Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 71222 Document(s) match with the query
cover
Andrika Salamun
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S5942
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Abdullah
"ABSTRAK
Tesis ini membahas kontestasi elit lokal dalam konflik pembentukan Kabupaten Mamasa dalam kerangka pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus, modal dan ranah (field). Dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi kasus, penelitian ini mengkaji perpecahan internal elit Mandar dalam merespon kebijakan pemekaran daerah melalui penetapan Undang-Undang nomor 11 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Mamasa, yang berimplikasi terhadap lahirnya konflik horozontal pada masyarakat Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) di Kabupaten Mamasa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa para elit Mandar terpolarisasi ke dalam dua habitus kelompok politik, yaitu kelompok pro pemekaran dan kontra pemekaran. Habitus politik kelompok pro pembentukan Kabupaten Mamasa dilatari oleh kekuasaan atau kemandirian dalam mengelola pembangunan dan kesejahteraan di daerahnya. Sedangkan habitus politik kontra pemekaran Kabupaten Mamasa dilatari oleh upaya mempertahankan relasi etnisitas, keagamaan, dan pengalaman kesejarahan dengan penduduk Mandar. Kedua kelompok politik tersebut memaksimalkan kekuatan modal, baik sosial, ekonomi, budaya maupun simbolik, untuk bertarung memenangkan arena kontestasi pemekaran daerah. Akhirnya, melalui habitus dan kekuatan modal yang dominan, para elit politik pro pemekaran Mamasa berhasil memenangkan kontestasi dengan mempertahankan dan menyukseskan implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2002.

ABSTRACT
This thesis examines the contestation between local political elites over the establishment of the Mamasa Regency, through Pierre Bourdieu?s concepts of habitus, capital and field. Using a qualitative method with a case study approach, this research examines the internal schism among the elites of the Mandar ethnic group in responding to the regional expansion policy through the issuance of Law No. 11/2002 on the Establishment of the Mamasa Regency, which triggers a horizontal conflict in the Aralle, Tabulahan and Mambi (ATM) people in Mamasa regency. This research concludes that the elites of the Mandar ethnic group are polarized into two groups with differing political habitus, which respectively supports and opposes the regional expansion. The habitus of the group supporting the expansion is the seeking of ways to gain the power or independence to manage the region?s infrastructure and people development, whereas the habitus of group opposing the regional expansion is the seeking of ways to maintain ethnic relations as well as preserve religious and historical experiences with the Mandar people. Both political groups utilized various capitals (social, economic, cultural and symbolic) to achieve their respective goals in the arena of political contestation. Ultimately, through powerful habitus and dominant capitals, the pro-regional expansion group succeeded in maintaining the regional expansion and implemented the Law No. 11/2002 on the Establishment of the Mamasa Regency."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
KAJ 16(2-4) 2011
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Dialectics between elite in Banyumas regency to give unique local-politics. How millitary regime strong on this regency, but capital actors most dominate for all. Capital domination to give a populis public policy in Banyumas, but in others perspective give civil society groups resistance in Banyumas."
ALJUPOP
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Although fully by additional law,but decentralization policy of autonomic area always contains problems.Including matter of policy implementing process which partly yields in asset conflict between many regency and decentralization regency
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Distrik adalah pembagian wilayah administratif di Provinsi Papua dan Papua Barat, dibawah kabupaten/kota. Istilah distrik menggantikan kecamatan yang sebelumnya digunakan seperti halnya di provinsi-provinsi lain di Indonesia. Penetapan ini adalah menyusul diterapkannya UU Nomor 21 tahun 2011 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua."
321 KYBER 2:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iberamsjah
"ABSTRAK
Perubahan politik yang terjadi di tingkat nasional pada akhirnya berimbas pada perubahan politik di tingkat pedesaan. Penerapan beberapa kebijakan politik yang merupakan bagian dari proses demokratisasi seperti otonomi daerah atau khususnya otonomi desa, peraturan baru tentang pemilihan umum dan kepartaian berdampak pada perubahan struktur kelembagaan desa dan perilaku politik di dalamnya. Lebih jauh, konstelasi kekuasaan di tingkat desa pun berubah. Perubahan-perubahan ini tampak pada kasus pengambilan keputusan di Desa Gede Pangrango. Studi ini berusaha menjelaskan terjadinya perubahan peran alit desa dalam perubahan politik yang terjadi sejak penerapan otonomi daerah tahun 2000 di Desa Gede Pangrango.
