Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29521 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tika Yulianidar
"Perubahan pola kehidupan masyarakat modern kini cenderung serba praktis dan konsumtif. Hal ini mendukung pesatnya perkembangan fenomena 7-Eleven yang merupakan salah satu fenomena baru dalam industri ritel. Penelitian ini dilakukan di Jakarta Selatan sebagai kota dengan pertumbuhan 7-Eleven tertinggi. Tujuan penelitian untuk mengetahui pola keruangan lokasi 7-Eleven, karakteristik lokasi 7-Eleven berdasarkan penggunaan tanah, pola keruangan karakteristik lokasi 7-Eleven berdasarkan penggunaan tanah, karakteristik konsumen dan jangkauan pelayanan 7-Eleven di Jakarta Selatan. Analisa dalam penelitian ini menggunakan pendekatan keruangan dengan metode analisis komparatif dan deskriptif.
Dari penelitian ini diketahui pola persebaran lokasi 7-Eleven di Jakarta Selatan memiliki pola tersebar yang terbagi dalam empat karakteristik lokasi, yaitu kawasan pusat perkantoran, perdagangan dan jasa (CBD), kawasan pusat perkantoran, perdagangan dan jasa (non CBD), kawasan campuran (CBD), dan kawasan campuran (non CBD). Pola keruangan karakteristik lokasi 7-Eleven memiliki pola tersebar dan mengelompok.
Perbedaan karakteristik konsumen, berdasarkan penggunaan tanah, terlihat jelas pada usia, jenis pekerjaan dan asal konsumen. Jangkauan pelayanan 7-Eleven pada kawasan pusat perkantoran, perdagangan dan jasa (non CBD) merupakan jangkauan pelayanan terjauh, sedangkan jangkauan pelayanan 7-Eleven pada kawasan pusat perkantoran, perdagangan dan jasa (non CBD) merupakan jangkauan pelayanan terdekat.

Changes in modern society?s pattern of life nowadays is tend to be very practical and consumptive which is supporting phenomenon of rapid development from 7- Eleven as one of retail industries. This research was conducted in South Jakarta, the city with the highest growth of 7-Eleven. Purposes of this research are to determine the pattern of spatial location of 7-Eleven, 7-Eleven location characteristic based on land use, the pattern of 7-Eleven location characteristic based on land use, consumer characteristics, and also coverage distance of 7-Eleven in South Jakarta. Spatial approach with comparative and descriptive methods, were used to analyze this research.
This research has found out a pattern of distributions of 7-Eleven location in South Jakarta, it has a diffused pattern, which is divided into four location characteristics: in trade and service places, central office building (CBD); in trade and service places, central office building (non CBD); in mixed land use (CBD) and also in mixed land use (non CBD). The pattern of 7-Eleven location characteristic have random and cluster pattern.
Consumer characteristics differences were based on land use, and its clearly seen in different ages, type of occupations, and the origin of its consumer. Coverage distance of 7-Eleven in trade and service places, and also central office building (non CBD) is the farthest coverage distance, but 7-Eleven in trade and service places, and also central office building (CBD) is the nearest coverage distance.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42715
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nur Ramadhani
"Dalam perkembangannya dewasa ini, Ritel telah menjadi salah satu bidang usaha yang diminati oleh investor, baik lokal maupun asing. Persaingan ketat antara peritel lokal dan peritel asing, termasuk waralaba lokal dan asing, memaksa peritel lokal dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) untuk membenahi diri agar dapat bersaing dan sejajar dalam usaha pasar ritel. Kondisi ini tentunya merupakan hal yang positif bagi masyarakat luas sebagai konsumen yang diuntungkan dari persaingan tersebut dan sekaligus memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional secara makro serta mendukung usaha Pemerintah terkait dengan penciptaan lapangan dan penyerapan tenaga kerja. Pemerintah sebagai Regulator dan penentu kebijakan memiliki peran yang sangat penting demi terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan perlindungan terhadap UMKM. Oleh karena itu ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum, iklim persaingan usaha yang sehat dalam rangka menarik modal investor, baik dalam maupun luar negeri, serta perlindungan bagi pelaku usaha nasional.

