Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180919 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M.T. Siera Santi
"Penggunaan surat kabar, radio dan televisi untuk menyeinformasi pembangunan telah sering dilakukan. Pemerintah Indonesia nampaknya mulai melirik untuk menggunakan film yang diputar di bioskop guna menyebarluaskan pesan— dikatakan oleh Menteri barkan Kini, pesan pembangunan, seperti yang Penerangan Harmoko pada HUT ke-35 Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) di Palembang. Himbauan Menpen ini nantinya menggerakkan sejumlah pengusaha untuk bekerjasama membuat Yayasan Bangun Citra Nusantara (BCN) yang memproduksi film pembangunan tersebut. Pada tanggal 11 Maret 1991, film yang diberi judul Gelora Pembangunan Indonesia (GPI) dan nantinya sejalan dengan waktu berubah judul menjadi Nuansa Pembangunan Indonesia diputar di dalam Kelompok Bioskop 21. Film 5 menit ini memaparkan keberhasilan telah dicapai dalam pembangunan Indonesia. Pendapat pro kontra terhadap film ini pun bermunculan, ada yang menyatakan GPI / NPI adalah sebuah propaganda. Sementara itu, studi tentang propaganda memperlihatkan bahwa pesan satu sisi hanya berjalan baik pada orang terten— terhadap pesan ' (NPI), mulai sepanj ang dan hal-hal yang dan antara lain tu, yaitu mereka yang sejak semula setuju tersebut dan mereka yang berpendidikan rendah. Kelompok Bioskop 21 sendiri nampaknya ingin menjaring masyarakat dengan status sosial tertentu yang mampu untuk membeli tiket pertunjukan seharga Rp 4.000,- sampai Rp 7.000,-. Karenanya, peneliti tertarik untuk mengetahui tanggapan penonton bioskop Kelompok 21 atas pemutaran film GPI / NPI tersebut. Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif dengan didukung data kualitatif dari responden dan orang-orang kompeten di bidang perfilman. Data dikumpulkan melalui survei di lapangan dan diperoleh melalui teknik wawancara berstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penonton Kelompok Bioskop 21 tidak berminat terhadap film GPI / NPI. Hal ini disebabkan karena mutu film kurang bagus. Responden juga kurang tertarik dengan film GPI / NPI karena tema-tema yang diangkat tidak lagi menyajikan kebaruan. Temuan menarik lain dari penelitian ini bahwasannya responden tidak menyukai isi pesan GPI / NPI yang pemerintah dan hanya menunjukkan sisi positif pembangunan semata. Sehingga responden berpendapat film GPI / NPI adalah sebuah propaganda pemerintah. cenderung menampilkan proyek Walau demikian, responden menyatakan bahwa kebutuhan akan film semacam ini tetap ada, dimana unsur informasi adalah hal yang paling diutamakan. Karenanya bila film dengan misi khusus semacam GPI / NPI ini tetap ingin dibuat hendaknya dari segi teknis harus dilakukan pembenahan. Apapun bentuknya, film f^arus dibuat dengan pendekatan seni yang tentunya mengandung keindahan. Selain itu, tema-tema yang diangkat hendaknya sederhana namun berkaitan erat dengan kebutuhan khalayak. Tak kalah pentingnya adalah tentang isi pesan, hendaknya tak hanya memaparkan satu sisi pesan sehingga kesan propaganda pun dapat dihindari."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
S4009
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penulisan kripsi ini bertujuan untuk memaparkan secara garis besar perkembangan film dokumenter Prancis sejak awal munculnya hingga dasawarsa 1990-an.
Sebagai praktik yang berdiri sendiri dalam dunia sinema, film dokumenter mempunyai nilai-nilai dan konvensi0konvensinya sendiri yang berbeda dengan film fiksi. Konvensi yang dimaksud meliputi antara lain teknik dan metode pembuatan. Meskupin jarang mencapai popularitas tinggi dalam masyarakat, film dokumenter mempunyai peran penting sebagai media untuk berefleksi dan berekspresi. Film dokumenter dapat mengangkat suatu topik atau isu dengan cara yang tidak kalah menariknya dari film fiksi. Bahkan, pengaruhnya kadang-kadang leboh besar daripada film fiksi.