Temuan-temuan yang berhasil diperoleh dari studi ini meliputi hal-hal yang akan dirinci sebagai berikut. Pertama, telah terjadi perubahan sumber dan hubungan kekuasaan elit desa yang berimplikasi terhadap terjadinya pergeseran konstelasi elit desa. Beberapa sumber kekuasaan yang pada masa lalu kuat pengaruhnya bagi kekuasaan elit tertentu, kini berubah melemah. Sumber kekuasaan yang melemah itu misalnya kemampuan bela diri (jawara), adat dan birokrasi. Sebaliknya, ada beberapa sumber kekuasaan yang menguat peranannya dalam konstelasi politik desa, yaitu keterampilan, prestasi, dan dukungan massa atau simpatisan terhadap partai politik. Menguatnya pengaruh keterampilan dan prestasi sebagai sumber kekuasaan ditunjukkan dengan menguatnya pengaruh elit pemuda yang menunjukkan prestasi dan keterampilan menonjol dalam masyarakat. Elit partai politik yang mendapat legitimasi kuat pada pemilu juga menunjukkan peningkatan pengaruhnya dalam politik desa. Sedangkan dalam hubungan kekuasaan, dominasi elit formal desa dalam pembuatan keputusan desa yang tampak pada masa lalu, kini berubah. Kekuasaan elit formal desa telah diimbangi oleh pengaruh elit formal baru di BPD, sebagai lembaga perwakilan desa yang baru, dan ditambah dengan kontrol masyarakat melalui gerakan massa.
Kedua, dalam konstelasi elit desa tersebut, muncul elit formal baru yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan desa. Dibentuknya BPD sebagai lembaga perwakilan yang lebih otonom dan representatif berdasarkan UU No.22/1999, Kepmendagri No.64/1999 dan Perda Kabupaten Sukabumi No.2/2000, memunculkan tokoh-tokoh masyarakat sebagai elit formal baru mendampingi eksekutif dan birokrasi desa.
Ketiga, telah terjadi perubahan sikap, perilaku dan peranan elit dalam perwakilan desa. Lembaga perwakilan desa pada masa Orde Baru berada pada posisi subordinat di bawah eksekutif desa. Fungsinya tidak lebih dari lembaga yang mengesahkan keputusan eksekutif desa. Setelah penerapan otonomi daerah, lembaga perirakilan menjadi lebih representatifdan otonom dari intervensi kepala desa.
Keempat, dominasi kepala desa terhadap lembaga perwakilan desa telah berakhir. Sebagai dampak dari kemunculan elit formal baru dalam konstelasi politik desa, kel;uasaan kepala desa dapat diimbangi. Dalam beberapa kasus pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango, tampak kecenderungan kekuasaan BPD lebih kuat. Dalam rapat-rapat BPD, terdapat temuan kelima, yaitu telah terjadi perubahan dalam proses pembuatan keputusan dari kecenderungan musyawarah-mufakat ke penerimaan pemungutan suara.
Keenam, intervensi pemerintah tingkat atas desa terhadap proses pembuatan keputusan desa telah berakhir. Di desa Gede Pangrango, pemerintah atas desa tidak lagi melakukan intervensi terhadap pembuatan keputusan. Pemerintahan desa menunjukkan kecenderungan otonomi daiam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan desa. Kehadiran pemerintah atas desa dalam rapat-rapat desa bukan dalam rangka mempengaruhi keputusan tetapi lebih bersifat seremonial.
Ketujuh, peranan massa dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan desa telah meningkat. Pada masa Orde Baru, masyarakat tidak pernah menunjukkan kecenderungan untuk melakukan tindakan tindakan dalam rangka mempengaruhi pembuatan keputusan, seperti dengan melakukan demonstrasi. Seiring penerapan otonomi desa, telah terjadi beberapa kali aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat desa untuk mendesakkan agenda kebijakan politik kepada pemerintahan desa dan pemerintah atas desa. Dan yang penting untuk dicatat di sini adalah bahwa peranan mereka dalam mendesakkan agenda kebijakan dapat dikatakan efektif karena kernudian tuntutan yang diajukan dalam demonstrasi ditanggapi serius oleh BPD dengan ,pembuatan beberapa keputusan penting. Ini menunjukkan bahwa peranan massa dalam proses pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango telah meningkat.
