Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129529 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jaka Setya Wicaksono
"ABSTRAK
Promosi jabatan merupakan hal penting di dalam organisasi, kesalahan dalam melakukan
promosi jabatan dapat menyebabkan hambatan pada penyelenggaran organisasi tugas organisasi. Pengangkatan seorang pegawai dalam suatu jabatan merupakan suatu tahapan penting untuk dilakukan dengan prosedur yang baik. Penelitian ini membahas penerapan syarat-syarat promosi dalam jabatan struktural di Badan kepegawaian Negara Pusat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Metode
pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah penerapan syarat-syarat promosi dalam jabatan struktural di Badan Kepegawaian Negara sudah baik secara keseluruhan, namun masih terdapat beberapa hal yang ditingkatkan dalam penerapannya, yaitu faktor objektifitas, diperhatikannya masa kerja, diperhatikannya pendidikan non formal, dan transparansi dalam promosi jabatan.

Abstract
Promotion is important for the organization, the mistake in doing promotion can make
bottlenecks of goal organization.. Appointment of a clerk in an office is an important step to be
done with a good procedure. This research discusses the application of the requirement of
promotion in a structural position in the State Civil Agency. The approach used in this research is a quantitative approach to the type of descriptive research. Methods of data collection using questionnaires and interviews. The result of this research is the application of the terms of promotion in a structural position in the State Civil Agency has been good overall, but there are still some things to improved in application, objectivity factor, attention to the work, attention to non formal education, and transparency in the promotion."
2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adistikah Aqmarina
"Data Badan Pusat Statistik (2013) menunjukkan bahwa selama tahun 2010 hingga 2013 laju pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia mengalami peningkatan. Hal tersebut mendorong terbukanya keberagaman lapangan pekerjaan, salah satunya industri otomotif. Sektor industi otomotif berperan cukup besar dalam memberikan polusi udara dikarenakan banyaknya exposure yang terdapat di wilayah kerja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pekerja bengkel memiliki risiko untuk terkena berbagai jenis gangguan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko gangguan kesehatan pada pekerja ditinjau dari kondisi fisik lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok. Disain penelitian yang digunakan adalah Cross sectional dengan metode Sampling Aksidental. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengukuran PM10, suhu, dan kelembaban di 7 titik, observasi kondisi kios serta wawancara dengan kuesioner untuk karakteristik pekerjaan dan jenis gangguan kesehatan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa 55,0% pekerja di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok berisiko terhadap gangguan kesehatan dengan jenis gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah gangguan pernafasan (74,2%). Faktor risiko tertinggi yang berhubungan signifikan dengan gangguan kesehatan pekerja yakni konsentrasi PM10 di wilayah kerja (OR = 4,24) dan kondisi kios (OR = 3,77). Perlunya dibuat kebijakan untuk melindungi kesehatan pekerja di Pusat Bengkel dan Onderdil Margonda Depok.

Central Bureau of Statistics (2013) show that during the year 2010 to 2013 the rate of growth of the labor force in Indonesia increased. It encourages diversity job opening, one of the automotive industry. Sectors of the automotive industry, a large enough role in providing air pollution exposure due to the amount contained in the working area. Several studies have shown that the workshop workers are at risk for various types of health problems.
This study aimed to determine the risk factors for health problems in workers seen from Physical Work Environment and Characteristics of Work at Central Workshop and Parts Margonda Depok 2014. The design of the study is Cross-sectional with Accidental Sampling method. The data collection was done by measurement of PM10, temperature, and humidity at 7 points, observation and interviews with stall condition questionnaire for job characteristics and types of health problems.
The analysis showed that 55,0% of workers in Central Workshop and Parts Margonda Depok had risk for health problems with most types of health problems experienced by workers are respiratory problems (74,2%). The highest risk factor significantly associated with the health problems of workers in the region of PM10 concentrations (OR = 4,24) and a stall condition (OR = 3,77). It needs to make a policies to protect the health of workers in Central Workshop and Parts Margonda Depok.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S54756
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnarti Hasan
"Beberapa studi mengungkapkan bahwa membengkaknya sektor informal yang terjadi di kota-kota besar khususnya di negara berkembang seperti Indonesia disebabkan karena terbatasnya daya serap sektor modern atau formal terhadap angkatan kerja. Terbatasnya daya serap sektor formal atau modern ini karena tenaga kerja yang dibutuhkan adalah mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan yang tinggi, padahal di lain pihak sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih mempunyai pendidikan yang rendah. Akibatnya tenaga kerja yang tidak terserap di sektor formal terpaksa masuk ke sektor informal yang tidak membutuhkan persyaratan apa-apa seperti di sektor formal.
