Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175418 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ingrid Gratsya Zega
"Dalam pengaturan kartel di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Rule of Reason, dengan kata lain harus ada proses pembuktian yang menunjukkan bahwa memang telah terjadi praktek kartel diantara para pelaku usaha. Diseluruh negara di dunia yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha, praktek kartel merupakan pelanggaran yang sangat sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence/hard evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktek penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktek kartel. Pada praktiknya, yang kerap digunakan KPPU sebagai indirect evidence adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profit yang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Jika melihat putusan KPPU atas kasus dugaan kartel fuel surcharge (komponen tarif baru yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia) oleh sembilan maskapai penerbangan di Indonesia, maka kasus ini diputus didasarkan pada bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam putusannya Majelis KPPU menggunakan uji korelasi dan homogeneity variance test, yang sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan fuel surcharge menunjukkan adanya trend yang sama diantara para terlapor (maskapai penerbangan). KPPU menilai sejak diberlakukan komponen tarif baru ini, fuel surcharge penerbangan mengalami kenaikan yang signifikan, dan tetap diberlakukan meskipun harga minyak dunia (avtur) mengalami penurunan yang signifikan. Dari apa yang terdapat dalam Peraturan KPPU, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti petunjuk. Namun dalam Peraturan KPPU tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja disebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

In analyzing the cartel, there are two kinds of business competition law approach is used, i.e. Per Se Illegal and Rule of Reason. In the cartel arrangements in Indonesia, the approach used is Rule of Reason, in other words there should be a process of evidence showing that indeed there has been a cartel practices among business actors. Around country in the world imposing a Business Competition Law, the cartel practice is a violation that is very difficult to prove. It because of cartel cases rarely or do not have direct evidence which is not generally made under a written agreement. Due to these difficulties, the emergence of using practice of indirect evidence as a proof was mostly done in many countries, based on the consideration it was difficult to obtain direct evidence. In practice, that is often used by the Business Competition Supervisory Commission as indirect evidence is the result of an analysis of data processing reflecting the occurrence of supernormal profits which is not due to the increased efficiency and productivity of the company. In its decision in case of alleged cartel fuel surcharge (new tariff component intended to cover expenses as the impact of the increased aviation fuel price affected by the rising world oil prices) by nine airlines in Indonesia, commission decided it based on indirect evidence (indirect evidence). In its decision the Commission used correlation and variance homogeneity test, which brought to the conclusion that the movement of fuel surcharge showed the same trend among the reported (airlines). The Commission considered since enacted the new tariff components, the fuel surcharge flights experienced a significant increase, and remain in place despite world oil prices (aviation fuel) has decreased significantly. From what is contained in the Commission's Regulations, indirect evidence is categorized as clue proof. In the Regulation itself is not explained further what is included in the clue proof, it's just mentioned that the clue is the knowledge by which the Commission is known and believed the truth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29451
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Audy Bayu Putra Setiono
"Indirect Evidence digunakan oleh KPPU sebagai bukti utama untuk membuktikan adanya perjanjian tertulis di antara para pelaku usaha minyak goreng sawit yang dicurigai melakukan kartel. Namun di satu sisi, penggunaan indirect evidence masih menjadi perdebatan di Indonesia, karena selain mengandung ambigu, penggunaannya belum diatur secara tegas dalam sistem hukum Indonesia. Penelitian ini akan menguraikan indirect evidence yang digunakan oleh KPPU untuk membuktikan dugaan-dugaan kartel minyak goreng. Penelitian ini merupakan penelitan hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif. Peraturan mengenai indirect evidence harus diatur lebih jelas dan terperinci di dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sehingga putusan KPPU dapat diperkuat di tingkat banding maupun kasasi. Di samping itu Hakim/Hakim Agung di tingkat Pengadilan Negeri dan Kasasi hendaknya tidak bersikap rigid dan legalistik dengan hanya menggunakan sistem pembuktian yang sifatnya konvensional. Hakim/Hakim Agung seharusnya tidak hanya mengacu pada Undang-Undang saja melainkan juga dengan menggunakan penafsiran-penafsiran hukum yang bertujuan untuk keadilan.

