Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160988 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anugerah Rizki Akbari
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tiga permasalahan. Pertama, bagaimana penerapan hukum pidana terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan olahragawan dalam sebuah pertandingan pada cabang olahraga sepak bola? Kedua, perbuatan¬perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin menurut peraturan organisasi sepak bola namun di sisi lain merupakan suatu tindak pidana menurut hukum nasional? Ketiga, bagaimana jika parameter legitimate sport dalam kasus R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 diterapkan pada hukum pidana Indonesia? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan penelitian lapangan, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan suatu standar yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu tindakan kekerasan di lapangan sepak bola merupakan tindak pidana penganiayaan atau merupakan bagian dari permainan sepak bola. Parameter legitimate sport dalam kasus R v. Barnes dapat dijadikan standar untuk menjawab permasalahan tersebut. Skripsi ini berkesimpulan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan olahragawan dalam sebuah pertandingan pada cabang olahraga sepak bola dan ia harus selalu dijadikan jalan terakhir untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Selain itu, terdapat fakta dimana beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin menurut peraturan organisasi olahraga juga diatur oleh hukum nasional sebagai suatu tindak pidana. Terakhir, parameter legitimate sport dalam kasus R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 dapat diterapkan pada hukum pidana Indonesia untuk menentukan ada/ tidaknya persetujuan olahragawan untuk menerima tindakan kekerasan pada suatu pertandingan sepak bola sehingga dapat ditentukan apakah tindakan kekerasan tersebut merupakan bagian dari permainan atau telah memasuki ranah hukum pidana untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana penganiayaan.

ABSTRACT
This thesis mainly discuss about three problems. First, how the enforcement of criminal law related to the cases of violent action by athlete in football games works' Second, what kind of action that can be included as a breach of discipline according to the rules of football organization, and as a crime according to the national law. Third, how if the parameter of legitimate sport in the case of R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 is applied in Indonesian criminal law. By combining the literature research method with the field research method, this thesis aims to provide a standard that can be used to assess whether an act of violence on the field is a maltreatment or a part of the football game. The parameter of legitimate sport in the case of R v. Barnes can be used as a standard to address these problems. This thesis concludes that criminal law can be applied to the cases of violence by athlete in a football games and it should always be used as the last choice to resolve such cases. Moreover, there are some facts show that some actions referred as a violation of discipline according to sports organizations regulation are also being regulated under national law as a crime. Last, the parameter of legitimate sport in the case of R v. Barnes (2004) EWCA Crim 3246 can be applied in the Indonesian criminal law to determine the presence/absence of athlete?s consent to receive the violence at a football game. So, it can be determined whether the violence was a part of the game or has become the appertain of the realm of criminal law to be categorized as a maltreatment. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S405
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Yuanita Indriani
"Skripsi ini membahas mengenai kekerasan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang dipersempit ruang lingkupnya pada aparat kepolisian sebagai pejabat penyidik dalam proses interogasi. Kekerasan yang dilakukan oleh pejabat publik untuk tujuan-tujuan tertentu dikualifikasikan sebagai penyiksaan dalam Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) yang telah diratifikasi ke dalam UU Nomor 5 Tahun 1998. Berdasarkan penelitian yang bersifat deskriptif-evaluatif ini, ditemukan putusanputusan yang memidana pelaku penyiksaan dengan pasal tentang penganiayaan dalam KUHP. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penerapan pasal tentang penganiayaan masih belum tepat digunakan dalam memidana pelaku penyiksaan yang memiliki kualifikasi kejahatan yang lebih berat daripada tindak pidana penganiayaan.

The focus of this study is regarding violence committed by law enforcement officers (which in this particular study is narrowed down to the scope of police officers as investigators) in the interrogation process. Violence committed by a public official for certain purposes is qualified as torture as it is mentioned in the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) that has been ratified with Law No. 5 of 1998. Based on this descriptive-evaluative study, it is found that there are court decisions that convict perpetrators of torture with articles regarding persecution from the Indonesian Criminal Code (KUHP). The result of this study shows that the application of articles regarding persecution is still not yet appropriate to be used in convicting perpetrators of torture, since it is qualified as a more serious crime than the crime of persecution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moudy Rachim Kusuma
"

