Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162126 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febriyanto Eko K.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S6434
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Bahtiar
"Menjadi pedagang kaki lima memang dilematis, di satu sisi menjadi pedagang kaki lima merupakan usaha untuk menggantungkan kebutuhan hidup sehari-hari, di sisi lain sebagai aktifitas usaha yang menggunakan ruang publik, pedagang kaki lima berhadapan dengan peraturan daerah DKI Jakarta No.11 tahun 1988 tentang larangan berjualan di tempat-tempat yang seharusnya digunakan oleh masyarakat umum, seperti trotoar dan badan jalan. Sehingga penyitaan dalam operasi penertiban yang dilakukan oleh petugas merupakan sesuatu yang sangat ditakuti tapi tidak bisa dihindari oleh pedagang kaki lima.
Penelitian ini tentang bentuk-bentuk tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban di Pasar Senen. Penelitian difokuskan pada beberapa kasus tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian yang penulis lakukan adalah bersifat kualitatif. Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview) dan observasi lapangan. Wawancara dilakukan terhadap pedagang kaki lima dan petugas tramtib.
Dalam penelitian ini ada beberapa teori yang digunakan yaitu teori Ralf Dahrendor, Peter M. Blau, Richard Quinney dan William Chamblis. Dahrendor menggunakan pendekatan melalui Asosiasi terkodinir secara imperative (keharusan), bahwa kontrol sosial dalam suatu masyarakat tergantung kepada hubungan bertingkat-tingkat atau hirarkis digolongkan menurut asosiasi superordinal dan sub ordinat. Pembagian kewenangan secara tidak sama menimbulkan konflik, di mana kelompok-kelompok yang dominan memaksakan kehendak mereka dan kelompok-kelompok bawahan berusaha menentangnya. Kemudian Peter M. Blau mengungkapkan bahwa dalam pertukaran sosial seseorang akan melakukan upaya simpatik supaya mendapatkan penghargaan dari orang lain, padahal mungkin sifat itu dimunculkan supaya terlihat bersikap lebih ramah daripada bermusuhan dalam berhubungan. Richard Quinney mengemukakan bahwa realitas kejahatan yang dikonstruksi untuk seluruh anggota masyarakat oleh mereka dalam tampuk kekuasaan merupakan realitas di mana kita cenderung menerimanya sebagai bagian dari kita sendiri. Dengan melakukan hal itu, kita mengakui eksistensi mereka yang dalam tampuk otoritas untuk melaksanakan tindakan yang sebagian besar mempromosikan kepentingan mereka. Ini adalah realitas politik. Realitas sosial dari kejahatan dalam sebuah, masyarakat yang terorganisir secara politik terkonstruksi sebagai sebuah tindakan politik. William Chambliss menuturkan bahwa dalam negara, pembuatan hukum merupakan hasil dari kepentingan kelompok atau kelompok penguasa dan bukan kepentingan umum, kepentingan kelompok dengan kekuasaan dan kekayaan yang paling besar akan paling tercermin dalam hukum itu.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa tindakan reprsif oleh petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban yaitu: mengintimidasi pedagang kaki lima, merusak barang dagangan, melaksanakan penyitaan pada waktu malam hari. Penyitaan dalam penertiban ini biasanya dilakukan setelah lebaran, dengan jumlah pedagang kaki lima yang cukup banyak dan untuk menghindari bentrokan dengan pedagang, ketika dilakukan penyitaan, pedagang kaki lima tidak ada di lokasi karena masih dalam suasana lebaran. Pelaksanaan penyitaan dalam operasi penertiban juga dilakukan pada saat pedagang kaki lima tidak ada di tempat. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya tindakan represif petugas tramtib terhadap pedagang kaki lima saat penyitaan dalam penertiban yaitu: 1. Faktor petugas sebagai pemegang otoritas 2. Faktor pedagang kaki lima sebagai sub ordinat 3. Faktor pedefinisian kejahatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Apep Insan Parid AP
"Tesis ini merupakan hasil penelitian mengenai respon pedagang kaki lima terhadap kebijakan penertiban yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandung. Penelitian ini penting mengingat adanya respon pedagang yang mengakibatkan kebijakan penertiban berjalan tidak efektif, bahkan hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah Kota Bandung. Padahal kebijakan penertiban bertujuan untuk menata kota dalam rangka menyukseskan Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Genah, Mereunah dan Tumaninah.
