Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170288 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurasiatun Israini
"Individu harus memiliki keterampilan melakukan pemecahan masalah untuk mengatasi masalahnya sehari-hari. Agar dapat melakukan pemecahan masalah secara efektif dan efisien seseorang hams menguasai tingkahlaku-tingkahlaku tertentu yang disebut sebagai tingkah laku inteligetL Pendidikan bertujuan akhir mengajarkan siswa untuk mampu melakukan pemecahan masalah dalam berbagai bidang kehidupan. Namun saat ini, hasil pendidikan belum sepenuhnya dapat mencapai tujuan tersebut.
Selama ini metode pengajaran yang paling sering diterapkan adalah metode ceramah Metode ini teibukti kurang efektif untuk meningkatkan keterampilan siswa memecahkan masalaL Oleh karena itu perlu diterapkan metode pengajaran lain yang lebih efektif. Belajar dalam kelompok (belajar secara kolaboratit) yang mengajak siswa untuk lebih aktif terlibat dalam proses belajar diyakim dapat memberikan hasil yang lebih baik. Dalam kegiatan belajar kolaboratif mi tingkah laku inteligen, yang menentukan keterampilan seseorang memecahkan masalah, dapat berkembang lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat keterkaitan antara kegiatan belajar kolaboratif dengan keterampilan siswa melakukan pemecahan masalah melalui gambaran tingkah laku inteUgen yang tampil selama berlangsungnya kegiatan belajar kolaboratif. Selain itu, ingin dilihat pula hal-hal yang kiranya beipengamh pada tingkah laku inteligen yang ditampilkan siswa selama berlangsungnya proses kegiatan belajar kolaboratif.
Untuk itu satu kelompok siswa diminta melakukan kolaborasi untuk memecahkan masalah Selama berlangsungnya proses tersebut dilakukan perekaman terhadap percakapan-percakapan yang teijadi antar siswa, Percakapan yang terekam itu kemudian dikategorisasi ke dalam indikator tingkah laku inteligen yang telah ditetapkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama berlangsungnya kegiatan belajar kolaboratif, tingkah laku inteligen yang paling sering tampil adalah tingkah laku bertanya, mendengar, dan keinginan imtuk mencapai hasil keija yang akurat. Sementara itu, kreativitas siswa hampir tidak muncul selama berlangsungnya kegiatan tersebut Situasi tertentu, yaitu kehadiran pakar, guru, dan jangka waktu pelaksanaan sesi kegiatan belajar kolaboratif tampak memepengaruhi pola tampilnya tingkah laku inteligen siswa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Untari
"Kualitas belajar siswa tergantung pada bagaimana ia mengarahkan dirinya sendiri di saat belajar, atau disebut dengan istilah self-regulated learning. Untuk dapat belajar secara efektif, siswa perlu mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menggunakan berbagai strategi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hasil belajarnya. Namun, lingkungan belajar yang banyak diterapkan di sekolah dinilai kurang dapat mendorong perkembangan self-regulated learning. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini dihadirkan metode belajar kolaboratif yang direkomendasikan memberikan lingkungan yang subur bagi berkembangnya self-regulated learning siswa.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran tentang perkembangan penggunaan strategi-strategi self-regulaIed learning pada siswa SMU yang mengikuti kegiatan belajar kolaboratif. Studi ini melibatkan 14 orang subyek yang mengikuti kegiatan belajar kolaboratif selama 8 sesi. Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara tentang penggunaan strategi sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan belajar kolaboratif. Selain itu, data percakapan dalam kegiatan belajar kolaboratif direkam dan digunakan untuk memperoeh gambaran tentang perkembangan penggunaan strategi selama kegiatan tersebut.
