Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mira D. Amir
"Seiring dengan pcrubahan fisik, mental dan sosial yang pesat pada diri remaja, mereka juga dituntut untuk dapat memenuhi salah satu tugas perkembangan, yakni guna dapat mencapai suatu hubungan yang baru dan lebih matang dengan teman seusia, baik perempuan maupun Iaki-laki. Namun demikian, bagi seorang remaja perempuan sulung, terkadang untuk memenuhi tugas tersebut dapat terhambat oleh kekhawatiran orangtua akan pengaruh buruk yang ditularkan teman sebayanya, kehamilan pra nikah atau pengasuhan yang selama ini menghambat dirinya dalam menjalin hubungan dengan teman seusianya.
Meskipun di usia remaja ini mereka mulai melepaskan diri dari pengaruh orangtua dan lebih banyak rnenghabiskan waktu dengan teman-temannya, namun peran orangtua, khususnya ibu masih diperlukan dalam kaitannya dengan sosialisasi yang dapat membantu remaja membina hubungan baik dengan teman.
Peran ibu yang dapat membantu anak dalam berinteraksi dengan teman sebayanya, diuraikan Hetherington & Parke (1993) adalah berperan sebagai 'teman' bagi anak tersebut, berperan sebagai pelatih dan sebagai pemberi kesempatan. Tujuan penelitian ini adalah ingin menelaah peran ibu dalam sosialisasi anak remaja perempuan sulungnya dengan teman sebaya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peran atau pengasuhan ibu tersebut.
Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai ibu dan anak remaja perempuan sulungnya. Pemilihan subyek penelitian menggunakan teknik pengambilan sampel kasus tipikal, dengan karakteristik ibu berusia 35-45 tahun (dewasa tengah) dan anak berusia 15-17 tahun (remaja tengah) yang berasal dari sosial ekonomi menengah.
Dari penelitian kualitatif ini diperoleh hasil bahwa ibu dapat berperan sebagai pemberi kesempatan sosialisasi bagi anak remaja perempuan sulungnya. Akan tetapi, peran ibu sebagai 'teman? dan penasehat (khususnya sebagai pengarah) tampak masih kurang. Faktor pengalaman masa lalu ibu, dukungan suami dan karakteristik anak itu sendiri (temperamen, usia dan jenis kelamin anak) sangat berpengaruh terhadap peran ibu dalam sosialisasi.
Penelitian lanjutan dapat dilakukan kepada subyek ibu yang memiliki anak usia sekolah (SD), dimana di usia tersebut anak sudah mulai banyak menghabiskan waktu dengan teman seumurnya. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran mengenai peran ibu pada sosialisasi anak semenjak awal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Retno Widiastuti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1985
S2073
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurizzati Sharfina
"Perundungan oleh sebaya merupakan fenomena yang penting untuk dibahas karena dampaknya yang terbukti negatif pada regulasi emosi kognitif remaja akhir. Sementara itu, penelitian terdahulu menemukan bahwa perkembangan regulasi emosi kognitif dipengaruhi oleh sosialisasi emosi ibu. Penelitian ini ingin melihat peran moderasi sosialisasi emosi ibu terhadap hubungan antara perundungan oleh sebaya dan regulasi emosi kognitif remaja akhir. Remaja akhir (N=111) yang pernah mengalami perundungan di SMA diuji menggunakan Multidimensional Peer Victimization Scale (MPVS), Cognitive Emotion Regulation Questionnaire (CERQ), dan Emotion as A Child Scale (EAC) Abbreviated version untuk mengukur pengalaman perundungan oleh sebaya, regulasi emosi kognitif, dan persepsi sosialisasi emosi ibu, secara berurutan. Analisis statistik simple moderation menunjukkan bahwa sosialisasi emosi suportif ibu memoderasi hubungan perundungan oleh sebaya dan regulasi emosi kognitif kurang adaptif. Penelitian ini memiliki kekurangan yaitu perundungan oleh sebaya diukur secara retrospektif sehingga pemaknaan partisipan terhadap ingatan pengalaman perundungan mereka dapat mempengaruhi hasil penelitian. Selanjutnya, penelitian terkait perundungan sebaiknya dilakukan dalam rentang waktu yang tidak terlalu jauh dari pengalaman partisipan.

