Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77048 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syamsuhadi Irsyad
"Disertasi ini mengkaji Mahkamah Syar'iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam [NAD] dan relevansinya dengan Sistem Peradilan Nasional. Fokus kajian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif-analitis. Analisis penelitian dengan paradigma kombinasi empat teori utama: Living law Ehrlich, Maslahah Mursalah Al-Syafi'i, Taqnin lbnu Muqaffa, Desentralisasi dan Distribution of Power sebelum perubahan dan Separation of Power dengan titik berat check and balances pasca perubahan UUD 1945.
Hasil penelitian ini menyarankan agar eksistensi Mahkamah Syar'iyah yang pernah berjaya di Aceh pada abad XVI-XVII, dapat berfungsi kembali secara baik dalam Negara Kesatuan RI dengan cara DPRA dan Pemda NAD membentuk Qanun-qanuu yang dibutuhkan masyarakat untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Qanun-qanun yang berwawasan nasional Islami, menjamin Mahkamah Syar'iyah dapat eksis berdampingan dalam Sistem Peradilan Nasional.

The study is about the Islamic Court Justice ( Mahkamah Syar'iyah) in the Province of Nanggoe Aceh Dannssalam [NAD] and its relevance with the National Courtship Justice System. The focus of this study is on a qualitative research based on descriptive-analysis design using four main theories for its paradigm: Living law by Ehrlich, Maslahah Mursalah by Al-Syafi'i, Taqnin by Ibnu Muqaffa, Decentralization and Distribution of Power before the amendment and Separation of Power with its focus on check and balances after the amendment of the Rules of 1945.
The study suggests that the existence of Mahkamah Syar'iyah which once gained its grandeur in Aceh in XVIth-XVIIth centuries can play its role and function well in the Republic of Indonesia through the Aceh People Assembly and the Government of Aceh which form the rules the society needs to implement the Shariah completely. The rules are hoped to be Islamic-nationalistic that guarantee the existence of Malgkamah Syar'iyah along with the existence of National Courtship Justice System.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D1010
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yevgeni Lie Yesyurun
"Miscarriage of justice, adalah suatu istilah yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang salah atau keliru, yang dapat berupa dipidananya seseorang sekalipun tidak didukung dengan alat bukti yang cukup, atau dipidananya seseorang yang sama sekali tidak melakukan tindak pidana. Miscarriage of justice tidak disebabkan oleh factor tunggal, akan tetapi sebagian besar dari kasus-kasus miscarriage of justice baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan bahwa kesalahan penyidik pada tahap penyikan menjadi faktor penyebab yang paling dominan. Kesalahan-kesalahan tersebut mengambil banyak bentuk antara lain, salah mengidentifikasi saksi mata, salah dalam menginterpretasi bukti forensik, termasuk tindakan kriminal penyidik seperti merekayasa saksi  (fabricated witness) atau mendistorsi keterangan saksi, memaksakan pengakuan tersangka, menyembunyikan atau mengabaikan bukti-bukti yang membebaskan tersangka atau terdakwa. Kesalahan-kesalahan ini terjadi karena lemah dan tidak efektifnya mekanisme kontrol yang disediakan oleh hukum acara pidana, terutama di fase penyidikan. Praperadilan yang sedianya menjadi sarana atau mekanisme kontrol terhadap jalannya penyidikan ternyata hanya menguji segi formil dari suatu upaya paksa, padahal penyimpangan yang terjadi ditahap ini tidak hanya mengenai pelaksanaan upaya paksa. Selain mekanisme kontrol yang tidak efektif, kedudukan advokat dalam proses pidana hanya menjadi sasaran tindakan yang disebabkan oleh pengaturannya yang sangat minimalis dalam hukum acara pidana. Rancangan Undang Undang Hukum Acara Pidana Tahun 2012 tenyata belum memberikan solusi bagi pengungkapan kasus miscarriage of justice terutama dalam kaitannya dengan persoalan bagaimana mengungkap bukti-bukti yang membebaskan yang dikecualikan atau ditahan oleh penyidik, karena selain tidak ada mekanisme yang tersedia, kedudukan advokat yang tetap sekedar menjadi sasaran tindakan masih dipertahankan dalam rancangan tersebut.