Secara teoritis, studi ini menunjukkan relevansi dan revisi terhadap beberapa teori yang digunakan, serta mengkonstruksi teori baru tentang kemunculan elit formal baru dalam konstelasi politik desa. Kasus pembuatan keputusan di desa Gede Pangrango menunjukkan relevansi teori sirkulasi elit dari Mosca, Schoorl dan Alfian; tipologi elit berdasarkan sumber kekuasaan seperti dibuat oleh Kappi, Buntoro, Hofsteede dan lberamsjah; serta relevansi teori pembuatan keputusan dari Gibson bahwa pembuatan keputusan merupakan proses dinamis yang dipengaruhi berbagai faktor.
Di samping relevansi beberapa teori di atas, kajian kasus desa Gede Pangrango menunjukkan perlunya revisi terhadap beberapa teori. Dikotomi elit formal-informal yang dilakukan oleh Tjondronegoro, Ismani dan Kuntjaraningrat tidak dapat diterapkan dalam kasus ini. Kemunculan alit formal baru yang memiliki karakter formal, namun memposisikan diri di luar elit formal membuat konsep elit formal dan informal lebur dalam fenomena ini, sehingga teori dikotomis ini tidak dapat diterapkan secara kaku. Sirkulasi elit yang diterjemahkan sebagai pergantian elit oleh Mosca, Schoorl dan Alfian, kurang tepat untuk diterapkan dalam kasus ini karena yang terjadi adalah pergeseran konstelasi elit, bukannya pergantian elit. Selain itu, sumber kekuasaan elit tidak terbatas pada sumber kekuasaan yang diungkapkaan oleh Andrain, Budiardjo, Anderson, Kappi, Buntoro, Hofsteede dan Iberamsjah, tetapi lebih jauh lagi terdapat varian baru sumber kekuasaan, yaitu kepribadian dan kemampuan memecahkan masalah-masalah masyarakat. Temuan studi ini juga menunjukkan bahwa selain scope dan domain of power (Lasswell dan Kaplan) terdapat konsep lain yang penting dalam mempelajari kekuasaan, yaitu saluran kekuasan. Terakhir, pembuatan keputusan di desa yang menurut Wahono cenderung menggunakan mekanisme musyawarah-mufakat, dalam kasus Desa Gede Pangrango ini mengalami pergeseran dengan diterimanya mekanisme voting sebagai salah satu alternatif pengambilan keputusan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D517
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Fakhri
"Pembangunan yang dilaksanakan selama ini terlalu berorientasi pada kepentingan ekonomi nasional, sehingga mengabaikan pengembangan potensi ekonomi lokal. Pola pembangunan tersebut cenderung melupakan aspek pembangunan institusi. Akibatnya kurang menyentuh inisiatif, partisipasi dari lapisan masyarakat bawah untuk terlibat dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan karena mereka kurang merasa memiliki terhadap program yang datangnya dari pemerintah (yang bersifat top down). Walaupun bentuk program tersebut berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat, namun pada akhirnya program tersebut terhenti pada masa pelaksanaan berakhir, seperti program Kredit Usaha Tani, Program Pemberdayaan Kecamatan.
Permasalahan ini akan berdampak pada hubungan pemerintah sebagai pelaksanaan program dengan masyarakat sebagai penerima program. Mutlak diperlukan adanya perubahan dalam pendekatan pembangunan agar dapat berkesinambungan. Pendekatan yang popular adalah pembangunan yang berpusat pada rakyat, di mana tingkat partisipasi serta inisiatif masyarakat sangat diperlukan melalui pengembangan institusi lokal, sehingga ada kesinambungan pelaksanaan dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Untuk melihat hal tersebut, peneliti melakukan survei lapangan ke lokasi di Alahan Panjang, Kabupaten solok Sumatera Barat. Disana ditemukan adanya suatu institusi lokal yang telah ikut membac- up perekonomian masyarakat Alahan Panjang. Institusi tersebut bernama Handel yang artinya perputaran. Handel ditujukan untuk memenuhi kebutuhan modal petani dalam berusaha. Untuk itu kegiatan utamanya adalah dalam usaha simpan pinjam uang, dimana pada akhirnya uang tersebut dapat menggerakkan usaha tani dari para anggota Handel. Disini terlihat besarnya peranan Handel dalam usaha tani di Alahan Panjang, selain itu dari sumbangan handel juga diperuntukkan untuk membangun sarana ibadah, jalan dan kegiatan sosial lainnya. Tempat utama diadakannya pertemuan handel adalah di mushalla/surau atau di mesjid.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yang mana informan dikumpulkan dari beberapa informan. Para informan dipilih melalui teknik purposive-snow ball sesuai dengan permasalahan penelitian. Para informan penelitian ini meliputi mereka yang mengetahui handel (pengurus dan anggota handel), mereka yang terlibat dalam struktur pemerintahan nagari (pimpinan nagari dan anak-anak nagari). Sementara data yang dikumpulkan melalui studi dokumentasi dan hasil wawancara mendalam serta pengamatan lapangan kemudian diolah dan dianalisa secara deskriptif. Tujuan peneliti ini adalah melihat sejauh mans institusi Handel tetap bertahan menggerakkan roda ekonomi angggotanya agar keluar dari kondisi kekurangan secara ekonomi, terhindar dari ancaman rentenir dan tidak mau terikat dengan lembaga keuangan seperti bank.