Data wawancara memberikan gambaran tentang penggunaan strategi-strategi self-regulated learning siswa dalam berbagai situasi belajar sehari-hari. Perbandingan hasil pretest dan posttest menunjukkan adanya perbedaan penggunaan strategi pada situasi belajar di rumah, terutama pada strategi seeking information. Sementara data hasil percakapan menunjukkan bahwa perkembangan penggunaan strategi-strategi self-regulated learning selama kegiatan belajar kolaboratif dipengaruhi oleh berbagai struktur lingkungan yang dihadirkan, seperti bentuk tugas, kehadiran pakar, dan peran guru sebagai mediator."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2568
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda I. Sumayku
"Sekolah belum berhasil mempersiapkan siswa untuk terjun ke masyarakat (dunia kerja/kehidupan sehari-hari). Ini disebabkan karena sebagian besar aktivitas sekolah masih dijiwai plinsip surface conception of learning. Prinsip ini mengandung pemahaman bahwa belajar (learning) adalah sekedar proses merekam pengetahuan baru untuk ditambahkan kepada kumpulan pengetahuan yang sudah ada, bukan upaya aktif pelakunya mengkonstruksi pemahaman bagi dirinya seperti terkandung dalam prinsip deep conception of learning. Konteks belajar dapat mempengaruhi conception of learning siswa, yang akan menentukan pendekatan mereka dalam belajar. Pendekatan dalam belajar dapat dilihat dari strategi-strategi self-reguIated learning siswa ketika berhadapan dengan tugas belajar. Metode belajar kolaboratif; yang dirancang berdasarkan prinsip deep conception of learning, memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi munculnya strategi-strategi self-regulated learning.
Masalah-masalah penelitian ini adalah: (1) Bagaimana conception of learning siswa SMU? (2) Bagaimana conception of learning mereka setelah mengikuti kegiatan belajar kolaboratif? Dan (3) Bagaimana hubungan conception of learning yang ditampilkan para siswa tersebut dengan penggunaan strategi strategi self-regulated learning mereka dalam kegiatan belajar kolaboratif?
Penelitian ini adalah penelitian N kecil (N=15). Subyek adalah siswa SMU Islam Dian Ilmu Cinere. Data conception of learning siswa diperoleh lewai wawancara (sebelum dan sesudah kegiatan belajar kolaboratif), sedangkan data strategi sirategi self-regulated learning siswa diperoleh lewat penyelenggaraan kegiatan belajar kolaboratif. Analisis data bertujuan melihat proses/dinamika perubahan yang terjadi, dan pola hubungan dalam proses tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar subyek ternyata memiliki surface conception of learning, namun setelah kegiatan belajar kolaboratif, terjadi perubahan positif. Penelitian ini juga mencatat antara lain ciri-ciri subyek yang memiliki deep learning conception dalam penggunaan self-regulated learning strategies, dan mereka yang mengalami perubahan positif dalam learning conception."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Nursusilowati
"ABSTRAK
Informasi di dalam sistem ingatan manusia disusun dalam suatu jaringan
informasi yang terorganisasi. Informasi akan disimpan dengan membentuk suatu
hubungan antar satu konsep dengan konsep yang telah ada sebelumnya (Solso,
1991). Hubungan antara sejumlah konsep yang tersimpan di dalam sistem ingatan
manusia itu disebut sebagai struktur pengetahuan (Jonassen, et.al., 1993).
Struktur pengetahuan berperan penting dalam aktivitas kognitif karena
memudahkan untuk melacak informasi yang dibutuhkan, memudahkan untuk
mengaktifkan hubungan antar konsep dan memudahkan untuk menggunakan
strategi pemrosesan informasi (Chi & Glaser, dalam Flavel, et.al., 1993).
Dalam belajar, seorang siswa perlu dibantu untuk mengembangkan
struktur pengetahuannya. Agar struktur pengetahuan siswa berkembang, siswa
harus mendapat kesempatan untuk mengintegrasikan pengetahuan baru dengan
pengetahuan sebelumnya, berperan aktif dalam belajar dan terjadi konflik kognitif
dalam ingatan siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan siswa dalam
lingkungan belajar kelompok (Brown & Palincsar, 1991).
Salah satu bentuk belajar dalam kelompok adalah belajar kolaboratif.
Belajar kolaboratif ditandai oleh adanya pembagian pengetahuan antara guru dan
siswa, pembagian otoritas antara guru dan siswa, guru berperan sebagai mediator
dan pengelompokan siswa yang heterogen (Tinzmann, et.a1., 1990).
Penelitian ini hendak melihat bagaimana perkembangan struktur
pengetahuan siswa yang mengikuti kegiatan belajar kolaboratif Penelitian ini
dilakukan dengan memperhatikan perkembangan struktur pengetahuan setiap scsi.
