Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147443 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Khoiriah
"ABSTRAK
Keberadaan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi konsensus
Nasional. Konsenssus nasional mengenai keberadaan otonomi daerah dalam NKRI tersebut
mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi Negara tidak hanya
semata-mata atas dasar sentralisasi dan dekonsentrasi sebagai penghalusannya, tetapi juga atas
dasar desentralisasi dengan otonomi daerah sebagai perwujudannya. Dari dimensi administrasi,
prinsip diatas menuntut agar otonomisasi yang terjadi didasarkan pada faktor dan pertimbangan
objektif serta kebijakan yang dapat menjamin kemampuan daerah dalam mengemban otonomi.
Inilah makna otonomi yang nyata tercakup dalam dimensi ini adalah perlunya dukungan
wewenang dalam bidang keuangan dan perangkat bagi setiap penyerahan urusan pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah.
Menurut logika hukum keuangan daerah yang juga merupakan keuangan publik, tidak lagi
tunduk pada ketentuan keuangan Negara. Keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk
mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
Pentingnya posisi keuangan daerah dalam menyelanggarakan otonomi daerah sangat disadari
oleh pemerintah. Demikian pula alternatif cara untuk mendapatkan keuangan yang memadai.
Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada
setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah. Sedangkan sumber pendapatan
daerah pajak dan retribusi daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, hasil
perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman
daerah.
Dalam hal kewenangan kepala daerah Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000
menyebutkan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah disebutkan bahwa
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya
mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Dalam hal
pengelolaan keuangan daerah kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah; Dalam melaksanakan kekuasaan kepala daerah melimpahkan sebagian atau selurah
kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban, serta pengawasan, keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah,
Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan
antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.

Abstract
The existence of regional autonomy in the Republic of Indonesia has become a national
consensus. The National Consensus about the existence of regional autonomy within the
Republic of Indonesia means that the implementation of the organization and administration of
the State is not merely on the basis of centralization and deconcentration as soften, but also on
the basis of decentralization and regional autonomy as its realization. From the dimensions of the
administration, demanding that the above principle of autonomization that occurred based on
objective factors and considerations as well as policies that can ensure the ability to carry out
regional autonomy. This is the real meaning of autonomy which is included in this dimension is
the need to support the authority in the field of finance and devices for each delivery of
governmental affairs by the government to the regions.
According to the logic of local finance law which is also the public finances, no longer subject to
the provisions of State Finance. Local finance as one indicator to determine the ability of regions
to organize and manage their own households, the financial position of regional importance in
organizing the regional autonomy is realized by the government. Similarly, an alternative way to
obtain adequate finance. In order to organize the Regional Autonomy of financial authority
inherent in any government authority to regional authorities. While the source of local income
taxes and levies, the financial balance between central and local government, the regional-owned
enterprises, and the separated regional wealth management, lending areas.
In terms of local authority heads of Government Regulation Number 84 of the year 2000
mention is the Regional Head of Governors, Regents and Mayors. In Government Regulation
Number 58 Year 2005 concerning the Financial Management stated that the Holder of Power
Financial Management is a regional head office has the authority for conducting the overall
management of regional finances. In terms of financial management of the head area is the area
of financial management authority regions; In exercising the power of regional chief delegate
part or all of the powers of planning, implementation, administration, reporting and
accountability, and oversight, regional finance to the local officials, delegation of some or all
power is based on the principle of separation of powers between the ordering, testing, and
receiving/spending money."
2012
T31537
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Belinda Gunawan
"ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah menyebabkan permasalahan-permasalahan tentang keberadaan dan fungsi dari wakil kepala daerah di Indonesia karena tidak mengatur secara tegas mengenai tata cara pengisian jabatan dan jumlah wakil kepala daerah yang dapat dimiliki oleh tiap-tiap daerah. Tesis ini berbentuk yuridis-normatif yang menggunakan data sekunder sebagai sumber datanya, serta bersifat preskriptif, yaitu memberikan saran, penyelesaian dan saran terhadap penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa akibat karena tidak tegasnya pengaturan tentang wakil kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu ketidakpastian hukum untuk mengadakan jabatan wakil kepala daerah karena pengaturannya mudah berubah-ubah dan tergantung pada undang-undang lain. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan atas undang-undang tentang pemerintahan daerah, khususnya mengenai keberadaan dan jumlah wakil kepala daerah harus diatur secara eksplisit di dalam undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah.

