Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23640 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johannes Ibrahim
Bandung: Refika Aditama, 2004
346.082 JOH c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aufa Mursyida
"Cross collateral dan cross default merupakan suatu kebiasaan yang digunakan dalam pemberian kredit perbankan maupun non-bank. Cross collateral merupakan suatu kondisi dimana satu atau lebih objek jaminan yang digunakan untuk menjamin lebih dari satu kewajiban pembayaran utang atau kredit. Tujuan diberlakukan cross collateral sama dengan tujuan dari fungsi jaminan, yaitu memberikan kreditur posisi yang lebih aman dengan munculnya hak preferen atas jaminan kredit. Untuk memudahkan penerapan cross collateral, maka diberlakukan juga cross default, yaitu keadaan dimana terhadap beberapa kewajiban pembayaran kredit yang terikat jika berada dalam keadaan wanprestasi. Sehingga kewajiban pembayaran kredit yang satu juga akan diangap wanprestasi jika kewajiban pembayaran kredit lainnya yang terikat juga dalam keadaan wanprestasi. Keadaan dimana keadaan wanprestasi mengikat satu sama lain disebut dengan cross default murni sedangkan jika tidak saling mengikat disebut dengan cross default sepihak.
Penelitian ini menemukan bahwa dalam pemberian kredit antara LPEI dan PT X dalam pelaksanaan cross collateral terdapat jaminan yang tidak diikat secara sempurna sehingga tidak menimbulkan hak preferen yang merugikan kedudukan kreditur. Sedangkan dalam penerapan cross default yang digunakan adalah cross default sepihak yang juga tidak menguntungkan kreditur. dengan demikian Penulis menyarankan dalam penerapan cross collateral lebih baik jika jaminan terkait diikat secara sempurna agar memberikan hak preferen yang pasti bagi kreditur dan dalam penerapan cross default lebih baik digunakan cross default murni agar jika debitur wanprestasi akan lebih mudah dalam melakukan eksekusi jaminan.

Cross collateral and cross default are terms that often used as common practice in bank or non bank loan agreements. Cross collateral means a condition where one or more collateral secures one or more loan agreements. The objective of using this term is the same as collateral in general which is to give the lender the preference right that gives a secure position to the lender as the creditor. In order to make this term applicable, loan agreements also use Cross default term, which means a condition where there are one or more loan agreements that become related in default condition. In condition where one loan agreement stated as default, then the other loan agreement will also be stated as default. This cross default term can be applied perfectly if in one or more loan agreement stated that they are applying the cross default term to each other. If only stated in one loan agreement, this can lead to the one sided cross default.
This thesis finds that in applying the cross collateral term in loan agreement between LPEI and PT X, not all collateral secured according to rules, that leads the lender not having the preference right. Beside that, the cross default term that used in the loan agreement is the one sided cross default that makes the lender be in less secure position. The author suggests that in applying the cross collateral term, LPEI should have secured all the collaterals according to rules so that LPEI as creditor has the preference right, and in applying the cross default term, LPEI should have applied the perfect cross default, so that once the borrower stated as default according to loan agreement, LPEI as the creditor has the right to execute the collaterals.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68804
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irfan Hielmy
"Pemberian kredit yang melibatkan lebih dari satu kreditur maupun debitur menjadi hal yang sering dijumpa, hal ini mengakibatkan terdapat lebih dari satu hubungan hukum, untuk menjamin terlunasinya utang debitur, hak atas tanah seringkali dijadikan sebagai agunan bersama terhadap beberapa perjanjian kredit. Dalam kondisi demikian, Bank atau Notaris mencantumkan klausul cross default dan cross collateral, guna menjamin kepentingan bank dalam rangka eksekusi, adanya klausula cross default maka bilamana debitur wanprestasi, mengakibatkan perjanjian kredit terkait perjanjian tersebut juga default. Sedangkan klausul cross collateral dimaksudkan bahwa jaminan yang diserahkan debitur mengikat beberapa perjanjian kredit.
Rumusan masalah dalam tesis ini mengenai penerapan cross default dan cross collateral pada perjanjian kredit serta prosedur eksekusi hak atas tanah yang dibebani lebih dari satu hak tanggungan pada BNI. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini ialah yuridis normatif dengan menggunakan jenis data primer dan sekunder, alat pengumpul data berupa studi literatur didukung wawancara, dan metode analisis kualitatif, tipologi yang bersifat deskriptif yang menghasilkan penelitian deskriptif analitis.