Miscarriage of justice, is a term that relates to wrong or erroneous court decisions,   that can take form in the conviction of a person even when there is not enough evidence to support it, or the conviction of a person who did not commit any crime. Miscarriage of justice is not caused by a single factor, but most of the cases of miscarriage of justice that occurred both in Indonesia and in other countries show that the investigator’s error at the investigation stage to be the most dominant factor. These errors took many forms, namely, misidentifying witnesses, misinterpreting forensic evidence, including the investigator’s criminal acts such as manipulating witnesses (fabricated witness) or distorting witness’ testimony, forcing a confession from the suspect, hiding or ignoring evidence that frees up (relieve) suspects or defendant, among others. These errors occur due to weak and ineffective control mechanisms provided by the law of criminal procedure, especially in the investigation stage. Pretrial which was originally a means or mechanism to control the course of the investigation turned out to be just testing the judiciary aspect (formal aspect) of a forced effort, while the deviation/irrelevancy that occurs in this stage is not only about the implementation of the forced effort. In addition to ineffective control mechanism, the position of an advocate in criminal proceedings only becomes the target of actions caused by it being limitedly regulated in law of criminal procedural. Draft of Criminal Procedure Code of 2012 has yet to provide a solution for the disclosure of the miscarriage of justice, especially in relation to the issue of how to uncover exempting evidence that is excluded or detained by investigators, because aside from there is no mechanism available, the position of advocate that still becomes the target of the action is still retained in the draft."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Rosadiansyah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kedudukan justice collaborator dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Implementasi penerapan Justice Collaborator pada 2 (dua) kasus yakni
Agus Condro Prayitno dan Kosasih Abbas dibahas sebagai bahan analisis dalam
tesis ini. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa Agus Condro memiliki
peran yang signifikan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dalam mengungkap
kasus tersebut sehingga mendapatkan keringanan hukuman namun pada saat Agus
Condro dijatuhi hukuman, belum ada peraturan mengenai Justice Collaborator.
Berbeda dengan kasus Kosasih Abbas, ia ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) sebagai Justice Collaborator karena
kooperatif pada saat penyidikan. Namun pada saat dijatuhi hukuman, majelis
hakim berpandangan berbeda, majelis tidak mempertimbangkan ia sebagai Justice
Collaborator. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi dalam pengaturan
Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya pembaharuan
hukum pidana di Indonesia.

ABSTRACT
This thesis discusses the position of the justice collaborator in the criminal justice
system in Indonesia. The research method in use is normative juridical.
Implementation of the application justice collaborator in two (2) cases namely
Agus Condro Prayitno and Kosasih Abbas discussed for analysis of materials in
this thesis. From the analysis result concluded that Agus Condro have a
significantly role as a witness who cooperated to get relief. but at the time was
sentenced Agus Condro, there are no regulations about justice collaborator. In
contrast to case of Kosasih Abbas, he is defined by The Corruption Eradication
Commision of Indonesia Republic (KPK RI) as a justice collaborator because of
cooperative as the investigation, but at the time of sentenced he panel of
judgesargued differently, the panel did not consider he as justice collaborator. In
teh future, it will be needed formulation and conception in the setting of justice
colaborator in the process criminal law as effort to reform the criminal law in
Indonesian."