Untuk itu pengamatan dilakukan pada l kelompok siswa yang beranggotakan 5
orang_
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa selama mengikuti kegiatan belajar
kolaboratif, struktur pengetahuan siswa menunjukkan adanya kecenderungan
meningkat. Peningkatan tersebut diamati pada 2 hal, yaitu hubungan semantik
antar pasangan konsep dan pengelompokan konsep dalam peta kognitif.
Dilihat dari hubungan semantik antar konsep, selama mengikuti kegiatan
belajar kolaboratif, siswa semakin mampu mengidentifikasikan kekuatan
hubungan semantik antar konsep, dan nilai hubungan semantik yang dibentuk
siswa semakin sesuai dengan nilai semantik yang dibentuk pakar.
Dilihat dari peta kognitif yang dibentuk siswa selama mengikuti kegiatan
belajar kolaboratif, pengelompokan konsep dalam peta kognitif semakin
menyerupai pengelompokan konsep yang terdapat di peta kognitif pakar dan
jumlah konsep yang posisi pengelompokannya sama dengan peta kognitif pakar
bertambah jumlahnya.
Fakta lain yang ditemui dalam penelitian yaitu bahwa perkembangan
struktur pengetahuan kemungkinan dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah
dimiliki sebelumnya (prior knowledge). Namun demikian, fakta ini masih perlu
diteliti lebih lanjut
Mengingat penelitian ini dilakukan pada 1 kelompok siswa dengan
anggota 5 orang, maka akan lebih baik bila dilakukan penelitian lebih lanjut yang
melibatkan subyek dengan jumlah yang besar."
1998
S2573
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amarina Ashar Ariyanto
"ABSTRAK
Penelitian ini merupakan upaya menjelaskan tingkah laku bermasalah pada siswa SMA dan STM dengan menggunakan kerangka pemikiran Fishbein dan Ajzen sebagai dasar untuk menerangkan masalah yang disoroti. Selain itu, juga untuk mengetahui bagaimana penerapan teori yang mereka kemukakan pada lapangan tingkah laku yang belum banyak diteliti. Teori Reasoned Action, (dikembangkan oleh Fishbein ) sebagai teori yang berakar pada Teori Sikap, memfokuskan perhatian pada belief, sikap dan tingkah laku dalam upayanya menjelaskan tingkah laku. Menurut teori ini, determinan langsung dari tingkah laku overt individu adalah intensinya ( I ) untuk menampilkan tingkah laku tersebut. Intensi seseorang dapat diprediksi melalui 2 hal utama, yaitu Sikapnya terhadap hal tersebut dan Norma Subyektif yang ia miliki. Sikap seseorang dapat dilihat melalui belief ( b ) yang ia miliki dihubungkan dengan evaluasinya terhadap belief tersebut ( e ); sedangkan Norma Subyektifnya terbentuk melalui persepsi subyek tentang harapan orang lain yang ia anggap penting ( Normative belief -- NB ) dihubungkan dengan bagaimana keinginan dia untuk memenuhi harapan orang lain tersebut (Motivasi to Comply - MC ). Teori yang dikembangkan pada tahun 1975 ini dianggap dapat memberikan semangat baru pada bidang penelitian tentang sikap, setelah mengalami masa lesu di sekitar tahun 1970. Pada tahun 1988 Ajzen mengemukakan teori Planned Behavior, yang merupakan pengembangan dari teori Reasoned Action, dimana ia menambahkan aspek Perceived Behavioral Control Belief ( PBCB ), yaitu belief individu mengenai sejauh mana ia mempersepsikan akan dapat mengontrol dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Belief ini selalu dikaitkan dengan situasi atau kondisi tertentu, dalam masalah diatas adalah kondisi kondisi apa saja yang mereka persepsikan dapat mendorong atau menghambat keterlibatan mereka dalam perkelahian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) bagaimana intensi terlibat perkelahian pada siswa SMA dan STM yang diteliti , 2) bagaimana peranan faktor sikap, Norma subyektif dan PBC Belief terhadap intensi, faktor mana yang lebih berperan pada kelompok yang diteliti, serta 3} bagaimana pula gambaran Belief, Evaluasi Belief, Significant Others serta Motivation to Comply mereka.