In its recent development, Retail has become one of the most sought after line of business by local and foreign investors. Fierce competition between local and foreign retailer, including local and foreign franchise, has forced local retailer as well as Micro, Small and Medium Enterprise (UMKM) to make business improvement and reform in order to compete and align themselves in the Retail market competition. This condition is certainly a positive thing for the public as consumers who profited by such competition and sufficiently contributes for the national economy as well as element of support for the Government in its effort to create job opportunities and fight against unemployment. The Government is one of the crucial key player in this equation as the State Regulatory and policy-maker, to ensure healthy business competition and the protection of UMKM in Retail market. Therefore, the prevailing laws and regulations must provide certainty of law, promote healthy business competition atmosphere in order to attract both local and foreign investors, as well as the protection of national businesses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45510
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afrida Sary Puspita
"Tesis ini membahas tentang store atmosphere pada gerai 7-Eleven cabang Grand Indonesia. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis bagaimana store atmosphere pada gerai 7-Eleven cabang Grand Indonesia. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang menggunakan analisis mean. Berdasarkan hasil analisis mean terhadap empat dimensi dari store atmosphere pada gerai 7-Eleven cabang Grand Indonesia, maka diperoleh hasil yang tergolong memiliki nilai kategori yang sangat tinggi sehingga pihak 7-Eleven harus tetap mempertahankannya.

This thesis discusses the store atmosphere in 7-Eleven outlets branch Grand Indonesia. The purpose of this study to analyze how the atmosphere at the outlet store 7-Eleven branches of Grand Indonesia. The research approach used is quantitative descriptive with type of research that uses analysis of mean. Based on the mean analysis of the four dimensions of store atmosphere on store 7-Eleven branches of Grand Indonesia, the obtained results that are categorized as having a very high value categories, so that the 7-Eleven should keep it."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30331
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hazrah Gani
"ABSTRAK
industri retail modern saat ini sedang berkembang pesat khususnya pada sektor minimarket. 212 Mart sebagai pendatang baru dalam industri retail modern dengan berbasis syariah harus bersaing dengan kompetitornya. Memastikan kualitas layanan, sangat penting bagi 212 Mart untuk memberikan kepuasan pelanggan dan menjaga loyalitas pelanggan. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan perlu diidentifikasi secara sistematis atribut kualitas pelayanan yang mempengaruhi kepuasan pelanggan dan memprioritaskan mode kegagalan kritis yang berakibat pada penurunan kualitas layanan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan minimarket 212 Mart berbasis syariah dengan mengusulkan suatu metode pendekatan Retail Service Quality Scale (RSQS) untuk melihat tingkat kepuasan pelanggan berdasarkan nilai GAP antara ekspektasi dan persepsi, dan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) untuk menentukan mode kegagalan kritis pelayanan serta tindakan perbaikan yang tepat. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pelanggan 212 Mart belum puas dengan pelayanan yang diberikan 212 Mart. Adanya kegagalan kritis pelayanan 212 Mart pada aktivitas barang masuk yang sering terlambat dan barang dagangan yang tidak stabil, juga pada saat pelanggan memilih barang, tidak ada barang / produk di rak yang dipilih serta strategi harga dan promosi yang kurang.

ABSTRACT
The modern retail industry is currently growing rapidly, especially in the minimarket sector. 212 Mart as a newcomer to the modern retail industry with sharia-based must compete with its competitors. Ensuring service quality, is very important for 212 Mart to provide customer satisfaction and maintain customer loyalty. To improve service quality, it needs to be systematically identified service quality attributes that affect customer satisfaction and prioritize critical failure modes that result in a decrease in service quality. This study aims to improve the quality of sharia-based 212 Mart minimarket services by proposing a Retail Service Quality Scale (RSQS) approach to see the level of customer satisfaction based on the GAP score between expectations and perceptions, and the Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) method to determine critical service failure and appropriate corrective action. In this study it was found that 212 Mart customers were not satisfied with the services provided by 212 Mart. There is a critical failure of the 212 Mart service on the activity of incoming goods that are often late and unstable merchandise, also when the customer selects the goods, there are no goods / products on the shelf selected and the price and promotion strategies are lacking."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Listya Dewi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Citra Merek Global , Kualitas Sistem Operasional, dan Pengembangan Lingkungan Lokal Waralaba Asing terhadap Kinerja UKM Lokal di Jakarta Selatan khususnya bisnis restoran dilihat dari persepsi pemilik UKM lokal. Teknik analisis data yang digunakan adalah Multivariate Regression. Hasil penelitian menunjukan Citra Merek Global , Kualitas Sistem Operasional , dan Pengembangan Lingkungan Lokal Waralaba Asing memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan kinerja UKM lokal dilihat dari persepsi pemilik UKM lokal.