Indirect evidence is used by KPPU as the primary evidence to prove the existence of a written agreement between the businessmen suspected of palm oil cartel. However, on the one hand, the use of indirect evidence is still being debated in Indonesia, because in addition to containing ambiguity, its use has not been set explicitly in the Indonesian legal system. This thesis will describe the indirect evidence used by KPPU to prove the allegations of palm oil cartel. This study is a normative legal research using qualitative analysis. Regulations on indirect evidence should be arranged more clearly and in more detail in the Act No. 5 of 1999 to strengthened the verdict of KPPU when appealing in district court as well as in supreme court. In addition, Judge / Supreme Court Judge at the District and Supreme Court should not be rigid and too focus on the regulation using only conventional system of evidentiary. Judge / Supreme Court Judge should not only refer to the Act alone but also refers to the use of interpretations of law aimed at justice.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tengku Rania Salsabila Zahra
"Skripsi ini membahas mengenai adanya dugaan praktek Perjanjian Penetapan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi oleh enam pelaku usaha ritel di Indonesia. Ruang lingkup pembahasan terkait bagaimana mekanisme pembuktian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap Kasus Dugaan Price Fixing Agreement, dan apakah penetapan harga BBM yang tidak proporsional dengan pergerakan harga minyak mentah dunia mengindikasikan terjadinya praktik price fixing agreement sesuai Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis data kualitatif. Dalam analisis, mekanisme pembuktian KPPU mengacu pada ketentuan alat-alat bukti yang sah sesuai Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 dan analisa bukti-bukti tidak langsung (bukti ekonomi dan bukti komunikasi) sebagai bukti petunjuk (dalam perkembangan disesuaikan pada Pasal 57 Perkom No. 1 Tahun 2019). Terkadang bukti-bukti tidak langsung yang disajikan KPPU sebagai bukti petunjuk masih dinilai lemah oleh hakim di lingkup peradilan umum dan belum dapat dijadikan bukti petunjuk yang sah berdasarkan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Untuk itu, guna menghindari perbedaan penafsiran perlu dilakukan penjelasan lebih mendetil dalam Perkom No. 1 Tahun 2019 agar bukti-bukti tidak langsung dapat diterima dan diakui di lingkup peradilan umum. Terkait tidak proporsionalnya pergerakan harga minyak mentah dunia dengan harga jual eceran BBM di Indonesia, mengindikasikan terjadinya praktik perjanjian penetapan harga. Hal ini dianalisis berdasarkan uraian unsurunsur Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 dan fakta-fakta sebagai bukti ekonomi. Namun, perlu dilakukan tinjauan lebih mendalam untuk menemukan bukti-bukti lain yang lebih komprehensif agar indikasi tersebut dapat dibuktikan secara jelas dan terang.

This research focuses on the presumption of price fixing agreement practice on Non-Subsidized General Fuel Price among six fuel retail companies in Indonesia. The scope of the discussion includes KPPU mechanism in verifying price fixing agreement cases and whether the fuel price establishment that is not in proportion to the crude oil prices fluctuation indicates price fixing agreement practice which is prohibited under Article 5 Law No. 5 of 1999. This is a juridical-normative research with qualitative data analysis method. This research shows that KPPU refers to admissible types of evidence that is regulated under Article 42 Law No. 5 of 1999 and also indirect evidience (economic and communication evidence) as part of indication evidence (later being adjusted in The Commission Act No. 1 of 2019, Article 57) in verifying price fixing cases. Sometimes the indirect evidence being
served by KPPU is still considered weak and cannot be categorized as part of legitimate indication evidence by the court. Therefore, there is a need for assertion in The 2019 Commission Act regarding the acceptance of economic and communication evidence as part of indication evidence in court. This research also shows that the fuel price establishment that is not in proportion to the crude oil prices fluctuation indicates price fixing agreement practice which is analyzed through the elements of Article 5 Law No. 5 of 1999 and tangible facts as economic evidence. However, it is necessary to conduct in depth observation to support more
comprehensive proofs of the indication.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Bambang Pratama
"Praktik pembuktian keberadaan suatu kartel bukanlah merupakan hal yang mudah. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktik penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktik kartel. Indirect Evidence berarti bukti tersebut tidak secara langsung mendeskripsikan istilah perjanjian, namun bisa dalam bentuk menfasilitasi adanya perjanjian, atau pertukaran informasi Pada praktiknya, indirect evidence yang digunakan oleh KPPU adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya kartel. Dalam Putusan KPPU 24/KPPU-I/2009, KPPU hanya menggunakan indirect evidence sebagai alat bukti tunggal, KPPU menganalisa bahwa indirect evidence dalam kasus kartel minyak goreng ini adalah pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para produsen minyak goreng yang membahas mengenai harga, kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi yang disinyalir mengarah kepada perjanjian kartel dan perilaku produsen minyak goreng yang mencerminkan adanya price paralellism. Namun dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti tunggal didalam Putusan KPPU tidak cukup kuat untuk membuktikan terjadinya kartel. Bahwa untuk melihat telah terjadinya kartel, indirect evidence harus didukung alat bukti lain serta keterangan ahli sehingga pada akhirnya indirect evidence akan menjadi bukti yang kuat dan dapat mengungkap kartel ataupun tindak persaingan usaha tidak sehat lainnya.