Responden penelitian adalah 315 siswa dari sekolah yang dalam laporan POLDA Metro Jaya tercatat sebagai sering berkelahi, paling sedikit 3x dalam periode '89 - '91. Sekolah yang dituju dipilih secara sangat purposif, sedangkan kelas yang dijadikan responden adalah kelas 1 dan 2 yang didalamnya ada siswa bermasalah maupun yang berprestasi. Responden seluruhnya pria, dan meliputi 26 kelas dari 3 STM dan 3 SMA di Jakarta. Pengelompokan responden kedalam 4 kelompok penelitian dilakukan berdasarkan 'peer rating' terhadap tingkat agresifitas teman sekelasnya. Instrumen yang diberikan ada 2 macam, yaitu alat A yang mengukur intensi terlibat perkelahian, dan alat B yaitu alat yang disusun untuk mengukur intensi untuk tidak berkelahi. Dalam pengolahan selanjutnya data dari alat B tidak dianalisa, karena ternyata alat A dapat mengukur intensi secara lebih tajam.
Hasil yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah : Intensi seluruh kelompok adalah rendah. Antara Kelompok Tidak Agresif dengan Kelompok Agresif Sedang dan Kelompok Sangat Agresif, intensinya tidak berbeda signifikan, tetapi dengan kelompok Ditahan, intensinya berbeda signifikan.
Ketajaman Peramalan intensi maupun hubungan (multipel korelasi) dengan menggunakan 3 prediktor (S, SN, PBC belief) ternyata lebih tinggi daripada dengan 2 faktor saja (S dan SN).
Pada Kelompok Agresif (Total) maupun Agresif sedang, peran Norma Subyektif lebih besar daripada Sikap dan PBC Belief; tetapi pada Kelompok Sangat Agresif maupun Kelompok Ditahan, peran sikap yang lebih besar.
Belief yang dimiliki responden mengenai terlibat perkelahian adalah: membela nama sekolah, solider terhadap teman, menambah pengalaman dan memperluas.pergaulan. Normative Belief mereka adalah orang tua, guru dan teman sebaya. Sedangkan PBC Belief mereka adalah ingat akan orang tua, jarak lawan jauh, kehadiran polisi dan masa ujian/ulangan.
Disarankan untuk mencoba mengembangkan dan menggunakan instrumen lain untuk memancing intensi responden, juga untuk melihat kemungkinan lain dari penerapan teori ini pada berbagai lapangan tingkah laku yang secara sosial kurang diterima."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"ABSTRAK
Harga diri akademis memainkan peran penting di dalam
prestasi akademis. Hubungan antara harga diri akademis
dengan prestasi akadamis bersifat resiprok. Artinya anak
yang berprastasi di sekolah akan mengembangkan harga diri
akademis yang tinggi dan anak yang memiliki harga diri
akademis yang tinggi memiliki kepercayaan diri untuk menca-
pai kesuksesan. Sebagai akibatnya harga diri akademis yang
tinggi akan menghasilkan prestasi akademis yang baik. Harga
diri akademis berkembang sebagai hasil interaksi dengan
orang-orang yang bermakna di dalam kehidupan individu.
Setelah memasuki usia sekolah guru dan taman sebaya mempan-
garuhi persepsi anak terhadap dirinya. Di dalam kelas tradi-
sional, guru berperan sebagai otoritas tunggal dalam hal
menentukan hegiatan belajar dan penyampaian pengetahuan. Hal
ini menyebabkan anak didik menjadi pasif dan kurang mendapat
pengalaman belajar yang menarik. Untuk itu perlu diadakan
perubahan metode mengajar agar siswa tertantang untuk bela-
jar dan memperoleh pengalaman belajar yang menyenangkan.
Banyak ahli yang menawarkan Metode Belajar Kolaboratif
sebagai satu metode belajar yang akan memberi dampak positif
pada pembelajaran siswa. Metode Belajar Kolaboratif memberi
siswa kesempatan untuk saling berbagi pengetahuan, keteram-
pilan dan tanggung jawab di antara siswa sendiri maupun
dengan guru. Situasi belajar kolaboratif memungkinkan siswa
untuk terlibat aktif di dalam pengkonstruksian pengetahuan
dan mempeouleh pengalaman berhasil mengerjakan suatu tugas.