Dan asumsi tersebut, banyak pendapat yang membedakan sektor formal dan informal dari ciri-ciri sosial ekonomi dan demograti pekerjanya. Pekerja di sektor informal pada umumnya mempunyai pendidikan yang relatif rendah dibandingkan pekerja di sektor formal. Sebagian besar perempuan, dan dilihat dari usianya, rata-rata berusia tua serta mereka yang berstatus migran lebih banyak yang terserap dalam sektor ini. Selain itu dilihat dari jam kerja, kebanyakan pekerja di sektor informal bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, tetapi penghasilan yang mereka terima sangat rendah.
Dalam studi ini dengan menggunakan data Sakerti tahun 1993, beberapa ciri pekerja informal masih konsisten dengan penelitian sebelumnya, kecuali dilihat dari status migrasi, justru yang bukan migran cenderung bekerja di sektor informal. Selain itu dengan memperhatikan jam kerja, proporsi terbanyak adalah mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Dilihat dari penghasilan, yang memperoleh penghasilan antara Rp. 100000 sampai dengan Rp. 200000 sebulan cenderung berada di sektor informal, Bahkan proporsi responden yang mempunyai penghasilan kurang dari Rp.100000 sebulan, justru lebih banyak yang di sektor formal dibandingkan di sektor informal.
Dilihat dari tempat tinggal, proporsi terbanyak adalah mereka yang bertempat tinggal di pedesaan. Pekerja sektor informal yang di pedesaan ini, proporsinya lebih banyak perempuan. Dilihat dari usia, lebih banyak yang lansia. Sebagian besar tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali, serta berstatus migran karena ingin mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan. Proporsi terbanyak adalah meraka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, dan penghasilan yang diperoleh pada umumnya antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari propinsi tempat tinggal, sebagian besar pekerja sektor informal berada di luar pulau Jawa dan Bali. Dilihat dari usia, pada umumnya adalah mereka yang berusia 65 tahun keatas. Sebagian besar perempuan. Kemudian bila dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan pekerja sektor informal yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali ini, tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya berstatus bukan migran. Proporsi paling banyak adalah mereka yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, dan paling banyak menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari jenis kelamin, perempuan cenderung bekerja di sektor informal. Lebih banyak perempuan yang berstatus kawin. Hal ini terlihat baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Jenis pekerjaan paling banyak dilakukan perempuan yang berstatus kawin di sektor informal adalah sebagai tenaga usaha penjualan, dan kebanyakan bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu.
Dilihat dari segi umur, proporsi terbanyak diisi oleh mereka yang berusia 65 tahun keatas. Di perkotaan, pekerja sektor informal yang berusia 65 tahun keatas ini lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, sedangkan di pedesaan sebaliknya. Jenis pekerjaan terbanyak dilakukan oleh mereka adalah sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang bertempat tinggal di luar pulau Jawa dan Bali, lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perikanan, perburuan dan kehutanan. Dilihat dari pendidikan, di perkotaan, sebagian besar pekerja informal yang lansia ini tamat SLTP, sedangkan di pedesaan lebih banyak yang tamat SD. Laki-laki lebih banyak yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, sedangkan perempuan lebih banyak yang tamat SD. Di pulau Jawa dan Bali, pekerja sektor informal yang lansia ini lebih banyak yang tidak sekolah atau tidak tamat SD, di luar pulau Jawa dan Bali justru lebih banyak yang tamat SLTP. Sebagian besar bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, kecuali untuk perempuan, di pulau Jawa dan Bali dan yang di pedesaan, kebanyakan bekerja dengan jam kerja antara 25 sampai 45 jam seminggu.
Penghasilan yang diterima oleh mereka yang bertempat tinggal di perkotaan relatif tinggi yaitu diatas Rp.200000 sebulan. Sedangkan di pedesaan, laki-laki maupun perempuan, di pulau Jawa dan Bali serta di luar pulau Jawa dan Bali, proporsi terbanyak adalah mereka yang menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari tingkat pendidikan, tanpa mengontrol variabel lain, kebanyakan pekerja sektor informal tidak sekolah atau tidak tamat SD. Bila dikontrol dengan variabel lain, lain-lain baik di perkotaan maupun di pedesaan atau di pulau Jawa Bali dan di luar pulau Jawa Bali, pada umumnya tidak sekolah atau tidak tamat SD, sedangkan perempuan, khusus di perkotaan atau di pulau Jawa Bali serta di luar pulau Jawa Bali lebih banyak yang tamat SD, tetapi khusus perempuan yang bertempat tinggal di pedesaan justru lebih banyak yang tamat SLTP.
Mereka yang tidak sekolah atau tidak tamat SD ini sebagian besar bekerja sebagai tenaga usaha penjualan. Pada umumnya bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu, kecuali pekerja sektor informal yang berusia 65 tahun keatas, kebanyakan bekerja dengan jam kerja antara 25 - 45 jam seminggu. Penghasilan yang diterima, pada umumnya antara Rp.100000 - Rp.200000 sebulan, kecuali untuk perempuan, pekerja sektor informal yang tidak sekolah atau tidak tamat SD justru memperoleh penghasilan diatas Rp.200000 sebulan.
