Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220467 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sani Budiantini
"Menjadi orangtua dari anak tuna grahita merupakan hal yang sulit. Menurut Cumings (1976) orangtua lebih tertekan, lebih merasakan konflik dan lebih disibukan oleh anak mereka yang tuna grahita. Adanya masalah yang berkaitan dengan ke - tuna grahitaan sering rnengakibatkan stres bagi orangtua khususnya ibu. Link & Morrill ( 1989 ) mengatakan bahwa ibu merupakan anggota keluarga yang menghadapi tuntutan dan tekanan yang lebih berat dibandingkan anggota keluarga lainnya. Hal ini yang menyebabkan Holroyd ( 1974 ) bersama rekan - rekannya membuat alat yang mengukur stres pada orangtua yang memiliki anak keterbelakangan mental ( mental retardation ). Alat ini disebut dengan ? the questionnaire on Resources and Stress " [ QRS ); Kemudian alat ini direvisi oleh Frederich ( 1983 ) dan disebut dengan QRS - F.
Keadaan stres yang dirasakan oleh ibu dari anak tuna grahita tsb tidak dapat dibiarkan berlarut - larut. Perlu dilakukan suatu usaha untuk mengatasi keadaan atau situasi yang menekan tersebut. Menurut Lazarus (1976 ), usaha untuk mengatasi tekanan itu biasa disebut sebagai perilaku coping. Folkman dan Lazarus ( 1984 ) membedakan perilaku coping menjadi 2 jenis, yaitu usaha yang bertujuan untuk menyelesaikan rnasalah ( Problem Focused Coping / PFC ) dan usaha yang dilakukan untuk mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul akibat adanya masalah ( Emotion Focused Coping / EFC ). Dan kedua jenis coping ini kemudian berhasil dikembangkan oleh Folkman, Lazarus, Dunkel-Schetter, DeLongis & Gruen ( 1986 ), menjadi 8 strategi, di mana 3 strategi mengarah pada PFC dan 5 strategi mengarah pada EFC.
Adanya gambaran stres yang khas, yang dialami para ibu dari anak tuna grahita, dapat mengakibatkan tampilnya perilaku coping yang khas pula. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai gambaran stres dan perilaku coping yang ditampilkan pada ibu yang memiliki anak tuna grahita. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui kadar stres para ibu yang dikaitkan dengan perilaku coping yang ditampilkan.
Subyek dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak tuna grahita dengan tingkat ringan ( mild ). Pemilihan ini ditentukan berdasarkan karakteristik anak yang khas dalam tingkat inteligensi dan segi psikologisnya. Sehingga stres dan perilaku coping yang ditampilkan dapat diasumsikan akan memberikan gambaran yang khas. Pada penelitian ini, digunalcan dua buah kuesioner yang pengolahannya dibantu dengan perhitungan statistik.
Dari hasil penelitian, diketahui gambaran stres pada ibu yang memiliki anak tuna grahita dari faktor penyebab stres terbesar hingga terkecil, berturut - turut adalah sebagai berikut : [1] pessimism (2) Child characteristic {3] parents and family problem dan (4) physical incapacitation. Dari penelitian juga didapatkan gambaran subyek dalam perilaku coping yang ditampilkan. Secara keseluruhan diketahui bahwa hampir semua strategi coping dipergunakan subyek dalam menghadapi stres, baik pada kelompok subyek dengan stres tinggi maupun pada kelompok subyek dengan stres rendah. Hanya satu strategi coping saja, yaitu escape - avoidance yang jarang dipergunakan oleh kelompok dengan stres tinggi. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis problem focused coping lebih sering ditampilkan pada subyek dengan kelompok stres tinggi. Sedangkan jenis emotion focused coping cenderung digunakan pada kelornpok berkadar stres rendah.