Dengan demikian siswa akan termotivasi untuk belajar dan
mengembangkan rasa kompeten di dalam dirinya.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh Metode
Belajar Kolaboratif terhadap harga diri akademis anak usia
15-18 tahun. Subyek penelitian adalah 15 anak usia 15-18
tahun yang berada pada tahap perkembangan formal operasio-
nal. Mereka adalah siswa kelas I SMU Islam Dian Ilmu. Untuk
mengetahui apakah metode belajar kolaboratif mempengaruhi
harga diri akademis subyek, sebelum dan sesudah mengikuti
kegiatan belajar kolaboratif subyek diminta untuk mengisi
Skala Harga Diri Akademis. Gain Scare diolah dengan teknik
statistik non parametrik.
Dari penelitian diperoleh hasil bahwa Metode Belajar
Kolaboratif tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
harga diri akademis subyak. Secara keseluruhan tidak ada
peningkatan skor karena pengaruh metode belajar kolaboratif
tetapi dengan melihat skor harga diri akademis masing-masing
subyek terlihat adanya peningkatan skor yang dihubungkan
dengan jumlah sessi kehadiran subyek. Subyek yang selalu
hadir memperoleh kesempatan untuk mengkunstruksi pengetahuan
dan saling memberi penjelasan. Hal ini berpengaruh terhadap
peningkatan harga diriakademis. Sedangkan subyek yang tidak
mengikuti keseluruhan kegiatan belajar kolaboratif tidak
memperoleh keterampilan-keterampilan yang akan menimbulkan
perasaan kpmpeten di bidang akademis. Selain itu diperoleh
hasil bahwa kehadiran subyek di dalam kegiatan belajar
kolaboratif tidak akan meningkatkan harga diri akademis bila
subyek tidak terlibat aktif di dalamnya misalnya hanya
memainkan peran sebagai pencatat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
memberikan sumbangan-sumbangan teoritis bagi peneliti lain
yang ingin melakukan penelitian mengenai harga diri akademis
terutama di dalam situasi belajar yang menggunakan Metode
Belajar Kolaboratif. Dari segi praktis, diharapkan hasil
penelitian ini memberikan informasi khususnya bagi guru
mengenai Metode Belajar Kolaboratif agar guru dapat
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan anak akan
termotivasi untuk belajar. Dengan demikian mereka menunjuk-
kan prestasinya secara optimal."
1998
S2513
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Novi Ernalita
"Sekolah, sebagai salah satu Iingkungan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk mengembangkan individu dalam aspek kognitif dan afektif, yang penting sesuai dengan tuntutan masa sekarang ini sebagai masa pembangunan. Salah satu petunjuk bahwa seorang siswa berhasil mengembangkan aspek kognitif dan afektifnya di sekolah adalah prestasinya. Tetapi prestasi belajar siswa inilah yang menjadi masalah dalam jenjang pendidikan SMU. Jenjang pendidikan dimana siswa yang dididik adalah individu usia remaja, yang merupakan usia transisi dimana individu mengalami perubahan baik secara fisik dan psikologis dari anak-anak menjadi dewasa. Matematika adalah salah satu disiplin ilmu yang diajarkan di SMU. Ia berperan mempersiapkan siswa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menjadi pemikiran yang melandasi semua ilmu pengetahuan dan filsafat.
Salah satu komponen vital di sekolah yang berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, termasuk prestasi belajar matematika adalah guru, dalam hal ini guru matematika melalui harapannya yang dikomunikasikan dalam tingkahlakunya selama interaksi guru-siswa di dalam kelas. Tingkahlaku guru yang mengindikasikan harapannya terhadap siswa dapat muncul dalam empat kategori, yaitu Umpan Balik, Interaksi Verbal, Interaksi Interpersonal dan Strategi Instruksional yang operasionalisasinya terbagi menjadi 16 jenis tingkahlaku. Tingkahlaku guru matematika menjadi penting untuk diteliti karena dapat menjadi faktor yang meningkatkan sekaligus menghambat siswa untuk menyukai dan berprestasi dalam mata pelajaran matematika. Mengingat besarnya pengaruh tingkahlaku guru tersebut, maka timbul pertanyaan apakah ada perbedaan harapan guru matematika yang dikomunikasikan melalui tingkahlakunya terhadap siswa yang dipersepsi prestasi belajar matematika yang berbeda, antara siswa yang berprestasi belajar matematika tinggi dan berprestasi belajar matematika rendah.
