Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148523 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Yamin Panca Setia
"Perencanaan kota tepian pantai (waterfront city) yang disusun Pemerintah Kota Bandar Lampung memunculkan resistensi masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan jika masalah utamanya adalah model perencanaan yang lebih berorientasi pada aspek infrastruktur semata. Proses penyusunan dan pelaksanaan perencanaannya pun tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Model perencanaan kota tepian pantai idealnya tidak hanya sebuah gaya kota untuk menjawab kompetisi yang berorientasi pada aspek infrastruktur atau visual saja. Namun, perencanaan kota pantai harus mendorong transformasi perencanaan teknik yang dikombinasikan dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Rencana yang disusun harus komprehensif, terpadu, multidisiplin, partisipatif dan memastikan terwujudnya pembangunan berkelanjutan.

The planning of waterfront city was designed by the Bandar Lampung goverment raises public?s resistance. This research concluded if the main problem is the model planning only infrastructure aspect oriented. The waterfront city planning drafting and implementation also did not invite public participation. The waterfront city planning is not only a style of city to answer the competition. But, it is more than that, the coastal city development plans should also support the transformation of planning techniques that is combined with social, economic, and environment. The waterfront city?s planning must be comprehensive, integrated, multidisciplince, public participation and ensure sustainable development."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T29549
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Sukmara Christian Permadi
"ABSTRAK
Permasalahan ibukota semakin hari semakin meningkat dimana permasalahan tersebut meliputi berbagai aspek, baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan solusi yang tidak hanya mampu mengatasi masalah tetapi juga dapat mengembangkan potensi Jakarta. Selain itu, solusi penyelesaian tersebut harus mampu mendukung tercapainya pembangunan kota Jakarta yang berkelanjutan yang mengacu pada pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) 2015 sampai 2030. Salah satu langkah yang diambil dari permasalahan tersebut adalah perencanaan pembangunan Waduk Lepas Pantai yang diusulkan sebagai solusi holistik dan berkelanjutan dari permasalahan yang dihadapi di Teluk Jakarta. Dalam Konsep Waduk Lepas Pantai direncanakan akan dibangun tanggul sepanjang 50,6 km pada kedalaman mencapai 20 m membentang dari Muara Sungai Cisadane (Provinsi Banten) sampai Muara Gembong (Provinsi Jawa Barat). Tanggul tersebut akan menciptakan sistem pertahanan banjir yang andal, kolam tampungan dan pengolah air baku, dan sekaligus pengembangan kawasan pesisir di Teluk Jakarta."
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2019
330 BAP 2:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Madjid
"Public Sphere atau ruang publik adalah salah satu hak dasar individu maupun masyarakat untuk mengekpresikan kebutuhan dan kepentingannya menyangkut dengan isu-isu politik dan pembangunan. Public Sphere merupakan prasyarat utama pembangunan demokrasi, di mana di dalamnya terbangun sistem dan mekanisme bagi publik untuk mengekspresikan pikiran dan pendapat, melakukan transaksi gagasan bahkan memperdebatkan kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak adil dan memihak kepada publik.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi menuntut penyediaan ruang publik yang memadai. Hal ini penting terutama dilihat dari upaya memperkuat basis kekuatan masyarakat sipil yang selama ini menempati posisi pinggiran dengan posisi tawar sangat lemah ketika berhadapan dengan kekuatan negara. Dalam konteks pembangunan lokal khususnya ditingkat komunitas, mainstream otonomi daerah dan desentralisasi adalah upaya menggeser dominasi pemerintah dalam perumusan kebijakan publik dan pada saat yang sama memperkuat posisi daya tawar publik dimana sejak awal harus terlibat dalam proses pengambilan kebijakan melalui keterlibatannya dalam perencanaan pembangunan. Keterlibatan publik dalam governance adalah aksioma dan menjadi formula bagi terciptanya good governance.
Akan tetapi pada tataran praktis, sampai saat ini peran publik tetap
dikesampingkan dalam setiap tahapan pembangunan. Gagasan perencanaan pembangunan partisipatif yang diintroduksi melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) sering kali tidak dapat menjembatani aspirasi publik khususnya pada level penyediaan program yang sesuai dengan ekspektasi publik. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa publik tidak terlibat dalam pembahasan program atau paling tidak diabaikan aspirasinya.