Universitas Indonesia, 2013
T35933
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Melvia Body
"ABSTRAK
Tesis ini membahas konsep justice collaborator dalam praktik sistem peradilan
pidana Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Pada mulanya Justice Collaborator hanya dikenal dalam Praktik Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Analisa penerapan konsep Justice Collaborator atas 3
(tiga) kasus yakni Agus Condro Prayitno, Kosasih Abbas dan dibahas Thomas
Claudius Ali Junaidi sebagai bahan analisis dalam tesis ini. Dari hasil analisis
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat ketidakseragaman pemahaman dari para
penegak hukum dalam menerapkan Konsep Justice Collaborator dalam Praktik
Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Untuk itu ada beberapa kriteria untuk dapat
dijadikan Justice Collaborator yaitu: tindak pidana yang akan diungkap merupakan
tindak pidana serius dan/atau terorganisir; bukan pelaku utama dalam tindak pidana
yang akan diungkapnya; memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan; Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan;
inisiatif dari pelaku kejahatan tersebut untuk mengakui perbuatannya dan bersedia
membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap perkara dimaksud; Pelaku
kejahatan membuat perjanjian mengenai kedudukan nya sebagai Justice Collaborator
dengan Jaksa Penuntut Umum. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi
pengaturan Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya
pembaharuan hukum pidana di Indonesia serta integrasi antar penegak hukum untuk
mewujudkan Sistem Peradilan Pidana yang well-done-integrated dalam menerapkan
Konsep Justice Collaborator

ABSTRACT
This thesis discusses the concept of justice collaborator in the practice of the
Indonesian criminal justice system. The method used is a normative juridical
research. Justice Collaborator at first known only in Indonesia Practice Criminal
Justice System. Analysis of the application of the concept of Justice Collaborator on
three (3) cases namely Agus Condro Prayitno, Kosasih Abbas and Thomas Claudius
Ali Junaidi discussed as material analysis in this thesis. From the analysis we
concluded that there is a variation on the understanding among the law enforcement
officer in applying the concept of Justice Collaborator in Practice Criminal Justice
System. There are several criteria to fullfiled as Justice Collaborator, namely: a
criminal act that will be revealed is a serious criminal offense and / or organized; not
the main offender in the crime that will revealed; testified as a witness in the court;
Prosecution lawsuit alleges that the offender has provided information and evidence
is very significant; initiative of the offender to confess and willing to assist law
enforcement officer to uncover the case; offender made an agreement regarding his
position as Justice Collaborator with the Public Prosecutor. In the future there is
should be a formulation and conception of Justice Collaborator in the process of
criminal law as an effort to reform the criminal law in Indonesia as well as the
integration among law enforcement officer to created the well-done-integrated
Criminal Justice System in applying the concept of Justice Collaborator."
2016
T46150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akta Wijaya Pramasakti
"Upaya paksa yang dilakukan dalam rangka Penyidikan maupun PenuntutanTindak Pidana oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini Polri atau Penuntut Umumdapat dikontrol melalui Lembaga Praperadilan. Tujuan lembaga ini dibentuk agar hakhaktersangka dapat dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada,tindakan yang dimaksud terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan yang tidaksah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan. Walaupun lembagapraperadilan tersebut telah diatur dalam hukum positif yakni Undang-Undang Nomor 8Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, namun seiring perkembanganzaman dan perkembangan kehidupan bermasyarakat serta perkembangan hukumdimasyarakat, KUHAP dirasa belum mengakomodir perlindungan hukum terhadapmasyarakat. Hal ini sesuai dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015, bahwa Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangandengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.Permasalahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanalembaga praperadilan pasca putusan Mahkamah Kontitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014tanggal 16 Maret 2015 dan pengaruhnya terhadap fungsi, tugas dan wewenang Polrisebagai penyidik dalam terjadinya tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metodependekatan yuridis normatif dengan meneliti data sekunder yang menitikberatkan padastudi kepustakaan, dengan cara mengumpulkan, mengkaji dan mengolah data secarasistematis, bahan-bahan kepustakaan atau studi dokumen yang berkaitan dengankebijakan formulasi lembaga praperadilan dan penerapannya secara analisis kualitatif,kemudian dibuat kesimpulan yang secara menyeluruh diharapkan dapat menggambarkanperanan dan fungsi lembaga praperadilan saat ini dan menjadikan lembaga praperadilanpada posisi yang sebenarnya sesuai dengan cita-cita pembentukan KUHAP.