Dari hasil yang diperoleh tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk penelitian lebih lanjut yaitu, antara lain : 1. mengembangkan metodologi penelitian, 2. mengikutsertakan ayah sebagai subyek penelitian, 3. mengadakan penelitian dengan perbedaan jenis kelainan yang disandang anak dan 4. mengadakan penelitian pada SLB - SLB lain."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2479
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mayke Sugianto Tedjasaputra
"Bahasa memegang peranan penting dalam proses perkembangan seorang anak, fungsi mendasar dari bahasa adalah untuk berkomunikasi dan merupakan "alat" interaksi sosial timbal balik. Selain itu, bahasa membantu anak mengarahkan pikiran, menajamkan ingatan, melakukan kategorisasi, mempelajari hal-hal baru sehingga kemampuan berpikir anak akan meningkat. Pada usia 18 bulan terjadi lonjakan bahasa, ditandai dengan kesenangan anak untuk memberi nama pada objek atau peristiwa yang dijumpainya. Lingkungan mempunyai peranan dalam perolehan bahasa, dan usia menjelang 2 tahun merupakan masa yang tepat untuk berlangsungnya pembelajaran bahasa. Bila pembelajaran bahasa tidak dimulai sejak dini, akan berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, antara lain terhambatnya komunikasi dengan sesama manusia, terhambatnya proses belajar dan berpikir.
Semantik atau makna kata serta kalimat, merupakan salah satu komponen bahasa yang sangat panting untuk diteliti, sebab semua aspek bahasa sangat bergantung pada semantik. Walaupun anak mampu berbicara tetapi tidak memahami makna kata atau kalimatnya, akan berdampak pada terhambatnya komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Di sisi lain, bermain simbolik atau kemampuan merepresentasikan pengalaman actual maupun khayalan melalui penggunaan beberapa objek, gerakan, atau bahasa; menjadi prasyarat untuk dikuasainya kemampuan linguistik tertentu. Ada hubungan yang berrnakna antara tingkatan bermain simbolik dengan perkembangan semantis anak. Bentuk interaksi ibu-anak jugs mempengaruhi kegiatan bermain pada anak, termasuk bermain simbolik.
Penelitian mengenai perolehan bahasa telah banyak dilakukan di negara Barat, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai perolehan bahasa pada anak-anak di Indonesia yang berusia di bawah tiga tahun masih langka. Perbedaan budaya akan mempengaruhi perolehan bahasa pada anak, setiap bahasa memiliki kekhususan dalam sistim bahasa yang berlaku dan kesediaan serta cara ibu mengajak anak berkomunikasi berperan terhadap perolehan bahasa.
Adanya perbedaan bahasa serta budaya tersebut, menimbulkan keinginan pada penulis untuk meneliti perkembangan semantis dan tingkatan bermain simbolik atas dasar budaya dan Bahasa Indonesia. Selain itu akan diteliti bentuk interaksi ibu dan jenis bermain pada anak yang terjadi saat mereka bermain bersama.
Tingkatan bermain simbolik dan jenis bermain anak akan didata melalui kegiatan bermain ibu-anak dengan menggunakan The Symbolic Play Test yang telah dimodifikasi oleh penulis. Pada kesempatan ini sekaligus didata kosa kata anak dan bentuk interaksi yang dilakukan ibu. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari lima anak yang berusia 18, 20 dan 22 bulan, dan setiap subjek didampingi oleh ibunya masing masing. Metode untuk mengumpulkan data dilakukan melalui observasi, dilengkapi dengan wawancara terhadap ibu atau orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak.
Mengingat subjek yang terbatas, hasil penelitian ini tidak dapat berlaku umum, namun dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa perkembangan semantis berhubungan dengan tingkatan bermain simbolik. Bentuk interaksi ibu yang paling utama adalah mengarahkan perhatian anak dengan memberikan instruksi atau mengajukan pertanyaan, dan kegiatan bermain yang paling sering terjadi adalah bermain eksploratif.