Dilihat dari status migrasi, tanpa memperhatikan variabel kontrol, yang bekerja di sektor informal sebagian besar adalah mereka yang berstatus bukan migran. Setelah memperhatikan variabel kontrol, di daerah perkotaan baik di pulau Jawa Bali maupun di luar pulau Jawa Bali, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran masih lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus migran dengan alasan apapun. Tetapi di pedesaan, baik di pulau Jawa Bali maupun di luar pulau Jawa Bali, yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan baru karena tidak cukup lapangan kerja ditempat sebelurnnya terlihat lebih banyak.
Dilihat dari tempat tinggal, baik diperkotaan maupun di pedesaan, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran ini, lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar berusia 65 tahun keatas. Dilihat dari tingkat pendidikan, kebanyakan mempunyai pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD, kecuali yang bertempat tinggal di pedesaan, proporsi paling banyak adalah mereka yang tamat SD.
Selanjutnya bila dilihat dari propinsi tempat tinggal, pekerja sektor informal yang berstatus bukan migran ini, yang bertempat tinggal di pulau Jawa Bali, lebih banyak perempuan, sebaliknya di luar pulau Jawa Bali, lebih banyak laki-laki. Sebagian besar berusia 65 tahun keatas dan mempunyai pendidikan tidak sekolah atau tidak tamat SD. Pada umumnya bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang tamat SLTP keatas, justru lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga usaha pertanian, perikanan, perburuan dan kehutanan.
Dilihat dari jam kerja, pada umumnya pekerja sektor informal bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu. Pekerja sektor informal yang bekerja dengan jam kerja kurang dari 25 jam seminggu ini, sebagian besar bekerja sebagai tenaga usaha penjualan, kecuali yang mempunyai pendidikan tamat SLTP dan SLTA keatas, lebih banyak yang bekerja sebagai tenaga operator dan alat-alat angkutan.
Dilihat dari penghasilan, tanpa memperhatikan variabel kontrol, sebagian besar menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan. Pekerja sektor informal yang menerima penghasilan antara Rp.100000 sampai dengan Rp.200000 sebulan ini, terlihat mengelompok pada hampir semua jenis pekerjaan seperti tenaga usaha penjualan, jasa, pertanian, tata usaha dan sejenisnya, produksi, pekerja kasar dan lainnya.
Setelah dilakukan analisa inferensial dengan menggunakan model logistik sederhana dan berganda untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi masuknya seseorang ke sektor informal, di temukan bahwa jenis kelamin tanpa dikontrol mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap status pekerjaan, namun setelah di kontrol dengan variabel tempat tinggal menjadi tidak signifikan.
Umur dan Pendidikan merupakan variabel yang mempengaruhi seseorang memasuki pekerjaan di sektor informal, dengan atau tanpa di kontrol dengan variabel tempat tinggal. Dilihat dari status perkawinan, mereka yang berstatus kawin mempunyai resiko yang lebih besar untuk memasuki pekerjaan di sektor informal dibandingkan dengan mereka yang berstatus tidak kawin. Setelah di kontrol dengan variabel tempat tinggal, variabel status perkawinan dan interaksi antara status perkawinan dan tempat tinggal menjadi tidak signifikan.
Kemudian, dilihat dari status migrasi, tanpa mengontrol variabel lain, status migrasi mempunyai pengaruh yang cukup berarti terhadap masuknya seseorang kesektor informal. Mereka yang berstatus bukan migran mempunyai resiko yang lebih besar untuk masuk sektor informal dibandingkan dengan mereka yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan dan karena alasan lain, sedangkan untuk migran yang pindah karena alasan ingin mencari pekerjaan bare karena tidak cukup lapangan pekerjaan di tempat sebelumnya tidak terdapat perbedaan proporsi yang bekerja di sektor informal dengan mereka yang berstatus bukan migran. Bila di kontrol dengan tempat tinggal, setelah mengeluarkan variabel yang tidak signifikan, di peroleh bahwa di perkotaan, resiko memasuki pekerjaan di sektor informal oleh mereka yang berstatus bukan migran lebih tinggi dibandingkan dengan yang berstatus migran. Di pedesaan juga terlihat hal yang sama, kecuali untuk migran yang pindah karena-alasan ingin mencari pekerjaan bare karena tidak cukup lapangan pekerjaan ditempat sebelumnya mempunyai resiko yang lebih besar untuk memasuki pekerjaan di sektor informal dibandingkan dengan yang bukan migran.
Melalui analisa inferensial dengan menggunakan model logistik penjumlahan, baik respondennya adalah mereka yang bekerja atau yang bekerja dan bertempat tinggal di daerah perkotaan atau yang bekerja dan bertempat tinggal di pedesaan hanya variabel pendidikan, umur, indikator status migrasi l yang merupakan faktor penentu masuknya seseorang ke sektor informal.
