Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162343 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albertus Edy Subandono
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S2470
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Endang Sriningsih
Depok: Universitas Indonesia, 1995
S2532
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisea Rainima
"Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa korelasi antara Keketatan Budaya dan kecenderungan individu dalam melakukan Penekanan Emosi. Selain itu, penelitian ini juga memeriksa apakah religiusitas bertindak sebagai moderator dalam interaksi antara pengaruh Keketatan Budaya dan Penekanan Emosi. Keketatan budaya mengacu pada keberadaan norma sosial yang ketat dan tidak fleksibel. Religiusitas ditandai dengan keyakinan kuat terhadap adanya kuasa yang lebih tinggi. Penekanan emosi melibatkan penahanan ekspresi emosi yang dilakukan secara sengaja. Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan analisis korelasi dan moderasi untuk menjawab tujuan dari penelitian. Penelitian ini melibatkan 141 partisipan yang diperoleh menggunakan teknik convenience sampling melalui iklan di berbagai platform media sosial dan poster. Temuan penelitian mengkonfirmasi semua hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Ditemukan bahwa Keketatan Budaya memiliki hubungan yang signifikan dengan Penekanan Emosi. Selain itu, terdapat efek moderasi yang signifikan dan negatif dari Religiusitas pada hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Meskipun hasil moderasi yang diperoleh memiliki skor yang signifikan, namun temuan temuan ini tidak sesuai dengan asumsi awal penelitian. Hal ini dapat dijelaskan melalui pandangan bahwa kesadaran bahwa identitas sosial pada dasarnya fleksibel dan mudah beradaptasi, sehingga memungkinkan mereka untuk hidup berdampingan tanpa konflik.

The purpose of this study was to examine the correlation between Cultural Tightness and Emotion Suppression. The purpose also included examining if Religiosity acts as a moderator in the interaction between the influence of Cultural Tightness and Emotion Suppression. Cultural tightness refers to the presence of strict and inflexible social norms. Religiosity is characterised by a strong belief in a higher power. Emotion suppression involves deliberately reducing the outward display of emotions. The study employed a cross-sectional research design and utilised correlation analysis and moderation analysis to determine the study's findings. A total of 141 participants responded to the link that was distributed using convenience sampling technique, which involved utilising various social media platforms and posters for the study. The research findings confirmed all the hypotheses that were formulated for investigation. It was found that Cultural Tightness has a significant relationship with Emotion Suppression. Additionally, there was a significant and negative moderating effect of Religiosity on the relationship between the main independent variable and dependent variables. The research findings did not align with the initial assumptions of the study, despite the presence of significant moderation. This led to the realisation that social identities are inherently flexible and adaptable, enabling them to coexist without conflicts.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Kuswidhiastri
"Regulasi emosi kognitif merupakan keterampilan individu untuk mengelola pikiran dan reaksi emosional dalam menghadapi situasi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan perbedaan kemampuan menggunakan strategi regulasi emosi kognitif berdasarkan jenis kelekatan dengan orang tua pada remaja akhir. Penelitian dilakukan secara cross-sectional pada 674 orang remaja akhir berusia 18-22 tahun (n perempuan = 75.2%) yang terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok kelekatan aman (46.2%), kelekatan tidak aman-menghindar (48.2%), dan kelekatan tidak aman- ambivalen (5.8%). Penelitian menggunakan analisis One-Way MANOVA untuk mengamati perbedaan kemampuan menggunakan strategi kognitif dalam masing-masing kelompok jenis kelekatan. Penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga jenis kelekatan dalam menggunakan strategi regulasi emosi kognitif (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Strategi kognitif yang lebih adaptif lebih mampu digunakan oleh remaja dengan kelekatan aman, sementara remaja dengan kelekatan tidak aman lebih sering menggunakan strategi kognitif yang kurang adaptif. Perbedaan penggunaan strategi kognitif juga ditemukan pada kedua jenis kelekatan tidak aman.