Dalam perjalanannya, perkembangan film dokumenter Prancis selalu tidak pernah lepas dari dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Hal itu ditandai oleh munculnya berbagai inovasi teknologi, pemikiran konseptual tentang metode pembuatan, dan vasriasi tema yang semakin meluas dari hari ke hari."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S14432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Susilo
"Analisis SituasiFilm dapat dinikmati dari berbagai kalangan dengan latar belakang usia maupun status. Keberadaan film begitu magis karena kekuatannya yang mampu menggambarkan realitas masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Effendi, film diartikan sebagai hasil budaya dan alat ekspresi kesenian. Sebagian dari mereka yang membuat film masih berpatron pada produk budaya dan industri, yang artinya selain film dibuat sebagai medium penyalur gagasan, tujuan utama film dibuat adalah sebagai sarana hiburan bagi penontonnya yang juga mempertimbangkan sisi ekonomi komersil . Dari segi media ekspresi, sineas menarik diri dari kebutuhan penonton akan hiburan. Mereka membuat film dengan dasar panggilan jiwa yang melihat realitas kehidupan masyarakat yang dinamis dan terlepas dari faktor komersil industri. Dari sini kita bisa melihat dualisme ideologi para pembuat film tentang tujuan mereka, yaitu film sebagai produk hiburan yang komersil, serta film sebagai medium ekspresi realitas. Jika selama ini film hiburan yang komersil merajahi layar bioskop, maka pertanyaannya adalah kemana film yang lebih mengangkat ekspresi realitas alternatif dipertontonkan ?Pernyataan KebutuhanMeski sudah sepuluh tahun berdiri dan kini dikelola secara lebih professional, masih banyak perbaikan yang harus dilakukan oleh Kineforum demi mencapai tujuan luhurnya. Salah satu yang menjadi pekerjaan banyak pihak adalah kesadaran masyarakat akan keberadaan ruang ini. Dalam pengelolannya, Kineforum mendapat bantuan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang artinya masyarakat juga turut andil dalam membuat Kineforum bisa hidup. Namun kenyataannya, Kineforum masih dianggap menjadi tempat berkumpulnya mereka yang memang sudah paham tentang film sehingga terkesan sangat eksklusif. Maka dari itu film pendek ini secara tidak langsung menyoroti tentang bagaimana Kineforum ini dibentuk, lalu juga melihat apa yang sedang dihadapi sekarang dan tantangan yang akan datang. Sehingga diharapkan khalayak sasaran utamanya disini adalah masyarakat Jakarta dari kalangan anak muda, dapat memiliki rasa memiliki terhadap Kineforum dan turut serta untuk mengembangkannya.Maksud dan TujuanTujuan utama dalam pembuatan karya ini adalah ingin memberikan pengenalan tentang Ruang Putar Alternatif, sehingga penonton memiliki pilihan/referensi untuk budaya menonton yang tidak hanya di bioskop. Selain itu, berdasarkan riset awal yang sudah dilakukan, masih belum ada arsip digital seperti film yang mengangkat seputar Ruang Putar Alternatif, meskipun sudah cukup banyak tulisan yang mengangkat seputar Ruang Putar Alternatif. Itulah mengapa meskipun manfaat yang didapat cukup beragam, akan tetapi masih sedikit minat penonton.Sasaran KhalayakSasaran khalayak primer dari film ini adalah laki-laki dan perempuan berusia 16-24 tahun yang masih memiliki status sebagai pelajar, mahasiswa, atau karyawan pekerja. Aspek geografisnya tinggal di wilayah Jabodetabek dengan akses ke bioskop baik komersil ataupun Kineforum lebih dekat. Aspek psikografisnya memiliki ketertarikan tinggi terhadap film dan suka menonton. Secara status sosial ekonomi, terbuka untuk semua kalangan yang memiliki daya beli terhadap tiket bioskop.Ide DasarMembuat film dokumenter yang tujuannya untuk mengenalkan ruang putar alternatif utamanya Kineforum kepada khalayak sasaran, sehingga memiliki referensi dalam budaya menonton yang tak hanya di bioskop.Pendekatan Struktur dan Gaya PenulisanStruktur yang digunakan dalam film ini adalah kronologis dengan pendekatan gaya penuturan sejarah profil. Menampilkan ulasan tentang perjalanan berdirinya Kineforum dan juga bagaimana perkembangannya, lalu dilanjutkan ke bagian pengelolaannya sekarang serta sistem programasi yang digunakan.SinopsisRuang putar film di Indonesia didominasi oleh bioskop komersil yang notabene hanya memutarkan film-film tertentu. Film alternatif, film indie, maupun film pendek jarang mendapat tempat di layar lebar. Oleh karena itu, Kineforum lahir sebagai sebuah ruang putar alternatif yang menjadi wadah bagi film-film yang tidak terjamah bioskop arus utama.Anggaran DanaPra Produksi : Rp. 675.000Produksi : Rp. 675.000Pasca Produksi : Rp. 460.000 Total Biaya Produksi : Rp. 1.810.000