Saran yang diajukan bagi penelitian yang sama di masa mendatang, adalah memperbesar cakupan usia subjek dan mendata kosa kata anak dalam kehidupan sehari-hari. Untuk hal yang ke dua, perlu disusun alat inventori bahasa anak usia Batita yang nantinya dapat digunakan secara luas dan menjadi bahan untuk membuat norma perkembangan bahasa anak usia Batita di Indonesia. Melakukan penelitian longitudinal mengenai manfaat bermain simbolik dengan pemahaman bacaan pada anak, menjelang masuk Sekolah Dasar. Membuat rancangan program pelatihan bagi para ibu (orang tua) atau pemerhati anak mengenai cara berinteraksi yang benar untuk merangsang perkembangan bahasa dan bermain pada anak."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T18522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Kuswarini
"Setiap pasangan suami isteri yang telah menikah tentunya rnengharapkan memiliki anak yang sehat, namun apabila ternyata anak yang mereka menderita suatu penyakit kronis tertentu, seperti leukemia, hal ini merupakan suatu situasi yang tidak dapat mereka hindari. Memiliki anak yang cacat atau menderita penyakit yang kronis, telah diketahui sejak lama dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Kazak, 1989). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh yang negatif ini terutama dirasakan oleh ibu. Kondisi anak menciptakan perasaan-perasaan negatif pada ibu, seperti perasaan tidak berdaya, ketakutan, terlalu melindungi anak, dan perasaan yang berlebihan akan tanggung jawab (Silver, bauman, & Ireys, 1995). Dari keadaan ini terlihat bahwa ibu dari anak yang menderita penyakit kronis, merupakan individu yang berhadapan dengan situasi yang dievaluasi sebagai penuh ancaman dan tuntutan. Keadaan seperti ini oleh Lazarus (1976) dinamakan stres.
Individu yang menghadapi situasi yang dinilai mengandung stres, kemudian mengevaluasi sumber-sumber daya yang dimilikinya baik dari dalam diri dan diluar diri individu. Sumber-sumber daya ini kemudian membantu individu menampilkan perilaku yang ditujukan untuk menghadapi situasi stres. Perilaku ini dinamakan coping. Coping tampil baik berupa tingkah laku nyata ataupun berupa kegiatan kognitif (Lazarus & Folkman, dalam Kaplan dkk, 1993). Secara umum coping terbagi dalam dua jenis. Yang pertama, coping terpusat masalah (problem-focused coping),yaitu suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Yang kedua, coping terpusat emosi (emotion-focused coping), yaitu coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi stres. Oleh Caver & Scheier (1989), masing-masing jenis coping dibedakan dalam lima variasi.
Individu yang melakukan coping tidak terlepas dari pengaruh orang-orang dan lingkungan dimana ia berada. Orang-orang ini dapat memberikan dukungan bagi individu yang berfungsi sebagi penahan (buffer) yang mereduksi akibat dari stres. Dukungan-dukungan seperti ini dinamakan dukungan sosial (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial ada lima, yaitu dukungan informasi, dukungan instrumentalmateri, dulcungan emosi, dukungan penghargaan, dan dukungan persahabatan (Oxford, 1992). Sedangkan sumber dukungan sosial dapat dibagi dari kalangan profesional, non profesional (significant others), dan kelompok dukungan social (social support group). Persepsi dari individu terhadap tersedianya dukungan sosial di lingkungan disekitarnya merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi stres.
Dengan demikian terlihat bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku coping yang ditampilkan. Dukungan sosial dapat menjadi sumber daya bagi ibu untuk menampilkan perilaku coping. Maka penting untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang didapat ibu dan gambaran perilaku coping yang ditampilkan ibu dalam menghadapi anak yang menderita leukemia, serta gambaran pengaruh dukungan sosial yang didapat terhadap tampilnya perilaku coping ibu. Sebelumnya juga perlu dillhat bagaimana gambaran stres yang dialami ibu.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif Keabsahan penelitian dijaga dengan menggunakan triangulasi analis, yaitu menggunakan analis lain selain peneliti untuk menganalisis hasil penelitian, dan triangulasi data, yaitu menggunakan observasi selain wawancara dalam mengumpulkan data. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara. Subyek yang digunakan sebanyak 5 orang, yaitu para ibu yang memiliki anak penderita leukemia yang dirawat di RSCM Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak yang menderita leukemia, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ibu menampilkan kedua jenis perilaku coping. Coping terpusat masalah dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, sedangkan perilaku coping terpusat emosi ditampilkan dalam menghadapi emosi negatif. Semua bentuk dukungan sosial pemah didapatkan ibu. Hanya kelompok dukungan sosial sebagai sumber dukungan yang tidak didapat para ibu. Selain itu juga didapat hasil bahwa dukungan sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap munculnya perilaku coping pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa para ibu memiliki harapan yang besar untuk mendapatkan infomaasi yang lengkap dan jelas dari dokter. Mempertimbangkan hal ini maka disarankan dari kalangan profesional, seperti dokter dan paramedis agar dapat meluangkan waklunya untuk memberikan masukan yang jelas dan lengkap sesuai tingkat pemahaman para ibu. Juga disarankan untuk membentuk kelompok dukungan yang dipandu oleh kalangan profesional. Melalui kelompok ini para ibu dapat saling bertukar pengalaman dan berbagi perasaan, sehingga akhirnya diantara mereka dapat saling memberikan dukungan sosial. Peran ayah dalam menghadapi anak yang menderita leukemia juga nampaknya cukup berat. Selain ikut membantu ibu merawat anak, para ayah juga memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk membiayai pengobatan anak. Dengan memperhatikan hal ini, menjadi sangat menarik bagi yang hendak mengembangkan penelitian sejenis, untuk melakukan studi perhandingan dengan subyek para ayah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nuke Setiyani
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1989
S2101
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indria Lestiati Pratiwi
"ABSTRAK
Setiap orang tua tentunya memiliki harapan-harapan pada anak yang
diasuh dan dirawatnya. Salah satu harapan orang tua adalah agar anaknya
mencapai keberhasilan. Kriteria keberhasilan yang dicapai oleh seorang anak
mengandung makna yahg sangat luas, namun pada anak usia sekolah atau SD
kriteria keberhasilan umumnya didasarkan atas prestasi belajarnya di sekolah.
Prestasi belajar yang dicapai oleh seorang anak sangat erat kaitannya
dengan pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua, terutama ibu, sebagai
orang yang terdekat dengan anak. Bagi ibu yang sepenuhnya tinggal di rumah
mengasuh dan merawat anaknya, diharapkan ia dapat mengawasi dan
membimbing anaknya, sehingga ia mengetahui segala hambatan dan kesulitan
anaknya.
Namun, zaman yang telah berkembang pesat pada saat ini, telah
membuka kesempatan yang luas bagi wanita untuk berkarya di luar rumah.
Berdasarkan data yang diperoleh, saat ini banyak sekali wanita yang telah
memasuki dunia kerja, baik yang belum atau sudah berkeluarga. Pada awalnya
keterlibatan wanita dalam dunia kerja, terutama bagi yang sudah berkeluarga,
menimbulkan pendapat yang berbeda-beda, ada yang mendukung namun ada
juga yang menentang.
Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa ternyata anak yang
ibunya bekerja lebih mandiri, percaya diri, memiliki tanggung jawab, memiliki
intelektual yang lebih tinggi, lebih berorientasi pada pencapaian prestasi dan
memberikan keterampilan-keterampilan untuk mengembangkan minat anak
daripada anak yang ibunya tidak bekerja. Tampaknya terdapat perbedaan
pengasuhan antara ibu bekerja dan tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hoffman (dalam Hyde, 1985) yang menyatakan bahwa bagi ibu yang
tinggal sepenuhnya di rumah akan memiliki pengasuhan yang berbeda dengan
ibu yang bekerja di luar rumah.
Beberapa ahli mengatakan bahwa pada dasarnya anak sangat perlu
dibekali keterampilan-keterampilan untuk mencapai keberhasilan baik di
sekolah atau di kemudian hari. Rich (1992) memperinci bahwa ada 10
keterampilan yang harus diberikan pada anak, yaitu keterampilan untuk ;
menumbuhkan rasa percaya diri; untuk menumbuhkan rasa usaha pada anak
dalam mengerjakan suatu pekerjaan, menumbuhkan motivasi pada anak;
menumbuhkan rasa agar anak memiliki tanggung jawab; menumbuhkan inisiatif ;ketekunan ; agar agar anak dapat bekerja sama dengan orang lain ; agar anak
memperhatikan orang lain ; melatih anak agar dapat berpikir rasional dan
melatih anak untuk memecahkan masalah. Keterampilan-keterampilan ini
disebut sebagai Keterampilan Mega. 10 keterampilan ini telah dilakukan oleh
sebagian besar ibu-ibu di Amerika dan mereka merasakan manfaatnya
terutama untuk keberhasilan anak di sekolah.