Alasan peneliti untuk rnembatasi penelitian hanya pada siswa SMU karena peneliti melibat bahwa siswa SMU sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap dan mengerti harapan guru yang dikomunikasikan melalui tingkahlakunya selama interaksi guru-siswa di dalam kelas. Selain itu, mata pelajaran matematika yang menjadi pelajaran utama di semua jenjang pendidikan, dianggap lebih penting perannya terhadap siswa SMU untuk mempersiapkan siswa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 24 orang siswa kelas 2 SMU yang diambil dari 2 kelas yang berbeda (27:12) dan 2 orang guru matematika SMU yang diambil dari SMU Negeri 21, Jakarta. Subyek ini untuk tiap-tiap kelas kernudian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok siswa yang dipersepsi oleh guru memiliki prestasi matematika tinggi dan kelompok siswa yang dipersepsi oleh guru memiliki prestasi matematika rendah. Untuk mengukur perbedaan harapan guru matematika terhadap kedua kelompok siswa tersebut, digunakan metode wawancara guru dan observasi natural perbedaan tingkahlaku guru matematika terhadap siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Untuk mengontrol pengaruh inteligensi terhadap prestasi belajar matematika siswa, digunakan tes Advanced Progressive Matrices dari Raven. Analisa terhadap hasil wawancara guru dan observasi di dalam kelas dibagi menjadi 4 macam. Pertama, menghitung reliabilitas observasi dengan menghitung kesepakatan antar pengamat. Kedua, adalah menghitung signifikansi perbedaan tingkah laku masing-masing guru terhadap siswa di kelas yang ia ajar dengan menggunakan metode statistik nonparametrik, tes tanda (sign test). Ketiga adalah analisa terhadap hasil observasi tingkahlaku guru terhadap siswa di dalam kelas yang berbentuk deskripsi hasil observasi dan yang terakhir adalah analisa terhadap hasil wawancara dengan guru berupa harapan guru terhadap prestasi belajar matematika siswa serta tingkahlakunya terhadap siswa selama interaksi guru-siswa di dalam kelas.
Hasil analisa menunjukkan untuk Bapak A, ada perbedaan yang signifikan dalam tingkahlaku 6 (mengajukan pertanyaan kepada siswa), tingkahlaku 10 (berinteraksi dengan siswa di depan umum), tingkahlaku 11 (berinteraksi dengan siswa tidak di depan umum) dan tingkahlaku 14 (mengajarkan strategi belajar yang efektif) terhadap kelompok siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Sedangkan tingkahlaku Bapak A tidak berbeda secara signifikan terhadap kedua kelompok tersebut dalam jenis tingkahlaku lainnya. Analisa terhadap Bapak B menunjukkan ada perbedaan yang signifikan dalam tingkahlaku 9 (melakukan kontak mata dengan siswa), tingkahlaku 10 (berinteraksi dengan siswa di depan umum), tingkahlaku ll (berinteraksi dengan siswa tidak di depan umum) dan tingkahlaku 16 (mengabaikan untuk memberi bantuan ketika siswa mengerjakan tugas mandiri terhadap kelompok siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Sementara itu hasil analisa terhadap hasil wawancara dengan kedua guru ditemukan bahwa untuk Bapak A ada perbedaan harapan terhadap prestasi belajar siswa yang dipersepsi berprestasi matematika tinggi dan berprestasi matematika rendah. Sedangkan Bapak B tidak memiliki harapan yang berbeda terhadap kedua kelompok siswa tersebut.
Untuk penelitian lanjutan disarankan penelitian pada guru dan siswa dengan jumlah yang lebih besar, agar diperoleh gambaran yang lebih kaya lagi. Selain itu dapat pula dilakukan penelitian yang sama dengan membandingkan harapan dari guru yang mempunyai kepribadian yang berbeda-beda terhadap prestasi belajar siswa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2563
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophie Dwiyanti
"ABSTRAK
Collaborative learning/CL sebagai suatu metode pengajaran alternatif, diyakini bisa
membawa perubahan bagi falsafah pengajaran tradisional yang masih dianut di
Indonesia saat ini. Ciri pengajaran tradisional yang bertumpu pada pusat otoritas guru
dalam kelas, banyak mengakibatkan situasi berharga yang bisa dipetik siswa di kelas,
menjadi begitu saja terlewatkan dan bahkan pada akhirnya hanya menjadikan siswa
bersikap pasif pada proses pembelajaran dirinya sendiri (Harris & Graham, 1994;
Hewitt & Scardamalia, 1995).