ABSTRACT
Law number 23 on 2014 of Regional Governance which has been amended by Law Number 2 of 2015 on Amendment of Law Number 23 on 2014 and Law Number 9 of 2015 on Second Amendment of Law Number 23 on 2014 Law of Regional Governance caused problems about Deputy Head of Regional Government 39 s existence and functions in Indonesia because Law Number 23 on 2014 did not regulate the mechanism to fill the deputy head position and also did not determine the possible number of deputy heads that can be appointed by each regions. This is a prescriptive and juridical normative thesis that used secondary data as it source and intended to give solutions and recommendations. The result is, there are implications that caused by unclear norms in Law of Regional Governance in Indonesia. The implication is, the rule about legal standing of deputy head of regional governance becomes uncertain, because the norm is easy to be changed and depends on another regulation outside the Law of Regional Governance. Therefore, the norms in Law of Regional Governance needs to be revised, especially the norms about number and existence about deputy head of regional governance."
Depok: 2017
T49645
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Akbar Idris
"Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah sehingga daerah memiliki kewenangannya sendiri untuk melaksanakan pemerintahan. Salah satu tolak ukur dalam penilaian sistem desentralisasi adalah dari segi keuangan daerah. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menentukan bahwa bagi daerah kekuasaan pengelolaan keuangan negara diserahkan kepada kepala daerah untuk mengelola keuangan daerahnya sendiri. Penyerahan kekuasaan pengelolaan keuangan kepada kepala daerah dapat dimaknai sebagai bentuk kemandirian keuangan daerah karena terpisah pengelolaannya dari keuangan pemerintah pusat. Hal tersebut menunjukkan daerah layaknya suatu badan hukum yang didirikan oleh negara, sehingga memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban negara. Untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dimilikinya, daerah memiliki sumber-sumber pendanaan yang terdiri dari pendapatan asli daerah, pendapatan transfer, dan pendapatan daerah lain yang sah. Meskipun terdapat berbagai sumber pendanaan tersebut, masih terdapat celah fiskal sehingga daerah masih membutuhkan dana dari sumber lain seperti pinjaman yang mengakibatkan daerah memiliki kewajiban utang. Dalam melaksanakan pemerintahan, terdapat berbagai macam risiko yang dapat menyulitkan kondisi keuangan daerah. Kesulitan keuangan yang berlarut-larut akan mengakibatkan daerah gagal untuk memenuhi kewajibannya atau yang disebut dengan gagal bayar. Dalam menangani gagal bayar guna menjamin kelangsungan aktivitas pemerintahan daerah, diperlukan suatu mekanisme penanganan gagal bayar. Penelitian ini fokus kepada analisis mengenai pengelolaan keuangan daerah sebagai badan hukum publik serta mengenai penanganan gagal bayar daerah dalam pengaturan keuangan daerah di Indonesia. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan pendekatan undang-undang serta disusun secara deskriptif. Hasil penelitian ini menemukan status badan hukum daerah dapat ditemukan dalam pengelolaan keuangannya, terutama dalam aspek kekuasaan pengelolaan keuangan, sumber pendapatan, serta penganggaran. Kemudian, penelitian ini menemukan bahwa penanganan gagal bayar daerah dalam pengaturan keuangan daerah di Indonesia masih memiliki kekurangan karena tidak memberikan perlindungan hukum secara menyeluruh kepada para pihak yang terlibat.