Dilihat dan nilai odd ratio diperoleh hasil sebagai berikut:
(a) resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang mempunyai pendidikan rendah lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mempunyaipendidikan lebih tinggi, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
(b)resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang berusia lebih tua lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
(c). resiko memasuki pekerjaan di sektor informal untuk mereka yang berstatus bukan migran lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berstatus migran karena alasan ingin mendapatkan pekerjaan ditempat tujuan, setelah memperhitungkan variabel bebas yang lain.
Jadi dari sernua variabel bebas yang diduga mempunyai pengaruh terhadap variabel tak bebas status pekerjaan, ditemukan hanya umur dan pendidikan yang dianggap paling menentukan seseorang memasuki pekerjaan di sektor informal baik di perkotaan maupun di pedesaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S.P. Doulers
"Propinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang pada akhir Pelita V merupakan propinsi yang banyak dituju oleh para migran, hal ini disebabkan pembangunan di propinsi NTB relatif pesat dibanding propinsi lainnya di kawasan Timur Indonesia, terutama pembangunan di bidang Pariwisata dan Pembangunan fisik.
Beberapa studi mengungkapkan bahwa membengkaknya pekerjaan di sektor informal yang terjadi di kota-kota besar disebabkan terbatasnya daya serap pekerjaan di sektor formal (sektor modern) terhadap angkatan kerja. Meningkatnya jumlah angkatan kerja di perkotaan, diantaranya disebabkan oleh arus migrasi dari daerah pedesaan dan karena mereka tidak dapat tertampung di sektor formal. Sehingga alternatif yang paling tepat adalah menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dengan Cara memasuki pekerjaan di sektor informal.
Tesis ini mencoba menganalisis apakah resiko atau kemungkinan memasuki pekerjaan di sektor informal ditentukan oleh status migrannya atau lebih dipengaruhi oleh variabel demografisnya, seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, tempat tinggal, jenis kelamin dan kelompok umur, dengan menggunakan data Sensus Penduduk 1990. Responden yang digunakan dibatasi pada mereka yang berusia 10 tahun ke atas yang bekerja disektor formal maupun informal. Kriteria migran yang digunakan adalah migran berdasarkan propinsi tempat lahir (life time migrant).
Model statistik yang dipakai untuk memperkirakan resiko atau kemungkinan migran atau non migran dalam memasuki kegiatan di sektor formal atau informal adalah model regresi logistik berganda. Variabel yang diperhatikan adalah status migran, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin, tempat tinggal dan status perkawinan. Selain variabel utama tersebut di atas juga diperhatikan adanya pengaruh variabel interaksi baik interaksi dua faktor maupun interaksi tiga faktor.
Dari hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara status migran dengan sektor pekerjaan informal. Kemudian setelah memperhatikan tingkat pendidikan terhadap sektor pekerjaannya didapatkan hubungan yang negatif, artinya semakin rendah tingkat pendidikan migran atau non migran maka kemungkinannya memasuki pekerjaan di sektor informal semakin besar.
Perbedaan resiko atau kemungkinan dalam memasuki pekerjaan di sektor informal antara migran dan non migran menurut tingkat pendidikan terdapat perhedaan yang menyolok antara migran yang berpendidikan tidak tamat SD, tamat SD dibanding yang tidak sekolah dan SMTP ke atas.
Berdasarkan perbedaan variabel jenis kelamin migran laki-laki mempunyai resiko atau kemungkinan sehesar 0,7811 kali resiko wanita migran dalam memasuki pekerjaan di sektor informal. Dari hasil perhitungan, hubungan antara status migran dan sektor pekerjaan di sektor informal, setelah memperhatikan kelompok umur ternyata migran yang berumur 10-19 tahun mempunyai resiko atau kemungkinan lebih besar 7,2551 kali resiko migran atau non migran yang berumur 30 tahun ke atas untuk memasuki pekerjaan di sektor informal, Sedangkan pada migran atau non migran yang berumur 20-29 tahun, mempunyai resiko atau kemungkinan sebesar 0,9142 kali resiko migran atau non migran yang berumur 30 tahun ke atas dalam memasuki pekerjaan di sektor informal.