Penelitian ini difokuskan di Jl. Merdeka sebagai lokasi yang terkena kebijakan sesuai dengan keputusan Walikota Nomor : 511.23/Kep.1322-huk/2001 Tentang Lokasi Bebas Kegiatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Bandung.
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui proses studi kepustakaan, wawancara dengan informan, dan pengamatan dilapangan. Informan penelitian berasal dari pejabat Pemerintah Kota Bandung dan beberapa pedagang kaki lima sebagai objek kebijakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa operasi penertiban yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bandung tidak disetujui oleh pedagang kaki lima, penertiban mendapat. perlawanan melalui tindakan anarkhis pedagang dan dalam perkembangannya respon pedagang seolah-olah tidak mengindahkan pelarangan perkembangannya respon pedagang seolah-olah tidak mengindahkan pelarangan berjualan. Mereka tetap menjalankan usahanya seiring dengan ditariknya petugas dari lokasi penertiban.
Faktor-faktor yang mempengaruhi respon terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi: tanggapan dan sikap pedagang, pengetahuan pedagang terhadap kebijakan, motivasi, pengalaman, kekompakan pedagang, dan budaya pedagang yang sulit diatur. Sedangkan faktor eksternal meliputi: tidak adanya fasilitas yang disediakan pemerintah, akses informasi yang kurang, perilaku petugas penertiban, situasi yang berkembang, lingkungan dan masyarakat sekitar, serta keberadaan organisasi pedagang.
Merujuk pada kondisi tersebut, perlu adanya suatu mekanisme operasi penertiban yang bisa diterima oleh pedagang dengan memberikan solusi pemecahan masalah sehingga kebijakan yang dijalankan menguntungkan kedua belah pihak, dalam hal ini pihak Pemerintah Kota Bandung dan pihak pedagang kaki lima."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Suriadi
"Operasi penertiban yang sering dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang dianggap melanggar Perda Nomor 11 Tahun 1988, rupanya tidak diterima begitu saja oleh PKL. Ternyata, para PKL melakukan berbagai bentuk perlawanan dalam menghadapi aparat Pemda, bahkan bentuk perlawanan mereka akhir-akhir ini semakin keras. Kerasnya perlawanan PKL tersebut disebabkan oleh munculnya berbagai faktor di mana faktor yang satu berkaitan dengan faktor yang lain.
Secara teoretis, suatu perlawanan dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, tergantung dari kondisi situasional yang tercipta pada saat itu serta nilai-nilai dan norma, baik yang berlaku di lingkungan setempat maupun yang mengendap dalam alam pemikiran para aktornya. Demikian pula bahwa terdapat sejumlah faktor yang saling berkaitan sehingga menyebabkan terjadinya suatu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain. Secara umum, teori-teori yang dapat naenjelaskan masalah tersebut antara lain teori yang dikemukakan oleh Parsons, Galtung, Smelser, dan Gum Sementara teori-teori dalam nuansa konteks Indonesia juga dapat dijelaskan seperti yang dikemukakan oleh Pally, Nitibaskara, Wirutomo, dan Hikam.