Berkenan dengan itu tesis ini berusaha mendeskripsikan dinamika public sphere dalam perencanaan pembangunan tingkat komunitas khususnya dalam pelaksanaan forum Musrenbang dan kemungkinan penggunaan strategi serta model lain untuk mengembangkan publik sphere sehingga dapat memberikan solusi bagi peningkatan peranserta publik ke dalam sebuah Musrenbang yang Iebih partisipatif. Tulisan ini akan mengelaborasi konsep public sphere dalam 5 (lima) indikator, yakni diskusi dan dialog publik, partisipasi publik, peran organisasi sosial tingkat komunitas,
ix
tingkaf kesetaraan serta independesi publik dalam pelaksanaan Musrenbang. Secara konseptual tesis ini berbasis pada teori publik sphere yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas, teori-teori tentang perencanaan maupun konsep-konsep partisipasi warga dalam governance.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam serta pengumpulan dokumen dari beberapa sumber data. Site penelitian adalah di Kota Ternate dengan mengambil sample pada 2 kelurahan dilakukan penelitian selama kurang Iebih 2 bulan.
Berdasarkan hasil penelitian ternyata pelaksanaan Musrenbang sebagai sebuah mekanisme perencanaan partisipatif tingkat kelurahan di Kota Ternate belum berjalan sebagaimana mestinya dapat dilihat dari tidak terpenuhinya kelima indikator public sphere yang disebutkan di atas. Akibatnya adalah perencanaan yang dibuat tidak aspiratif karena sebagian besar masih ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan temuan lapangan, untuk meningkatkan peran publik dalam pelaksanaan Musrenbang dapat direkomendasikan beberapa hal mendasar, pertama; aspek teknis, Musrenbang harus dilaksanakan dengan memperbaiki mekanisme penyelenggaraannya sehingga dapat menyediakan waktu yang cukup untuk terjadinya diskusi dan dialog, selain itu Musrenbang harus transparan dengan membuka akses Iuas kepada publik; kedua, aspek informasi, pelaksanaan Musrenbang haws memberikan informasi tentang indikasi jumlah Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBD maupun plafon anggaran lainnya sehingga dapat menjadi pedoman bagi peserta dalam membuat perencanaan dan desain program serta menghindari ekspaktasi secara berlebihan; ketiga; aspek representasi dan partisipasi, sedapat mungkin Musrenbang dilaksanakan dengan memenuhi syarat perwakilan stakeholders yang terdapat dalam komunitas. Partisipasi aktif peserta yang hadir dapat dilakukan melalui publikasi terbuka mengenai jadwal Musrenbang, agenda dan prorgam yang akan dibahas serta pengumuman tentang hasil-hasil Musrenbang sebelumnya baik yang dapat dilaksanakan maupun yang tidak sempat diimplementasikan; keempat; aspek metodologi, forum Musrenbang harus dilakukan dengan menggunakan metode fasilitasi untuk mengantisipasi kesenjangan pemahaman dan kemampuan diantara peserta sehingga menghindari dominasi forum oleh sebagian peserta atau bahkan oleh pemerintah sebagai penyelenggara; kelima; aspek pengawasan, publik khususnya anggota komunitas harus diberikan akses serta hak untuk masuk dalam Tim Verifikasi Pengusulan Program dan Penganggara sehingga anggota komunitas sebagai penerima manfaat pembangunan dapat memantau secara langsung proses dan tahapan Musrenbang baik persiapannya maupun sampai pada tahap evaluasinya.
Selain itu, rekomendasi lainnya berdasarkan hasil penelitian adalah pertu dikembangkan model forum warga atau kampung sebagai model pengembangan public sphere sehingga seluruh potensi komunitas dapat disinergikan bagi kepentingan komunitas. Selain itu forum warga atau kampung ini dapat dijadikan sarana untuk mengadvokasi kebijakan pemerintah, ruang untuk bertukar pendapat serta diskusi tentang berbagai kebutuhan komunitas yang selanjutnya diperjuangkan menjadi program pembangunan. Model forum seperti ini juga dapat digunakan untuk memediasi forum Musrenbang baik dari tahapan persiapannya sampai sosialisasi program kepada komunitas. Forum kampung apabila dikembangkan dengan mengakomodasi kearifan lokal akan memberikan kontribusi terjadinya kohesi sosial melalui peningkatan keintiman sosial, sebagai bahan dasar pembentuk modal sosial serta diharapkan dapat menjadi media pembelajaran demokrasi bagi segenap anggota komunitas.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21955
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S8638
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Fince Decima
"Pembangunan yang berpusat pada rakyat dan upaya pembelajaran demokratisasi masyarakat dalam mempergunakan haknya sebagai warga negara salah satunya diwujudkan dalam forum warga berdasarkan kewilayahan (community of place) yang dikenal dengan Forum Komunikasi Perencanaan Pembangunan/ FKPP kelurahan, kecamatan dan kota sebagai forum yang bertujuan mensinkronikasikan dan menetapkan program pembangunan diwilayahnya.