Dalam tesis ini diperoleh kesimpulan bahwa klausul cross default dan cross collateral belum menjadi klausul yang distandarisasi dalam perjanjian kredit BNI, namun pada praktik, klausul cross default selalu dicantumkan guna menjamin kepentingan bank, sedangkan klausul cross collateral hanya dicantumkan bilamana agunan menjadi agunan bersama. Dalam hal debitur wanprestasi, maka prosedur eksekusi hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang menjadi agunan bersama diawali terlebih dahulu dengan pemberitahuan kepada kreditur lain, dan pelunasan utang dari penjualan agunan dilakukan secara berurut sesuai peringkat hak tanggungan.

Provision of credit which involves more than two debtors and / or two creditors is very common nowadays, as a result, there are more than two legal relationship between creditor and debtor. To guarantee the repayment of debtors debt, land rights is commonly used as a collateral for several credit agreements. In such conditions, Bank or Notary includes cross default and cross collateral clauses to protect the banks interest, with cross default clause, in the event of default of credit agreement, other credit agreement related to it will be also in default condition. Meanwhile, cross collateral clause is intended that collateral binds several credit agreements.
The problems in this thesis is about the application of cross default and cross collateral clause in credit agreement and the procedure of land rights execution which binds with several credit agreements in BNI. The method that has been used in this thesis is juridical normative.
As a conclusion of thesis, the cross default and cross collateral clauses have not become standardized in BNI credit agreements, but in practice, the cross default clause is always included to guarantee banks interest, in contrast to the cross collateral clause which is only included when collateral objects become collective collateral. In the case of defaults, the procedure for executing the mortgage of land rights that become collective collateral begins with notification to other creditors, and the repayment of debt from the sale of collateral is carried out in sequence according to the rating of the mortgage rights.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54993
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Mindo Theresia
"Bank memiliki banyak fungsi, salah satu fungsinya adalah sebagai penyalur dana dari pihak yang berkelebihan dana kepada pihak yang membutuhkan dana, yaitu dengan cara pemberian kredit. Dimana calon debitur harus memenuhi beberapa persyaratan yang memberikan keyakinan kepada bank atas kemampuan pembayaran kredit oleh debitur. Salah satu tuntutan dalam lapangan hukum perbankan, khususnya dalam pemberian fasilitas kredit adalah perlindungan bank bilamana terjadi wanprestasi. Oleh karena itu, hukum harus mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap variasi pemberian agunan fasilitas kredit. Ingkar janji merupakan hal yang tidak dikehendaki oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian kredit bank. Oleh karenanya dalam suatu perjanjian kredit bank dirumuskan klausula-klausula untuk membatasi ingkar janji.
Dalam perjanjian kredit bank klausula-klausula dimaksud cenderung melindungi terhadap nasabah kreditur. Hal ini dapat dipahami, karena dalam perjanjian kredit bank pihak kreditur atau bank memiliki kepentingan untuk melindungi pemberian kreditnya dari risiko nasabah debitur yang nakal. Salah satu dari variasi perlindungan hukum tersebut adalah adanya klausula janji ingkar silang (cross default) yang menyilangkan adanya wanprestasi pada salah satu atau lebih perjanjian. Pada penelitian ini dibahas bahwa klausula cross default lahir sebagai wujud Pasal 1338 KUHPerdata dan berperan penting dalam mempercepat penyelesaian hutang bilamana terjadi kondisi kredit bermasalah.

Bank has various functions, one of its functions is distributing fund from people who has excess of fund to people who in needs of fund by granting credit. The prospective debtor should fulfill some requirements to convince the bank of the ability of the prospective debtor. Specifically in credit granting, one of the banking law demand is the bank protection in the event of default. Therefore the law should be able to give the appropriate protection in the credit agreement. However event of default is the unwanted conditions by the parties who are bounds in the credit agreement.
Therefore in the bank credit agreement in intends to protect creditor. This can be understand because in credit agreement bank, a creditor or bank has an interest to protect the provision of credits from risk customers debtors who mischievous. One of the variation for protecting the law is the cross default, Cross default is a provision in a bond indenture or loan agreement that puts a borrower in default if the borrower defaults on another obligation. This study discuss that the cross default as the improvement of 1338 Civil Code and having significant effects to loan settlement in accelerating loan payment when the defaults happened.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46815
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Kuntoro
"Upaya hukum penyelesaisan kredit perbankan bermasalah berupa eksekusi barang jaminan berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 224 HIR/256 Rbg, Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 dan perikatan lainnya yang dibuat antara bank dengan pemilik barang jaminan atau penanggung hutang, dalam praktik belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan karena adanya kendala dan faktor-faktor penghambat, baik yang datang dari unsur manusia yang terlibat maupun unsur ketidakpastian dari ketentuan hukum yang mengaturnya.