Cognitive emotion regulation is the ability to manage thoughts and emotional reactions when faced with bad situations. This research aims to prove the differences between in the cognitive emotion regulation strategies of late adolescents based on their parental attachment types. Cross-sectional study was conducted on a total sample of 674 late adolescents between 18-22 years (n female = 75.2%) which are divided into three groups based on parental attachment types. A set of One-Way MANOVA was used to assess the differences in the ability to use cognitive emotion regulation strategies between groups. Results showed that there are significant differences in the three types of attachment in using cognitive emotion regulation strategies (F (18, 1328) = 11.29, p < 0.01; Pillai’s V = .265, η2 = .133). Adolescents with secure attachment are more likely to use adaptive cognitive strategies, while those with insecure attachments are more likely to use less adaptive strategies. Differences in cognitive strategy use were also found in the insecureavoidant and insecure-ambivalent attachment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tresidder, Andrew
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005
155.4 TRE i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Laili Irawati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3518
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricci Vicika
"ABSTRAK
Kehidupan manusia tidak terlepas dari emosi. Apapun jenisnya, emosi menyebabkan
bergesernya sistem fisiologis, kognitif dan sosial individu dari keadaan homeostatis menjadi non
homeostatis. Pergeseran ini mengganggu fungsi individu. Oleh karena itu, ketiga sistem tersebut
harus dikembalikan ke dalam keadaan homeostatis. Caranya adalah dengan menyalurkan
(?channeling") emosi baik melalui perilaku verbal maupun non verbal. Salah satu perilaku
verbal adalah perilaku menceritakan emosi kepada orang lain. Perilaku bercerita pengalaman
emosi adalah perilaku mendiskusikan pengalaman emosi dengan orang lain (Rime et.al, 1991).
Idealnya, semua orang dapat menceritakan pengalaman emosinya dengan leluasa. Namun
kenyataannya, pria cenderung memilih untuk tidak menceritakan pengalaman emosinya kepada
orang lain (Caldwell & Peplau, 1982 dalam Lips, 1988). Mengapa pria tidak menceritakan
pengalaman emosinya kepada orang lain? Hal ini disebabkan karena adanya "pendidikan" yang
diberikan bagi pria. Pria dididik untuk bersikap sebagai individu yang kuat, obyektif mampu
bertahan, tidak sentimentil, dan tidak ekspresif secara emosional (Jourad, 1971 dalam Dindia &
Allen, 1992). Pendidikan ini muncul karena adanya standar yang disebut sebagai norma
maskulinitas (Pleck, 1981 dalam Levant & Pollack, 1995). Dari uraian teoritis di atas, diduga
ada hubungan yang negatif antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan
pria untuk menceritakan pengalaman emosinya. Dalam penelitian ini, kesediaan bercerita
pengalaman emosi dioperasionalisasikan menjadi tiga aspek yaitu (1) muncul tidaknya perilaku
bercerita pengalaman emosi; (2) kedalaman cerita pengalaman emosi; dan (3) kesediaan untuk
menceritakan pengalaman emosi untuk peristiwa yang belum terjadi. Penelitian ini akan melihat
lima jenis emosi yaitu sedih, marah, takut, malu dan bersalah. Emosi sedih dan takut digolongkan sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria [Levant et al., 1996). Emosi
malu dan bersalah digolongkan oleh peneliti sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria
karena menggambarkan kelemahan. Pria juga dilarang untuk mengeskpresikan emosi yang
menggambarkan kelemahan. Sedangkan marah merupakan emosi yang boleh diekspresikan pria.
Pembagian emosi menjadi dua jenis ini menyebabkan munculnya dugaan lain mengenai hubungan
antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi
pada pria. Diduga, pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia untuk menceritakan
pengalaman emosi sedih, takut, malu dan bersalah kepada orang lain. Sebaliknya, untuk emosi
marah, justru diduga bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas bersedian untuk
menceritakan pengalaman emosi marahnya kepada orang lain.