Forceful measures undertaken in the framework of the Investigation and Prosecutionof Crime by competent authorities in this case the police or public prosecutor can be controlledthrough Pretrial Institution. The purpose of this institution was established so that the rights ofsuspects can be protected in accordance with the laws and regulations that exist, the action ismainly in terms of arrests and illegal detention as well as the termination of the investigationand prosecution. Although the pretrial institutions have been arranged in the positive law ofthe Law No. 8 of 1981 on Criminal Proceedings Criminal Procedure Code, but over the timesand the development of social life and the development of community law, the CriminalProcedure Code is felt not provide legal protection of the public. This is in accordance with theConstitutional Court Decision Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015, that Article77 letters a in the Criminal Procedure Code is on the contrary to the 1945 Constitution Of TheRepublic Of Indonesia to the extent not interpreted as including the designation of suspects,search and seizure.The problems that are the focus of this research is how the pretrial institution after thedecision of the Constitutional Court Number 21 PUU XII 2014 dated March 16, 2015 andits influence on the functions, duties and authority of the Police as investigators in the criminalact. This study uses normative juridical approach by examining secondary data which focuseson the study of literature, by collecting, reviewing and processing data systematically, materialslibrary or study documents relating to policy formulation institutions pretrial andimplementation qualitative analysis, then made overall conclusions are expected to describethe role and functions of the current pretrial agencies and make pretrial agencies on the actualposition in accordance with the ideals of the establishment of the Criminal Procedure Code
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Whenny Maranata Isabella
"Pada tesis ini, disampaikan mengenai Urgensi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan Dalam Sistem Peradilan Indonesia. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan ini ialah dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir, tanah sebagai bagian krusial dalam kehidupan masyarakat, memiliki permasalahan yang semakin lama semakin tidak dapat dihindari dan semakin kompleks serta banyak yang belum dapat terselesaikan.
Metode penelitian yang digunakan untuk penulisan ini adalah Yuridis Normatif dengan pokok permasalahannya yaitu pertama Apakah Urgensi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan Dalam Sistem Peradilan Indonesia dan kedua bagaimanakah penerapan peradilan tanah yang berlaku di negara lainnya New South Wales, Australia dan Afrika Selatan serta apa saja gambaran yang dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan pengadilan khusus pertanahan sesuai dengan keadaan di Indonesia.
Penulisan ini mendapatkan simpulan sebagai berikut: pertama pembentukan sebuah pengadilan baru bukanlah sebuah tugas yang ringan, bahkan untuk memunculkannya, yang dalam hal ini di bidang pertanahan, merupakan sesuatu yang paling sulit dilakukan dan kedua sebagaimana New South Wales dan Afrika Selatan yang berani memulai apapun kondisi mereka dahulunya, Indonesia juga seharusnya memberanikan diri untuk mengambil langkah yang sama, berani mengambil langkah baru akan jauh lebih baik daripada hanya berdiam diri saja dan menerima keadaan yang ada. Melalui pengadilan khusus pertanahan ini kedepannya sebagai harapan dan jawaban atas permasalahan tanah yang sejauh ini belum dapat terakomodir dengan baik penyelesaiannya.
Penelitian ini memberikan saran untuk segera dibentuknya peradilan khusus pertanahan mengingat kebutuhannya dalam penyelesaian sengketa berkenaan dengan tanah sekalipun dalam pembentukkannya nanti pemerintah dan negara harus memberikan effort yang lebih dari segala aspek.

This thesis is tell about Judicial Analysis of The Urgency of Dispute Settlement for Land Through Special Court Justice System in Indonesia. The thesis background is in the last fifty years, land as a crucial part in the life of society, has the problems that are increasingly unavoidable and increasingly complex are yet to be resolved.
This thesis used normative juridical for the method with two subject matter as explained the first is about what is The Urgency of Dispute Settlement for Land Through Special Court Justice System in Indonesia and secondly how the application of justice as apply in other countries New South Wales, Australia and South Africa also whats condition that can become a reference for the implementation this special court in accordance with the state land in Indonesia.
This Thesis is getting conclusion as follows first, to establish the new court is not easy task to bring it up especially for land court and as like as New South Wales and South Africa, who dared to start whatever their condition previously , Indonesia should be take similar step, writer prefer to Indonesia will take a new resolution than accept the existing situation. In the future, this special court as hope can be an answer for all land matter, so land matter can be accommodate in good solution.