Practice of proving the existence of a cartel is not easy. it is caused by cartel cases rarely or do not have direct evidence. Generally, the cartel agreement doesn?t based on a written agreement. Due to these difficulties, the rise of the practice of the use of indirect evidence as evidence was mostly done in various countries, based on the consideration, it is difficult to obtain the direct evidence of cartel practices. Indirect Evidence means evidence is not directly describe the terms of the agreement, but it could be inside the form of facilitating the existence of an agreement , or the exchange of information. In fact, indirect evidence used by the Commission that was the result of an analysis of the data processing that reflects the carte . In Law 24/KPPU-I/2009 Commission's Decision, the Commission uses only indirect evidence as the sole evidence.The Commission analyzes that indirect evidence in the case of the oil cartel is meeting and /or good communication, directly or indirectly made by the manufacturer of the oil producers discussing about the price, capacity, and cost structure that allegedly led to the cartel agreement and the behavior of oil producers that reflects the price paralellism. However, in this study it can be concluded that the use of indirect evidence as the sole evidence in the Commission's decisions are not strong enough to prove the cartel. To see that there has been a cartel, indirect evidence must be supported other evidence and expert testimony indirect evidence that in the end will be strong evidence and can uncover cartels or other unfair competition acts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39264
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Priyono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S22021
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurinda Raha Mustika
"Kerusakan lahan gambut kerap terjadi akibat kebakaran lahan di Indonesia. PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) merupakan salah satu perusahaan sawit yang lahan gambutnya terbakar pada bulan Juni tahun 2013 silam. Untuk dapat menggugat berdasarkan gugatan perbuatan melawan hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus membuktikan perusakan yang dilakukan oleh PT JJP dengan berdasarkan pembuktian ilmiah dan keterangan ahli. Pembuktian ilmiah tersebut mencakup pendeteksian hotspot, analisa sampel laboratorium, penentuan penyebab kebakaran, penghitungan luas lahan yang terbakar, dan pengukuran kerusakan lahan. Namun masalah di sini terjadi saat Penggugat dan Tergugat mengajukan alat bukti ilmiah yang menguatkan dalil masing-masing, sehingga Hakim dituntut untuk memilih alat bukti ilmiah mana yang akan dipertimbangkan. Skripsi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berupa, bagaimanakah pembuktian ilmiah dalam kerusakan lahan gambut akibat kebakaran lahan? Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian ini menemukan bahwa hakim dapat menilai penerimaan alat bukti ilmiah dengan menggunakan standar Daubert yang memberikan empat kriteria untuk melihat validitas alat bukti. Kriteria tersebut tidak bersifat rigid, melainkan sebuah kerangka ilustratif untuk membangun kepercayaan hakim. Namun penerapan doktrin ini masih memerlukan peran hakim dalam kesediaannya mengadopsi doktrin luar untuk menjawab permasalahan pembuktian ilmiah yang dihadapi.