Decentralization is the transfer of power from the central government to regions so regions have their own authority to govern. The financial aspect is one of the indicators of decentralization. Law Number 17 of 2003 on State Finance stipulates that for regions, the authority to manage state finances is delegated to regional heads to manage their own respective region’s finances. The delegation of authority to manage their own finances is interpreted as the regional finance’s independence due to its distinction from the central government’s financial management. This shows that a region resembles a state-established legal person, thus separates its rights and obligations from the state’s. To conduct their obligations, regions have revenue sources that consists of original regional revenue, transfer revenue, and other legitimate regional revenue. Although those sources of funding exist, there are still fiscal gaps which requires regions to find funding from other sources, namely loans which results in debt obligation for regions. Regions face risks in governing which could cause distress to the region’s finances. Protracted financial distress could results in regions defaulting on their obligations. In dealing with default to ensure the continuity of regional government, a mechanism to manage default is requisite. This study primarily concerns on analyzing the financial management of regions as a public legal person and the default management for regions in Indonesian regional finance regulations. The methodology utilized in this study is juridical-normative with a statutory approach along with a descriptive structure. This study finds that region’s financial management, particularly in the areas of financial management authority, revenue resources, and budgeting, reflects their status as a public legal person. This study also discovered that the default management in Indonesian regional finance regulation still have shortcomings since it fails to provide adequate legal protection to the parties involved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haryo Sudrajat
"Tesis ini menganalisis paradoks tidak diaturnya perlindungan pelapor pelanggaran pada Undang-Undang tentang Pemilu dan Undang-Undang tentang Pilkada. Alasannya terlaksananya pemilu dan pilkada yang demokratis sangat membutuhkan partisipasi masyarakat untuk ikut awasi pemilu, tidak dapat hanya diserahkan kepada Bawaslu karena berbagai keterbatasannya. Terlebih tren pelaporan dugaan pelanggaran oleh masyarakat terus mengalami penurunan baik di pemilu maupun pilkada. Tesis ini bermaksud menjawab apa saja yang menjadi paradoks tidak diaturnya perlindungan pelapor dalam UU Pemilu dan UU Pilkada serta bagaimana konsep ideal dari pengaturan perlindungan yang seharusnya diatur. Dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus, berhasil ditemukan bahwa konstruksi perlindungan pelapor dalam UU Pemilu dan UU Pilkada kontradiksi terhadap empat aspek, yakni terhadap makin strategisnya peran pelapor, meningkatnya jumlah ketentuan pidana dan administrasi pada UU Pemilu dan Pilkada, kuatnya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan kontradiksi terhadap perluasan perlindungan pelapor. Dengan berbagai pendekatan yang dilakukan disimpulkan idealitas perlindungan terhadap pelapor pelanggaran pemilu dan pilkada adalah dengan cara merumuskan ketentuan perlindungan preventif melalui pemberian kewajiban bagi Lembaga terkait untuk melindungai pelapor, perahasiaan identitas pelapor dan sanksi bagi pembocor identitas pelapor, serta larangan pembalasan dendam dan sanksi berat terhadap pelanggaran tersebut. Pengaturan preventif itu akan menyempurnakan konsep perlindungan pelapor di Indonesia yang saat ini secara represif telah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban dan lebih menjamin menciptakan iklim perlindungan pelapor yang kondusif dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada di Indonesia.

This thesis analyzes the paradox of the unregulated protection of election fraud complainant in the Law on General Election and Regional Head Election. The reason is that the implementation of democratic elections requires public participation to participate in supervising the elections, it cannot only be left to Bawaslu because of various limitations. Moreover, the trend of reporting alleged violations by the public continues to decline both in the general election and regional head elections. This thesis intends to answer what is the paradox of the unregulated protection of election fraud complainant in the Election Law and the Regional Election Law and how the ideal concept of the protection arrangement should be regulated. By using a statutory approach, conceptual approach, and case approach, it was found that the construction of the protection of whistleblowers in the Election Law and the Regional Head Election Law contradicts four aspects, namely the increasingly strategic role of reporters, the increasing number of criminal and administrative provisions in the Election and Regional Head Election Law, the strong guarantee of the protection of human rights, and the contradiction to the extension of the whistleblower protection. With the various approaches taken, it is concluded that the ideal of protection for whistleblowers of election and regional election violations is to formulate preventive protection provisions through the provision of obligations for relevant institutions to protect the whistleblower, confidentiality of the reporter's identity and sanctions for whistleblowers' identity, as well as prohibition of retaliation and severe sanctions for violations. the. This preventive arrangement will improve the concept of protecting whistleblowers in Indonesia, which is currently repressively regulated in the Witness and Victim Protection Law and will further guarantee to create a climate of protection for whistleblowers that is conducive to the implementation of general elections and local elections in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petrick Herbeth Carofin
"Persandian adalah kegiatan terkait pengamanan informasi yang sejak lama digunakan dalam konteks pertahanan dan keamanan negara. Seiring perkembangan teknologi, keamanan siber muncul sebagai bagian dari keamanan nasional. Berdasarkan Perpres No. 53 Tahun 2017, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) adalah lembaga yang mempunyai fungsi menyelenggarakan persandian dalam konteks keamanan siber di Indonesia. Menurut UU No. 23 Tahun 2014, urusan pertahanan dan keamanan negara merupakan urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Di sisi lain, UU No. 23 Tahun 2014 mengatur penyelenggaraan persandian tidak dilakukan secara nasional oleh pemerintah pusat, melainkan diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai urusan pemerintahan wajib daerah yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini antara lain mengenai kewenangan persandian yang ada pada BSSN, kewenangan persandian yang ada pada pemerintah daerah, serta hubungan antara BSSN dengan pemerintah daerah dalam melaksanakan urusan persandian di Indonesia. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terjadi tumpang tindih kewenangan antara BSSN dengan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kegiatan persandian di Indonesia. Saran yang dapat diberikan melalui penelitian ini adalah perlunya pengaturan yang lebih jelas dan terang terhadap pengaturan penyelenggaraan persandian di Indonesia, khususnya melalui instrumen undang-undang.