Peer victimization is an important phenomenon to be discussed since it has proven to be harmful to adolescents’ cognitive emotion regulation. Meanwhile, studies have shown that the development of cognitive emotion regulation is influenced by maternal emotion socialization. This study aimed to explore the role of maternal emotion socialization in moderating the relationship of peer victimization and cognitive emotion regulation of late adolescents. Late adolescents (N=111) who have experienced peer victimization in high school were tested with Multidimensional Peer Victimization Scale (MPVS), Cognitive Emotion Regulation Questionnaire (CERQ), and Emotion as A Child Scale (EAC) Abbreviated version to measure peer victimization, cognitive emotion regulation, and maternal emotion socialization, respectively. Simple moderation analysis showed that maternal emotion socialization moderates peer victimization and maladaptive cognitive emotion regulation. Current research has a limitation in which peer victimization was measured retrospectively, thus adolescents’ meaning of their memories being victimized could affect the research’s result. Furthermore, research in peer victimization should be done in which peer victimization takes place."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Gustiana Andriani
"ABSTRAK
Duvall & Miller (1985) menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan
manusia di masa dewasa muda adalah memilih pasangan hidup. Proses pemilihan
pasangan hidup merupakan tahap awal yang akan dilalui jika seseorang memutuskan
untuk menikah. Setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kriteria
yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam interaksi mereka dengan
lingkungannya, yang oleh Bronfrenbrenner (dalam Berns, 1997) dibagi menjadi beberapa
struktur yaitu sistem mikro, sistem ekso, sistem meso, sistem makro, dan chronosystem
atau dimensi waktu. Sebagai bagian dari sistem mikro, orangtua dapat menjadi sumber
bagi seorang anak dalam menentukan pilihan pasangan hidup. Seorang anak akan
menerima nilai-nilai menyangkut pemilihan pasangan hidup sejak kecil dari orangtuanya
dan hal tersebut merupakan bagian dari peran orangtua dalam pengasuhan anak.
Budaya Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrlinial, dimana ibu
memegang peranan penting dalam proses pendidikan, sosialisasi, dan perkembangan
anak termasuk dalam pemilihan pasangan hidup. Campur tangan tersebut terkadang
dapat menimbulkan pertentangan antara anak dengan orangtua. Penelitian ini mencoba
untuk melihat fenomena yang terjadi antara dua generasi. Bagaimana kontribusi peran
ibu dalam hal pemilihan pasangan hidup anak perempuan sulung khususnya dalam
budaya Minangkabau; ciri khusus harapan ibu dan anak; serta faktor yang
mempengaruhi mereka dalam menentukan kriteria pasangan hidup. Penelitian dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kualitatif, melalui metode wawancara. Subyek
wawancara adalah tiga pasang ibu dan anak perempuan sulung yang berada dalam
lingkungan budaya Minangkabau dan tidak pernah merantau ke luar Sumatra barat.
Kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pendekatan
ekologis, teori pengasuhan anak, teori perkembangan dewasa muda, teori pemilihan
pasangan hidup, dan teori yang berhubungan dengan nilai budaya dan adat
Minangkabau.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bahwa ketiga subyek ibu
mempunyai pengaruh dalam menentukan pilihan pasangan hidup anak perempuan
sulung. Anak tidak akan menolak jika ibu menentukan pasangan hidupnya, sebab ada
kecenderungan anak menganggap pilihan ibu adalah pilihan yang terbaik. Ciri khusus
harapan seluruh subyek dalam menentukan pilihan pasangan hidup berhubungan
dengan nilai-nilai agama dan adat istiadat Minangkabau, dimana keduanya dipahami
sebagai rangkaian yang saling melengkapi. Dari segi agama, semua subyek baik ibu dan
anak mengharapkan pasangan hidup yang taat dan takwa terhadap Tuhan. Sedangkan
dari segi adat istiadat mereka mengharapkan pasangan hidup yang dapat bertingkah
laku sopan, memahami tata krama, dan tata berbicara sesuai dengan adat istiadat
Minangkabau. Hasil penelitian juga menunjukkan, ada dua faktor yang mempengaruhi seluruh
subyek dalam menentukan kriteria pasangan hidup yaitu faktor homogami dan faktor
lingkungan. Faktor homogami merupakan faktor intrinsik yang mempengaruhi seluruh
subyek dalam menentukan kriteria pasangan hidup, sedangkan faktor lingkungan
masyarakat merupakan faktor ektrinsik yang secara tidak langsung mempengaruhi
seluruh subyek.