Penggunaan lembaga penyanderaan (gijzeling) yang diatur dalam Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 HIR dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Rbg diharapkan dapat menjadi salah satu sarana dalam upaya penyelesaian kredit perbankan bermasalah, tetapi ternyata berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2/1964 tanggal 22-01-1964 dan Nomor 4 tahun 1975 tanggal 1-12-1975 ketentuan-ketentuan tersebut telah dinyatakan dihapus dan tidak diberlakukan lagi dengan alasan bertentangan dengan perikemanusiaan. Ditinjau dari asas Lax Superior derogat legi inferiors, Surat Edaran Mahkamah Agung yang berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tidak termasuk salah satu jenis peraturan perundang-undangan, Surat Edaran tersebut tidak dapat menghapus ataupun tidak memberlakukan ketentuan HIR dan Rbg yang merupakan peraturan yang sederajat Algement Maatregel van Bestuur dan ordonansi yang menurut tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini setingkat dengan undang-undang.
Dari segi kriteria orang yang disandera, mengacu pada bunyi Pasal 209 ayat (1) HIR dan Pasal 242 ayat (1) Rbg, penyanderaan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila karena yang dikenakan adalah orang miskin yang tidak ada atau tidak cukup barang untuk memenuhi keputusan pengadilan, tetapi dari segi kemanfaatannya bagi masyarakat substansi lembaga penyanderaan dikaitkan dengan Sila Kedua Pancasila "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang menjamin adanya Justitie Protectiva dan Justitia Vindicativa penyanderaan terhadap debitor yang tidak beritikad baik tidak bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. Diberlakukannya kembali ketentuan hukum mengenai penyanderaan akan membantu penyelesaian kredit perbankan bermasalah karena akan berfungsi selaku sarana social control sekaligus social engineering terhadap perilaku debitor dan kreditor.
Agar lembaga penyanderaan dapat menjadi sarana yang efektif dalam upaya penyelesaian kredit perbankan bermasalah, perlu diadakan reformasi ketentuan yang mengatur terutama mengenai objek yang dapat dikenakan."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Yohana Lintang Mayasari
"Klausul cross collateral dan cross default adalah klausul yang lazim digunakan dalam dunia perbankan apabila terdapat satu atau dua debitor yang memiliki beberapa fasilitas kredit pada suatu kreditor, atau mempunyai beberapa kreditor yang memberikan fasilitas kredit kepada debitor. Sebagai notaris hendaknya mengetahui bagaimana penerapan pembuatan akta perjanjian kredit cross collateral dan cross default dan bagaimanakah tanggung jawab notaris terhadap pembuatan akta klausul cross collateral dan cross default. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder, alat pengumpulan data berupa studi dokumen, metode analisis data adalah kualitatif, bentuk laporan penelitian deskriptif eksplanatoris.
Notaris dalam penerapan perjanjian cross collateral dan cross default dapat membuat 3 tiga akta yaitu akta perjanjian kredit, akta penjaminan, akta cross collateral dan cross default, tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta perjanjian kredit klausula cross collateral dan cross default didasarkan pada pasal 15 2 huruf e dan pasal 16 1 huruf a UUJN yaitu memberikan penyuluhan hukum terkait klausula-klausula didalam perjanjian dan membuat akta dengan bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum sehingga meminimalisir gugatan di kemudian hari. Bagi notaris diharapkan dapat menjalankan profesinya sesuai dengan UUJN dan Kode Etik, bagi kreditur untuk selalu melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam perbankan, bagi debitur untuk terlebihdahulu memahami isi perjanjian didalam akta setelah itu menandatanganinya.

Cross collateral and cross default clauses are commonly used clauses in the banking world where there are one or two debtors with multiple credit facilities to a creditor, or have multiple creditors who provide credit facilities to debtors. The notary should know how the implementation in making cross collateral and cross default clause deed credit agreements and how is the responsibility of the notary in making of cross collateral and cross default clause deed credit agreements. The research method used is normative juridical, the type of data collected is secondary data, data collection tool in the form of document study, data analysis method is qualitative, explanatory descriptive research report form.