Apabila di perhatikan migran yang berstatus pernah kawin, ternyata mempunyai resiko atau kemungkinan sebesar 0,1278 kali dalam memasuki pekerjaan di sektor informal dibanding migran yang berstatus belum kawin. Dan kalau diperhatikan status tempat tinggal migran, maka terlihat migran yang bertempat tinggal di perkotaan mempunyai resiko atau kemungkinan sebesar 0,3055 kali dalam memasuki pekerjaan di sektor informal, dibanding migran yang bertempat tinggal di pedesaan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eri Suhendra Irawan
"Dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menitik beratkan pada otonomi daerah, membawa konsekwensi logis terhadap tuntutan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di berbagai bidang. Kebijakan pembangunan dalam kerangka otonomi daerah hamslah diartikan sebagai peluang sekaligus tantangan bagi pembangunan bangsa di masa depan. Oleh karena itu tidak ada pilihan Iain kecuali memberikan perhatian yang seksama tentang arti penting kompetensi sumber daya manusia aparatur di daerah untuk terus menerus ditingkatkan secara konsisten dan berkesinambungan. Dalam konteks ini permasalahan yang muncul adalah sejauh mana tingkat kompetensi sumber daya manusia aparatur yang ada pada saat ini untuk menunjang kebijakan yang dimaksud. Kemudian seberapa jauh sumber daya manusia aparatur dalam memahami berbagai aspek desentralisasi dan identifikasi pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan untuk peningkatan kompetensi sumber daya manusia aparatur tersebut sehingga semua itu dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pelaksanaan otonomi daerah di masa yang akan datang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran tingkat pengusaan kompetensi berdasarkan konsep kompetensi generik Civil Service Coiiege terhadap 30 orang pegawai negeri sipil golongan III di lingkungan Sekretariat Dewan Peiwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantn Selatan. Pendekatan yang dilakukan terhadap penelitian ini adalah bersifat kualitatif, dengan juga melakukan studi kepustakaan terhadap teori-teori yang relevan dan melakukan pengamatan dan observasi serta melakukan serangkaian wawancara dengan 30 orang responden yang dipilih secara purposive sampiing. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu yang sedang berlangsung pada saat riset dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Berdasarkan hasil penelitian disimpuikan bahwa gambaran tentang persepsi pegawai tentang kompetensi secara generik berdasarkan konsep kompetensi Civil Service College sudah cukup memadai. Kemudian tingkatpemahaman para pegawai terhadap konsep desentralisasi sudah cukupmemadai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saimul
"Salah satu masalah kependudukan di Propinsi Lampung khususnya, bahkan Indonesia pada umumnya, adalah pengangguran. Penyebab utama pengangguran adalah akibat dari peningkatan jumlah penduduk usia kerja. Sehingga kebutuhan untuk bekerja terus meningkat, sedangkan penyediaan kesempatan kerja dilain pihak sangat terbatas. Dari gap kedua sisi itu muncul pengangguran. Akibat pengangguran yang semakin meningkat dari waktu ke waktu akan menimbulkan masalah social dan ekonomi yang pada akhirnya akan mempunyai dampak luas terhadap pembangunan. Misalnya tingkat upah riel yang diterima para pekerja menjadi semakin rendah. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa, jumlah penawaran tenaga kerja jumlahnya sangat besar jika dibandingkan dengan permintaan, sehingga terjadilah excess supply dan akan menyebabkan upah menjadi rendah. Akan tetapi karena faktor kebutuhan untuk hidup, para angkatan kerja bersedia menerimanya.
Pemberian upah rendah yang berlangsung cukup lama, dapat mengurangi gairah kerja mereka. Hal ini tercermin pada penurunan jumlah jam kerjanya. Karena kebutuhan hidup tidak mencukupi, akibatnya pekerja akan mencari tambahan penghasilan dengan menambah jumlah jam kerja di luar pekerjaan utama. Akibat lain yang muncul adalah penurunan pada produktivitas kerja. Kendatipun produktivitas yang rendah dapat pula disebabkan oleh kualitas pekerja yang rendah, misalnya tingkat pendidikan yang rendah. Kualitas pekerja yang berbeda, akan menghasilkan output yang berbeda, sehingga upah yang diterimapun akan bervariasi.
Bagi tenaga kerja yang tidak/belum memperoleh pekerjaan tetap, sebagian akan menciptakan lapangan kerja sendiri di sektor informal yang memiliki jam kerja tidak tetap. Sebagian lainnya akan bekerja sebagai pekerja keluarga yang tidak menerima upah, sambil mencari pekerjaan yang sesuai dengan upah minimal yang diharapkan.
Gambaran di atas menunjukkan adanya hubungan yang sangat erat antara penghasilan upah dengan jumlah jam kerja yang dialokasikan untuk bekerja yang disebut pola penawaran tenaga kerja. Hal seperti itu pernah dikemukakan oleh Becker (1964), bahwa jumlah waktu untuk bekerja belum pernah sampai 24 jam sehari semalam. Berarti sebagian waktu digunakan untuk bekerja, dan sisanya untuk leisure. Alokasi waktu untuk bekerja dan leisure ini sangat ditentukan oleh tingkat upah yang diterima. Beranjak dari Becker inilah terjadi perkembangan yang luas dalam teori penawaran tenaga kerja baik secara matematis maupun secara grafis diantaranya oleh Henderson dan Quand, Cobb-Douglass.