Untuk mengkaji masalah bentuk bentuk perlawanan dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perlawanan PKL terhadap Pemda DKI Jakarta tersebut, maka dalam penelitian ini dipilih pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian yang bersifat deskriptif-eksplanatif Agar mendapatkan gambaran komprehensif, ada dua jenis data yang dibutuhkan, yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara secara mendalam kepada informan yang dianggap dapat memberikan informasi yang diperlukan serta melakukan pengamatan langsung terhadap kehidupan sehari-hari para PKL. Sementara data sekunder diperoleh dari laporan, dokumen-dokumen, berita-berita surat kabar yang berkaitan dengan masalah perlawanan PKL. Sebagai sampel penelitian, ditetapkan secara purposif salah satu lokasi di DKI Jakarta, yaitu di Perempatan Ciracas, Kelurahan Susukan, Kecamatan Ciracas, Kotamadya Jakarta Timur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tiga bentuk perlawanan yang dilakukan oleh PKL dalam penertiban Pemda DKI Jakarta, yakni (1) perlawanan tertutup yang dicirikan oleh sikap pura-pura patuh pada saat ada aparat Pemda, tetapi ketika aparat meninggalkan lokasi mereka pun kembali berjualan; (2) perlawanan semi-terbuka yang dicirikan oleh sudah adanya upaya penentangan dalam bentuk perang urat syaraf, munculnya strategi mengaburkan konsep PKL, dan menggalang kekuatan melakukan protes secara lebih frontal; dan (3) perlawanan terbuka yang dicirikan oleh sikap perlawanan secara fisik berupa penggunaan benda tumpul dan senjata tajam yang digunakan oleh PKL untuk melakukan perlawanan kepada aparat Pemda DKI Jakarta.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perlawanan PKL secara keras dapat dilihat pada berbagai tingkatan. Pertama, faktor sistem budaya yang tidak sama antara PKL di satu sisi dengan aparat Pemda di sisi lain dalam memandang lokasi seperti taman-taman kota, trotoar, dan badan jalan. Pemda meletakkan nilai-nilai keindahan dan ketertiban sebagai dasar dalam melihat ketiga tersebut, sementara PKL menempatkan nilai-nilai yang lebih fungsional seperti nilai-nilai ekonomi (yang penting dapat uang) sebagai hal yang utama . Kedua, faktor sistem sosial yang tidak kondusif dalam interaksi sosial sehari-hari PKL, baik terhadap aparat Pemda maupun sesama PKL yang sesama ini mendapat perhatian dari Pemda. Ketiga, faktor sistem kepribadian PKL yang aktif dan agresif tidak diarahkan pada terbentuknya kepribadian yang taat pada aturan. Keempat, faktor sistem biologis yang kurang memadai, yang diakibatkan oleh pengaruh lokasi penjualan (panas, dingin, debu, asap kendaraan) dan lokasi permukiman yang tidak memenuhi norma-norma kesehatan, tidak memungkinkan terciptanya tabula yang senantiasa sehat. Keempat faktor ini saling berkaitan dalam dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah sistem biologis memberikan energi dan dorongan terhadap sistem kepribadian untuk kemudian diteruskan ke sistem sosial dan terakhir ke sistem budaya. Sedangkan mekatrisme kedua adalah setelah berada di puncak, sistem budaya kembali mengontrol sistem sosial (institusionalisasi), lalu mengontrol sistem kepribadian (internalisasi), seianjutnya mengontrol sistem biologis.
Dan hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan: (a) kiranya Perpu No. 11 Tahun 1988 (pasal 16) dapat ditinjau ulang karena ternyata Perda tersebut cenderung mendiskriminasi pedagang kecil, seperti PKL; (b) kiranya PKL yang tidak resmi diberi peluang yang sama dengan PKL yang resmi untuk mendapatkan status resmi sehingga mereka juga dapat menjalankan aktivitas penjualannya dengan aman dan tenang; (c) perlunya Pemda mengubah tindakan penertiban tersebut dengan langkah-langkah yang lebih akomodatif berupa penyediaan kios atau lapak-lapak serta pemberian bantuan modal bagi PKL; dan (d) perlunya pembenahan internal bagi Pemda di mana anggotanya sering memeras PKL, padahal mereka juga yang menertibkannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryadi
"Tesis ini tentang Tindakan Penertiban terhadap pedagang kaki lima yang dilakukan oleh Unit Sabhara dan Tramtib Kecamatan Ciputat. Perhatian Utama tesis ini adalah corak tindakan penertiban yang dilakukan oleh petugas Unit Sabhara dan Petugas Tramtib Kecamatan Ciputat. Dalam kajian ini menekankan kepada tindakan penertiban yang bertujuan adanya keteraturan ruang dan waktu.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode etnografi dengan tehnik pengumpulan data secara pengamatan, wawancara dengan pedoman dan pengamatan terlibat untuk mengungkapkan tindakan penertiban yang dilakukan para petugas terhadap pedagang kaki lima.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usaha perdagangan kaki lima merupakan salah satu bidang usaha dalam sektor informal yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar, hal ini disebabkan sektor usaha tersebut tidak memerlukan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi, modal yang tidak besar dan waktu yang tidak terikat. Sehingga usaha ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai kemauan melakukan usaha dalam sektor ini.