Skripsi ini membahas mengenai restitusi sebagai salah satu hak korban tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah peraturan-peraturan mengenai hak atas restitusi bagi korban tindak pidana di Indonesia; penerapan pemberian restitusi bagi korban tindak pidana khususnya terhadap kasus tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penganiayaan, dan perkara yang melibatkan anak ditinjau dari putusan pengadilan; dan peran dan tantangan LPSK dalam pemenuhan hak atas restitusi bagi korban tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode normatif yang pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan dan didukung dengan wawancara sebagai pelengkap atas data yang telah diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam menguraikan pengertian restitusi di antara peraturan perundang-undangan yang ada sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda di antara para penegak hukum dan kurangnya ketentuan subsider dalam UU No. 31 Tahun 2014, sebagai ketentuan yang mengubah UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, beserta peraturan pelaksananya sehingga menjadi kurang efektif apabila pelaku ternyata tidak dapat membayar restitusi. Penguatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban RI juga sangat diperlukan karena temuan dalam penelitian memperlihatkan bahwa dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan performa dari LPSK dengan tidak membantu fasilitasi restitusi bagi korban tindak pidana umum seperti yang telah dilakukan sebelumnya.


This research discusses about restitution as one of the rights of the victim of crime. The aims of this research are first, to show the critical analysis of the regulation of victims rights to receive restitution in Indonesia; second, to analyze the implementation of giving restitution to victim of crime precisely on human trafficking, battery, and relating to child abuse cases by reviewing criminal court decisions; and last but not least, to describe the role and obstacle of which LPSK has in fulfilling victims right to seek restitution. This research used normative methodology based on literature study and interview to support the existing data. The research founds that there is a slight disharmony in describing the definition of restitution between the laws, which affects the law enforcement officers especially judges to have different perceptions of the terminology; the lack of subsidiary provision in Law No. 31 of 2014 and its implementing regulations that causes ineffective protections of the victims if the perpetrator apparently unable to pay the restitution. On the other hand, in the last three years there has been a slight decline in performance of LPSK without facilitating victim(s) of crime to accomplish the restitution order.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Matheus Nathanael
"

Munculnya berbagai perdebatan mengenai Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterbatasan rumusan undang-undang yang begitu singkat. Ketentuan mengenai Daya Paksa (Overmacht) pada Pasal 48 KUHP menyebutkan: barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana. Undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai persyaratan maupun unsur-unsur dari Daya Paksa (Overmacht). Dengan metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini hendak membahas 3 (tiga) pertanyaan penelitian: Pertama, mengenai hal-hal yang harus dipertimbangkan hakim dalam menentukan keadaan Daya Paksa (Overmacht). Kedua, mengenai perbandingan konsep Daya Paksa (Overmacht) di negara-negara civil law system (Indonesia & Belanda) dan negara-negara common law system (Britania Raya & Australia). Ketiga, mengenai bagaimana hakim mempertimbangkan Daya Paksa (Overmacht) pada putusan pengadilan pidana di Indonesia. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap Daya Paksa (Overmacht) di Indonesia masih sangat beragam. Oleh karena itu, hakim dalam mengadili perkara Daya Paksa (Overmacht) seyogyanya mempertimbangkan dan menguji persyaratan/asas-asas penguji atau elemen-elemen Daya Paksa (Overmacht), yaitu: asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan asas culpa in causa. Selain itu, peran aktif hakim untuk menggunakan sumber hukum lain di samping undang-undang, seperti yurisprudensi dan doktrin juga sangat diperlukan dalam menghasilkan putusan Daya Paksa (Overmacht) yang tepat dan adil.


The emergence of various debates concerning the defense of duress (Overmacht) in Indonesia cannot be separated from the fact that there are not many provisions regarding it. Article 48 of the Indonesian Criminal Code states: anyone who commits an act under duress is not punishable. The law does not provide further elucidation regarding the requirements or elements of duress (Overmacht). By conducting normative research, this study aims to answer three research questions. First, on the matters that the judge must consider in determining the state of duress (Overmacht). Second, on the comparison between concepts of duress (Overmacht) in civil law jurisdictions (Indonesia & Netherlands) and common law jurisdictions (United Kingdom & Australia). Third, on how judges in Indonesia adjudicate the defense of duress (Overmacht) in criminal court decisions. This thesis observes that there are still divergent understanding of duress (Overmacht) in Indonesia. Consequently, judges in deciding cases of duress (Overmacht) need to consider and examine the elements of duress (Overmacht), which are: the principle of proportionality, the principle of subsidiarity, and the principle of culpa in causa. Furthermore, the use of other legal sources, such as landmark cases and doctrines, is essential in order to produce a judgment on duress (Overmacht) which is just and proper.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfero Septiawan
"ABSTRACT
Pengaturan skor adalah ancaman terbesar yang ada dalam dunia olahraga.
Kejahatan ini terjadi dalam setiap jenis olahraga, termasuk sepak bola. Di sepak
bola, kejahatan pengaturan skor saat ini bukan lagi kejahatan sederhana, tetapi ia
telah berkembang menjadi kejahatan internasional yang terorganisir. Dan, oleh
karena itu, FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia meminta kepada
seluruh pemangku kepentingan yang peduli pada sepak bola untuk memeranginya,
termasuk dengan penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk membuat langkahlangkah
preventif dan represif terhadap kejahatan ini. Di Indonesia, kejahatan
pengaturan skor saat ini baru tertuang dalam R-KUHP, akan tetapi, apabila
dicermati lebih lanjut, kejahatan pengaturan skor ini relevan dengan ketentuanketentuan
dalam hukum pidana Indonesia.