This research provides suggestion for establish a special land court immediately considering the necessity for dispute resolution in the connection with land although in the founding process, goverment and country must give extra effort in many aspect.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Yudithia Bayu Hapsari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas konsep dan ketentuan tentang justice collaborator dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif. Kedudukan Agus Condro Prayitno sebagai justice
collaborator dalam kasus korupsi pada Pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia Tahun 2004 dibahas sebagai bahan analisis dalam skripsi ini. Dari hasil
analisis diperoleh kesimpulan bahwa Agus Condro memiliki peran yang
signifikan dalam mengungkap kasus tersebut. Oleh karena itu pada dasarnya ia
dapat diberikan perlindungan dan penghargaan, seperti keringanan hukuman atau
kekebalan dari penuntutan. Namun, pada saat ia dijatuhi hukuman, belum ada
peraturan yang mengenai perlindungan dan penghargaan bagi justice collaborator.

Abstract
This study focuses on concept and regulations of justice collaborator in
Indonesian criminal justice system. Normative juridical method is used to analyze
the data. The role of Agus Condro Prayitno as a justice collaborator in the
investigation of corruption case of Bank of Indonesia Senior Governor Deputy
Election in 2004 is analyzed in this study. This analysis shows that Agus Condro
had a significant role to reveal the crime. Therefore he actually could be awarded
by such protection and mitigating punishment or immunity from prosecution.
However, at the time he was sentenced by the court, the regulation considering
protection or award to justice collaborator had not been established in Indonesia.
"
2012
S42445
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Samuel
"ABSTRAK
Sistem peradilan pidana sejatinya adalah proses yang dikonstruksikan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Proses yang dilakukan tersebut memperhadapkan pelaku tindak pidana dengan negara yang diwakili oleh penuntut umum. Dalam proses demikian pelaku tindak pidana didampingi dan dibela oleh advokat. Advokat melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang menjalankan profesinya di dalam maupun di luar pengadilan. Advokat adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang integratif dalam rangka menanggulangi kejahatan. Pada saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem non-adversarial yang memberikan posisi sentral kepada hakim untuk bertindak aktif dalam menilai fakta (kesalahan), hukum, dan hukuman. Bahkan hakim cenderung bertindak sebagai semi-prosecutor. Tentu saja keadaan demikian tidak memberikan keleluasaan kepada advokat untuk melakukan pembelaan kepada kliennya berdasarkan dalil-dalil yang dibenarkan oleh hukum. Dalam perkembangannya, karakter adversarial yang merupakan ciri sistem peradilan di negara-negara common law diadopsi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun demikian karakter adversarial tersebut tidak diadopsi secara utuh, setidaknya demikian terlihat dalam Rancangan KUHAP. Karakter adversarial yang dianut dalam Rancangan KUHAP masih menganut prinsip hakim aktif dalam persidangan. Dalam sistem adversarial, advokat sebagai penasihat hukum terdakwa di sidang pengadilan memiliki peran yang lebih baik untuk membela kepentingan hukum terdakwa. Peran tersebut ditandai dengan kedudukan yang sama antara penuntut umum maupun advokat di persidangan. Penuntut umum dan advokat akan berperan aktif untuk menemukan kebenaran berdasarkan pembuktian melalui proses adu atau counter balance. Posisi penuntut umum dan advokat sebagai demikian menjadikan posisi hakim bersifat pasif atau hakim hanya sebagai wasit dalam proses adu tersebut. Letak pembenaran sistem adversarial atau sistem perlawanan adalah pada kenyataan bahwa sistem ini merupakan suatu sarana, di mana kemampuan individu dapat ditingkatkan sampai titik di mana ia memperoleh kekuatan untuk melihat realitas dengan mata yang bukan matanya sendiri, di mana ia mampu untuk menjadi bebas dari keberpihakan dan bebas dari prasangka sebagaimana “dapat dimungkinkan oleh keadaan manusia”. Dengan kata lain, sistem adversarial menyakini bahwa kebenaran akan muncul melalui proses adu yang dilakukan secara seimbang dan fair antara penuntut umum dan advokat.