Penelitian ini melibatkan 45 subyek mahasiswa pria. Teknik penarikan sampel yang
digunakan adalah teknik insidental yaitu penarikan sampei yang didasarkan atas kemudahan
mancari sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dapat diisi
sendiri tanpa bantuan wawancara. Data yang diperoleh diolah secara kuantitatif.
Secara umum didapat hasil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia
menceritakan pengalaman emosinya kepada orang Iain. Hasil ini tercermin melalui tiga aspek
kesediaan bercerita pengalaman emosi di atas. Namun, hasil ini hanya berlaku pada emosi sedih
dan marah. Pada kedua emosi ini, ketiga aspek kesediaan bercerita pengalaman emosi sedih dan
marah menunjukkan hubungan yang negatif dengan keterikatan pria terhadap norma
maskulinitas. Sedangkan pada emosi malu dan bersalah, keterikatan pria terhadap norma
maskulinitas tidak berhubungan dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi malu dan
bersalah. Keanehan terjadi pada emosi takut. Pada kedua aspek pertama didapatkan hasil bahwa
keterikatan pria terhadap norma maskulinitas tidak berhubungan dengan (1) muncul tidaknya
perilaku bercerita pengalaman emosi takut dan (2) kedalaman cerita pengalaman emosi takut.
Sedangkan pada aspek ketiga, diperoleh basil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas
tidak bersedia untuk menceritakan pengalaman emosi takutnya untuk peristiwa lain yang belum
terjadi. Keanehan ini, mungkin, disebabkan karena alat yang dipakai tidak dapat menangkap
kompleksitas pengalaman emosi takut.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk menambah beberapa pertanyaan yang dapat
menangkap pengalaman emosi secara lengkap. Selain itu, disarankan untuk melakukan
wawancara secara mendalam terhadap subyek."
1997
S2643
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezkita Gustarachma Astari Suhendar
"Dalam konteks perkembangan industri media massa, tantangan para fotografer (fotojurnalis) di era digital berhadapan dengan tuntutan nilai objektivitas dan proses manipulasi visual jurnalisme. Representasi pada fotojurnalisme terkandung dalam salah satu bentuk dari estetika jurnalisme. Penulis memandang bahwa hasil karya fotojurnalisme dapat mengupayakan cara para fotografer memilih untuk menggunakan fotografi sebagai 'a different way of seeing'. Tulisan ini menawarkan pentingnya meninjau kembali terhadap membangun sikap intensional dalam proses penciptaan fotografi jurnalistik. Melalui metode distingsi konseptual, tulisan ini menawarkan bagaimana nilai fotojurnalisme tidak terlepas dari pengalaman estetis fotografer dengan melibatkan peran emosi dan narasi dalam sebuah fotografi. Lebih lanjut, tulisan ini akan bertumpu pada pemikiran Mikel Dufrenne mengenai The Phenomenology of Aesthetic Experience sebagai teori utama. Kemudian dengan metode fenomenologi digunakan untuk memperlihatkan bagaimana proses performatif pada karya fotojurnalisme ini dipengaruhi oleh kemampuan seseorang mengeksplorasi gestur secara intensional, diikuti dengan pengalaman estetis sebagai Welstanchauung seorang fotografer. Alhasil, tulisan ini berusaha untuk mengartikulasi peran pengalaman estetis subjektif terlibat dalam membentuk representasi fotojurnalisme yang bekerja secara intersubjektif.