This study aims to determine the influence of franchisor’s Global brand name, operational system quality and local environment development towards SME business performance in South Jakarta’s local restaurant based on Local Restaurant Owner’s Perception. The data analysis technique used is Multivariate Regression. The results showed the franchisor’s global brand name, operational system quality and local environment development significantly affect to SME’s business performance reduction. Local restaurant in Jakarta need to be more competitive through global franchising which entered to the local market."
2014
S54326
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Wibowo
"Kehadiran pedagang kakilima sebagai bagian dari sektor informal tampaknya masih tetap harus diperhitungkan dalam konteks permasalahan tenaga kerja. Masalahnya dapat menjadi positif apabila kehadiran mereka dipandang sebagai wadah limpahan tenaga kerja dan menjadi negatif apabila kehadirannya dipandang sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan kemacetan lalulintas, gangguan kesehatan, gangguan ketentraman dan ketertiban dan sebagainya, sehingga pemerintah daerah sering membuat beraneka kebijakan yang berbeda. Di satu pihak pemerintah daerah sering melakukan kebijakan akomodasi dan promosi, di pihak lain mengeluarkan kebijakan yang membatasi kegiatan pedagang kakilima.
Tesis ini berusaha mengkaji beberapa isu penting berkaitan dengan kebijakan pembinaan pedagang kakilima di Kota Jakarta. Fokus utama penelitian ini adalah tentang elemen-elemen kebijakan, sosialisasi dan kemungkinan penyimpangannya dalam penanganan pedagang kakilima. Untuk melihat proses perumusan dan implementasi kebijakan-kebijakan tersebut. dipergunakan metode yang didasarkan pada kerangka berpikir dari Bromley. Metode ini pada dasarnya untuk mengukur dan melihat kebijakan dari sisi policy level, organizational level dan operational level.
Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan mengkombinasikan antara metode kualitatif dan kuantitatif Untuk mengetahui kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah, peneliti menggunakan metode kualitatif melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam, sedangkan untuk mengetahui pola-pola interaksi yang ada pada pedagang kakilima digunakan metode kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 416 responden pedagang kakilima di wilayah Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan dan Pasar Senen Kotamadya Jakarta Pusat.
Teknik analisis data kuantitatif menggunakan Chi Square dengan uji signifikansi 95 %, sedangkan pengujian pola-pola interaksi (data kualitatif) adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan, sikap pedagang kakilima dan pandangan pemerintah dengan efektifitas pelaksanaan kebijakan pembinaan pedagang kakilima. Hasil pengujian statistik dengan menggunakan alat bantu SPSS Release 6,0 menunjukkan ternyata memang terdapat hubungan antara variabel-variabel tersebut dan melalui pengujian signifikansi dapat dikatakan hubungan tersebut berlaku juga di tingkat populasi.
Sebenarnya cukup banyak kebijakan yang dibuat oleh pemerintah namun dalam penelitian ini yang dianggap penting adalah kebijakan mengenai permodalan, kemitraan usaha, manajemen usaha, retribusi dan perizinan.