ABSTRACT
Match fixing is the biggest threat in sport existence around the world. This crime
is happened in any kind of sports event, including football. This crime has
developed becoming an international organized crime, not just an ordinary crime.
As a governing ruled body in the world football, FIFA declare to every
stakeholders who care about this sport to fight against this crime, including using
the criminal law as a tool to generate the preventive and repressive measures
against this crime. In Indonesia nowadays, the match fixing crime is going to be
regulated in the R-KUHP, but if observed further, it is relevant to the provisions
of Indonesia?s criminal law."
Jakarta: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2014
T41807
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radius Affiando
"Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Kecelakaan lalu lintas sebagai salah satu bentuk tindak pidana yang mengadopsi suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan memiliki suatu masalah baru dengan adanya suatu moda transportasi Transjakarta. Hal ini berkaitan dengan suatu kecelakaan yang terjadi dalam jalur khusus bus transjakarta. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan suatu bentuk kealpaan dalam suatu kecelakaan lalu lintas di jalur Transjakarta. Adapun metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif, dengan cara menggali secara mendalam mengenai konsep dari kealpaan. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan suatu bentuk kealpaan dengan teori lain yang terkait sehingga penelitian ini memiliki tipe penelitian deskriptif. Dalam melakukan penelitian ini, penulis berpegang pada satu bidang ilmu, yaitu ilmu hukum. Data penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang dilengkapi dengan tambahan data primer berupa wawancara dengan beberapa pihak terkait. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan hasil bahwa tidak terdapat suatu perbedaan penerapan mengenai suatu konsep kealpaan pada kecelakaan di jalur transjakarta dengan kecelakaan pada umumnya. Selain itu, suatu hal yang berbeda jauh antara penerapan pertanggungjawaban pidana dalam kereta api dengan jalur khusus transjakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa suatu kecelakaan di dalam jalur transjakarta tidaklah ubahnya suatu kecelakaan lalu lintas pada umumnya dan bukan suatu kecelakaan khusus yang mempunyai suatu bentuk pertanggungjawaban pidana yang khusus pula.

Two kind of mistake in criminal law are negligence and deliberate. Traffic accident is one of the negligence criminal offence that become a new problem for DKI Jakarta Local Goverment. While transjakarta as a new public transportation operated and caused numerous traffic accident in transjakarta busway. The aim of this study is to find out how far negligence theory applied in transjakarta traffic accident. The method of this study is normative juridicial using in-depth review of negligence concept and used to explain any negligence type with another theory in a descriptive way. The source used in this method are secondary data consist of primary, secondary, and tertiary law data added with interview as additional primary law data. The result of this study is there are no significant difference in transjakarta traffic accident with common traffic accident. The criminal responsibility of transjakarta traffic accident is not mutual with railway accident. The conclusion of this study are there are no significant difference in transjakarta traffic accident with common traffic accident and no specific criminal responsibility."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43141
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Narvitasari
"This thesis focuses on Indonesian Criminal Law in facing maritime terrorism cases that may happen in the future. The aims of this thesis are to get to know about the differences between piracy and maritime terrorism, Indonesian Regulation in maritime terrorism, and legal problems in maritime terrorism regulation in Indonesia. Indonesia has national and international law instrument as basic regulations for terrorism offences, but it has not covered the provisions of maritime terrorism offences. Although there has never been any case of maritime terrorism in Indonesia, yet Indonesia has great potential in being the target of this offence.