In the context of the development of the mass media industry, the challenges of photographers (photojournalist) in the digital age are faced with demands for objectivity and the process of manipulation of visual journalism. Representation of photojournalism is embodied in one form of journalism aesthetics. The author considers that the work of photojournalism can work out the way photographers choose to use photography as "a different way of seeing". This article offers the importance of revisiting towards building intentional attitudes in the process of creating journalistic photography. Through the conceptual distinction method, this article offers how the value of photojournalism is inseparable from the photographer's aesthetic experience by involving the role of emotion and narrative in photography. Furthermore, this article will rely on Mikel Dufrenne's The Phenomenology of Aesthetic Experience as the main theory. Then, the phenomenological method is used to show how this performative process in photojournalism influenced by one's ability to explore gestures intentionally, followed by aesthetic experience as a photographer’s Welstanchauung. As a result, this article seeks to articulate the role of subjective aesthetic experiences involved in forming photojournalism representation that work intersubjectively."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, D. Rismawati
"Kepuasan perkawinan ditunjukkan oleh adanya kepuasan subyekstif pasangan suami istri terhadap perkawinan mereka baik secara keseluruhan maupun terhadap aspek-aspek yang spesifik dari hubungan perkawinannya.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan. Duvall & Miller (1985) mengelompokan faktor-faktor itu kedalam dua kelompok, yaitu faktor sebelum pernikahan dan faktor sesudah pernikahan. Salah satu dari faktor sebelum pernikahan adalah faktor usia dan kematangan. Menurut Stinnett (1984) bukan hanya usia saja yang mempengaruhi kepuasan perkawinan tapi juga termasuk kematangan emosi. Lebih lanjut Blood & Blood (1979) menyatakan bahwa mereka yang matang secara emosional memiliki kemampuan untuk menjalin dan mempertahankan hubungan personal dan hal ini mempengaruhi bagaimana pasangan saling berinteraksi satu dengan yang lain.
Disamping itu, pada faktor setelah pernikahan disebutkan pula. bahwa kematangan emosi sebagai bagian dari ciri kepribadian turut berpengaruh dalam mencapai kepuasan perkawinan. David Knox (dalam Lamanna & Riedmann, 1981) menjelaskan bahwa salah satu ciri kematangan emosi dalam perkawinan adalah adanya keinginan dan kemampuan untuk mengatasi konflik bukan untuk mengakhiri hubungan diantara pasangan suami istri.
Dari uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana hubungan antara kematangan emosi dan kepuasan perkawinan itu sebenarnya. Karena subyek penelitian ini adalah istri bekerja dan istri tidak bekerja, maka selanjutnya ingin diteliti bagaimana kepuasan dan kematangan emosi, masing-masing, pada kelompok istri bekerja dan kelompok istri bekerja serta bagaimana pengaruh kematangan emosi dan status bekerja --bekerja & tidak bekerja-- terhadap kepuasan perkawinan. Penelitian ini bersifat deskriptif yang bertujuan untuk memaparkan gejala yang diteliti, dalam hal ini tidak dilakukan uji hipotesa. Subyek penelitian adalah 159 orang yang terdiri dari 64 orang istri tidak bekarja dan 95 orang istri bekerja. Alat yang digunakan adalah kuesioner kepuasan perkawinan, skala kematangan emosi dan 2 alat pelengkap.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara kepuasan perkawinan dan kematangan emosi. Kelompok istri tidak bekerja memiliki, baik skuo rata-rata kepuasan perkawinan maupun skor rata- rata kematangan emosi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok istri bekerja. Hasil lain menunjukkan bahwa skor rata-rata pengaruh kematangan emosi adalah lebih besar dibandingkan skor rata-rata pengaruh status kerja terhadap kepuasan perkawinan.
Disimpulkan bahwa kematangan emosi memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan perkawinan, artinya semakin matang emosi seseorang maka semakin puas orang tersebut dengan kehidupan perkawinannya, sebaliknya, semakin tidak matang emosi seseorang maka semakin tidak puas ia terhadap perkawinannya. Kelompok istri tidak bekerja adalah lebih matang secara emosi dan lebih puas terhadap perkawinannya jika dibandingkan dengan kelompok istri bekerja. namun demikian pengaruh status kerja terhadap kepuasan perkawinan adalah lebih kecil jika dibandingkan dengan pengaruh kematangan emosi terhadap kepuasan perkawinan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1992
S2425
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evana Patrisia
2004
S3492
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>