ABSTRACT
The criminal justice system is actually a constructed process to overcome crime through judicial proceedings against defendant. The process undertaken is by confronting the defendant with the state represented by the public prosecutor. In the process, the defendant is represented and defended by advocates. Advocate based on Law Number 18 of 2003 regarding advocate is a law enforcerment officer who is free and independent, performing his profession in or outside the court. Advocate is a part of an integrated criminal justice system to overcome crime. Nowadays, the criminal justice system in Indonesia adopts non-adversarial system that gives the judge a central position to act actively in assessing the facts (guilty), law, and punishment. Moreover, the judges tend to act as a semi-prosecutor. Indeed, such conditions do not give adequate freedom to the advocates in defending their clients based on justified arguments. In the development, adversarial characteristic as the characterictic of criminal justice system of common law’s country is being adopted in criminal justice system in Indonesia. However, the adversarial characteristic is not fully adopted as a seen in the draft of The Code of Criminal Procedure which is still adhered to the principle of active judges in the trial. In the adversarial system, advocates as the defendant’s legal counsel in the trial have a better role in defending the legal interests of the accused. That role is characterized by an equal position of both the public prosecutor and the advocate in the court. Prosecutor and advocate will play an active role to find the truth through evidence-based process or counter balance. The position of the public prosecutor and advocate will give a passive position to the judge or the judge only play as a referee in that trial. The justification of adversarial system is a reality that the system is a place, where any individual’s ability could be improved up to the point where he gains the power to see the reality through his own eyes, where he was able to be free from prejudice as “human condition possibility”. In other words, the adversarial system believes that the truth will appear through counter balance process which is equally and fairly between prosecutor and advocate."
Universitas Indonesia, 2013
T33133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihotang, Daniel Tulus Marulitua
"Sistem peradilan pidana merupakan suatu proses yang ditujukan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Sistem peradilan pidana diwujudkan melalui suatu ketentuan yang disebut dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejatinya KUHAP ditujukan untuk melindungi hak-hak seorang tersangka dan/atau terdakwa serta mengatur tugas masing-masing dari sub-sub sistem peradilan pidana guna menciptakan suatu keterpaduan sistem peradilan pidana. Namun demikian, implementasi KUHAP masih jauh dari tujuan sebenarnya sehingga berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Oleh sebab itu perlu adanya suatu pembaharuan terhadap KUHAP. Pembaharuan tersebut diwujudkan dalam Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana (R-KUHAP). Dalam R-KUHAP, terdapat nilai-nilai yang diadopsi di negara common law, salah satu dari nilai tersebut adalah lembaga plea bargaining. Akan tetapi R-KUHAP tidak secara mutlak mengadopsi nilai lembaga plea bargaining yang ada di negara common law. R-KUHAP hanya mengambil nilai plea guilty (pengakuan bersalah) yang merupakan salah satu nilai dari lembaga plea bargaining. Kedudukan lembaga plea bargaining (plea guilty) yang diatur dalam R-KUHAP melalui suatu klausul Jalur Khusus terdapat dalam tahap adjudikasi. Diadopsinya lembaga plea bargaining (plea guilty) dalam RKUHAP disebabkan adanya manfaat dari lembaga ini. Salah satu manfaat tersebut terlihat dalam perwujudan suatu peradilan cepat, sederhana dan berbiaya murah dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty). Disamping manfaat yang diperoleh, terdapat juga suatu potensi kerugian apabila implementasi dari lembaga plea bargaining (plea guilty) tidak berjalan dengan baik sehingga dapat menyebabkan miscarriage of justice (peradilan sesat). Oleh sebab itu dalam implementasi lembaga plea bargaining (plea guilty) nantinya diperlukan keterpaduan dari 3 (nilai) dasar hukum sebagimana dikemukakan oleh Friedman yaitu substansi hukum (perwujudan peraturan perundang-undangan yang terkait plea bargaining), struktur hukum (keterpaduan antar sub sistem dalam sistem peradilan pidana), dan budaya hukum (kesadaran dari aparat penegak hukum terhadap kewenangan yang dimilikinya) guna mencegah timbulnya miscarriage of justice (peradilan sesat).