Notary in the application of cross collateral and cross default agreement can make 3 three that is deeds of credit agreements, deed of guarantee, cross collateral and cross default deeds. notary responsibility in making credit agreement agreement of cross collateral and cross default clause based on article 15 2 letter e and article 16 1 letter a constitution of notary is to provide legal counseling related clauses in the agreement and make the deed carefully so as to minimize the lawsuit in the future. The notary is expected to carry out his profession in accordance with constitution of notary and Code of Conduct, for creditors to always implement the prudential principles in banking, for the debtor to first understand the contents of the agreement in the deed before sign it.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49504
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Mulyadi
"Prinsip cross collateral merupakan suatu keadaan di mana debitur mengikatkan jaminan yang sama dalam dua fasilitas kredit atau lebih. Penerapan prinsip ini memberikan kemudahan bagi debitur yang memiliki nilai jaminan yang cukup untuk mendapatkan dua atau lebih fasilitas kredit dari kreditur. Untuk dapat melaksanakan prinsip ini dalam hal eksekusi jaminan terhadap debitur yang wanprestasi maka diperlukan prinsip cross default yaitu suatu kondisi dimana debitur terhadap fasilitas-fasilitas tersebut berjanji untuk saling mengikat dalam keadaan lalai. Debitur dikategorikan default pada kondisi ini hanya dengan syarat bahwa salah satu fasilitas kredit tersebut telah berada dalam keadaan default.
Permasalahan yang akan dibahas yaitu : penerapan cross collateral dan cross default dalam perjanjian line facility pembiayaan musyarakah pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk dan efektifitas cross collateral dan cross default sebagai upaya mencegah perjanjian line facility pembiayaan musyarakah bermasalah pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara serta data diolah secara kualitatif. Prinsip cross collateral dan cross default ini tidak hanya diterapkan pada perbankan konvensional namun juga pada perbankan syariah, salah satunya yaitu pada Bank Muamalat Indonesia. Pada Bank Muamalat Indonesia penerapan cross collateral dan cross default sering digunakan pada pembiayaan muyarakah yang bersifat line facility dengan tujuan modal kerja dengan debitur one obligor.

The principle of cross collateral is a state in which the debtor binds the same security into two or more credit facilities. The application of this principle renders ease for debtors who have enough collateral value to obtain two or more credit facilities from creditors. In order to implement this principle in the case of the execution of collateral against a debtor in default, the implementation will require the cross default principle which is a condition where the debtor toward these facilities agrees to bind to each other in a state of neglect. A debtor is categorized as in default under this condition only on the condition that one of the credit facilities has been in a state of default.
The issues that are to be discussed are : the application of cross collateral and cross default in a musharaka financing line facility agreement with PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk and the effectiveness of cross collateral and cross default as an effort to prevent problems found in a musharaka financing line facility agreement at PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
The research method used in this paper is the normative juridicial method. The data collection techniques used are literature study and interviews, and also the data obtained is qualitively processed. The principles of cross collateral and cross default are not only applicable to conventional banking, but also in Islamic banking, one of which is the banking practice of Bank Muamalat Indonesia. The application of cross collateral and cross default at Bank Muamalat Indonesia is often used in its musharaka financing line facilities with the objective of working capital facility with a one obligor debtor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45599
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Montana
"Kondisi gagal bayar debitur dapat menyebabkan diajukannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) baik oleh pihak kreditur maupun oleh debitur secara sendiri. PKPU bertujuan memberikan kepastian hukum kepada kreditur mengenai pembayaran utang debitur yang dapat diakhiri dengan perdamaian atau kepailitan. Penelitian ini membahas mengenai prinsip perikatan dan penjaminan secara cross collateral, implementasi penerapan Undang-undang terhadap penggabungan dua perkara PKPU yang bersinggungan, serta akibat hukum terhadap perkara PKPU yang bersinggungan jika salah satu perkaranya pailit. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan studi kasus berupa putusan Duniatex Group dan Sumitro, serta Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Kesamaan subyek hukum ini juga kemudian membuat pemeriksaan perkara dilakukan secara join session. Meskipun hal ini tidak umum dilakukan, namun masih sesuai dengan koridor asas peradilan Indonesia yaitu penyelesaian perkara dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Pemeriksaan perkara secara join session terhadap perkara yang bersinggungan ini memberikan hasil isi putusan perkara yang memiliki kesamaan satu sama lain. Dalam kasus ini kedua permohonan PKPU diakhiri dengan perdamaian. Tetapi jika salah satu perkara dinyatakan pailit maka secara otomatis keseluruhan aset perorangan akan menjadi Boedel Pailit.