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pada jenjang mana keberadaan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan FKPP baik pada tingkat kelurahan, kelurahan, kecamatan dan kota di Kota Depok yang dinilai dari aspek pemberian informasi, konsultasi/diskusi, pengambilan keputusan dan kewenangan kontrol masyarakat yang mengacu pada teori "Jenjang Partisipasi Masyarakat" Danny Burns, dkk. Serta untuk memperoleh gambaran hal-hal apa yang menghambat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan FKPP tersebut.
Metodeologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Tehnik pengambilan sampel informan menggunakan teknik Purposive Sampling untuk menentukan informan yang memahami topik penelitian yaitu Kepala Bappeda Kota Depok, Camat dan Lurah serta Peserta FKPP yang berjumlah 43 informan. Lokasi penelitian mengambil wilayah Kota Depok untuk mengkaji FKPP Kota, 2 Kecamatan yakni kKecamatan Beji dan Sukmajaya, 4 kelurahan yakni kelurahan Pondok Cina, Beji, Tirtajaya dan Cisalak.
Penelitian jenjang partisipasi masyarakat ini mengacu pada teori "a ladder of Empowerment" Burns, dkk. Dari temuan lapangan menunjukan terdapatnya keragaman jenjang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan FKPP kelurahan, kecamatan dan kota. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan FKPP memiliki karakteristik dari aspek pemberian informasi telah dilakukan kepada masyarakat, pelaksanaan konsultasi/diskusi telah berlangsung dengan walaupun dengan kualitas kurang baik sedangkan kewenangan pengambilan keputusan dan kontrol masyarakat tidak ada. Dimana pengambilan keputusan masih berada di tangan aparat pemerintah dan masyarakat hanya sebatas memberikan masukan dan saran tanpa adanya jaminan pemerintah akan mempertimbangkan maupun menindaklanjuti saran tersebut. Sedangkan dari segi kewenangan kontrol, masyarakat tidak mempunyai wewenang untuk mengontrol hasil FKPP yang telah ditetapkan bersama.
Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan FKPP ini diantaranya berasal dari masyarakat, pemerintah dan faktor eksternal yang kurang mendukung. Keberadaan masyarakat yang kurang memahami haknya sebagai warga negara untuk memanfaatkan forum ini merupakan kendala tersendiri yang menyebabkan masyarakat bersikap diam, apatis dan "nrimo" terhadap hal-hal yang ditetapkan oleh pemerintah. Terlalu dominannya posisi pemerintah dalam forum ini juga menghambat pelaksanaan konsultasi, pengambilan keputusan dan kontrol masyarakat menyebabkan masyarakat. Adanya sistem pemerintahan yang cenderung sentralistik menjadikan salah satu kendala disamping belum adanya sarana dan prasarana pendukung bagi terwujudnya partisipasi masyarakat seperti dalam hal belum adanya peraturan dan pedoman pelaksanaan FKPP, tidak adanya mekanisme serta sarana pengaduan rasa ketidak-puasan masyarakat dalam pelaksanaan kontrol.
