunya
Undang-Undang TNI. Bertitik tolak dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia Pasal 65 Ayat 2 yang mengatur prajurit tunduk pada
kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk
pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Hal ini
membawa perubahan sangat mendasar, karena selama ini peradilan militer berwenang
mengadili semua tindak pidana yang dilakukan prajurit, baik tindak pidana militer
maupun tindak pidana umum. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan
pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini memberikan hasil bahwa hukum pidana
militer merupakan lex spesialis dari hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi yustisiabel peradilan militer.

ABSTRACT
This thesis focuses on the review at authority of military court on judgment
Indonesian soldier that in case criminal action placing Indonesian Army Law. This issue
has been rearranged in law number 34 year 2004 of Indonesian Army, especially in
article 65 paragaph 2 with is stated that soldiers should be processed in military court in
case of the committed military criminal action, and yet should be processed in general
court in case of they commited general criminal action. This brings a fundamental
changes regarding authority of processing the soldiers who so far had been processed in
military court, either they commited general criminal action or military criminal action in
particular. The kind of this research is normative law research with approach is juridical
normative. This research shows that military criminal law is a lex specialis of general
criminal law which is applicable in military court jurisdiction."
2009
T37251
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Saptaning Putri
"Tesis ini mengkaji Tinjauan Yuridis Terhadap Kewenangan Peradilan Militer Dalam Mengadili Prajurit TNI Yang Melakukan Tindak Pidana Umum Pasca Berlakunya Undang-Undang TNI. Bertitik tolak dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia Pasal 65 Ayat 2 yang mengatur prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Hal ini membawa perubahan sangat mendasar, karena selama ini peradilan militer berwenang mengadili semua tindak pidana yang dilakukan prajurit, baik tindak pidana militer maupun tindak pidana umum. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini memberikan hasil bahwa hukum pidana militer merupakan lex spesialis dari hukum pidana umum yaitu hukum yang berlaku bagi yustisiabel peradilan militer.

This thesis focuses on the review at authority of military court on judgment Indonesian soldier that in case criminal action placing Indonesian Army Law. This issue has been rearranged in law number 34 year 2004 of Indonesian Army, especially in article 65 paragaph 2 with is stated that soldiers should be processed in military court in case of the committed military criminal action, and yet should be processed in general court in case of they commited general criminal action. This brings a fundamental changes regarding authority of processing the soldiers who so far had been processed in military court, either they commited general criminal action or military criminal action in particular. The kind of this research is normative law research with approach is juridical normative. This research shows that military criminal law is a lex specialis of general criminal law which is applicable in military court jurisdiction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26085
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Romelto
"ABSTRAK
Dikeluarkannya Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI telah menimbulkan suatu aturan yang baru terhadap sistem peradilan pidana, secara yuridis dalam tatanan kewenangan mengatur masalah kekuasaan kehakiman adalah sesuai yang diatur dalam pasal 24 UUD 1945. Hal ini telah tersisipkan dalam Undang Undang tentang TNI yang merujuk pada pasal 30 UUD 1945 tentang pertahanan negara. Hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap masyarakat yang terkena aturan tersebut, sebab harus memulai dari mana sedangkan aturan hukum yang mengatur hanya mengenai penundukan militer terhadap peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum dan penundukan militer kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana militer. Hal ini ada dua yurisdiksi yang mengadili anggota militer. Penelitian ini mencoba menyikapi persoalan yang terjadi dengan menginventarisir peraturan-perundangan yang dianggap perlu serta menganalisa kelemahan-kelemahannya dan memberikan saran dalam efektifitas pemberlakuannya. Dalam melaksanakan perintah Undang¬undang No. 34 Tahun 2004 ini perlu diperhatikan selain aspek yuridis juga aspek sosiologis dan psikologis, karena hukum akan menjadi kaidah yang mati apabila kaidah tersebut hanya berlaku secara yuridis, artinya harus juga mempertimbangkan faktor¬faktor lain yang akan mempengaruhi pemberlakuan hukum tersebut seperti budaya hukum dari anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang terkena aturan tersebut. Apabila melihat pads kedudukan kepolisian sebagai penyidik terhadap semua tindak pidana sesuai yang di atur dalam Undang-undang No, 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dalam Undang¬undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatakan bahwa Polisi sebagai pejabat negara yang melakukan penyidikan, maka apabila hal ini dihadapkan dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 