Debtor's default condition can lead to submission of Suspension of Debt Payment Obligations (PKPU) either by the creditor or the debtor. PKPU aims to provide legal certainty regarding debtor debt payments. PKPU can be terminated by reconciliation or bankruptcy. This study discusses the principles of cross-collateral guarantees, the implementation of Indonesian Regulation on merging two linked PKPU cases, and the legal consequences of linked PKPU cases if one of the cases is bankrupt. This research was carried out in a normative juridical manner with case studies of Duniatex Group and Sumitro’s verdict, as well as the Indonesian Regulation. The similarity of legal subjects also made the court examination carried out in a join session. Although not commonly done, it is still in accordance with the corridors of the principles of the Indonesian judiciary, quick, simple, and low cost. This kind of court examination resulting in similarities in decisions between two cases. In this case, the two PKPU submissions ended with reconciliation. However, if one of the cases is declared bankrupt, all individual assets from the personal guarantor will automatically become Boedel Pailit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Kurnia Saputra
"Tesis ini membahas penyelesaian kredit macet oleh Bank dengan melakukan pengambilalihan agunan debitur (AYDA). Pada praktiknya penyelesaian kredit macet melalui mekanisme pengambilalihan agunan debitur (AYDA) tidaklah mudah dan ditemui beberapa masalah dan hambatan. Oleh karena penelitian ini bermaksud menganalisis pelaksanaan pengambilalihan agunan debitur (AYDA) pada praktik yang ada di lapangan khususnya dalam hal ini pada PT Bank X sebagai alternatif penyelesaian kredit macet dan mengidentifikasi apa saja hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan AYDA pada PT Bank X serta upaya yang perlu dilakukan Bank untuk mengatasi hambatan tersebut. Penulisan tesis ini menggunakan metodologi penelitian yuridis normatif yaitu mengkaji Peraturan Perundang-undangan, teori hukum dan yurisprudensi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Data penelitian yang dipergunakan meliputi data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara serta data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Tipologi penelitian ini adalah deskriptif analitis dan metode analisis data dengan yuridis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa penyelesaian kredit macet pada PT Bank X melalui mekanisme AYDA dilakukan berdasarkan rekomendasi Komite Remedial dan pengambilalihan diserahkan kepada Divisi Penyelesaian Kredit (DPYK) baik melalui jual beli secara langsung, pelelangan ataupun pemberian surat kuasa oleh pemilik agunan. Setelah pengambilalihan agunan, Bank juga wajib melakukan pengelolaan, perawatan dan monitoring secara berkala terhadap penyelesaian AYDA yang dimiliki. Hambatan dalam pelaksanaan AYDA pada PT Bank X dapat timbul baik dari aspek internal seperti biaya AYDA yang cukup besar dan pengendalian internal yang lemah dalam pelaksanaan AYDA, serta aspek eksternal seperti hambatan dari pihak ketiga/pemilik agunan dan hambatan yang berasal dari Negara (Pemerintah).

This thesis discusses the settlement of bad debts by the Bank by acquisition of the debtor collateral (Foreclosed Collateral). In practice, the settlement of bad debts through the mechanism of debtor collateral acquisition is not easy and encountered several problems and obstacles. Therefore this study intends to analyze the implementation of the debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral) on practices, especially in this case at PT Bank X as an alternative bad debts settlement and explain what obstacles are encountered in implementing Foreclosed Collateral at PT Bank X as well as necessary efforts conducted by the Bank to overcome these obstacles. This thesis uses a normative juridical research methodology, including studying legislation rules, legal theory and jurisprudence that are relevant to the problem under study. The research data used includes primary data which is data obtained directly from the field through interviews and secondary data obtained through the study of literature. The typology of this research is analytical descriptive and the data analysis method used is qualitative juridical. The results showed that the settlement of bad debts at PT Bank X through the Foreclosed Collateral mechanism was carried out based on the Remedial Committee recommendations and the collateral acquisition was carried out by the Credit Settlement Division (DPYK) either through direct buying and selling, auctions or the issuance of a power of attorney. After the Bank has taken over the debtor`s collateral (Foreclosed Collateral), Bank is required to manage, maintain and monitor periodically the Foreclosed Collateral settlement. Obstacles in the implementation of debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral) in PT Bank X can arise either from internal aspects such as big cost and weak internal controls in the implementation of debtor collateral acquisition (Foreclosed Collateral), as well as external aspects such as obstacles from third parties/owners of collateral and obstacles originating from the State (Government). "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>