Di pasar Ciputat, usaha ini dilakukan tidak saja oleh warga Ciputat tetapi juga banyak dilakukan oleh para pedagang dari luar Ciputat. Mereka menempati lokasi tertentu ditempat umum dan membentuk sebuah lingkungan pasar kaki lima, yang di dalamnya mempunyai corak masyarakat yang majemuk baik dari jenis kegiatan usaha yang dilakukan maupun daerah asal kedatangan atau kesukubangsaannya.
Kemajemukan jenis kegiatan ini mewujudkan suatu hubungan sosial yang bersifat komplementer dan simbiotik. Sedangkan kemajemukan suku bangsa mewujudkan suatu pengelompokan pedagang berdasarkan daerah asal atau suku bangsanya juga merupakan pengelompokkan dari jenis barang dagangan yang diperjual belikan. Adanya pengelompokkan kesukubangsaan ini maka timbul suatu ikatan kelompok suku bangsa dan memiliki seorang ketua kelompok suku bangsa yang dipilih oleh warga suku bangsa sebagai seorang yang dituakan dan dihormati. Hubungan antara ketua kelompok dengan warga dalam kelompoknya merupakan hubungan patron klien yang bersifat hubungan bapak-anak.
Dalam kehidupan kelompok timbul suatu kesepakatan-kesepakatan tentang bagaimana menjalankan usaha perdagangan dengan baik, upaya menghindari persaingan dan perselisihan sesama pedagang serta usaha-usaha mengatasi kesulitan dan meningkatkan kesejahteraan warganya yang dipimpin oleh ketua kelompoknya. Sehingga dengan berbagai upaya, maka para warga kelompok merasa bergantung kepada ketuanya. Walaupun terjadi pengelompokkan yang demikian namun dalam kegiatan perdagangan mereka tidak menonjolkan kebudayaan sukubangsanya, tetapi lebih menggunakan aturan-aturan yang berlaku umum dalam lingkungan pasar kaki lima.
Salah satu sifat pedagang kaki lima dalam melakukan usahanya adalah dengan menyongsong pembeli sehingga mereka banyak menempati lokasi-lokasi tempat umum dan dipinggir jalan raya. Keberadaan mereka ditempat umum, menimbulkan kemacetan lalu lintas, sampah bertebaran dan kesemrawutan yang menjadi kerawanan terhadap kriminalitas. Dengan kondisi demikian khususnya untuk mengantisipasi tindakan penertiban maka muncul pelindung yang memberikan jasa keamanan kepada para pedagang yang berperan sebagai patron. Sebagai patron maka ia membuat aturan-aturan dalam kegiatan perdagangan kaki lima yang menyangkut perolehan lokasi, pengaturan posisi berdagang dan pembayaran salari.