Peat land destruction often occur from land fires in Indonesia. PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) is one of the oil palm companies whose peatland was burned down in June 2013.  In order to sue based on tort, the Ministry of Environment and Forestry must prove the damage that is done by PT JJP based on scientific evidence and expert explanation. The scientific evidence includes detecting hotspots, laboratory samples analysis, determining the cause of fire, calculating the burned area, and measuring the land damage. But the problem here occurs when the Plaintiff and Defendant propose scientific evidences that strengthen their respective arguments, so that the Judges are required to choose which scientific evidence to consider. This undergraduate thesis wants to answer a question that is, how is the scientific evidence works in proving peatland destruction due to land fire? The research method used in this thesis is a normative juridical research. This research found that judges can assess the acceptance of scientific evidence using the Daubert standard which provides four criterias to see the validity of evidences. The criteria are not rigid, but in form of illustrative framework to build judge's conviction. But the application of this doctrine still requires the role of the judges in their willingness to adopt foreign doctrine to answer the problems of scientific evidence faced."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardamean, Leonardo
"Skripsi ini akan membahas mengenai penggunaan alat bukti tidak langsung oleh KPPU dalam membuktikan kasus kartel. Sulitnya menemukan alat bukti langsung dalam kartel, membuat diperlukannya alat bukti tidak langsung dalam proses pembuktian kasus kartel terlebih dalam membuktikan sisi materiilnya. Penelitian yuridis normatif ini dengan deskriptif evaluatif, yang bertujuan untuk pemahaman lebih lanjut mengenai penggunaan dan kedudukan alat bukti tidak langsung dalam hukum persaingan usaha di Indonesia dan penerapannya dalam kasus kartel ban dan kartel fuel surcharge. Penelitian ini akan membahas bagaimana kedudukan alat bukti tidak langsung jika dilihat dari pandangan hakim, undang-undang, dan penggunaannya oleh KPPU. Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, alat bukti tidak langsung penting untuk membuktikan hal-hal dalam bidang persaingan usaha yang tidak dapat dijangkau oleh hukum konvensional, kekuatan alat bukti tidak langsung bergantung pada bagaimana penggunaannya oleh KPPU, dan Indonesia sudah mengakui alat bukti tidak langsung dengan adanya kesepakatan tidak tertulis antara Mahkamah Agung dengan KPPU.

This thesis will review the use of circumstansial evidence by KPPU in detecting cartel. The difficulty of finding circumstansial evidence in cartel cases, making the need for cirucumstansial evidence in proving cartel especially in material side. This normative juridical research with descriptive evaluative, which aims to comprehend circumstansial evidence in Indonesian Competition Law and its application in tires cartel and fuel surcharge cartel. This research will examine about the existence of circumstansial evidence from the judge?s prespective, the law, and its use by KPPU. Based on the analysis in this thesis, the use of circumstansial evidence is important to prove things in business competition that can not be prove by conventiuonal law, the power of circumstansial evidence are depends on the use of circumstansial evidence by KPPU, and Indonesia already acknowledge circumstansial evidence in unwritten agreement between the Supreme Court and KPPU."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winna Putri Meirita
"Berangkat dari fenomena pajak tidak langsung, khususnya PBB, belakangan ini, skripsi ini berfokus pada proses formulasi kebijakan cost recovery atas pajak tidak langsung yang tercantum dalam salah satu pasal Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Proses formulasi mencakup latar belakang, tujuan, alternatif kebijakan, aktor yang terlibat, tahapan, serta faktor pendukung dan penghambat. Sebelum diundangkannya peraturan ini, pajak tidak langsung tersebut dibebankan kepada pemerintah atau dikenal dengan klausa assume and discharge. Namun untuk kontrak-kontrak yang ditandatangani setelah pengundangan peraturan ini, pajak tidak langsung tersebut masuk ke dalam mekanisme cost recovery.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Metode pengumpulan data terutama dilakukan melalui wawancara mendalam dengan key informants.
Hasil penelitian menyarankan bahwa sebaiknya dibuat perbaikan atau revisi terkait kebijakan ini melalui peraturan turunan atau ditingkatkan hierarkinya menjadi undang-undang pajak migas. Tentunya hal tersebut harus dilakukan melalui proses formulasi kebijakan berdasarkan perundangan yang berlaku dan konsep perpajakan.

Started from the phenomenon of indirect taxes, particularly the Land and Building Tax, recently, this undergraduate thesis aims to analyze the process of cost recovery policy formulation over indirect taxes listed in one article of Government Regulation Number 79 Year 2010. The formulation process includes background, objectives, policy alternatives, the actor involved, the stages, as well as supporting and inhibiting factors. Before this regulation promulgated, indirect taxes be borne by the Government or known as assume and discharge. However, for contracts signed after the promulgation of this regulation, the indirect taxes go into the cost recovery mechanism.