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan pidana Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus terorisme maritim yang mungkin terjadi di masa depan. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang perbedaan antara tindak pidana pembajakan di laut dan tindak pidana terorisme maritim, pengaturan tindak pidana terorisme maritim di Indonesia, dan permasalahan hukum dalam pengaturan mengenai tindak pidana terorisme maritim. Indonesia memiliki instrumen hukum nasional dan internasional yang menjadi ketentuan umum mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia. Hanya saja di dalamnya belum diatur secara khusus mengenai tindak pidana terorisme maritim. Walaupun dalam kenyataannya beum pernah terjadi terorisme maritim di Indonesia, namun Indonesia berpotensi besar menjadi target tindak pidana ini."
Universitas Indonesia, 2015
S60288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Fajar Putra Dipayana
"Tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah kasus pencemaran nama baik. Dari data yang ada, pencemaran nama baik berada pada urutan jumlah yang sering dilaporkan ke pihak berwajib. Bahkan Pasal pencemaran nama baik (dalam KUHP/diluar KUHP) menjadi pasal yang sering disoroti oleh publik, kemudian pihak-pihak yang merasa tersinggung, pada umunya menggunakan pasal tersebut untuk menyerang balik dengan melaporkanya ke Polisi. Sementara penyelesaian masalah pencemaran nama baik, melalui hukum pidana, masih selalu diutamakan (Primum remedium) oleh penegak hukum, yang akibatnya hukum pidana sebagai sarana balas dendam, shock terapy, bahkan sarana barter kasus. Menurut penulis penanggulangan masalah dengan hukum pidana haruslah dengan alternative terakhir (ultimum remedium), perlu menerapan kebijakan penal yang juga diimbangi dengan kebijakan non-penal dalam penegakan hukum pencemaran nama baik, serta perlu mengkaji sejauh mana ketentuan rumusan pasal pencemaran nama baik jika dilihat dari kacamata doktin dan teori hukum. Dari hasil penelitian, sementara dapat disimpulkan bahwa perlu trobosan suatu kebijakan pidana yang ditawarkan guna mencapai rasa keadilan dalam menyelesaikan masalah pencemaran nama baik, dimana merupakan suatu cara pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana, lebih menitik beratkan pada pemulihan keadaan serta memberikan fokus perhatian kepada korban, pelaku dan masyarakat. Melalui Pendekatan Restorative Justice akan menjadi solusi terbaik dalam menanggulangi kekurangan, keterbatasan dan kelemahan penyelesaian pencemaran nama baik dalam mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum di Indonesia.

The high number of social media users in Indonesia is followed by a high number of defamation cases. Based on the data, defamation is the number one that is often reported to the authorities. Even the defamation article (in the KUHP/outside the KUHP) becomes an article that is often highlighted by the public, then parties who feel offended, generally use this article to attack back by reporting it to the Police. While the resolution of defamation cases through criminal law is still prioritized (primum remedium) by law enforcers, as a result, criminal law becomes a means of revenge, shock therapy, and even a means of bartering cases. According to the author, solving problems with criminal law should be the last alternative (ultimum remedium), it is necessary to apply a penal policy that is also balanced with a non-penal policy in enforcing defamation law, and it is necessary to examine the extent to which the provisions for drafting defamation articles are viewed from a doctrinal and legal theory. Based on the research results, it can be concluded that it is necessary to make a breakthrough in a criminal policy that is offered in order to achieve a sense of justice in resolving defamation problems, which is a new approach in efforts to resolve criminal cases, focusing more on recovering the situation and focusing attention on the victim, actors, and society. Through a Restorative Justice Approach, it will be the best solution to overcoming deficiencies, limitations, and weaknesses in resolving defamation in realizing justice, benefits, and legal certainty in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Jacob
"Tesis ini membahas mengenai pentingnya penerapan Tindak Pidana Notaris (TPN) dalam UUJN, dimana saat ini banyak terjadi akta otentik yang dibuat oleh Notaris dipersoalkan di Pengadilan, atau Notaris tersebut dipanggil melalui MPD untuk dijadikan saksi, bahkan tidak sedikit Notaris yang digugat atau dituntut di muka Pengadilan. Penyebab permasalahan tersebut bisa timbul akibat kesalahan baik karena kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa), ataupun karena peraturan perundang-undangan yang tidak tegas, juga bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh pihak lain. Apabila dalam menjalankan jabatannya seorang Notaris terbukti melakukan kesalahan atau melanggar ketentuan dalam UUJN, maka Notaris tersebut hanya mendapatkan sanksi berupa sanksi perdata dan sanksi administratif. Dari sanksi-sanksi dalam UUJN tersebut dipercaya tidak dapat membuat efek jera bagi Notaris yang melakukan kesalahan atau pelanggaran, bahkan yang cukup ironi pada sanksi tersebut ada sanksi pemberhentian dengan hormat, sehingga terkesan seorang Notaris yang apabila secara sah dan terbukti melakukan kesalahan atau pelanggaran masih mendapatkan penghormatan untuk diberhentikan dari suatu jabatannya. Dengan ketiadaan sanksi pidana dalam UUJN maka pengaturan mengenai sanksi terhadap Notaris menjadi kurang sempurna, karena tidak adanya sanksi yang tegas dan jelas akan tindakan-tindakan yang dikategorikan tindak pidana khusus yang hanya dapat dilakukan oleh Notaris, yang kenyataannya belum ada satupun peraturan yang mengatur mengenai hal tersebut. Hasil penelitian ini menyarankan untuk dilakukan penyempurnaan peraturan mengenai sanksi dalam UUJN sebagai salah satu cara untuk mengklasifikasikan dan membatasi tindakan-tindakan Notaris menyangkut tindak pidana yaitu dengan merumuskan Tindak Pidana Notaris (TPN) dan sanksi pidananya.