Dengan adanya aturan-aturan yang terbentuk, baik yang bersumber dan kesepakatan maupun yang diciptakan oleh patron, yang diikuti dan dijadikan pedoman oleh para pedagang dalam melakukan kegiatan berdagangnya, maka akan membentuk suatu pola kegiatan dalam kehidupan pedagang kaki lima. Dengan adanya pola-pola kegiatan tersebut maka hal itu merupakan suatu keteraturan dalam kehidupan pedagang kaki lima, yaitu merupakan suatu aturan atau pedoman kegiatan yang berwujud perilaku individu, kelompok atau masyarakat dalam melakukan kegiatan berdagangnya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Lokasi pasar sebagai tempat warga masyarakat Ciputat dan sekitamya untuk rnemenuhi kebutuhan sehari-hari diperlukan adanya keteraturan ruang dan keteraturan waktu.
Keteraturan tersebut sangat tergantung kepada perencanaan tata ruang dan kebijaksanaan-kebijaksanaan oleh para pejabat yang berwenang. Pelaksanaan tindakan penertiban untuk tercipta suatu keteraturan ruang dan waktu pelaksanaannya dilakukan oleh satuan Unit Sabhara dan Tramtib Kecamatan Ciputat.
Pelaksanaan tindakan penertiban yang dilakukan Kepolisian dan Kecamatan bertujuan terciptanya keteraturan ruang dan waktu sangat bergantung kepada motivasi dari para petugas tindakan penertiban. Kesejahteraan dari petugas sangat penting, sehingga tidak melakukan penyimpangan dalam mencapai tujuan. Anggaran tindakan penertiban dipasar Ciputat belum terencanakan, hal tersebut menimbulkan tindakan penertiban dipasar Ciputat belum berjalan secara maksimal.
Daftar Kepustakaan : 26 Buku + 9 Dokumen"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10993
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Rachmat
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S8769
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawati Kusumastuti Roosadiono
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang "Implementasi Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima, Studi Kasus di Pasar Ciputat, Tangerang, Banten." Penelitian ini penting dilakukan karena pedagang kaki lima merupakan salah satu permasalahn kota yang hingga kini belum tertangani dengan baik. Selama ini kebijakan yang diterapkan adalah mengusir dan menggusur para pedagang kaki lima karena dinggap membuat kotor, kumuh dan macet. Padahal di sisi lain, pedagang kaki lima mempunyai daya serap tenaga kerja yang tinggi apalagi pasta krisis ekonomi. Pemerintah daerah Tangerang juga memberikan perhatian khusus terhadap penanganan pedagang kaki lima dengan menggelar operasi penertiban. Namun, operasi penertiban ini tidak efektif membuat jera para pedagang kaki lima dan bahkan mereka seolah-olah "main petak umpet" dengan aparat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan menggunakan jenis penelitian deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan penertiban pedagang kaki lima di pasar Ciputat. Untuk memperoleh data, penelitian ini menggunakan teknik wawancara, studi pustaka serta observasi langsung ke lapangan. Data yang diperoleh dari lapangan akan di olah sesuai dengan kebutuhan penelitian dan akan dianalisis dengan teori yang terkait dengan penelitian.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencakup sepuiar sektor informal, lebih spesifik tentang karakteristik usnum pedagang kaki lima, peranan pedagang kaki lima, permasalahan yang seringkali muncul akibat keberada pedagang kaki lima, dan beberapa penanganan pedagang kaki lima. Teori yang terkait dengan penelitian ini juga adalah teori kebijakan publik, baik itu sebagai produk, proses, dan analisis, implementasi kebijakan publik dan variable yang mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik
Berdasarkan temuan lapangan bahwa implementasi kebijakan penertiban pedagang kaki lima tidak berjalan dengan baik karena terdapat beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh para pelaksana kebijakan yakni tidak mengikuti prosedur yag telah ditetapkan dalam SK Bupati No. 180 tahun 1995 tentang Petunjuk Teknis Praktis Penegakan Hukum dalam Bidang Pemerintahan. Penyimpangan itu antara lain adalah tidak adanya sangsi berupa tindak pidana ringan bagi para pelanggar dan tidak adanya sikap konsistensi aparat pemerintah terhadap operasi penertiban pedagang kaki lima. Dari implementasi kebijakan yang sedemikian rupa menghasilkan suatu kondisi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keindahan, kebeisihan dan ketertiban hanya dapat dirasakan secara sementara. Tidak berhasilnya penertiban tersebut disebabkan oleh beberapa kendala yakni kendala internal meliputi tidak adanya SOP (Standart Operating Procedures), tidak adanya kesepahaman antar aparat pemerintah, terbatasnya personil aparat pemerintah, terbatasnya dana operasional dan kendala eksternal yang terdiri dari rendahnya kesadaran pedagang kaki lima dan terbatasnya lahan dagang di pasar Ciputat.