Pengaruh yang diterima oleh seluruh subyek dari sistem lingkungan memberikan
informasi baru sehingga mereka lebih terbuka untuk menikah dengan orang lain di luar
suku bangsa Minangkabau atau keluar dari pola ideal perkawinan menurut adat
Minangkabau. Seluruh subyek memahami nilai-nilai agama dan adat istiadat
Minangkabau sebagai tuntutan yang harus diterima mereka, terutama keberadaan
mereka sebagai perempuan Minangkabau.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan agar melakukan penelitian dengan
karakteristik latar belakang yang berbeda, misalnya membandingkan subyek yang
berada di budaya Minangkau dengan mereka yang berasal dari budaya lain atau
membandingkan subyek yang berada dalam budaya Minangkabau tetapi berasal dari
nagari yang berbeda. Penelitian juga dapat dilakukan dengan melakukan studi terhadap
tiga generasi perempuan dalam budaya tertentu, tidak hanya dalam hal pemilihan
pasangan hidup tetapi menyangkut aspek perkembangan lain sehingga akan tampak
kekayaan dan kelemahan budaya yang teliti."
2001
S3052
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S6996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Pornada
"Persentase siswa sekolah menengah di Amerika Serikat yang menggunakan rokok elektrik pada tahun 2023 sebanyak 4,6%. Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2018 prevalensi perokok elektrik di Indonesia usia 10-18 tahun sebanyak 10,9%. Perilaku merokok remaja jika tidak dicegah dapat berdampak terganggunya konsentrasi belajar, menurunnya prestasi, dan gangguan kesehatan. Salah satu faktor penyebab remaja merokok elektrik adalah peran teman sebaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peran teman sebaya dengan perilaku merokok elektrik pada remaja SMA di Jakarta Pusat. Sampel penelitian ini berjumlah 398 remaja SMA di Jakarta Pusat dengan teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Penelitian ini menggunakan instrument dari Global Youth Tobacco Survey (r=0,730-1) untuk mengukur peran teman sebaya dan National Youth Tobacco Survei (r=0,365-0,942) untuk mengukur perilaku merokok elektrik. Analisis bivariat menggunakan Chi-square. Hasil analisis Odds Ratio (OR) menunjukkan nilai 0,192 (95% CI: 0,123-0,300), yang mengindikasikan bahwa individu yang memiliki teman sebaya yang lebih banyak merokok elektrik cenderung lebih berisiko untuk terlibat dalam perilaku merokok elektrik. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengidentifikasi faktor lain yang mempengaruhi perilaku merokok dan efektivitas strategi pencegahan melibatkan teman sebaya dalam mengurangi prevalensi merokok elektrik pada remaja.

In the United States, 4.6% of high school students reported using e-cigarettes in 2023. According to the 2018 Riskesdas report, the prevalence of e-cigarette use among Indonesian adolescents aged 10-18 years was 10.9%. Adolescent smoking behavior, if not prevented, can affect concentration, academic performance, and health. One of the factors contributing to adolescent e-cigarette use is peer influence. This study aims to determine the relationship between peer influence and e-cigarette smoking behavior among high school students in Central Jakarta. The study involved 398 high school students in Central Jakarta, using simple random sampling. Instruments from the Global Youth Tobacco Survey (r=0.730-1) were used to measure peer influence, and the National Youth Tobacco Survey (r=0.365- 0.942) to assess e-cigarette smoking behavior. Bivariate analysis was conducted using Chi-square. The results showed a significant relationship between peer influence and e-cigarette smoking behavior, with adolescents who had less peer influence being 0.19 times less likely to smoke compared to those with more peer influence. Further research is needed to identify other factors affecting smoking behavior and the effectiveness of peer-based prevention strategies in reducing e- cigarette use among adolescents."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Zainuddin
"Perkembangan penalaran moral ditentukan oleh banyak faktor antara lain faktor lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam lingkungan keluarga, proses pengasuhan khususnya ayah berperan dalam perkembangan penalaran moral remaja. Begitu juga dalam lingkungan sekolah, teman sebaya memiliki andil yang cukup berarti. Berkaitan dengan peran orangtua, secara tradisional pengasuhan dalam arti mendidik dan membesarkan anak lebih dibebankan kepada ibu. Peran ayah lebih dikaitkan dengan peran sehagai pendukung ekonomi yang membutuhkan keterampilan intelektual (Phares, 1996) sehingga keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tidak mendalam. Sesuai dengan perkembangan zaman jumlah wanita yang bekerja meningkat, ayah pun mulai dituntut untuk terlibat dalam pengasuhan anak.
Penelitian ini mengenai perkembangan penalaran moral remaja dikaitkan dengan peran ayah dan peran teman sebaya. Tujuan penelitian ini adalah (1) membuktikan apakah ayah berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja (2) membuktikan apakah teman sebaya berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja dan (3) membuktikan apakah ayah dan teman sebaya secara bersama-sama berperan dalam pencapaian tahap penalaran moral remaja.