Pada policy level kebijakan pemerintah di bidang usaha kaki lima adalah pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 UUD 1945 yang diimplementasikan dengan ketetapan MPR No. 4 tahun 1978 tentang GBHN di tingkat organisasi (Organizational Level) kebijakan yang dikeluarkan melalui Undang-undang dan peraturan pemerintah, sedangkan pada operasional level Pemerintah DKI Jakarta lebih banyak mengeluarkan kebijkan yang sifatnya teknis dan belum mengeluarkan kebijakan secara khusus yang mengatur pembinaan dan pengembangan pedagang kakilima.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara variabel pendidikan dengan variabel efektivitas pelaksanaan kebijakan pembinaan sektor informal / PK 5 berupa kesediaan beralih profesi dengan nilai Chi Square sebesar 13,781 yang berarti Ho ditolak dan pada tingkat populasi hubungan variabel ini juga berlaku, pada hubungan antara variabel pendidikan dengan variabel pengetahuan terhadap Perda DKI Jakarta Nomor 5 tahun 1978 dan Perda Nomor 11 Tahun 1988 diperoleh nilai sebesar 10,541 yang berarti Ho ditolak (terdapat hubungan yang signifikan). Di samping itu juga terlihat adanya hubungan antara variabel sikap responden dengan variabel kesediaan beralih profesi dengan nilai Chi Square sebesar 44,130 yang berarti Ho ditolak dan pada tingkat populasi hubungan ini juga berlaku, sedangkan antara variabel sikap responden dengan variabel pengetahuan terhadap Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1978 dan Perda Nomor 11 Tahun 1988 diperoleh Chi Square sebesar 6,957 yang berarti Ho diterima (tidak terdapat hubungan yang signifikan)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T8046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Heince Tombak
"Industri ritel atau yang disebut juga bisnis eceran merupakan bisnis yang tidak lesu ditengah-tengah krisis yang sedang melanda bangsa ini. Padahal di sisi lain, terlihat macetnya kinerja sebagian besar industri-industri yang sebelum krisis menjadi penggerak perekonomian negara, Hal ini diakibatkan karena industri ritel bersentuhan langsung dengan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dimana proses perputaran barang dan uang di dalamnya sangat cepat.
Laju pertumbuhan industri ritel pada saat ini sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari tumbuhnya pusat-pusat Perbelanjaan Modern baru baik oleh investor asing maupun lokal. Begitu juga ekspansi yang dilakukan oleh pengusaha lama didalam memperluas jaringan usaha mereka dengan menambah gerai-gerai baru. Laju pertumbuhan yang pesat bahkan pasar modern bukan tidak memiliki dampak negartif, hal ini terlihat dari: keterdesakan pasar tradisional dan usaha kecil dan juga persaingan yang tidak sehat sesama peritel modern.
Untuk itu penulis mencoba menganalisis didalam tesis ini seluruh kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintah di Industri ritel yang bertujuan untuk:
1) Memberikan gambaran tentang industri ritel di DKI Jakarta mengenai jumlah perusahaan berdasarkan skala usaha, sebaran geografis usaha,
2) Mengevaluasi kebijakan industri ritel di DKI Jakarta dengan peraturan yang di keluarkan oleh BKPM, Depperindag, Pemda DKI Jakarta,
3) Memberikan gambaran peta persaingan industri ritel di DKI Jakarta,
4) Memberikan sumbangan untuk penyempurnaan kebijakan persaingan industri ritel di Indonesia.
Dalam menganalisis permasalahan yang ada penulis menggunakan metode analisis:
1) Analisis deskriptif dengan menggunakan dasar-dasar hukum kompetisi dihubungkan dengan teori organisasi industri khususnya dalam bidang kebijakan persaingan,
2) Melakukan Depth Interview terhadap institusi pemerintah yaitu Depperindag, Pamda DKI Jakarta, Pelaku usaha ritel yang diwakili Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) mengenai permasalahan yang ada di industri ritel dan solusi yang diberikan.
Dan hasil analisis yang dilakukan, di peroleh hasil sebagai berikut:
1. Kebijakan Entry barrier (melarang peritel asing memasuki industri ritel Indonesia) yang di tetapkan pemerintah terakhir melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI No. 51 tahun 1995, terbukti tidak efektif menggusur keberadaan peritel asing di Indonesia Hal tersebut terlihat dari keberadaan peritel asing setelah kebijakan entry barrier dikeluarkan pemerintah. Tidak efektifnya kebijakan tersebut diakibatkan tidak komprehensifnya aturan yang ada, sehingga peritel asing memanfaatkan jalur kerjasama yaitu system waralaba dalam mempertahankan eksisitensi usahanya dan hal tersebut juga dimanfaatkan peritel asing baru yang ingin masuk ke Indonesia.