This thesis discusses the importance of the implementation of the Crime of Notaries (TPN) in UUJN, which is currently a lot happening authentic deed of Notary questioned in court, or notary is called upon by the MPD to be witnesses, not even a little notary sued or prosecuted in advance court. Causes of these problems may arise due to errors either due to deliberate (dolus) and negligence (culpa), or because the laws are not strict, it can also arise indirectly in the case made by the other party. If in doing his job a Notary proven guilty or violates the UUJN, the notary is only sanctioned by civil penalties and administrative sanctions. Of sanctions in UUJN is believed can not create a deterrent effect for Notaries who make mistakes or violations, even considerable irony in the dismissal sanction sanction exists with respect, giving the impression of a notary legally and if proven guilty or breach still get honor to be dismissed from the office. In the absence of criminal sanctions in UUJN the setting of sanctions against the Notary be less than perfect, in the absence of a firm and clear sanctions for measures specifically categorized as a crime that can only be done by a notary, the fact that no single rule governing the matter them. The results of this study do suggest to improve the regulation of the UUJN sanctions as a way to classify and restrict the actions involve criminal Notary is to formulate Crime Notary (TPN) and criminal sanctions."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
T33042
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuris Yurisprudentia
"ABSTRAK
Skripsi ini mencari jawaban mengenai kriteria apa yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam menerapkan ketentuan Pasal 51 KUHP tentang melaksanakan perintah jabatan sebagai alasan penghapus pidana, pada Putusan No. 572 K/Pid/2003 tentang kasus korupsi dana non-budgeter bulog Akbar Tandjung. Kriteria dalam putusan tersebut selanjutnya akan dijadikan tolok ukur untuk menguji konsistensi Mahkamah Agung dalam menerapkan ketentuan Pasal 51 KUHP terhadap lima putusan lain yang sejenis. Metodologi penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer serta sekunder, melalui alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Dari hasil penelitian dan kajian disimpulkan bahwa dalam Putusan No. 572 K/Pid/2003, Mahkamah Agung menggunakan dua kriteria untuk menerapkan Pasal 51 KUHP, yaitu ldquo;perintah harus diberikan berdasarkan suatu jabatan kepada bawahan dalam hubungan kerja yang bersifat hukum publik rdquo;; dan ldquo;perintah harus merupakan perintah jabatan yang diberikan oleh kekuasaan yang berwenang rdquo;. Akan tetapi dua kriteria tersebut tidak selalu konsisten diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam lima putusan lainnya, padahal konsistensi Mahkamah Agung dalam menerapkan Pasal 51 KUHP akan memudahkan dalam penerapan hukum dan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

ABSTRACT
This thesis seeking the answer of the criteria that being used by the Supreme Court of Indonesia, when applying the article 51 of criminal code about execution of an official order as an exclusion of criminal punishment in corruption case of Bulog Non Budgeter Fund by Akbar Tandjung Case No 572 K Pid 2003 . The criteria will be used to examine the consistency of Indonesian Supreme Court when applying the article 51 of criminal code in another five 5 similar corruption cases. The methodology that being used in this thesis is juridical normative with secondary data that consist of primary and secondary law material and using literature review as the data collection instrument. The conclusion of this thesis are the Indonesian Supreme Court uses two criteria when applying the article 51 of criminal code in Akbar Tandjung case. The first criteria is the order must be given based on an ldquo office rdquo which there is a public legal relation between the order giver and receiver, and the second criteria is the order must be given by an official office. In the end, the Supreme Court rsquo s not always consistent in using this two criterias in another five case whereas the consistency of Indonesian Supreme Court when applying the article 51 of penal code will simplify the application of the law and fulfil the justness of the people."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>