Di Alahan Panjang ada institusi lokal yang muncul atas inisiatif masyarakat itu sendiri. Inisiatif untuk memberdayakan diri secara ekonomi dengan sasaran usaha tani sebagai basis mata pencaharian masyarakat Alahan Panjang. Selain sisi positif dari handel, ditemukan juga sisi negatifnya yaitu karena Handel hanya diikat atas dasar saling percaya dari para anggotanya dan modal amanah dari para pengurusnya. Akibatnya mungkin saja pada suatu hari nanti, dapat terjadi hilang atau tidak kembalinya uang pinjaman. Selain itu handel lemah dalam segi administrasi dan pencatatan (manajemen administrasi), sehingga sesama ini tidak ada bukti yang cukup kuat untuk melakukan klaim pada anggota. Oleh karenanya modal utama pengawasan antar sesama anggota dan pengurus handel didasarkan pada budaya malu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Khairina Masta
"ABSTRACT
Tesis ini membahas hubungan ekonomi politik media yang ada di media
lokal sumatera barat,bagaimana perkembangan televisi lokal di Sumatera Barat
dari sisi spasialisasi, bagai mana bentuk lembaga medianya, regulasinya, modus
apa yang menyebabkan televisi lokal independen akhirnya memilih untuk menjadi
anggota jaringan televisi di pulau Jawa, bentuk intergrasi apa yang terjadi
horizontal atau vertikal. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif dengan paradigma kritis. Data yang di peroleh dengan cara depth
interview, analisa dokumen dan observasi lapangan. Metode analisa menekankan
pada dua sifat: holistik dan kontekstual. Holistik artinya memberikan gambaran
secara utuh dan menyeluruh tentang kasus yang diteliti sementara kontekstual
berusaha untuk mengaitkan dengan konstek sosial, ekonomi, dan politik yang ada
saat kasus itu terjadi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari regulasi media Penyiaran di
Sumatera Barat mengalami ketimpangan, televisi televisi lokal yang ada tidak
mampu untuk bersaing dan pada akhirnya harus rela di akuisisi oleh televisi Swasta
Jakarta. UU Penyiaran no.32 tahun 2002 yang memiliki prinsip diversity of ownership
itu sendiri tidak mampu mencegah praktik konsentrasi tersebut karena adanya celah
penafsiran terutama pada pasal 18 ayat (1) tentang pembatasan pemusatan
kepemilikan dan pasal 34 ayat (4) tentang larangan pemindahtanganan izin penyiaran.
Motif ekonomi yang menjadi faktor utama lembaga penyiaran di Sumatera Barat
kemudian melakukan afiliasi berintegrasi dengan televisi lain.

ABSTRACT
This thesis explores the political economy of media relations that exist in the
western Sumatran local media, describing the development of local television in West
Sumatra .accoriding to spatialization theory, as where the form of media institutions,
regulations, what causes the mode of independent local television eventually choose to
become members of a television network in Java, what kind of integration that occurs
horizontally or vertically. This study is a descriptive qualitative research with a critical
paradigm. The data obtained by means of depth interviews, document analysis and field
observations. Methods of analysis focus on two properties: the holistic and contextual.
Holistic means to provide a complete and comprehensive overview of the cases studied
while contextual trying to associate with the social, economic, and political case when it
happened.
The results showed that the regulation of broadcasting media in West Sumatra
suffered inequality, the local television television that there are not able to compete and
ultimately be willing in the acquisition by a private television Jakarta. Broadcasting Act
no.32 of 2002 which has the principle of diversity of ownership itself is not able to
prevent the practice of concentration because of the gap, especially in the interpretation of
Article 18 paragraph (1) of the concentration of ownership restrictions and Article 34
paragraph (4) on the prohibition of transfer of broadcasting licenses. Economic motives
were a major factor in West Sumatra broadcasters then do integrate with other television
affiliate."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>