2. Konsep aturan mengenai lokasi yang sangat tidak jelas seperti aturan yang tertuang di dalam SK Gubernur DKI Jakarta No 50 tahun 1999, merupakan akar permasalahan terbesar dalam menimbulkan kekacauan di industri ritel dan berdampak pada terjepitnya keberadaan pasar tradisional atas keberadaan pasar modern Hal tersebut terlihat dari pertumbuhan pasar modern yang pesat yang ditunjukkan dari jumlah pesat perbelanjaan modern dari tahun 1993 sampai tahun 2000, masing-masing kenaikan 100 % pada daerah Jakarta Pusat, 223% pada daerah Jakarta Utara, 100% pada daerah Jakarta Barat, 183 % pada daerah Jakarta Selatan dan 125 % pada daerah Jakarta Timur. Pada peritel modern sangat terlihat laju pertumbuhan yang pesat dimana ditunjukkan dari peningkatan jumlah gerai tiga peritel pagan atas yaitu Matahari, Hero dan Ramayana dari tahun 1997-2000 masih mendominasi yaitu 28 gerai, 31 gerai dan 46 gerai. Hal itu juga diperkuat dari total penjualan mereka tahun 2001 masing-masing sebesar Rp 3,532 trilyun, Rp 1,4 trilyun dan Rp 1,622 trilyun. Pada pasar tradisional terjadi penurunan dari tahun 1993 sampai tahun 2000, yaitu sebesar 11,6 % pada daerah Jakarta Pusat, 4 % pada daerah Jakarta Utara, 3,5 % pada daerah Jakarta Barat, 6,6 % pada daerah Jakarta Selatan dan 13,2 % pada daerah Jakarta Timur,
3. Tidak jelasnya pengembangan kedepan dari system perkulakan dan juga didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya yang tidak tepat, menyebabkan pengusaha yang terjun dalam system perkulakan tidak mengindahkan aturan bagi perkulakan yang di tetapkan seperti pada SK Gubernur NO. 50 tahun 1999. Sistem penjualan langsung ke konsumen dan juga dalam bentuk satuan, merupakan desakan atas kehadiran peritel asing seperti Carrefour yang berlokasi di jantung kota. Begitu juga diversifikasi usaha dengan menekuni usaha minimarket, merupakan strategi menjaga eksistensi usahanya dan peritel lainnya yang sudah terlebih dahulu ada. Hal itu juga disebabkan akibat tidak adanya aturan yang mengatur hal tesebut yang di tetapkan oleh pemerintah.
4. Baik pengusaha maupun Pemerintah DKl Jakarta melihat panjangnya proses dalam memperoleh ijin usaha pasar modern sangat tidak efisien. Panjangnya "birokrasi" tersebut, akan berpotensi inembuat pendatang baru (new entry) untuk berpikir panjang untuk masuk, karena biaya awal (Sunk cost) yang dikeluarkan sangat mahal dan ditambah dengan proses waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh ijin sangat lama. Bagi pemain lama (Incumbent), akan berpikir ulang untuk ekspansi dengan membuka gerai baru.
5. Aturan jam buka dan tutup yang ditetapkan pemerintah bagi pasar modern tidak masalah bila adanya aturan yang komprehensif dalam industri ritel. Adanya perkulakan yang membuka lebih awal dari waktu yang ditetapkan, diakibatkan oleh aturan yang ada khususnya dalam lokasi memicu persaingan yang tidak sehat seperti hal tersebut. Pengurangan jam buka bagi pasar modern akan sangat berdampak besar baik bagi peritel sendiri dan juga akan mcnyehabkan terjadinya rasionalisasi karyawan yang sangat besar. Begitu juga dengan penurun penerimaan pemerintah dari sektor pajak dan juga hilangnya pendapatan pedagang kecil di sekitar pasar modern."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12103
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Gunarti
"Isu yang banyak berkembang di tengah masyarakat adalah pertumbuhan pasar modern (dalam hal ini hypermarket asing) yang seolah-olah mematikan usaha kecil. Banyak dari pelaku dunia usaha skala kecil mendapat imbas langsung dengan kehadiran pasar modern seperti hypermarket.