Situation Anasysis Film can be consumed by audiences in various ages and status backgrounds. Its existence is magical because of its power to depict the society. According to Effendi, film can be defined as a culture produt and a device to express art. For some filmmakers, film is patronized by culture product and industry, which means film is not just be made as a medium of idea, but it also has a main goal to become a medium of entertainment for the audience that considers commercial aspect. As a medium of expression, filmmakers pull theirselves out from the audience rsquo s need of entertainment. They create film based on the calls from their hearts who see the dinamical social reality despite the commercial industry factor. From here, we can see the filmmakers rsquo ideology dualism according to their goals, which are film as commercial entertainment products, and film as media to express the reality. If nowadays commercial entertainment films dominate theaters, where films which express the reality go Question of Need Even though Kineforum has been established for ten years and has professionally been managed, Kineforum needs to do a lot of fixations to achieve its noble goals. One of the jobs is to encourage the people rsquo s awareness of Kineforum rsquo s existence. In its management, Kineforum is supported by the Governor of DKI Jakarta, which means the society can also help Kineforum to survive. However, in reality Kineforum is viewed just to be a place for people who has deep knowledge about film, so it is considered as exclusive. In response to that, this film indirectly highlights to how Kineforum was established, what is the problems it has to face, and its challenges for the future. The main aim for this film is Jakarta rsquo s young audiences, so they can have affections toward Kineforum and take parts to improve itAim and Purpose The main purpose of this project is to give an introduction to alternative theater, so the audience can have the choices or references to watching culture outside the mainstream theater. Besides, according to the early research, there is no digital archive such as film which pick up the issue related to alternative theater. That is why the benefit gained from the film is abundant, but the audience rsquo s interest is small.Audience Target The primary audience target in this film are men and women age 16 24 years old who are still having status as students, college students, or workers. The geographic aspect of the target is that the audiences live in Jabodetabek with near access to commercial theaters and Kineforum.The psychographic aspect is that the audiences have high interest in film and love to watch movies. In economic status, it is open for all people who can afford buying box office ticket.Basic idea Produce a documentary film which aim is to introduce alternative theater especially Kineforum to the audiences, so they have more references in watching culture outside the commercial theater.Structure Approach and Writing Style Structure used in this film is a set of chronology with historical profile description approach. It shows review of Kineforum rsquo s establishment and how it improves, then it continues to its managerial nowadays along with its programation system.Synopsis Theaters in Indonesia are dominated by commercial theaters which just play particular kinds of film. Alternative movies, Indie movies, or short movies are scarcely have place in the big screen. In response to that, Kineforum was born as an alternative theater which can be a place for films that do not have a place in mainstream theather.BudgetingPre Production Rp. 675.000Production Rp. 675.000Post Production Rp. 460.000 Total Budget Rp. 1.810.000 "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arriani Harsono