yang mengatakan bahwa penyidik di lingkungan peradilan militer adalah Ankum, PaM dan Oditur, sama halnya yang berlaku dalam hukum militer Amerika Serikat bahwa penyidikan dilakukan oleh anggota militer yang ditunjuk oleh Undang-undangnya. Maka oleh karena itu, kedudukan Kepolisian umum sebagai penyidik terhadap semua tindak pidana tidak dapat diberlakukan juga kepada militer karena tidak ada landasan hukumya yang mengatur demikian. Untuk efektifitas pelaksanaan pemberlakuan Undang¬undang ini maka perlu menyiapkan aturan hukum terkait sebagai pendukung seperti pembenahan terhadap hukum materiilnya, atau memberlakukan sistem peradilan pidana campuran, atau merevisi Undang-undangnya. Dalam penelitian ini dilakukan usaha-usaha dalam menemukan sinkronisasi analisa normatif dan sosiologis yang akan menghasilkan jawaban-jawaban atas permasalahan¬permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

ABSTRACT
The promulgation of Law no. 34/2004 on Indonesian National Armed Forces marks the emergence of a new regulation in the criminal court system which juridically governs-at the level of authority-the judicial power pursuant to Article 24 of the 1945 Constitution. This issue has been incorporated in the Armed Forces Law referring to the Article 30 of the 1945 Constitution on state defense. This has brought tremendous impact to the people affected by the Law: it is unclear from where the prosecution should begin because the existing regulations only govern the military's submission to the general court in relation to general criminal cases as well as military's submission to the military court in the case of military criminal acts. Hence, there are two jurisdictions that are able to try military personnel. This research attempts to face this problem by listing the necessary legislations and analyzing their weaknesses as well as providing suggestions for their effective implementation. In the implementation of Law no. 34 Year 2004, the social and psychological aspects also need to be considered besides juridical aspect since a law will become an inapplicable norm if it is mere juridical. It signifies that other factors which influence the implementation, such as the legal culture hold by the members of society affected by the law should be taken into account. In view of the position of the police as criminal investigator, pursuant to Law no. 2/2002 on Police Force of the Republic of Indonesia and Law no. 8/1981 on Criminal Procedural Laws, the police is the state official who conducts investigation. However, if contrasted to Law no. 31/1997, the investigator within the military tribunal environment is the Ankum (Atasan yang berhak merrghukum) 'judging supervisor', the POM 'military police' and the military prosecutor. The same is also applicable in the US martial law where investigation is conducted by a personnel assigned by the law. Therefore, the position of police as investigator to any criminal cases is not applicable to the military situation due to the absence of appropriate legal basis. For an effective implementation of this Law, it is necessary to have supporting relevant regulations to refine the material law, impose mixed criminal tribunal, or revise the Law itself. In this study, several attempts have been performed to identify the harmonization between normative and sociological analyses which will find solutions to the problem.
"
2008
T 22903
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"A public prosecutor acting on behalf of state has a monopolistic right to prosecute and wide discretion to make prosecution policy. A public Prosecutor may drop accusation or stop prosecution for the sake of public interest and transaction. the role of a public prosecutor is not only to investigate, but also to be a liaison officer between investigation process and court sessions."
343 JPIH 21 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Anggidigdo
"Kojaksaan adalah lembaga pemerintah pelaksanan kekuasaan negara di bidang penuntutan, sedangkan kewenangan penyidikan dimiliki oleh sub slotem kepolisian. Hal inilah yang diamanatkankan dan dicita-citakan oleh Undang-Undang Momor Tahun 1981 (KUHAP). Dalam Praktek sehari-hari kejaksaan tidak hanya melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan, tetapi juga melaksanakan kekuasaan negara dibidang penyidikan tindak pidana tertentu, Ikutnya kejaksaan dalam bidang penyidikan tentunya mempunyal alasan yang kuat sehingga lembaga ini masih diberi kewenangan melakukan penyidikan hingga saat ini.
Fenelitian bertujuan untuk mengetahui apa saja problematika yang dialami oleh kejakeaan dalam hal penyidikan, mengetahui dasar mempertahankan kewenangan penyidikan kejaksaan tetap dan mengetahui pengaruh masuknya sub sisten kejaksaan pada tahap penyidikan dalam hubungannya dengan keterpaduan sistem peradilan pidana. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif yang didasarkan pada sumber data sekunder berupa peraturan peraturan hukum, keputusan pengadilan, teori bukun dan pendapat para sarjana hukum terkenal. Data yang diperoleh dari kepustakaan dan data yang diperoleh dari lapangan spabila telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif. Rormatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan diperoleh Kemudian kualitatif dimaksudkan data yang disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif guna mencari kejolasan masalah yang akan dibahas.