Permasalahan yang muncul yaitu lemahnya posisi tawar dari pemasok terhadap peritel besar sehingga mengakibatkan perilaku yang tidak adil bagi pemasok tersebut (abuse of dominant position). Kekuatan pasar (market power) yang dimiliki peritel asing menimbulkan ketergantungan hagi para pemasok untuk masuk ke gerai mereka.
Dominasi peritel asing terhadap pemasok dilakukan melalui cara hubungan usaha jual beli produk yang menggunakan sistem jual putus. Hubungan usaha tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis yang dinamakan National Contract yang memuat syarat perdagangan (trading terms) yang dapat dinegosiasikan dengan pemasok, antara lain listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, reguler discount, common assortment cost, opening cost/new store.
Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan dilakukan kajian terhadap kompleksitas strategi aliansi yang dilakukan peritel asing dan bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat konmihnen kedasama pemasok UKM sebagai mitra dalam membangun bisnis ritel di Indonesia.
Hubungan antara strategi aliansi dengan komitmen kerjasama diungkapkan oleh Caughlan et al (2001:316). Menurut Caughlan di dalam strategi aliansi, dua atau lebih organisasi yang memiliki hubungan (hukum, ekonomi atau interpersonal) di antara mereka akan memiliki persepsi terhadap kepentingan pribadi yang berkaitan dengan kerjasama mereka. Di dalam aliansi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk di dalamnya hubungan yang erat (close relationship), rekanan (partnerships), hubungan kepemerintahannya (relational governance), hybrid governance, vertical quasi-integration, dan komitmen kerjasama (committed relationship). Di dalam industri distribusi, aliansi antara perusahaan diwujudkan dalam sebuah wujud komitmen yang tulus (genuine commitment). Artinya komitmen muncul ketika sebuah perusahaan merasakan hubungan kerjasama yang tidak terbatas. Sehingga, komitmen kerjasama merupakan sebuah wujud yang dihasilkan dari aliansi yang dibentuk dari dua atau lebih organisasi.
Penelitian yang dilalcukan dengan tujuan untuk menganalisis pelaksanaan strategi aliansi peritel asing dengan komitmen kerjasama pemasok lokal skala UKM, dilakukan dengan menggunakan metode survey kepada 100 responden pemasok lokal skala UKM yang berlokasi di DKI Jakarta.
Sedangkan teknik penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuisioner kepada responden dan dianalisa dengan analisis statistik korelasi Product Moment dan Regresi untuk mengetahui derajat hubungan dan tingkat pembahan variabelnya.
Analisis Hasil Penelitiannya yaitu:
1. Pelaksanaan strategi aliansi yang dilakukan oleh peritel asing begitu kompleks dan memberatkan pemasok yang berskala kecil. Artinya peritel asing belum memiliki konsep strategi aliansi kepada UKM dalam membangun bisnis ritel di Indonesia. Peritel asing menempatkan mitra bisnisya (dalam hal ini adalah UKM) bukan sebagai mitra strategik yang turut mendukung pertumbuhan dan pengembangan bisnis retail di Indonesia. Melainkan mereka hanya menempatkan UKM sebagai bagian kecil sebagai pemasok sebagai rangkaian hubungan jangka pendek saja;
2. Tingkat komitmen kerja sama pemasok UKM kepada peritel asing telah cuknp tinggi. Namun konsep kerja sama yang dijalankan saat ini belum memberikan hasil yang baik bagi UKM;
3. Pelaksanaan strategi aliansi yang dijalanlcan oleh Peritel Asing memberikan hubungan dan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat komitmen kerjasama UKM kepada Peritel Asing. Semakin baik pelaksanaan strategi aliansi yang diterapkan peritel asing maka akan semakin tinggi tingkat komitmen kerjasama yang akan dilakukan pemasok skala UKM, dan demikian sebaliknya. Sehingga saat ini pemasok kecil dalam menjalankan kerjasama dengan peritel asing dengan unsur keterpaksaan karena kurangnya jalur pemasaran produk mereka, bukan karena mereka memang berkeinginan untuk menjalin kerjasama dengan peritel asing.