Di Indonesia bagi anak yang berprestasi, tanpa disadari para ibu
mungkin menerapkan 10 keterampilan tersebut. Penerapan keterampilan itu
dapat saja terjadi bila tingkat pendidikan ibu cukup baik, berada pada kelas
sosek menengah dan tinggal di perkotaan, karena memungkinkan mereka
untuk memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai pengasuhan anak. Oleh
karena itu penelitian ini ingin mengetahui penerapan keterampilan mega antara
ibu bekerja dan tidak bekerja dari anak SD yang berprestasi. Ingin dilihat
apakah terdapat perbedaan dalam penerapan keterampilan mega antara ibu
bekerja dan tidak bekerja tersebut. Alasan membandingkan antara ibu bekerja
dan tidak bekerja karena dari hasil penelitian sebelumnya terdapat perbedaan
pengasuhan antara ibu bekerja dan tidak bekerja, kemudian ingin dilihat apakah
juga terdapat perbedaan penerapan keterampilan mega tersebut .dalam
mengasuh anak-anak mereka.
Dari 70 responden dalam penelitian ini , yang terbagi atas 35 responden
ibu bekerja dan 35 responden ibu tidak bekerja, diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat perbedaan dalam penerapan keterampilan mega dan kedua kelompok
cenderung menerapkan seluruh keterampilan tersebut. Pada ibu bekerja,
keterampilan yang lebih sering diterapkan pada anak-anaknya adalah untuk
menumbuhkan agar anak dapat bekerja sama dengan orang lain, sedangkan
pada ibu tidak bekerja yang lebih sering diterapkan adalah untuk menumbuhkah rasa percaya diri pada anak."
1996
S2954
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Siti Nurlaila Fiam Putri
"ABSTRAK
Sebagian besar orang tua sampai saat ini masih beranggapan bahwa kontrol yang tinggi berupa hukuman fisik serta berbagai macam perintah merupakan hal yang wajar diberikan dalam mendidik anak. Padahal beberapa penelitian sebelumnya menemukan pengaruh yang negatif dari praktek kontrol yang demikian terhadap perkembangan fungsi kognitif anak, salah satunya fungsi executive function (EF). Akan tetapi masih sedikit riset yang membahas lebih lanjut dinamika antar kedua variabel ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kontribusi ujaran verbal yang dilakukan Ibu ketika mengontrol tingkah laku anak (management language) dalam memprediksi EF anak usia 48-72 bulan. Sebanyak 90 anak dan para Ibu diikutsertakan dalam aktivitas permainan yang direkam dengan durasi 10 menit untuk menentukan tipe management language (direction maupun suggestion) yang Ibu ucapkan selama bermain. EF anak diukur menggunakan serangkaian tes peforma yang terdiri dari Matahari/Rumput, Backwards Word Test, dan Dimensional Change Card Sorting. Hasilnya management language, khususnya management direction berkontribusi secara signifikan negatif terhadap perkembangan EF anak bahkan ketika pengaruh usia dan SSE telah dikontrol. Riset ini berimplikasi pada pengetahuan terkait cara Ibu mengontrol tingkah laku anak menggunakan komunikasi verbal yang dapat mengoptimalkan perkembangan EF anak usia prasekolah.

ABSTRACT
Until recently, it is known that majority of parents consider a high control such as corporal punishment as well as a variety of commands are common practice in nurturing children. On the other hand, some studies have found a negative impact on the practice of such controls to the development of children's cognitive functions, including executive function (EF). Nevertheless, the number of study covering this issue is still limited. This study aimed to examine the contribution of verbal utterances used by mother when controlling the child's behavior, known as management language, in predicting EF on children age 48-72 months. A number of 90 children and the mothers participate in the game activity video-taped with a duration of 10 minutes to determine the type of mother’s utterance of language management (direction or suggestion) during activity. Child’s EF performance was measured using a series of tests consisting of Matahari/Rumput, Backwards Word Test, and Dimensional Change Card Sorting. The result showed that management language, especially management direction, had a significant negative contribution to the development of child’s EF, even when the effects of age and SSE are controlled. This research has implications on the way mother control child's behavior using verbal utterances that can optimize the development of EF preschoolers."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63580
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>