Untuk melihat hubungan jam kerja dan tingkat upah di atas, penulis telah mencoba meneliti kondisi yang ada di Lampung. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata antara jam kerja dan upah mempunyai hubungan yang sangat erat dan signifikan pada tingkat a = 0.01. Hubungannya berbentuk parabola yang membuka ke atas. Pola hubungan tersebut ternyata tidak berubah, walaupun telah dikontrol oleh variabel pendidikan, jenis kelamin, kotadesa, umur, dan dependensi ratio (deprat).
Dari penelitian ini, diperoleh beberapa temuan diantaranya adalah : Terdapat perbedaan pola penawaran tenaga kerja antar kelompok pendidikan di Lampung. Dari hasil perhitungan memberikan informasi, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin rendah jumlah jam kerjanya, namun antara tingkat upah dan jenjang pendidikan mempunyai hubungan yang positip. Gejala ini menunjukkan bahwa di Lampung terjadi under utilisasi pada kelompok pendidikan yang lebih tinggi, karena pada kelompok pekerja yang memiliki pendidikan lebih tingi jumlah jam kerjanya lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok pekerja yang berpendidikan rendah.
Walaupun sudah dikontrol oleh variabel tempat tinggal pekerja (di kota atau di desa), ternyata hubungan tersebut tidak berubah. Namun secara deskripitif jumlah jam kerja dan upah yang diterima oleh pekerja di kota lebih tinggi dibandingkan dengan di desa, hanya saja pola penawaran tenaga kerja antara di kota dan di desa tidak mempunyai perbedaan yang nyata. Demikian pula setelah dikontrol dengan variabel jenis kelamin, pola hubungannya tidak mengalami perubahan, namun demikian secara deskriptif jumlah jam kerja dan tingkat upah yang diterima oleh pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja wanita, tetapi pola penawaran tenaga kerja antara pria dan wanita juga tidak memiliki perbedaan yang nyata."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edy Akhyary
"Dewasa ini masalah yang paling mendasar dalam pembangunan tidak hanya pertumbuhan akan tetapi terjadinya transpormasi pembangunan itu sendiri, dari sini memberikan pertama masalah keadilan sehingga semua orang bisa bekerja dan hidup layak kedua kesinambungan sumber daya alam dimana setiap generasi harus memelihara sumberdaya alam untuk generasi mendatang dan ketiga partisipasi. Oleh karena itu idealnya menempatkan manusia baik sebagai subyek maupun objek pembangunan adalah penting dengan memandang Iingkungan sebagai suatu daya dukung untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup sekarang tanpa mengurangi generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menanggapi konsep pembangunan yang berkelanjutan, berbagai upaya dilakukan pemerintah dan bekerjasama dengan berbagai pihak dalam upaya mewujudkan konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan. Program tersebut Iebih dikenal dengan program COREMAP (Coral reef rehabilitation and management program) yaitu program yang pada dasarnya bertujuan untuk melakukan perlindungan, rehabilitasi dan mengelola terumbu karang secara berkelanjutan, dengan harapan dari program ini dapat memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan dan peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan nelayan di Kepulauan Riau pada khususnya. Antara lingkungan dan pola prilaku masyarakat saling memiliki keterkaitan yang erat.
Di satu sisi lingkungan mempengaruhi prilaku masyarakat di sisi Iain prilaku masyarakat juga mempengaruhi kualitas Iingkungan. Untuk itu dalam program Coremap ini memperioritaskan pada upaya pengelolaan yang berbasis masyarakat (PBM) dimana program ini berupaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam memelihara Iingkungan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan di daerah pesisir Kepulauan Riau tersebut.
Metode penarikan sample dalam penelitian ini mengunakan teknik cluster sampling, dengan jumlah sample 140 KK , dimana daerah penelitian di kelompokkan dalam wilayah-wilayah desa/pulau yang ada sebagai sasaran target program. Data dari responden dikumpulkan dari kuesioner yang disebarkan secara simple random sample baik di desa target maupun di desa kontrol. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan mengunakan program Statistik Program for Social Sain (Spss) 11.
Selanjutnya untuk mengnalisis pengaruh pelaksanaan program terhadap kesejahteraan dan pelestarian digunakan uji T-Test dimana uji ini digunakan untuk melihat kondisi daerah yang mendapat perlakuan dan daerah yang tidak mendapat perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan :
1. Pelaksanaan program telah berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan
2. Pelaksanaan program memberikan pengaruh terhadap kondisi kesejahteraan dan pelestarian di desa target hal ini dibuktikan dengan signifikasi pada kondisi di desa tarket dan desa kontrol.
Berdasarkan hasil penelitian program PBM CORE MAP ini perlu di kembangkan khususnya untuk daerah-daerah pesisir di sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan di masa mendatang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"PT X adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri konstruksi dan enjiniring Dalam visinya, PT X ingin menjadi perusahaan terkemuka dalam industri konstruksi dan enjiniring di Asia Tenggara Adapun misi PT X yaitu memelopori pengembangan industri konstruksi dan enjiniring yang berkualitas dan memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan.