A popular opinion currently evolving within our community is that foreign hypermarkets are to blame for taking businesses away from small scale retailers. Many small scale retailers suffers significant loss in their revenues due to this.
Other problems arises from this is the weakening of suppliers bargaining position relative towards major suppliers resulting in a phenomena called the abuse of dominant position. Market power possessed by foreign retailers created a high dependency of suppliers on foreign retailers demand.
The domination of foreign retailers towards their suppliers takes form in the written purchase agreement called National Contract signed by both parties which incorporate negotiable trading terms covering listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store and penalty.
In relation to the fact outlined above, this study is aimed to identify strategies adopted by foreign retailer and their impact on the level of partnership commitment of SME scale suppliers.
The relationship between alliance strategy and partnership commitment was introduced by Caughlan et al (2001:316). According to Caughlan in an alliance, two or more organizations having relationship with one another (legal, economic or interpersonal) will possess perception of their own self interest in relation to their partnership. Alliance can be forged into a variety of forms including close relationship, partnership, relational govemance, hybrid govemance, vertical quasi-integration and commited relationship. In the distribution industry, alliance between companies take the form of genuine commitment, a commitment that is born when a company felt the need to establish and maintain an unlimited partnership with its counterpart. Therefore partnership commitment is the product of an alliance forged between two or more organizations.
This research is aimed to analyze the implementation of an alliance strategy initiated by a foreign retail company and its impact on the company?s SME scale supplier?s partnership commitment. The research is conducted using a survey method with a sample of 100 local suppliers located within DKI Jakarta.
The results of this are describe as follows :
(1) The implementation of alliance strategy by the company is perceived to be complex and burdening by small and medium scale suppliers. This entail a lack of alliance strategy concept applicable in Indonesia. Foreign retailer placed their small and medium scale suppliers not as strategic partners in developing its business in Indonesia but merely as suppliers who play a small and relatively short term role;
(2) Partnership commitment of small and medium scale suppliers towards their foreign counterpart receive a signiticant score, meaning that most small and medium scale suppliers possess a high level of commitment in developing partnership with foreign retailers, although the partnership concept currently exist does not yield a significant retmns to the small and medium scale suppliers;
(3) A significant relationship and influence exist between the implementation of alliance strategy by a foreign retailer and the partnership commitment level of a small and medium scale suppliers. The better implementation of alliance strategy by foreign retailer the higher the level of commitment relationship by Small Medium Enterprise Supplier and vice versa. However at present the small supplier is doing business with foreign retailer because the lag of distribution channel not because they want to have bussiness relation with foreign retailer.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nafisah
"Waralaba adalah suatu metode pendistribusian barang dan jasa yang pelaksanaannya diatur dalam perjanjian waralaba antara pemberi waralaba dan penerima waralaba. Di Indonesia, waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor PM 53 / M-DAG / PER / 8/2012 Tahun 2012 tentang Waralaba. Sedangkan di Korea Selatan, waralaba telah diatur dalam undang-undang, yaitu Fair Transaction in Franchise Business Act No.15610 dan juga keputusan penegakan hukum atas Enforcement Decree of The Fair Transactions in Franchise Business Act No.28471. Penelitian ini menggunakan metode hukum komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan pengaturan perjanjian waralaba antara Indonesia dan Korea Selatan. Hasil penelitian ini menyarankan agar regulasi waralaba dibuat menjadi undang-undang dengan ketentuan yang lebih detail dan tidak diatur.