Coding is an activity related to securing information and has long been used in the context of state defense and security. As technology develops, cyber security emerges as part of the national security. Based on Presidential Regulation Number 53 of 2017, the State Code and Cyber Agency (BSSN) is an institution that has the function to administer the affair of coding in the context of cyber security in Indonesia. According to Act Number 23 of 2014, the affairs of state defense and security are absolute government affairs that are entirely belong to the authority of the central government. On the other hand, Act Number 23 of 2014 regulates the affair of coding is not administered nationally by the central government, rather submitted to the regional government as a mandatory regional governmental affair that is not related to basic services. This thesis will examine the authority of the affair of coding in the BSSN, the authority of the affair of coding in the regional government, and the connection between BSSN and the regional government in administering the affair of coding in Indonesia. This thesis is carried out using normative juridical legal research methods. This thesis concludes that there is an authority overlap between the BSSN and the regional government in administering the affair of coding in Indonesia. The advice that can be given through this thesis is the need for clearer regulation for the affair of coding in Indonesia, especially by an act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghany Ellantia Wiguna
"Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung pertama di Indonesia diadakan pada tahun 2005. Untuk memenangkan pemilihan, calon kepala daerah harus memperoleh suara tertinggi. Di sisi lain, setelah implementasi desentralisasi di Indonesia, kepala daerah memiliki kewenangan untuk mengelola keuangan daerah termasuk kewenangan untuk menyiapkan Anggaran Daerah (APBD). Wewenang untuk menyiapkan APBD memungkinkan penyalahgunaan anggaran dengan memanipulasi anggaran untuk menarik simpati dari pemilih untuk dipilih kembali dalam pemilihan berikutnya. Itu menyebabkan anggaran pemerintah membentuk siklus yang mengikuti tahun pemilihan. Dalam politik teori anggaran publik, keputusan anggaran tidak hanya didasarkan pada keputusan teknis tetapi juga keputusan politik. Kekuatan kelompok kepentingan memainkan peran penting dalam keputusan anggaran.
Studi ini dilakukan untuk melihat pola siklus anggaran yang terjadi pada tahun pemilu dan bagaimana peran koalisi partai kepala daerah di DPRD dalam pengambilan keputusan anggaran. Siklus anggaran dianalisis dalam sisi pendapatan dan pengeluaran untuk melihat keseluruhan pola siklus anggaran. Penelitian ini menggunakan data panel dari 502 kabupaten/kota pada periode 2011-2017 menggunakan Fixed Effect Model dan Pooled OLS. Hasilnya menunjukkan bahwa ada pengaruh tahun pemilihan pada tingkat agregat pendapatan dan pengeluaran. Ini menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran dibiayai dari peningkatan sisi pendapatan. Di sisi pendapatan, PAD meningkat pada tahun pemilihan yang berasal dari pajak dan PAD lainnya.