Sampel penelitian ini adalah 160 siswa SMA Lab. School Rawamangun Jakarta kelas II tahun ajaran 2004/2005. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner persepsi remaja terhadap peran ayah yang disusun berdasarkan dimensi pengasuhan yang dikembangkan oleh Barber. Alat ukur lain adalah kuesioner persepsi remaja terhadap peran teman sebaya berdasarkan dimensi kelekatan remaja dengan teman sebaya dari Armsden & Greensberg. Untuk mengukur tahap penalaran moral remaja digunakan Defining Issues Test (DIT) yang dikembangkan oleh Rest. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis korelasi dan regresi.
Hasil penelitian menunjukkan ballwa peran ayah dan peran teman sebaya menunjukkan tidak ada hubungannya dengan perkembangan penalaran moral remaja. Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori mungkin disebabkan peran ayah khususnya di Indonesia memang tidak sebesar di negara Barat, walaupun ayah ikut terlibat dalam kegiatan rumah tangga namun umumnya masih berpegang pada norma-norma mengenai pembagian kerja. Selain itu alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Meskipun demikian, orangtua terutama ayah perlu juga memperhatikan hal seperti yang dikatakan dalam berbagai tinjauan teoritis bahwa ayah yang berperan aktif dalam pengasuhan remaja akan mengurangi terjadinya ketimpangan dalam pertumbuhan remaja tersebut khususnya perkembangan penalaran moral.
Saran utama yang diajukan sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perkembangan penalaran moral remaja agar didapatkan gambaran faktor-faktor lain yang ikut memberikan kontribusi. Saran juga ditujukan kepada keluarga, sekolah, dan praktisi pendidikan sehingga memiliki gambaran dalam rangka melakukan pembinanan terhadap moral remaja."
2005
T18600
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koernia Nanda Pratama
"Remaja Kecamatan Cilacap Tengah cenderung rnengkonsumsi rninuman keras. Tujuan penelitian mengetahui hubungan peran keluarga dengan konsumsi minuman keras pada rernaja. Penelitian analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Jumlah responden 87 responden dengan total sampling. Data diambil dengan kuesioner dan analisis regresi linier. Hasil penelitian rnenjelaskan bahwa konsumsi rninuman keras pada rernaja akan berkurang apabila peran keluarganya baik. Hasil analisa regresi linier berganda dengan uji Anova (uji f) dengan p value = 0,001 (a < 0,05). Disimpulkan kecilnya peran keluarga dapat rneningkatkan konsumsi rninuman keras rernaja.

Adolescents in Cilacap Tengah district tend to consume alcohol. This research aimed to determine the relationships between the role of family and peers and consumption of alcohol among adolescents. The research design was analytic correlation with cross-sectional approach. A total sample of 87 respondents were participated in this study. The data was collected using questionnaire and analyzed using regression linier test. The results showed that the amount of alcohol consumption in adolescents reduced when the role of family improved. Multiple regression linear analysis or ANOVA test (F test) showed p value= 0.001 (p value < 0.05). This research concludes that when family could not demonstrate the roles properly, it will likely to result in higher alcohol consumption among adolescent.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
T42553
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ais Irmawati
"Tujuan dilakukannya studi ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh sosialisasi keluarga, sosialisasi sekolah, dan sosialisasi peergroup (teman sebaya) terhadap perilaku budi pekerti anak. Serta agen sosialisasi mana yang memegang peranan paling penting dalam mempengaruhi perilaku budi pekerti anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang besifat deskriptif, dengan metode studi kasus. Adapun cara pengumpulan datanya, terlebih dahulu dilakukan Focus Group Discussion, yang hasilnya kemudian dianalisa secara kualitatif, selain juga dijadikan kuesioner untuk data kuantitatif. Data kuesioner tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan korelasi dan regresi ganda.
Kerangka pemikiran teori yang dipergunakan adalah: dalam setiap tahap perkembangan manusia, sebagai makhluk sosial, yang selalu mendapat sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Setiap orang, dalam hal ini populasi penelitiannya adalah siswa kelas III SMPN 123 Jakarta, akan mendapat pengaruh perilaku budi pekertinya dan orang lain. Namun, menurut Getting dan Donnermeyer, sumber sosialisasi sekunder hanya dapat bekerja melalui dampak dari sosialisasi primer.
Hasil studi ini mendapatkan kesimpulan bahwa variabel sosialisasi keluarga, sosialisasi sekolah, dan sosialisasi peergroup (teman sebaya) mempunyai pengaruh terhadap perilaku budi pekerti anak sebesar 0,388, atau 15 %. Artinya, terdapat 85 % perilaku budi pekerti dipengaruhi oleh variabel lain. Variabel lain yang dimaksud berdasarkan hasil focus group discussion adalah media massa, dalam hal ini televisi.