Hasil analisis mengemukakan kebijakan yang diterapkan Pemda Tangerang dalam menangani pedagang kaki lima termasuk dalam-kategori relokasi sangat keras karena dilarang berjualan kembali di tempat yang dilarang tanpa ada solusi alternatif yang memihak pedagang kaki lima. Terdapat beberapa point yang tidak terpenuhi dalam implementasi kebijakan penertiban pedagang kaki lima di ciputat baik dari aspek komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi. Oleh karena itu kebijakan yang diterapkan dikategorikan unseccesfull implementation.
Oleh karena itu perlu ada beberapa perbaikan yakni pada aspek dasar hukum sebagai landasan operasional yang perlu dibuat juknis penertiban dan direvisi perda tentang penertiban, dialokasikan dana operasional dalam APBD secara tepat, adanya komunikasi antara Camat dengan dinas yang terkait dalam menangani pedagang kaki lima, ditambahnya personil satuan polisi pamong praja dalam meningkatkan kinerjanya dan disediakan lahan khusus untuk pedagang kaki lima yang sudah lama berjualan di lahan pasar Ciputat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13934
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Efendi
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang pelaksanaan Kebijakan Penertiban Pedagang Kaki Lima (untuk selanjutnya disingkat dengan PKL) di tepian Sungai Jawi, Kelurahan Sungai Jawi, Kecamatan Pontianak Barat, Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan Surat Keputususan Walikota Pontianak Nomor 14 Tahun 2004 telah dibentuk Tim Penertiban Bangunan/Kios Liar Dalam Wilayah Kota Pontianak salah satu kegiatannya adalah melakukan penertiban terhadap PKL di tepian Sungai Jawi Kota Iontianak. Penertiban ini pada dasarnya bertujuan untuk menata wajah Kota Pontianak sesuai dengan Visi Kota Pontianak yaitu kota khatulistiwa berwawasan lingkungan sebagai pusat perdagangan dan jasa yang bertaraf internasional. Penelitian ini bermaksud untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan kebijakan penertiban PKL mulai dari tahap persiapan, tahap sosialisasi, tahap pelaksanaanloperasi penertiban dan tahap pasca pelaksanaan untuk mengetahui berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan.
Penelitian ini difokuskan di tepian Sungai Jawi Kota Pontianak di sepanjang jalan Hasanudin dan H. Rais A. Rahman, Kelurahan Sungai Jawi, Kecamatan Pontianak Barat sebagai lokasi yang terkena kebijakan penertiban PKL sesuai dengan Pengumuman Walikota Pontianak Nomor 6 Tabun 2001 mengenai larangan membangun tanpa ijin dan berjualan di tempat-tempat terlarang serta Keputusan Walikota Pontianak Nomor 299 Tabun 2003 mengenai larangan membangun kios/los dan berjualan di atas badan jalan/ parit/berem dan di atas trotoar pada ruas jalan dalam wilayah Kota Pontianak.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui proses studi kepustakaan, wawancara dengan
informan dan pengamatan serta dokumentasi di lapangan. lnforman penelitian ini adalah beberapa pejabat di Pemerintahan Kota Pontianak dan beberapa PKL yang terkena pelaksanaan program kebijakan.