"Tahun 1995 merupakan booming film Cina di televisi dan hal ini, menunjukkan betapa masyarakat gemar akan film tersebut. Pada sisi lain, meskipun beberapa elemen budaya Cina telah diterima, namun pada kasus-kasus tertentu, sikap masyarakat terhadap etnis Cina cenderung negarif. Berdasarkan fakta di atas, penults tertarik untuk melihat hubungan kedua sikap tersebut, yaitu sikap terhadap film Cina dan sikap terhadap etnis Cina, Guna memperjelas hubungan kedua sikap tersebut, juga akan diamati pendapat penonton manakala film Cina mencerminkan kehidupan etnis Cina. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dalam konteks komunikasi, maka digunakan Teori-teori Konsistensi Kognitif. Teori ini banyak diaplikasikan untuk melihat hubungan antara sikap individu terhadap dua obyek di mana obyek bisa berupa manusia, benda, atau peristiwa. Menurut teori ini, sikap individu terhadap kedua obyek yang relevan cenderung sesuai, sehingga tercapai keseimbangan kognitif. Prinsip keseimbangan ini akan terpenuhi bila ketiga hubungan antara individu dan dua obyek semuanya positif atau dua di antaranya negatif. Jika tidak demikian, timbul ketidaknyamanan psikologis yang menimbulkan disonansi. Individu firLAk menyukai keadaan disonan ini, sehingga termotivasi untuk mengurangi, bahkan melenyapkan sama sekali disonansi tersebut. Berdasarkan teori, hipotesa yang terbentuk adalah sebagai berikut: pada seat penonton berpendapat film Cina mencerminkan kehidupan etnis Tina, sikap penonton terhadap film positif cenderung menyebabkan sikap terhadap etnis positif dan demikian sebaliknya: sikap terhadap etnis positif, maka sikap terhadap film juga positif. Guna membuktikan kebenaran hipotesa yang di atas, dilakukan penelitian survei terhadap 100 responden yang dipilih secara purposif. Setelah data terkumpul dan dianalisis, maka didapat hasil bahwa sikap terhadap film berhubungan dengan sikap terhadap etnis dan hal ini tampak kitat pada kondisi penonton berpendapat bahwa film mencerminkan kehidupan etnis. Dengan demikian, dan has penelitian ini, diperoleh sumbang pikiran kepada disiplin ilmu komunikasi bahwa teori keseimbangan mampu menjawab permasalahan penelitian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S4186
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Naomi Hadiah Berliana
"Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai kondisi film dokumenter di Indonesia sebagai sebuah media alternatif, sebagai akibat dari keterbatasan dalam ruang eksebisinya. Keterbatasan ruang eksebisi tidak hanya secara fisik namun juga secara ide atau kebebasan ekspresi. Eksebisi merupakan muara dari dua tahapan sebelumnya yakni tahapan produksi dan distribusi. Masingmasing tahapan memiliki peran penting sebelum pada akhirnya dapat menikmati film dokumenter di ruang yang mudah diakses dan sejajar dengan media arus utama. Menggunakan metode kualitatif, film dokumenter dilihat sebagai media alternatif (Bailey, dkk, 2007), dengan ciri-ciri yang melekat, dan kemungkinannya menjadi sebuah produk industri budaya dalam kerangka kajian ekonomi politik berdasarkan struktur pasar melalui indikator-indikator dalam kebijakan perdagangan dan kebudayaan menurut Andrew Flibbert (2007). Dengan pendekatan kritis, film dokumenter dapat diagendakan untuk menyuarakan sebuah penolakan atas sebuah wacana dominasi dari pemilik kepentingan tertentu yang merugikan masyarakat. Dengan segala keterbatasan dukungan dari pemerintah dan pemilik media massa arus utama, film dokumenter digunakan komunitas dan kelompok masyakarat dalam menyampaikan sesuatu. Penelitian ini menemukan bahwa film dokumenter masih terhambat dalam setiap tahapannya, pendanaan pada produksi, jalur distribusi, dan ruang eksebisi, yang semuanya berujung pada kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya diterapkan.