Di sisi pengeluaran, pengeluaran yang relatif lebih tinggi di bidang ekonomi, perumahan dan fasilitas publik, kesehatan dan fungsi perlindungan sosial sebagai kebutuhan dasar kesejahteraan rakyat. Dan sebagian besar jenis anggaran yang relatif lebih tinggi di tahun pemilu adalah belanja baik dan layanan dan belanja karyawan. Pangsa koalisi partai kepala daerah di DPRD signifikan terhadap pengeluaran dan pendapatan di tingkat agregat. Di tingkat komponen pengeluaran dan pendapatan, kekuatan koalisi di DPRD hanya signifikan terhadap pendapatan terutama PAD yang berasal dari pajak dan PAD lainnya. Karena DPRD juga memengaruhi keputusan anggaran, jika ada praktik PBC, koalisi partai kepala daerah di DPRD juga terlibat atau memiliki peran di dalamnya.

The first direct regional head election (Pilkada) in Indonesia was held in 2005. To win the election, regional head candidates must obtain the highest votes. On the other hand, after the implementation of decentralization in Indonesia, the regional head has the authority to manage regional finances including the authority to prepare the Regional Budget (APBD). The authority to prepare the APBD allows budget misuse by manipulating the budget to attract sympathy from voters for re-election in the next election. That causes the government budget to form a cycle that follows the election year. In the politics of public budget theory, budget decisions are not only based on technical decisions but also political decisions. The strength of interest groups plays an important role in budget decisions.
This study was conducted to look at the pattern of the budget cycle that occurred in the election year and how the role of the party coalition of regional heads in the DPRD in budget decision making. The budget cycle is analyzed in terms of income and expenditure to see the overall pattern of the budget cycle. This study uses panel data from 502 districts / cities in the period 2011-2017 using the Fixed Effect Model and Pooled OLS. The results show that there is an influence of the election year on the aggregate level of income and expenditure. This shows that the increase in expenditure was funded by an increase in income.
On the revenue side, PAD increased in the election year originating from taxes and other PAD. On the expenditure side, expenditures are relatively higher in the economic, housing and public facilities, health and social protection functions as the basic needs of people's welfare. And most types of budgets that are relatively higher in the election year are good spending and service and employee spending. The share of the party head coalition in the DPRD is significant on expenditure and income at the aggregate level. At the level of expenditure and revenue components, the strength of the coalition in the DPRD is only significant to revenues, especially PAD derived from taxes and other PAD. Because the DPRD also influences budget decisions, if PBC practices are involved, the regional head party coalition in the DPRD is also involved or has a role in it.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Aryo Nugroho
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia terhadap perlindungan dan pengelolaan terumbu karang ditinjau dari peraturan perundang-undangan. Selanjutnya skripsi ini juga membahas mengenai kasus perusakan terumbu karang di Indonesia yaitu kasus perusakan terumbu karang di Raja Ampat oleh Kapal MV Caledonian Sky serta bagaimana penegakan hukum dari kasus tersebut. Tujuan dari skripsi ini adalah mengetahui hubungan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dalam perlindungan terumbu karang di Indonesia serta mengetahui penegakkan hukum terhadap perusakan terumbu karang di Indonesia. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Hubungan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan terumbu karang didasarkan kepada urusan konkuren UU Pemda. Akan tetapi terdapat hambatan yaitu tidak adanya kewenangan pemerintah kabupaten/kota terhadap pengelolaan wilayah pesisir. Penegakkan hukum terhadap kasus perusakan terumbu karang berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 yaitu penegakan hukum administrasi, perdata, dan pidana. penegakan hukum administratif cara penghentian kegiatan, pembongkaran, penyitaan, dan pencabutan izin. Penegakan pidana tersebut terbagi atas sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. hukum perdata dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan melalui pengadilan.