Pentingnya manfaat pelaksanaan forum ini dalam peningkatan kualitas perencanaan pembangunan yang partisipatif dan aspiratif maupun ruang publik bagi masyarakat sebagai sarana pembelajaran demokrasi akan sangat disayangkan apabila forum ini hanya digunakan sebagai forum konsultasi/diskusi antara masyarakat dengan pemerintah. Untuk itu perlu dilakukan beberapa perbaikan mekanisme dan prosedur pelaksanaan FKPP dari pemberian infomasi, Konsultasi/diskusi, pengambilan keputusan dan kontrol. Selain itu perlu diterapkannya strategi pemberdayaan masyarakat yang berbeda dalam pelaksanaan FKPP menurut jenjang partisipasi yang ada di kota Depok"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tenouye, Elly
"Proses perencanaan pembangunan melalui Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee (Lemasme) di kampung Kebo wilayah adat Pantai Utara, distrik Pantai Timur, kabupaten Pantai pasca otonomi daerah merupakan langkah awal dari pemerintah yang responsif dan bertanggung jawab. Hal ini dirasakan bagi mereka/orang-orang yang seakan-akan telah lama dipaksa tunduk/takluk dan baru merasa/menikmati alam demokrasi karena mereka diberikan kebebasan bersuara menurut keinginan mereka tanpa intervensi dari pihak lain. Sebelum dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif yang ditetapkan melalui permendagri No 09 Tahun 1982 rupanya telah dimanipulasi oleh pusat untuk kepentingan tertentu yang kemudian telah menempatkan masyarakat hanya sebagai objek yang diam dan bisu dimana mereka jarang diajak untuk menunjukkan/menyampaikan keinginan, aspirasinya dalam setiap usulan program pembangunan sebagai hak warga negara untuk memperoleh manfaat dari pembangunan bahkan pemerintah di daerahpun menerima dan menjalankan keinginan dari atas. Bentuk partisipasi umumnya dimobilisasi dalam melaksanakan dan menerima kehendak luar tanpa diikutkan dalam perencanaan oleh sebab itu sifat partisipasi hanya mendukung keinginan pusat dengan falsafahnya masyarakat yang baik adalah masyarakat yang mendukung dan mengikuti apa yang dirancang oleh Pusat melalui Bappenas. Meskipun telah dikeluarkan UU Otonomi Daerah No. 25 Tahun 1999 dimana sistim perencanaan yang partisipatif, aspiratif dipandang perlu dibangun sesuai dengan keberadaan sosial budaya lokal dengan melibatkan stakeholder dan grassroot namun dalam belum dapat diwujudkan pemerintahan yang bersih (good governance).
Tesis ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai bentuk, tingkat dan faktor pendorong, penghambat partisipasi suku Mee dalam proses perencanaan pembangunan melalui lembaga masyarakat adat dengan mengacu pada teori serta upaya atau mengetahui dan memahami cara apa yang telah dilakukan dan dapat dilakukan agar kesempatan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara dapat lebih terwujud.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber datanya ialah informan yang didukung oleh dokumen serta pustaka. Informan-informan penting yang menjadi sampel penelitian ini adalah mereka yang terlibat dalam musyawarah adat (MA), teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk partisipasi suku Mee dimobilisasi oleh pemerintah dan Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee), dan dalam pelaksanaan musyawarah dan pengambilan keputusan masih didominasi oleh personil Lemasme (Lemasme Masyarakat Adat Suku Mee) yang disebut "Tonawi" yang merangkap beberapa jabatan. Sementara itu posisi masyarakat adat meskipun telah diberikan kesempatan untuk terlibat dalam mengusulkan aspirasi program pembangunan, mereka belum sepenuhnya memahami bahwa merekalah yang berhak mengambil berbagai keputusan.
Berangkat dari pemahaman diatas dan kondisi umum partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan di kampung Kebo dan wilayah adat Pantai Utara jika dinilai berdasarkan DELAPAN TANGGA PARTISIPASI MASYARAKAT menurut Arnstein menunjukkan bahwa tingkat partisipasi suku Mee dalam perencanaan pembangunan berada pada tangga pertama NON PARTICIPATION dan tangga ke dua TOKENISME. Dengan pengertian bahwa dua tangga pada Non Partisipasi adalah bentuk-bentuk peran serta yang dinamakan terapi dan manipulasi. Sedangkan di tingkat Tokenisme yaitu tingkat dimana peran serta masyarakat didengar dan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada tingkat ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan pada masyarakat. Pemahaman diatas dapat dirumuskan bahwa suku Mee telah menghadiri, mendengar dan mengusulkan program pembangunan tetapi mereka tidak memiliki jaminan bahwa apa yang diusulkan dapat diterima oleh pengambil keputusan.