This research is expected to provide an understanding of documentaries film in Indonesia as an alternative media as the result of the limitation of its exibition space. It is not only phisically limitation but also in the term of idea and expression freedom. The exibition is the end stage after film production and distribution. Every phase had important role before the film could be watched in the accesible space and be equal with the mainstream media. By qualitative method, documentary film is seen as an alternative media. (Bailey, et al., 2007), within the inherent characteristics as analysis tools and its possibility to be cultural industry production within the framework of the politic economy of media based on market structure through the trading and culture policy indicators applied, according to Andrew Flibbert (2007). By critical approach, documentary film could be used to express the rejection against a dominant discourse of certain party that takes advantage from society. Within all limited supporting from the government and mainstream media owners, the documentaries are used by community and society groups to express their opinion. This research uncovers that documentary film is limited in every phases, such as funding on production, distribution channels, and exibition space, and all of it due to government policies that do not fully implemented well."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T46673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Jufry
"ABSTRAK
Dalam kurun lima tahun terakhir ini Indonesia tengah dilanda gejolak sosial budaya sebagai akibat berbagai inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi. Berbagai kemajuan, khususnya di bidang teknologi komunikasi telah menimbulkan suatu revolusi dalam proses penyebaran informasi melalui media massa terhadap aspek kehidupan, khususnya melalui media massa audio visual. Sebagai dampak dari kemajuan tersebut suatu kenyataan baru harus dihadapi media audio visual Indonesia bahwa dalam era global mendatang mau tidak mau harus bersaing dengan media audio visual impor dengan tanpa proteksi dan dukungan Pemerintah kecuali pasar yang menentukan. Menghadapi kenyataan ini, dunia perfilman Indonesia dihadapi pada posisi sulit sekaligus dilematis. Berbagai infra struktur dan dukungan teknologi, manajemen, sumber daya dan perlindungan Pemerintah belum membentuk suatu keatuan yang siap bersaing di pasar babas. Kondisi di atas lebih diperburuk lagi dengan belum terciptanya "kesetiaan dan kecintaan" masyarakat penonton dalam negeri terhadap film-film nasional.
Masalah yang dihadapi oleh film Indonesia bukan hanya datang dari masalah internal ketidak siapan insan film Indonesia mengemas produksi film dengan kualitas yang diharapkan oleh masyarakat penonton, tetapi masalah juga datang dari faktor eksternal, yakni semakin maraknya program-program siaran televisi lima tahun dan dilema bersaing dengan film impor khususnya film-film produksi Hollywood, Amerika, yang menguasai 90 % bioskop-bioskop di Indonesia.
Memang harus diakui, dominasi film-film Amerika hampir merasuk keseluruh negara dibelahan bumi ini. Akan tetapi situasi ini harus terus diupayakan melainkan media menentukan agenda khalayak tidak digunakan dan dijadikan pegangan dan dapat segera ditanggulangi, setidak-tidaknya tetap mengupayakan menempatkan film dalam negeri sebagai bagian utama pertunjukkan film di gedung bioskop di Indonesia dan keberadaan film Amerika itu sendiri harus dikondisikan seperti rencana semula yakni sebagai suplisi atau pelengkap pertunjukkan film di bioskop. Akan tetapi fakta lapangan mengisyaratkan cengkeraman film-film produksi Hollywood amat dirasakan, bahkan mampu menekan jumlah produksi dan menggeser minat masyarakat untuk menyaksikan pertunjukkan film-film yang dihasilkan Indonesia. Padahal sebagai negara besar yang memiliki jumlah penduduk terbesar ketiga di dunia tentu mempunyai pangsa pasar cukup potensial untuk memasarkan film Indonesia. Hanya saja sejauhmana insan film Indonesia memaksimalkan pemanfaatan potensi yang ada, inilah yang menjadi pemikiran awal melakukan penelitian ini. Atas dasar pertimbangan di atas, penelitian ini mengacu pada "teori uses and gratifications" dan beberapa teori-teori lain yang menempatkan harapan, keinginan, kebutuhan dan selektifitas khalayak atas pesan yang disampaikan oleh media ditentukan oleh khalayak sendiri. Secara khusus penelitian dengan mengacu "teori uses and gratifications" ini berangkat dari pemikiran apa yang diinginkan khalayak terhadap media, bagaimana selektifitas khalayak dalam memilih berbagai media pertunjukkan film, sejauhmana penggunaan media film oleh khalayak dan bagaimana manfaat atau kegunaan pesan yang disampaikan oleh media pada diri khalayak, Penelitian ini menghimpun penilaian dan pendapat khalayak terhadap film Indonesia dan film Amerika yang pernah mereka saksikan selama tahun 1995 - 1996. Semua penilaian dan pendapat tersebut dihimpun dalam suatu daftar pertanyaan yang telah disiapkan.