Berdasarkan analisis kualitatif diketahui bahwa masuknya kejaksaan dalam bidang penyidikan sebenarnya telah menyalahi sistem peradilan pidana seperti yang diamanatkan oleh KUKAP (UU No. 8/1981), tetapi hal itu dimaklumi karena penyidikan tindak pindana tertentu yang dilakukan penyidik kepolisian masih kurang sedangkan intensitas yang dilakukan penyidik kejaksaan lebih banyak dan cepat. Berlakunya DU Korupsi yang baru (UU 31/1999 jo 20/2001), adanya Putusan Pengadilan yang menolak kewenangan penyidikan oleh kojaksaan dan terbentuknya Komisi Pemberantas Korupsi (UU No. 30/2002) tidak menghilangkan kewenangan kejaksaan untuk tetap bisa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu. karena kejaksaan masih mempunyai dasar hukum yang tersebar dalan berbagai undang-undang tertulis, dukungan rakyat melalui OPR/KPR serta prosentase putusan pengadilan yang menerima penyidikan kejaksaan lebih banyak daripada yang menolak. Untuk lebih meningkatkan suasana yang kondusif dalam bidang penyidikan perlu diciptakan kerjasana yang harmonia dengan lembaga penyidik tindak pidana tertento
baik penyidik kepolisian maupun penyidik KPTPK. Guna menghapus keraguan apakah lembaga kejaksaan Disa melakukan penyidikan tindak pidana tertentu atac tidak, disarankan agar kewenangan penyidikan tersebut dipertegas dalam KUMAP, RUU Kejaksaan dan BUU Sisten Peradilan Pidana yang akan datang."
Universitas Indonesia, 2004
T36180
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Imparsial, 2007
343.014 3 REF
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maha, T.S.
"Di lingkungan Peradilan Militer dikenal adanya Perwira penyerah Perkara (PAPERA), yaitu perwira ABRI yang ditunjuk dan diberi wewenang menyerahkan perkara pidana anggotanya kepada Mahkamah/Pengadilan yang berwenang. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangab) adalah Papera Tertinggi terhadap tersangka anggota ABRI dan atau mereka yang dipersamakan menurut ketentuan undang-undang.
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Darurat Tahun 1958, yaitu UU No. 6 Tahun 1950, sepanjang mengenai pemeriksaan permulaan, segala sesuatu dipusatkan pada Jaksa Tentara, dan semua pejabat-pejabat lain yang mempunyai peranan dalam penyelenggaraan pemeriksaan permulaan, semuanya bekerja di bawah pimpinan/perintah Jaksa Tentara. Dan setelah pemeriksaan berakhir, maka Jaksa Tentara menentukan apakah perkara yang bersangkutan harus diserahkan ke Pengadilan atau tidak.
Sistem ini sangat mengurangi peran serta kedudukan komandan sebagai penyelanggara dan pembina disiplin dan sangat rawan terhadap terjadinya bentrokan antara pihak Kejaksaan dengan pihak pimpinan pasukan. Sistem baru yang diatur pada UU No. 1 Drt Tahun 1958, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No. 29 Tahun 1954, tentang Pertahanan Negara yang berbunyi "Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan komandan komandan mempunyai hak penyerahan perkara", maka keseluruhan wewenang Jaksa Tentara sebagaimana diatur pada UU No. 6 Tahun 1950 dibebankan kepada Ankum/Komandan, kedudukan Jaksa Tentara berada di bawah Ankum/Jaka Tentara. Menjadi masalah ialah apakah Ankum/Komandan sudah siap ?
Hasil penelitian penulis menunjukkan bahwa Ankum/Komandan ternyata tidak siap; agaknya pemerintahpun menyadari kondisi ini, maka Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan UU No. 1 Drt Th 1958 ini tidak kunjung ada. Sementara peradilan harus tetap berjalan, maka sebagai peraturan pelaksanaan dikeluarkan oleh Kasad selaku pimpinan Angkata Darat dan Kas Angkatn lain, sehingga akibat lain yang timbul adalah tidak adanya kesatuan hukum. Maka pelaksanaan hukum acara pada peradilan militer secara formal menggunakan sistem baru, namun secara materiel menggunakan sistem lama. Komandan sering tidak lagi memahami perkara tersangka, tetapi hanya terima tanda tangan saja apa yang disodori oleh Jaksa Tentara.