Franchising is a method of distributing goods and services, the implementation of which is regulated in a franchise agreement between the franchisor and the franchisee. In Indonesia, franchising is regulated in Government Regulation Number 42 of 2007 concerning Franchising and Regulation of the Minister of Trade Number PM 53 / M-DAG / PER / 8/2012 of 2012 concerning Franchising. Whereas in South Korea, franchising has been regulated in law, namely the Fair Transaction in Franchise Business Act No.15610 and also the law enforcement decision on the Enforcement Decree of The Fair Transactions in Franchise Business Act No.28471. This study uses a comparative legal method. The results showed that there are similarities and differences in franchise agreement arrangements between Indonesia and South Korea. The results of this study suggest that franchise regulations be made into laws with more detailed and unregulated provisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Luciana
"ABSTRAK
Kehadiran toko X di DKI Jakarta adalah sinyal awal transformasi toko ritel modern menuju toko pintar. Studi kasus toko X bertujuan mengetahui dan menganalisis: pertama, jenis teknologi yang berpotensi menimbulkan pengangguran; kedua, persepsi konsumen terhadap toko X; ketiga, dampak teknologi dan inovasi terhadap tenaga kerja ritel dengan keterampilan rendah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang meliputi observasi, wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, kuesioner. Metode analisis untuk menjawab tujuan pertama dan tujuan ketiga adalah teknik klasifikasi data dan teknik analisis kerangka ikan (fishbone analysis); sedangkan tujuan kedua dengan teknik klasifikasi data berupa tabulasi silang dan penyaringan.
Hasil analisis menyatakan: pertama, kecerdasan buatan (artificial intelligence), sistem pengenalan wajah (face recognition), data besar (big data), RFID (Radio Frequency Identification), kamera, dan ponsel pintar adalah jenis teknologi yang menggantikan tenaga kasir, tenaga keamanan, dan tenaga administrasi pergudangan; kedua, peserta diskusi mengungkapkan toko X memiliki keunggulan di variabel teknologi dan pelayanan, disusul transaksi dan fasilitas; ketiga, ancaman yang mengemuka akibat kehadiran toko pintar adalah peluang terjadinya pengangguran karena sejumlah profesi menghilang, pekerjaan permanen menyusut, pembatasan rekrutmen karyawan baru hingga goncangan industri. Ancaman tersebut diakibatkan kompetensi tenaga kerja ritel yang terbatas pada mengerjakan tugas-tugas rutin dan repetitif, padahal operasional toko pintar membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan digital memadai, misalnya mengelola kecerdasan buatan dan data besar. Keterbatasan keterampilan menyebabkan tenaga kerja ritel tidak kompetitif dan rentan digantikan mesin dan perangkat lunak. Situasi kelangkaan tenaga kerja dengan keterampilan tinggi menyebabkan sebuah perusahaan ritel terpaksa mendatangkan tenaga kerja asing. Ketertinggalan dan keterbatasan tersebut harus segera diatasi dengan memanfaatkan peluang yang disediakan globalisasi teknologi, yaitu akses kepada pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan diri. Para pemangku kepentingan dapat mengadakan beragam pendidikan formal dan informal, gratis maupun berbayar yang memberikan keterampilan baru (reskilling) dan keterampilan tambahan (upskilling) kepada tenaga kerja ritel.

The presence of X shop in DKI Jakarta is a signal of the beginning of the transformation of modern retail stores to smart shops. The case study of X shop aims to find out and analyze: first, the type of technology that has the potential to cause unemployment; second, consumer perceptions of store X; third, the impact of technology and innovation on retail skills with low skills. This study uses qualitative methods which include observation, in-depth interviews, focus group discussions, questionnaires. The analytical method for answering the first and the third objective is data classification techniques and fishbone analysis; the second objective is the data classification technique in the form of cross tabulation and filtering.
The results of analysis state: first, artificial intelligence, facial recognition system, big data, Radio Frequency Identification, cameras, smart phones are types of technology that replace cashier, security personnel, warehousing administrative staff; second, the discussion participants revealed that X shop has advantages in technology, service, transactions, facilities; third, the threat posed by the presence of smart shop is unemployment because possibility of some professions disappear, permanent jobs shrink, restrictions on recruitment of new employees, industrial shocks. The threat is caused by the competence of retail workers who are limited to doing routine and repetitive tasks. Smart shop operations require workers with adequate digital skills, for example managing artificial intelligence and big data. Limitation of skills have caused retail workforce to be uncompetitive and vulnerable to being replaced by machinery and software. Scarcity of high skills workers causes a retail company to be forced to bring in foreign workers. These limitations must be addressed immediately by utilizing the opportunities provided by technology, for example access to knowledge and skills to develop themselves. Stakeholders can hold up free and also paid education that provides new skills and additional skills to the retail workforce.
"
2019
T53616
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>