Penyampaian aspirasi masyarakat melalui Lemasme (Lembaga Masyarakat Adat Suku Mee) wilayah adat dan kampung dapat berjalan karena masyarakat yang diundang telah hadir dan menyampaikan usulan program pembangunan. Usulan yang disampaikan lebih mengarah pada kepentingan umum wilayah khususnya pembangunan sektor sosial. Hambatan yang dihadapi selain didominasi oleh tokoh lokal, diantara masyarakat yang terlambat mengetahui informasi perencanaan pembangunan mudah merasakan dipasifkan dan cenderung mencurigai bahwa hasil musyawarah dapat merugikan dan hanya mementingkan kelompok tertentu (kerabat saja), namun demikian personality tokoh lokal dapat menetralisir. Oleh sebab itu yang terpenting disini adalah membangun komunikasi dan konsultasi terlebih dahulu dengan tetap melibatkan tokoh lokal yang merepresentasi tiap dusun dan marga di kampung Kebo dan wilayah adat dalam proses perencanaan pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paulus Hariyono
"Study on city planning in Indonesia"
Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2010
307.760 959 8 PAU p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Rais
"Implementasi kebijakan keuangan dalam mengejawantahkan Visi dan Misi Kota Depok merupakan suatu fenomena yang tidak hanya menjadi cermin kebijakan publik tetapi sekaligus juga menjadi cermin pelaksanaan fungsi anggaran dalam proses pelaksanaan rencana pembangunan sebagaimana yang tersusun dalam Rencana Strategis Kota Depok.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan membahas alokasi anggaran pembangunan dalam pelaksanaan Rencana Strategis Kota Depok; serta faktor-faktor yang mendukung dan yang menghambat implementasi kebijakan keuangan daerah dalam perencanaan pembangunan Kota Depok.
Penelitian menggunakan Teori Anggaran dari Syamsi, Suparmoko, Mardiasmo, Salomo, dan Schick; Teori Anggaran Belanja Daerah dan Muluk, Bird dan Jantscher, Musgrave & Musgrave, Sukirno; Teori Perencanaan Anggaran Belanja dari Abe, teori prencanaan Pembangunan Daerah dari Sitanggang, Meyer, Sigian, Tjokrowinoto Bryan &. White, Miranda, dan Arsyad.
Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan analisis data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan.
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian yang telah tersaji, maka diperoleh pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut:
Alokasi anggaran pembangunan dalann pelaksanaan Rencana Strategis Kota Depok kurang optimal untuk merealisasikan Visi dan Misi Kota Depok, yaitu Kota Depok sebagai Kota Pendidikan, Permukiman, Perdagangan dan Jasa, Yang Religius Dan Berwawasan Lingkungan. Alokasi untuk sektor pendidikan masih dibawah 5 persen, alokasi untuk sektor permukiman sekitar 3 persen dan alokasi untuk sektor perindustrian dan perdagangan belum dapat mendapat pnioritas yang maksimal.
Faktor pendukung implementasi kebijakan keuangan daerah dalam perencanaan pembangunan Kota Depok antara lain kondisi demografis, letak geografis, kondisi dinamis perekonomian masyarakat, sumber daya aparatur, kebijakan keuangan Pemerintah Pusat serta situasi perekonomian nasional.
Faktor penghambat implementasi kebijakan keuangan daerah dalam perencanaan pembangunan Kota Depok antara lain faktor budaya kerja birokrasi yang inefisien dan sarat KKN, faktor kepentingan politik dan kepentingan bisnis yang kurang memperhatikan tuntutan moral dan etika, serta faktor keterbatasan sumber daya alam.
Berdasarkan hasil kesimpulan di atas maka saran-saran yang perlu disampaikan kepada pihak yang diteliti adalah sebagai berikut :
Pemerintah Kota Depok perlu membentuk Tim Asistensi Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Anggaran dengan meiibatkan kalangan akademisi dan konsultan profesional.
Pemerintah Kota Depok bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Depok perlu segera merumuskan dan kebijakan yang kondusif menyangkut regulasi di bidang pembiayaan daerah, terutama alokasi anggaran pembangunan yang terarah untuk meningkatkan produktivitas daerah.
Alokasi anggaran pembangunan untuk merealisasikan nisi dan mini Kota Depok, yaitu sektor pendidikan, permukiman, perdagangan dan jasa perlu menjadi prioritas dalam kebijakan anggaran pembiayaan Daerah Kota Depok di masa mendatang tanpa mengesampingkan sektor-sektor yang lain."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Triatmodjo
Yogyakarta : Beta Offset, 2012
627.58 BAM p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>