Metode CL dibangun melalui pendekatan belajar yang mendefinisikan belajar sebagai
proses konstruksi pengetahuan, penggunaan pengetahuan terdahulu dan selalu terkait
dengan situasi (Resnick, 1989), sehingga implikasinya adalah harus ada kegiatan aktif
dalam proses belajar. Dengan demikian dalam kelas CL guru diminta untuk berbagi
otoritas dengan siswa, saling memberikan pengalaman dan pengetahuan bersama
menetapkan pilihan tugas dan menyelesaikannya secara bersama (Tinzmann, dkk.,
1990)
Aktivitas kelas yang demikian, didominasi oleh keadaan saling berbagi, yang akan
berimplikasi pada penggunaan alat dan kegiatan bersama. Kenyataan ini hanya bisa
sampai pada tujuan yang ditetapkan hanya bila ada pemahaman bersama (shared
understanding) mengenai tugas (Traum, 1996). Tercapainya pemahaman bersama
dalam CL dapat terlihat dari mekanisme social grounding/ SG (Dillenbourg &
Schneider, 1993). SG adalah proses dimana dua orang yang berdiskusi berusaha
mengelaborasi keyakinan bersarna (mutual belief) bahwa salah satu rekan diskusinya
telah memahami apa yang disampaikan pembicara SG terlihat dalam setiap unit
percakapan dimana masing-masing pembicara secara terus menerus berkoordinasi
untuk tetap ?terhubung? dengan ini pembicaraan, dengan cara menunjukkan bukti-
bukti yang dapat memandu pembicara mengetahui bahwa lawan bicaranya telah
memahami ucapannya.

Dalam aktivitas CL, komunikasi yang terjadi adalah hasil aktivitas kolektif yang
memerlukan tindakan yang terkoordinasi. Oleh karena itu grounding menjadi penting
artinya untuk melihat bahwa tiap anggota tetap berada di jalur yang sama. Selain itu,
shared understanding ini adalah kondisi yang dibutuhkan agar aktivitas CL berjalan,
karena kita tidak mungkin berasumsi bahwa kelompok rnemang berkolaborasi, bila
setiap anggota tidak mengerti apa yang dikolaborasikan. Dari pemikiran ini, maka
peneliti ingin memperoleh gambaran bagaimana social grounding yang terjadi pada
sekelompok siswa yang berpartisipasi dalam kegiatan collaborative learning.
Grounding dalam percakapan dapat dilihat melalui model kontribusi yang
dikemukakan oleh Clark dan Schaefer (dalam Clark & Brennan, 1991). Dalam model
ini, setiap kalirnat dianalisa dengan melihat bukti-bukti grounding, seperti relevant
next turn, continued attention, gelengan kepala atau dari teknik yang digunakan,
seperti menunjuk sesuatu, memberikan deskripsi alternatif dan sebagainya. Analisis
yang dilakukan dari tiap kalimat yang ada, dikenal dengan analisis percakapan
(conversation analysis) yang dikemukakan Schegloff (1991).
Untuk melihat gambaran social grounding, maka satu kelompok (terdiri dari 5 orang
siswa) berdiskusi mengenai suatu tugas (materi AIDS), dan direkam secara audio-
video selama kegiatan berlangsung. Penelitian yang dilakukan selama 8 kali sesi
diskusi, menghasilkan 8 buah transkrip percakapan, dengan total kalimat/giliran
bicara sebanyak 6452 buah. Selain itu penelitian ini menunjukkan juga bahwa dalam
kelompok terjadi grounding dengan persentase yang cukup tinggi (88,8%). Hal ini
dikuatkan dengan bukti-bukti positif bahwa siswa memiliki pemahaman dengan isi
diskusi.
Beberapa saran bisa diberikan untuk penelitian ini, bila guru ingin menerapkan CL
dalam kegiatan belajarnya, maka ia harus memainkan peran sebagai mediator yang
terus memantau jalannya diskusi yang rnemastikan siswa tetap terkoordinasi. Saran
lain yang dapat diberikan antara lain perumusan tujuan yang lebih jelas, pengaturan
jadwal kegiatan yang lebih lama namun dalarn frekuensi 1 kali saja dalam seminggu.