Sejalan dengan visi dan misi perusahaan, struktur organisasi PT X didesain dalam bentuk matrik (Lampiran l). Struktur matrik menjadi pilihan sebab proses I fungsi pekerjaan, jenis tugas, situasi dan kondisi organisasi PT X yang terbagi beberapa wilayah pekerjaan, memerlukan tanggung jawab suatu posisi pada proyek-proyek tertentu.
Selaku kantor pusat yang membawahi enam divisi, satu departemen serta tiga perusahaan anak*), Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia khususnya Biro Perencanaan dan Pengembangan SDM (Biro PSDM) dalam menjalankan salah satu kegiatannya adalah memberikan pelayanan konseling bagi karyawan yang membutuhkan. Pelayanan konseling diberikan atas rekomendasi atasan, yang pada tahap awal karyawan telah mendapatkan konseling dari atasan masing-masing. Dalam praktek pelaksanaannya, pihak Biro PSDM menyatakan bahwa sebagian besar atasan cenderung mengambil jalan pintas dengan mengirimkan langsung karyawannya ke Biro PSDM. Kondisi ini memberikan stres tersendiri bagi karyawan (sumber daya) di PT ?X?.
Berkaitan dengan hal tersebut di atlas, maka penulis mengusulkan pengelolaan terhadap kondisi yang ada melalui manajemen stres ke dalam suatu program yang terpadu yaitu Employee Assistance Program (EAP). EAP adalah program pelayanan yang secara temadu disediakan organisasi kepada karyawan dan anggota keluarganya untuk membantu karyawan dalam mengatasi berbagai masalah yang dimungkinkan akan mempengaruhi kinerja. Dengan diterapkannya EAP sebagai metode intervensi diharapkan mampu mengantisipasi terjadinya penurunan kinerja maupun kemungkinan pengunduran diri karyawan akibat stres kerja yang diabaikan organisasi.
lntervensi program (EAP) disarankan sebagai salah satu alternatif solusi terutama bagi Biro Perencanaan dan Pengembangan SDM PT karena EAP dengan program yang ditawarkan dapat digunakan untuk menangani masalah stres dan pekerjaan. Upaya preventif atau kuratif dalam EAP, diharapkan dapat membantu karyawan mengatasi stres kerja yang dialami.
Langkah yang harus dilakukan dalam pelaksanaan EAP adalah sebagai berikut;
a) menentukan komite khusus EAP
b) menentukan kebijakan pelaksanaan EAP
c) menentukan karyawan profesional EAP
d) melakukan rujukan pada pihak yang kompeten
e) menjaga kerahasiaan sistem penyimpanan dokumen
f) melakukan pelalihan bagi atasan g) menjunjung tinggi kode etik peiayanan EAP Hal penting yang perlu diperhatikan adalah program tersebut tidak dapat berjalan sempurna bila tidak ditunjang oleh dukungan dan komitmen dari manajemen puncak, serta adanya sosialisasi program tersebut bagi semua karyawan.
Keterangan :
*) = istilah baku PT X"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T38817
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Rahayu Sudiman
"Batas kemampuan angkut mengangkut berat beban merupakan salah satu contoh dari sekian banyak sistem kerja yang masih perlu diperhatikan. Granjean (1985) menganjurkan berat beban angkut 50-60 kg. Sedangkan ILO (1985) memuat nilai ambang batas angkut dari banyak negara dengan berat bervariasi. Berat beban angkut yang banyak beredar dimasyarakat saat ini rata-rata tiap karung sekitar 100 kg. dimana hal ini melewati batas kewajaran. Yang mendorong dilakukan penelitian ini adalah sampai sekarang Indonesia belum mempunyai nilai ambang batas berat beban angkut, agar supaya para pekerja dapat terlindungi kesehatan kerjanya dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam rangka meningkatkan produktifitas dan prestasi kerja bangsa.
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan berat beban angkut yang serasi dengan kemampuan kerja fisik tenaga kerja laki-laki serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ditemukannya berat beban angkut akan merupakan langkah penting dalam penerapan ergonomi dalam sistem kerja angkut. Penelitian ini dilakukan di kawasan pergudangan beras Depot Logistik Jakarta Raya dengan dasar pertimbangan tingginya intensitas pekerjaan mengangkut baik dari gudang ke truk maupun sebaliknya. Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental Design. Pengolahan dan analisa data univariat, bivariat dan multivariat menggunakan program komputer SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan angkut optimal tenaga kerja laki-laki di Dolog Jaya adalah 58,12 kg. Dari analisa bivariat diketahui umur, status gizi, kesegaran jasmani berpengaruh terhadap kemampuan angkut optimal, sedangkan merokok tidak berpengaruh yang dalam hal ini kemungkinan disebabkan sampel hampir homogen. Dari analisa multivariat ternyata hanya umur dan status gizi yang berpengaruh terhadap kemampuan angkut optimal, setiap kenaikan umur 1 tahun diikuti penurunan kemampuan angkut optimal sebesar 0,09 kg dan setiap kenaikan nilai status gizi 1 kg/m2 diikuti kenaikan kemampuan angkut optimal sebesar 0,98 kg. Status gizi pengaruhnya paling dominan diantara variabel independen lainnya (Beta= 0,279032). Garis regresi dapat menerangkan 44% dan variasi variabel. Untuk menentukan nilai ambang batas dari kemampuan angkut optimal diperlukan faktor-faktor kekuatan, frekuensi angkut, lama angkut dan posisi angkut. Saat penelitian ini Baru sampai tahap kekuatan, sehingga disarankan kelanjutan dalam penelitian ini.