Selanjutnya dari seluruh pertanyaan yang ada dipilih dan digunakan sebagian saja, khususnya yang menyangkut inti terpenting dari penelitian. Sedangkan subyek penelitian adalah mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, terdiri dari Fakultas Ilmu Sosial Politik, Fakultas llmu Administrasi, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik dan Fakultas Farmasi, Penetapan responden dilakukan secara kuota yang ditetapkan 100 responden. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara kepada pihak lain yang terkait dalam proses produksi film sebagai upaya cross check atas hasil-hasil yang diperoleh. Untuk melengkapi argumentasi dikombinasikan pula dengan menghimpun data dan kepustakaan yang terkait dengan masalah penelitian, Berdasarkan teori di atas maka penelitian ini akan menghimpun penilaian dan pendapat khalayak terhadap film Indonesia dan Amerika tahun 1995-1996. Semua penilaian dan pendapat tersebut dihimpun dalam suatu daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebanyak 60 item pertanyaan. Sebagai subyek penelitian adalah publik mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta dengan responden dilakukan secara kuota (100 responden) mengingat luasnya subyek yang menjadi sasaran penelitian ini.
Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner dan wawancara kepada pihak lain yang terkait dalam proses produksi film sebagai penilaian ulang (cross check) atas hasil-hasil yang diperoleh. Untuk melengkapi argumentasi dikombinasikan pula dengan menghimpun data dan perpustakaan yang terkait dengan masalah penelitian.
"
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Saputra
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S5375
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S4793
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudia Natasia Stephanie
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nurinda Kamaruddin
"ABSTRAK
Sejauh ini, perfilman Indonesia masih mempunyai masalah yang belum terpecahkan. aku cinta buatan Indonesia Ungkapan-ungkapan atau menjadi tuan rumah di negeri sendiri bagi film-film Indonesia tampaknya seperti belum Telah banyak dilakukan usaha-usaha untuk mengatasi hal ini, antara lain dengan penulisan resensi menjadi kenyataan. film Indonesia. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui bagaimana tanggapan para responden yang terdiri dari colongan menengah ke atas terhadap resensi dalam menimbulkan Selain itu, ingin diketahui pula informasi lainnya yang dapat menimbulkan minat minat menonton. sumber-sumber ini. Oleh karena itu, tipe penelitian ini adalah deskriptif Penulis menggunakan metode riset dengan cara wawancara mendalam dengan para responden, hingga penelitian ini bersifat kualitatif. . pulan data, analisis. lapangan se- Dalam mengumpara responden yang terdiri dari. 30 orang dibagi ke dalam 3 kelompok fokus, masing-masing 10 orang, kelompok dibedakan berdasarkan frekuensi Tiap menonton film secara umum sehingga menjadi kelompok frekuensi tinggi, sedang dan rendah. menonton Penulis melakukan wawancara mendalam dengan masingmasing responden secara terpisah, latar belakang masing-masing responden, diadakan dalam tiap kelompok fokus. Setelah mengetahui diskusi Sebelum dilakukan diskusi ini, para responden diberikan stimuli berupa resensi film Malioboro tulisan Putu Wijaya, yang dimuat di TEMPO Dengan demikian penulis tanggapan para responden terhadap resensi dalam kan minat menonton. bulan Oktober 1989. dapat mengetahui menimbul- Unit analisa penelitian ini adalah individu sedangkan populasinya adalah pembaca TEMPO yang pernah membaca resensi film Indonesia di TEMPO, berdomisili di daerah Jakarta SUlatan dan berusia 20 - 45 tahun. Dalam analisa data, terungkap beberapa dapat menjawab tujuan penelitian ini antara lain tanggapan para responden terhadap film-film Indonesia pada umumnya dan resensi film Malioboro pada khususnya. Selain itu, diketahui pula sumber-sumber informasi tentang film Indonesia dan faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan minat menonton. hal . yang para responden Sebagai kesimpulan diketahui bahwa sumber informasi tentang film Indonesia banyak diperoleh dari surat kabar. Informasi ini berbentuk sinopsis, iklan mini dan resensi. Secara keseluruhan tampak bahwa resensi belum banyak berperan dalam menimbulkan minat menonton. Hal ini antara lain disebabkan oleh pandangan para responden terhadap filmfilm Indonesia yang cenderung negatif dan resensi yang
belum dapat menciptakan daya pikat pada para pembacanya."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>