This research is qualitative descriptive interpretive. The data were collected mainly by means of in-depth interviews with key informants.
The results of the research suggested that revisions should be made related to this policy through the regulatory hierarchy into a derivative or enhanced oil and gas tax law. Surely, this must be done through the process of policy formulation based on existing law and the concept of taxation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S55688
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Purwadianto
"Perkosaan memang belum akan segera lenyap dari muka bumi karena walaupun secara moral telah dikecam segenap manusia, namun sistem kemasyarakatan dan hukum "tanpa sadar" masih mempertahankannya. Hampir semua definisi hukum mengakui hubungan dyadic timpang yang menempatkan perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pemerkosanya. Dalam perkosaan terdapat trias yakni penderitaan korban, kebrutalan pemerkosa dan ketidakadilan jender. Trias perkosaan berpengaruh dalam pembuktian mediko-legal saat ini, sehingga adalah utopis diperoleh bukti utama-ideal bila terjadi korban tidak diperiksa secara forensik klinik atau ada keterlambatan lebih dari 3 hari pasca-perkosaan, sehingga yang muncul hanya bukti medik & biomedik berkategori lebih rendah atau tidak ada sama sekali yang kurang atau tidak meyakinkan hakim.
Perkosaan berdasarkan kajian teori epistemologis HAM Alan Gewirth dan analisis kritis James W. Nickel merupakan pelanggaran inti dasar sekaligus keseluruhan dari trias hak-hak asasi perempuan (HAP) masing-masing hak atas persamaan (HAP-1), hak atas otonomi (HAP-2) dan hak integritas pribadi (HAP-3); jugs trias hak reproduksi perempuan (HRP) masing-masing hak atas perencanaan dan informasi keluarga (HRP-1), hak atas pelayanan prima kesehatan reproduksi & seksual (HRP-2) dan hak atas nirdiskriminasi reproduksi (HRP-3) yang kesemuanya merupakan bagian tak terpisahkan dari trias hak asasi manusia (HAM) John Locke yang relevan yakni hak atas kehidupan (HAM-1), hak atas kebenaran (HAM-2) dan hak atas kepemilikan pribadi (HAM-3).
Feminisme dengan aliran teorinya seperti liberal, radikal, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalisis, postmodernlmultikultural dan ekofeminis secara apropriatif berguna dalam membantu merefleksikan trias perkosaan, khususnya perempuan-terperkosa yang terpasung atau terdominasi oleh sistem patnarki yang menyebabkan kekerasan jender. Melalui etika feminis (etika kasih, etika kepedulian) dan trias metodologi hukum feminis dilakukan dekonstruksi landasan filosofis metodologi pembuktian mediko-legal perkosaan saat ini yang senantiasa menyebabkan ketidakadilan bagi korban-terperkosa. Perempuan korban menurut Rawls merupakan pihak yang paling kurang diuntungkan yang berhak mendapat perbedaan perlakuan hukum.
Dongkrakan reflektif guna mencapai kebenaran epistemologis multimetodologi pembuktian mediko-legal perkosaan memunculkan trio pihak yang terlibat : (1) Visum et Reperturn VeR "klasik" saat ini (yang dibuat oleh dokter bidang forensik klinik di "lingkaran luar" korban, seperti dokter spesialis kebidanan & kandungan dan dokter terlatih lainnya dengan menggunakan metode manusia biomedik yang positivistik-reduksionistik-mekanistik yang identik dengan ketubuhan anatomis korban; (2) VeR Holistik oleh dokter di "lingkaran luar""plus" karena disertai psikiater/psikolog di "lingkaran dalam" korban menggunakan model manusia infomedik yang holistik-sibernetik identik dengan tubuh semi-diskurisif korban sebagaimana Protokol Jakarta dalam menguak kasus perkosaan massal Mei 1998 lalu dan (3) VeR Eksistensialistik yang menggunakan metode fenomenologi-eksistensial yang menampilkan kesaksian korban sebagai subyek-eksis diikuti dengan hermeneutika oleh pelbagai ahli "lingkaran dalam" korban, termasuk dokter/psikiater atau relawan-ahli pendamping terhadap tubuh diskursif korban. Gabungan ketiga VeR di atas membentuk VeR Komprehensif yang disusun bersama oleh semua komponen "lingkaran luar & dalam" dalam rangka mencapai keadilan berperspektif korban dengan memakai intersubyektivitas dialogisemansipatorik antar ahli melalui etika diskursus komunikasional Habermas. Dengan VeR Komprehensif diharapkan hakim berkeyakinan pasti secara lebih teguh bahwa pemerkosa terbukti bersalah melakukan perkosaan dan karenanya dijatuhi sanksi setimpal.