ABSTRACT
This thesis discusses how the authority of the Central and Regional Governments in Indonesia towards the protection and management of coral reefs is viewed from the laws and regulations. Furthermore, this paper also discusses the case of coral reef destruction in Indonesia, namely the case of destruction of coral reefs in Raja Ampat by the MV Caledonian Sky Ship and how the law enforcement of the case. The purpose of this paper is to find out the relationship between the responsibilities of the central government and the regions in protecting coral reefs in Indonesia and to know the law enforcement on the destruction of coral reefs in Indonesia. The research method in this paper is normative juridical. The relationship between the authority of the Central Government and the Regional Government towards coral reef management is based on the concurrent affairs of the Regional Government Law. However, there are obstacles, namely the absence of district/city government authority over the management of coastal areas. Law enforcement for cases of coral reef destruction based on Law No. 32 of 2009, namely the enforcement of administrative, civil and criminal law. administrative law enforcement on how to terminate activities, demolition, confiscation and revocation of licenses. The criminal enforcement is divided into imprisonment sanctions and fine criminal sanctions. Civil law can be done through settlement of disputes outside the court and through the court."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Candrakirana
"Disertasi ini membahas mengenai Kewenangan Pemerintahan Daerah Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pada Era Reformasi Di Indonesia. Permasalahan mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan ini muncul dengan adanya perubahan kewenangan yang terdapat dalam Pasal 27 dan 28 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan kewenangan tersebut berimplikasi terhadap  kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan yang diserahkan kepada pemerintah Provinsi untuk dikelola. Sehingga pemerintah kabupaten/kota hanya memilki sebagian kecil kewenangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD Negara RI 1945 terkait otonomi daerah. Dampak ini terlihat pada kewenangan dan kelembagaan pengelolaan oleh pemerintah daerah dengan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri Kepulauan. Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan data primer dan data sekunder yang dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengenai : 1) bagaimanakah kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan di indonesia? 2) bagaimanakah pembagian kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah pada era reformasi di indonesia? 3) bagaimanakah konsep kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia?. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan diperlukan peran kembali dari pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk pemberian tugas pembantuan untuk melaksanakan tugas yang bersifat operasional dengan tujuan untuk mendekatkan pemerintah kepada masyakat yang berada di daerahnya (bringing the state closer to the people). Hal ini dapat diatur dalam peraturan pelaksana yang mengatur mengenai kewenangan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri kepulauan. Selanjutnya,diperlukan penguatan fungsi kelembagaan cabang dinas untuk melakukan tugas administrasi dan koordinasi dalam menjaga harmonisasi hubungan dengan pemerintah kabupaten/kota. Dalam optimalisasi peran masyarakat diperlukan adanya koperasi perikanan dan Program Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) khusus di bidang perikanan yang melibatkan masyarakat pesisir khususnya nelayan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah, LSM, akademisi dan lembaga-lembaga penelitian
This dissertation discusses the regional government authority on fishery resource management in the implementation of regional autonomy during the reform era in Indonesia. The issue of authority on fishery resource management has arisen from the change of authority stated in Articles 27 and 28 of Law Number 23 of 2014 Concerning Regional Government. The authority change has implications on the fishery resource management authority, which is handed over or delegated to the Regional (Provincial) Governments. As a result, the lower governments, city/regency governments, possess only a little portion of the fishery resource management authority. This contradicts the mandate contained in Chapter 18 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding Regional Autonomy. The impacts of the change are shown in the fishery resource management authorities and institutions between the City/Regency Governments and the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. This study is normative legal research with primary and secondary data. It used a descriptive qualitative research method to answer the following questions: (1) how is the fishery resource management authority in Indonesia?; (2) how was the division of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia?; and 3) how is the concept of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia? The results of the research show that the role of the City/Regency Governments is essentially required through providing assistance tasks to execute operational tasks in an attempt to bring the state/the government (s) closer to the people. This can be included in the implementing regulations, which regulate the authority of the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. Furthermore, the institutional functions of regional branch offices to conduct administrative tasks and inter-coordination shall be strengthened to maintain the harmony of relations between the Regional Governments and the City/Regency Governments. In the community role optimization, fishery cooperatives and Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) programs, especially in the fishery sector that involves the coastal community, particularly fishermen, and cooperation with city/regency governments, non-governmental organizations, academicians, and research institutions are required."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umery Lathifa
"Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terdapat kewajiban cuti bagi seorang kepala daerah definitif yang ikut mencalonkan diri dalam pemilihan tersebut. Kekosongan jabatan kepala daerah definitif selama masa pemilihan kepala daerah kemudian diisi oleh seorang Pelaksana Tugas Plt Kepala Daerah yang diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini, Plt Kepala Daerah diberikan mandat untuk melaksanakan tugas harian kepala daerah. Berdasarkan Pasal 14 ayat 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, seorang mandataris tidak berwenang mengambil keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum alokasi anggaran. Permasalahan kemudian timbul ketika Plt Kepala Daerah diberikan wewenang untuk mengesahkan APBD yang merupakan suatu kebijakan strategis. Penelitian ini dibuat untuk menganalisis kekuasaan pengesahan APBD selama masa cuti kepala daerah dan tugas dan wewenang Plt Kepala Daerah dalam pengesahan APBD. Metode dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan yuridis normatif yang mengkaji rumusan masalah dari sudut pandang peraturan perundang-undangan.