Menurut hasil penelitian ini, Pemerintah Kota Pontianak merasa bahwa dalam pelaksanaan kebijakan Penertiban PKL di tepian Sungai Jawi Kota Pontianak melalui penertiban dan penataan PKL jika dibandingkan dengan penertiban sebelumnya telah dilakukan secara persuasif, hal ini dilihat dari jumlah 624 PKL yang terkena operasi penertiban, hanya sekitar 30 PKL atau sebesar 4,81% saja PKL yang bertahan untuk tetap melakukan jualan di sekitar tepian Sungai Jawi Kota Pontianak, selebihnya sebanyak 594 orang atau 95,19% bersedia untuk ditertibkan oleh pemerintah Kota Pontianak. Namun jika dilihat dari pihak PKL dalam pelaksanaan kebijakan penertiban terlihat bahwa Pemerintah kota Pontianak hanya memperhatikan keberhasilan pembangunan fisik saja, pelaksanaan kebijakan penertiban PKL tersebut bersifat top down, menempatkan PKL hanya sebagai penerima dan obyek dari program kebijakan. Hal ini terlihat jelas dari pembentukan tiro penertiban, dimana asosiasi PKL tidak dilibatkan, termasuk dalam hal penentuan lokasi yang akan dijadikan tempat penampungan PKL, sama sekali tidak dibicarakan terlebih dahulu.
Dari berbagai tahapan pelaksanaan kebijakan Penertiban PKL tersebut, terdapat beberapa kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Pontianak yaitu kurangnya keterlibatan seluruh unsur yang terkait sebagai stakeholder dari kebijakan dalam keanggotaan tim penertiban, kurangnya validitas data PKL yang akan ditertibkan, terbatasnya lokasi yang representatif di Kota Pontianak untuk tempat penampungan PKL yang telah ditertibkan, belum adanya dialog yang komunikatif dan transparan antara Pemerintah Kota Pontianak dengan pars PKL, kurangnya transparansi Pemerintah Kota Pontianak dalam mensosialisasikan kebijakan Program Penertiban PKL kepada para PKL, kurangnya konsistensi dan ketegasan Pemerintah Kota Pontianak beserta aparatnya di lapangan dalam menegakkan ketentuan dan peraturan yang ada.
Berkenaan dengan kendala tersebut, disarankan dalam penelitian ini kepada Pemerintah Kota Pontianak agar merevisi SK Walikota Nomor 14 tahun 2004 dengan mengikutsertakan asosiasi PKL dalam keanggotaan tim penertiban PKL, melakukan berbagai dialog yang komunikatif, dan perlunya penegakan hokum serta ketegasan terhadap aparatnya di lapangan. Sementara saran yang diberikan kepada PKL, yaitu perlunya membangun rasa solidaritas bersama yaitu rasa saling percaya, saling ketergantungan dan tolong menolong di antara sesama PKL serta perlu membangun kerjasama dengan asosiasi yang ada, khususnya asosiasi PKL sebagai jembatan dalam menyampaikan berbagai keinginan dan aspirasi PKL tersebut dengan berbagai pihak."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22176
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S6972
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Basuki
"ABSTRAK
Seklor informal sebagai salah satu cara mencari nafkah di sebuah kota menjadi sebuah atau bahkan satu-satunya pilihan bagi kaum migran ataupun para pengangguran di Jakarta yang semakin bertambah.Kemudahan untuk memasuki, kecilnya modal yang diperiukan, serta rendahnya tingkat ketrampilan yang dibutuhkan 1,» it di sektor ini ngapjadikan sgktQr¢ini5sebpah¢ pIIihan yang menarik.
Keberadaan pedagang kaki lima, sebagai bagian dari sektor ekonomi informal semakin menjamurdi Jakarta. Hampir di setiap ruang publik yang diisi oleh pedagang kaki lima. Pertambahan ruang publik yang hampir tidak ada, serta semakin banyaknya pedagang kaki lima telah membuat Jakarta menjadi sebuah kota yang semrawut.
Kinilah saatnya kita merenungkan kembali mengapa pedagang kaki lima timbul di sebuah kawasan ? Bagaimana keadaan sebuah ruang publik setelah kedatangan pedagang kaki lima ?"
2000
S48221
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>