Rape, a crime of sexual assault, is still actual It happens daily, in spite of the fact that it is a strongly disapproved, even condemned and morally unacceptable, act. Although rape survivors and victims include men and children, most of the existing rape laws are not accordingly designed; they are fabricated by and in use in patriarchal society, that prejudicially approaches rape cases with the idea that men were the only possible perpetrators and only women could legally be the victims.
Gendered social injustice (the third of rape "triad') plays a significant role in collecting and documenting medico-legal evidences, next to the victims suffering (the first triad) and the perpetrator 's brutality (the second triad). International studies shows that only a small percentage of rape victims/survivors did go to the police to report the sexual assault, or sought medical care for their physical injuries. And only a very small percentage of these women underwent clinical forensic examination. When they did, it is almost always days later, while the ultimate ideal main-medical/biomedical evidences taken later than 3 (three) days after the assault took place is not valid as scientific proof in court.
Rape, according to human rights epistemology of Alan Gewirth and critical analysis of James W. Nickel theory, violate the total as well as the central-core of the triad of women's rights e.g. the right of equality (1s) , autonomy (2nd) , and personal integrity right (3rd) also the triad of women's reproductive rights e.g. the freedom to plan the number, spacing and timing of their children and to have the information and means to do so (1'd), right to attain the highest standard of sexual and reproductive health (2"d) and reproductive free discrimination, coercion and violence (3rd) as an indivisible and in separable part of human rights, especially from John Locke 's category e.g. the right to life (IS), to freedom (2nd) and personal property right (3rd)
Each theory of feminism, e.g. liberal, radical, Marxist, socialist, existentialist, psychoanalyst, postmodern/multicultural and ecofeminist has an important role supporting the reflection toward the rape triad, that oppressed, subordinated and alienated the rape-victim with gender-based violence. Feminism based on women 's perspective of feminist ethics (caring ethics, ethics of love) and feminist legal method, as the deconstruction method of the patriarchy, will strengthen the fundamental principles of new methodology more justly toward the rape-victims. Raped-women, as said by Rawls, were the least advantage parties, that morally have the right to treat differently to emancipate them.
There are three parties improving the philosophical grounds of multi-methodology on medico-legal evidences which should be enacted as a way to reach the epistemological truth of rape: (1) the "Classical''/existing Visum et repertum (medical expertise) based on positivistic-reductionistic-mechanistic approach of a biomedical as well as her given/anatomical body model made by clinical forensic specialist (e.g. obstetric gynecologist or well-trained general practitioner) as an "outer circle" of the victim, (2) the "Holistic" expertise based on cybernetic approach of an info medical as well as her "semi-discursive" body model made both by clinical forensic specialist ( "outer circle') and psychiatrist or psychologist ("inner circle" of the victim), and (3) the "Existentialistic" expertise made by the rape-victim 's testimony based on the existential phenomenological method as well as the hermeneutical of the victim's discursive body. The "Comprehensive" expertise, a combination of three expertise mentioned above through the Habermas' communicational discourse ethics, will give the court the epistemological truth of rape. It will lead to the judges' certainties to punish the perpetrator in a real just sanction."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D470
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Zakaria
"Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Dalam beberapa kasus, penguasaan terhadap teknologi sering kali disalahgunakan untuk melakukan suatu kejahatan. Diantara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat didalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu cyberterrorism. Penanganan Cyberterrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional. Salah satu perbedaannya adalah penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik. Bagaimana pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia? Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan Tindak Pidana Terorisme? Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website Anshar.net? Penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik telah diakomodir oleh Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terkait hal tersebut diperlukan adanya Standar Operasional Prosedur dalam perolehan alat bukti berupa informasi elektronik tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22463
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>