Selain itu, penulisan transkrip harus lebih mengikuti kaidah penulisan yang baku, dan
perlu untuk menonton kembali rekaman video nntuk melihat kalimat-kalimat yang
tidak bisa diidentifikasi dan sekaligus untuk mernperkaya observasi."
1998
S2756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Marcel
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan tingkah laku agresif siswa dalam tawuran sehubungan dengan bentuk konformitas acceptance dan compliance. Tema penelitian ini diangkat melihat kenyataan bahwa sampai saat ini tawuran masih menjadi fenomena yang meresahkan masyarakat, ditandai dengan meningkatnya kerugian yang diakibatkan oleh tawuran baik kerugian berupa materi, maupun jatuhnya korban jiwa, bertambahnya jumlah pelaku dan sekolah yang terlibat tawuran.
Tawuran adalah perkelahian masal yang merupakan perilaku kekerasan antar kelompok, oleh karena itu tingkah laku agresif siswa dalam tawuran dapat dikatakan sebagai hasil dan proses kelompok. Sementara menurut Myers (1996) pengaruh proses kelompok yang menghasilkan perubahan tingkah laku, keyakinan individu tidak sama pada masing-masing individu. Ada individu yang bertingkah laku sesuai dengan tekanan kelompok, sementara secara individual ia tidak menyetujui perilaku tersebut. Adapula individu yang perilaku maupun keyakinannya sesuai dengan tekanan kelompok yang diterimanya. Dari sini kemudian peneliti menduga perbedaan pengaruh proses kelompok pada individu akan menghasilkan tingkah laku agresif yang berbeda pula.
Penelitlan ini menggunakan pendekatan kuantitatif, penarikan sampel tergolong ke dalam non probability sampling dengan teknik incidental. Subyek adalah siswa dari sekolah yang mempunyai frekuensi terlibat tawuran yang tinggi dengan jumlah subyek sebanyak 135 orang. Pengolahan data yang telah terkumpul menggunakan rumus t-test for independent sample dengan bantuan program SPSS for Windows release 9.0.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada tingkah Iaku agresif siswa dalam tawuran sehubungan dengan bentuk konformitas acceptance dan compliance. Siswa yang menunjukkan konformitas acceptance memperlihatkan tingkah Iaku yang Iebih agresif dalam tawuran bila dibandingkan dengan siswa yang menunjukkan konformitas compliance. Hal Iain yang ditemukan sehubungan dengan penelitian ini adalah, siswa kelas satu dan kelas dua menunjukkan bentuk konformitas yang berbeda, sementara tingkah laku agresif siswa kelas satu dan kelas dua dalam tawuran cenderung sama. Selain itu ada perbedaan dalam bentuk konformitas pada kelompok siswa usia 16, 17, dan 18 tahun. Hal lain yang ditemukan adalah bahwa siswa wanita turut terlibat dalam tawuran, dimana mereka memperiihatkan tingkah Iaku agresif dalam tawuran yang cenderung rendah bila dibandingkan dengan kelompoknya.
Hasil penelitian yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dapat terjadi kemungkinan dikarenakan keberadaan siswa yang menunjukkan bentuk konformitas compliance hanya sekedar ingin dilihat bahwa mereka cukup solider dengan ikut tawuran, sedangkan siswa yang benar-benar meyakini norma yang terkait dengan tawuran (acceptance), lebih merasakan tawuran perlu dan merupakan keharusan sehingga mereka tidak segan-segan melukai lawan."
2000
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini melibatkan hubungan antara school well-being dan keterlibatan dalam kegiatan belajar pada siswa SMA. Partisipan penelitian ini adalah 579 siswa SMA kelas 11 yang berda di 5 wilayah DKI Jakarta. Penelitian ini diukur dengan menggunakan alat ukur modifikasi yang telh dibuat oleh Konu (2002) dan Simatupang (2008). Keterlibatan dalam kegiatan belajar diukur berdasarkan instrumen RAPS-S (Research Assessment Package for Schools-Student Report) yang dikembangkan oleh institut for Research and Reform in Education (1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara school well-being dengan keterlibatan dalam kegiatan belajar. Selain itu, ditemukan pula bahwa seluruh aspek dalam school wee-being yang meliputi having, loving, dan well being juga berhubungan dengan keterlibatan dalam kegiatan belajar."
JIPM 1:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>