The criminal justice system is a process that is intended to solve crimes through judicial proceedings conducted against criminal offence. The criminal justice system is realized through a provision called the Criminal Procedure Code (KUHAP). Indeed the Criminal Codeaimed at protecting the rights of accused and/or defendant sand set tasks for each of the sub-systems of criminal justice in order to create an integration of the criminal justice system. However, the implementation of the Criminal Procedure Code is still far from the goal and thus potentially give rise to violations against the rights of accused/defendant. Therefore, the need for a reform of the Criminal Procedure Code. The reform embodied in the draft Criminal Procedure Code (R-KUHAP). In draft Criminal Procedure Code, there are values that are adopted in common law. One of these values is plea bargaining. However ,the draft Criminal Procedure Code does not ultimately adopted the values of plea bargaining that exist in common law. The draft Criminal Procedure Code is only take a guilty plea which is one of the values of the plea bargaining. The position of plea bargaining (plea guilty) is regulated int he draft Criminal Procedure Code through a “Special Track” clause contained in the adjudication stage. Adoption of plea bargaining (guilty plea) in the draft Criminal Procedure Code due tothe benefits of this institution. One of the benefits is seen in the embodiment of a fast, simple and low-cost judicial/trial in implementation of plea bargaining (plea guilty). In addition to the benefits, there is also a potential loss when implementation of the institution of plea bargaining (plea guilty) do not work properly till causing the miscarriage of justice. Therefore, implementation of plea bargaining (plea guilty) will be required integration of three values of law as advanced by Friedman namely substance law (embodiment legislation related plea bargaining), structure law (coherence between sub-system in criminal justice systems), and cultural law ( of consciousness of law enforcement officials the authority to file to prevent the spread of miscarriage of justice."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deborah, Victoria Christine
"Salah satu permasalahan penting yang membahayakan komitmen Indonesia terhadap keadilan dan hak asasi manusia adalah korupsi dalam sistem hukum. Tesis ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana korupsi berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan akses hukum dalam penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan kerangka teori konsepsi keadilan Aristoteles dan John Rawls serta Fraud Triangle Theory karya Donald Cressey, penelitian ini menunjukkan bagaimana perilaku korup aparat penegak hukum seperti pemerasan dan penyuapan berujung pada prasangka dan ketidakadilan dalam sistem peradilan.
Temuan utama penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi menyebabkan pelanggaran serius terhadap hak-hak dasar masyarakat, khususnya hak untuk diperlakukan secara adil dan setara di pengadilan. Komunitas miskin dan rentan menderita karena ketidakmampuan sistem hukum untuk menegakkan keadilan secara adil, sehingga memperburuk kesenjangan sosial. Lebih lanjut, penelitian ini menekankan perlunya reformasi sistem peradilan secara menyeluruh untuk meningkatkan akuntabilitas, keterbukaan, dan penerapan undang-undang antikorupsi yang lebih kuat.
Kesimpulannya, korupsi dalam sistem hukum menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia meluas dan merugikan integritas penegakan hukum. Oleh karena itu, langkah-langkah pemberantasan korupsi harus diutamakan untuk mencapai keadilan sejati dan menjaga hak asasi manusia di Indonesia.

One critical issue that jeopardizes Indonesia's commitment to justice and human rights is corruption in the legal system. This thesis aims to examine how corruption affects human rights abuses and legal access in Indonesian law enforcement. Based on the theoretical frameworks of Aristotle's and John Rawls' conception of justice and Donald Cressey's Fraud Triangle Theory, this study shows how law enforcement personnel's corrupt behaviors like extortion and bribery lead to prejudice and injustice in the judicial system.
The research's primary conclusions demonstrate that corruption leads to grave abuses of people's fundamental rights, particularly the right to be treated fairly and equally in court. Poor and vulnerable communities suffer from an unjust legal system's incapacity to administer justice fairly, which exacerbates social inequality. Furthermore, this study emphasizes the need for thorough justice system reform to improve accountability, openness, and the application of stronger anti-corruption laws.
In conclusion, corruption in the legal system causes widespread human rights violations and harms the integrity of law enforcement. Therefore, measures to combat corruption must be given high importance in order to achieve true justice and safeguard human rights in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>