Dan hasil analisa penelitian, penulis menyarankan 1) kepada para orang tua hendaklah mendidik putra-putrinya dengan pola asuh authoritative, yaitu pola asuh yang bersifat mencintai, mengontrol, komunikatif dan mempunyai tuntutan perilaku yang matang terhadap anak-anaknya.2) kepada guru, hendaklah dapat menjadi seorang guru, yang dapat digugu (dipatuhi) dan ditiru, sehingga siwa dapat melakukan imitasi terhadap perilaku guru di sekolahnya. 3) kepada badan sensor, hendaklah melakukan tugas sensor dengan baik, baik untuk produksi nasional, maupun asing. 4) kepada masyarakat luas, hendaklah selalu berperilaku budi pekerti yang baik, sehingga semua orang akan terbiasa melihat pola perilaku yang baik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14282
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saefudin
"Pada satu sisi orang Indonesia menganggap dirinya sebagai bangsa yang religius. Namun pada sisi yang Iain, pada tataran praksis, ada indikasi terjadinya degradasi moral dan juga meningkatnya sekularisme. Tindakan yang dapat dikategorikan non-religius atau indikasi rendahnya religiositas ini, ternyata tidak hanya terjadi di kalangan orang tua, tetapi juga di kalangan anak-anak/remaja. Keadaan ini menarik dan penting untuk diperhatikan mengingat remaja adalah generasi penerus bangsa. Di samping itu menurut Erik H. Erickson pada fase remaja seorang individu menghadapi krisis identitas, suatu fase perkembangan yang sangat penting, yang akan mempengaruhi fase-fase perkembangan selanjutnya. Pertanyaan yang muncul dan menjadi permasalahan penelitian adalah seberapa besar pengaruh agen-agen sosialisasi agama (yaitu: keluarga, gereja, sekolah dan teman sebaya) dalam membentuk religiositas remaja (usia 13-17 tahun) yang selama ini dilakukan?
Penelitian ini bertujuan, pertama, ingin mengetahui pengaruh sosialisasi agama dalam keluarga, gereja, sekolah dan teman sebaya terhadap religiositas remaja. Kedua, ingin mengetahui perbedaan pengaruh sosialisasi agama dalam keluarga, gereja, sekolah dan teman sebaya terhadap religiositas remaja dari sisi denominasi gereja, jenis kelamin dan jenis sekolah.
Variabel dependen yang diangkat dalam penelitian ini adalah religiositas remaja. Religiositas (religiosity atau religious commitment atau religious involvement atau religiousness) yang dimaksudkan di sini adalah kepercayaan dan tingkah laku individu dalam kaitannya dengan hal yang bersifat supernatural dan/atau nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Pengukuran religiositas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan mengadopsi indikator-indikator yang dikembangkan oleh Joseph E. Faulkner dan Gordon F. DeJong, yang bersumber dari dimensi-dimensi religiositas yang dikembangkan oleh Charles Y. Glock dan Roodney Stark. Dalam penelitian ini diangkat empat dimensi religiositas yaitu: keyakinan (ideological/belief), praktek religius (ritualistic), pengalaman (experimental) dan pengetahuan (intellectual).

Indonesians view themselves as religious people. However, in reality, lndonesians are experiencing a period of moral degradation and increased secularism. These phenomena not only occur among adults, but also among teenagers, the future generation. As Erik H. Erickson suggests, during adolescence, an individual is undergoing identity crisis, a critical phase which will influence on later development. In such an impressionable state, teenagers are influenced by their families, churches, schools and peers groups. The questions, then, is how these groups shape teen religiosity (age 13 to 17).
This research has two goals. First, it investigates the influences of religious socialization in the family, church, school and peers groups in shaping teen religiosity. Secondly, it explores different kinds of influence of religious socialization in the family, church, school and peers groups in shaping teen religiosity with respect to church denomination, gender and school types.
The dependent variable in this research is teen religiosity. Religiosity (or religious commitment) in this research is understood as individual belief or behavior connected to moral and godly matters. The quantitative indicators adopted to measure religiosity was developed by Joseph E. Faulkner and Gordon F. DeJong as found in the religiosity dimensions cultivated by Charles Y. Glock and Roodney Stark. The four dimensions of religiosity are belief (ideological), religious practices (ritualistic), experience (experimental) and knowledge (intellectual)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T21164
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>