Hasil kajian penulis tentang kemampuan hukum Ankum/Komandan berdasarkan kurikulum Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Tahun 1974, menunjukkan bahwa pembekalan materi Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU) sejumlah 62jam, yang setara dengan 2,61 SKS (Satuan Kredit Semester) dibandingkan dengan 12 SKS sebagaimana diwajibkan bagi Fakultas Hukum berdasrkan SK Dirjen Dikti No.30/DJ/Kep/l983 tentang Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Bidang Hukum.
Hasil penelitian penulis dilapangan menunjukkan bahwa kelambatan proses penyelesaian suatu perkara lebih sering terjadi karena tidak ditandatanganinya (oleh Papera) Surat Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera). Setelah mengkaji penyebab terjadinya kendala-kendala selama ini, dihubungkan dengan beberapa sistem di negara lain, penulis condong kepada sistem negeri Belanda, yaitu adanya "officier CommissarrisM sebagai Perwira Staf Ahli Ankum/Komandan. Dengan demikian penulis mengemukakan dua hal yang harus diperhatikan dalam upaya mengatasi kendala tersebut di atas, yaitu: l) pengadaan Perwira Staf Ahli untuk semua jajaran mulai dari satuan dengan jabatan Komandan selaku Ankum yang secara teknis dibina oleh Direktorat Hukum TNI-AD; dan 2) kewajiban mengikuti Kursus Ankum/Ke-Papera-an, sebagai prasyarat untuk menduduki jabatan promosi yang dimulai dari jabatan komandan setingkat Kompi, yang dapat dilakjukan oleh Pusat Pendidikan Hukum TNI-AD. Dengan demikian seorang Komandan tidak perlu lagi dibebani dengan masalah khusus, sehingga dapat memusatkan perhatian pada kemampuan teknis kesatuannya masing-masing. Khusus untuk teknis hukum berada di bawah pembinaan Direktorat Hukum TNI-AD. (TS. Maha)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T36437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syskia Dannia
"Dalam kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke pengadilan, dakwaannya kerapkali menyangkut penyertaan (deelneming) khususnya mengenai turut serta melakukan (medeplegen). Adanya perbedaan pendapat tentang konsep pengertian dan makna ajaran turut serta melakukan (medeplegen) yang tidak dijelaskan pengertiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, telah menimbulkan perbedaan penafsiran oleh pakar, jaksa, hakim dan advokat dalam penerapannya, sehingga mengakibatkan putusan hakim berbeda-beda dalam kasus yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya turut serta melakukan (medepl.egen) dalam suatu tindak pidana serta tentang dapat tidaknya seseorang yang tidak memiliki kedudukan atau kualitas tertentu sebagai pelaku peserta.Dalam beberapa kasus terlihat bahwa Majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta (niedeplegen) karena bagaimana mungkin seorang pelaku peserta terbukti melakukan perbuatan turut serta melakukan perbuatan korupsi dengan orang yang telah dilepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu nyatalah di sini bahwa semua pelaku peserta melakukan (medeplegers) harus diadili sekaligus agar tidak terjadi putusan yang saling bertentangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Syafri Noer
"Tesis ini tentang pelaksanaan peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri setelah Iepas dari ABRI. Perhatian utama tesis ini adalah pada proses penyidikan dengan fokus menyangkut corak pelayanan hukum bagi anggota Polri sesuai dengan sistem peradilan umum sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kajian tesis ini pelaksanaan peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri akan terwujud sesuai dengan KUHAP dan KUHP, apabila perangkat hukumnya memadai dan diorganisasikan sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri yang dilaksanakan saat ini masih terdapat adanya ketidak pastian hukum, terutama dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka anggota Polri.
Hasil penelitian menunjukkan:
1. Tindakan penangkapan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana, dilakukan oleh Provost tanpa Surat perintah penangkapan,
2. Tindakan penahanan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana pada awalnya di Iakukan oleh Provost tanpa surat perintah penahanan
3. Tindakan penahanan terhadap anggota Polri pada awalnya dilakukan oleh Provost, kemudian dilimpahkan kepada fungsi Reserse.
4. Anggota Polri yang melakukan tindak pidana selama proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan tidak didampingi oleh penasehat hukum.
Implikasi kajian tesis ini adalah perlunya penjabaran yang Iebih jelas dan tegas terhadap pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri berkaitan dengan pelaksanaan sistem peradilan umum bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>