In regional governor election, there is a mandatory leave for a definitive governor who stands for election. The Regional Head Ad Interim, appointed by the Minister of Home Affairs, will replace the vacancy of governor position. In this case, a Regional Head Ad Interim will do the governor rsquo s daily duty by mandate. Under Article 14 paragraph 7 Law No. 30 Year 2014, a Regional Head Ad Interim as a mandate does not have a power to take a strategic decision or action that has impact on changing the law status on government budget. The problem arises when The Regional Head Ad Interim is given an authority to authorize the regional government budget, which is considered as a strategic decision. This research is made to analyze the power in authorizing the regional government budget during the governor rsquo s period of leave and to analyze the duty and authority of Regional Head Ad Interim in authorizing the regional government budget. The method of this research, is juridical normative literature method which analyze the problems from the regulatory point of view.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66203
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Nur Romadhon
"Penelitian ini membahas mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Indonesia yang selanjutnya dikaitkan dengan teori Imam al-Mawardi. Dalam teorinya, Imam al-Mawardi menyebutkan bahwa Kepala Daerah diangkat oleh Kepala Negara. Terdapat dua pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, dari mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah yang pernah berlaku di Indonesia adakah yang sejalan dengan teori Imam al-Mawardi. Kedua, apakah pemikiran Imam al-Mawardi dapat diterapkan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian ini adalah diantara mekanisme pengisian jabatan Kepala Daerah di Indonesia, yang sejalan dengan teori Imam al-Mawardi yaitu ketika masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1948; UU No. 18 Tahun 1965; Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959; serta UU No. 5 Tahun 1974. Salah satu sifat yang dimiliki oleh fiqh yaitu muranah yang berarti bersifat luwes, fleksibel, atau lentur yang dapat berkembang seiring berubahnya tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Karena sifat muranah dari fiqh tersebut, memungkinkan berkembangnya fiqh baru di bidang politik yang boleh jadi berbeda dengan teori Imam al-Mawardi. Karena itu, memaksakan penerapan suatu pemikiran fiqh lama atau bahkan usang, tidak sejalan dengan sifat hakekat dari fiqh itu sendiri. Akan tetapi, fakta historis di Indonesia menunjukkan bahwa pernah diterapkannya peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan teori Imam al-Mawardi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa teori Imam al-Mawardi dimungkinkan untuk diterapkan di Indonesia.

This research deals with the mechanisms of the Regional Head election directly in Indonesia that is associated with the theory of Imam al-Mawardi. In theory, the Imam al-Mawardi mentioned that Regional Head appointed by the Head of State. There are two principal problems in this research. First, mechanisms of position filling of Regional Head in Indonesia is that in accordance with the theory of Imam al-Mawardi. Second, how the application of the thinking of the Imam al-Mawardi in Indonesia. The research method used was the normative juridical, namely the research using secondary data.
The results of this research are among the mecanishm of position filling of the Regional Head in Indonesia, which is in accordance with the theory of Imam al-Mawardi among them when the enactment of Law Number 22 Year 1948; Law Number 6 Year 1965; Presidential Determination Number 6 Year 1959; as well as Law Number 5 Year 1974. One of the characteristic by the fiqh that is muranah which means are supple, pliable or flexible, which can grow as a centralized place, time, and conditions. Because fiqh are muranah, allowing the development of a new fiqh in the politics that may be different from the theory of Imam al-Mawardi. Therefore, impose the application of a thought-provoking event long or even obsolete, inconsistent with the nature of the substance of the event itself. However, the historical facts in Indonesia shows that ever applied the legislation in line with the theory of Imam al-Mawardi. So, it can be concluded that the theory of Imam al-Mawardi made possible for applied in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62083
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>