The limit to carry heavy load is one of the many work system which still need to be paid attention. Granjean (1985) suggested that 50-60 kg. load is the appropriate limit. While the ILO (International Labor Organization) (1988) determined the threshold value of many countries with varying weights. The existing load which is 100 kg. on the average has exceeded the limit as recommended by Granjean. The reason which prompted this research is that up to now permissible limit has not been set up yet, which is important in protecting workers' health.
The objective of this research is to obtain a right load which is in line with the physical capacity of the male workers, and the factors which influence it. The finding of the right load will be an important step in the application of ergonomics in the work system. This research was performed in a rice storage area of Jakarta Logistic Depot with consideration that work intensity of moving the load from the storage to the trucks and vice versa is high. This research is a Quasi Experimental Design. The analysis of univariate, bivariate and multivariate data analysis is done by using the SASS computer program.
The result of the research indicate that the average load of the male workers of Jakarta Logistic Depot is 58,12 kg. From bivariate analysis we know that age, nutritional status level, physical fitness have impact toward the optimum carrying capacity, while smoking does not have impact, probably due to nearly homogenous samples. From multivariate analysis it turn out that only age and nutritional status level influence the optimum carrying capacity, where for an increase of age by one year is followed by a decrease of the optimum carrying capacity by 0,09 kg. and an increase of nutritional status level by 1 kg/ m2 followed by an increase of the optimum carrying capacity by 0,98 kg. The nutritional status level is the most dominant factor among the other independent variables (Beta= 0,279). The regression line is able to explain a 44% of the variable variations. In order to determine the threshold value of the optimum carrying capacity we need to examine others factors such as force, frequency, duration and posture of the carrying. The present research examined force only.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kundarto
"Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagaimana pegawai Iainnya dalam suatu organisasi berperan sangat penting, karena merupakan jiwa dan motor penggerak perkembangan organisasi/instansi Pemerintah. Dalam penelitian
ini yang dimaksud adalah PNS Badan Kepegawaian Negara (BKN) Pusat.
Salah satu faktor penting yang dapat mendorong peran PNS tersebut dalam instansi adalah penilaian pelaksanaan pekerjaan atau penilaian kinerja. Penilaian kinerja agar berfungsi pendorong bagi kinerja pegawai, perlu dilakukan dengan cara penilaian yang baik (tepat) dan didukung oleh fasilitas data prestasi yang memadai sosialisasi untuk penilai maupun yang dinilai dan pemanfaatannya secara luas untuk pengembangan dan pembinaan pegawai.
Dalam praktek penilalan kinerja PNS masih banyak terdapat kekurangan, sehingga belum berfungsi sebagai pendorong kinerja. Demikian pula yang terjadi di BKN Pusat.
Dalam tesis ini, penulis mencoba mengkaji dan meneliti masalah persepsi pegawai terhadap penilaian kinerja di BKN Pusat dengan pendekatan atau metode deskriptif kuantitatif. Data dan informasi yang dipakai untuk penelitian adalah keterangan/pernyataan dan responden/pegawai BKN Pusat (pejabat penilai dan pegawai yang dinilai) yang diperoleh dengan cara penyebaran daftar pertanyaan (kuesioner) dan studi dokumen. Berdasarkan hasil penilitian dapat disimpulkan bahwa persepsi pegawai terhadap penilaian pelaksanaan pekerjaan (penilaian kinerja) PNS di BKN Pusat ternyata menunjukkan/menggambarkan kekurangan/kelemahan dalam cara penilaian, sosialisasi tersediannya fasilitas data prestasi, dan pemanfaatan hasil penilaian pekerjaan untuk kebutuhan pengembangan dan pembinaan pegawai secara luas.
Sehubungan dengan adanya kekurangan/kelemahan tersebut, dalam tesis ini menyarankan pemecahan masalahnya berdasarkan prioritas jangka pendek dan jangka panjang.
Pemecahan masalahnya pada garis besarnya yaitu merubah pendekatan penilalan menjadi lebih berorientasi pada hasil kerja, metode penilaiannya Kombinasi dan Sekala Grafis dengan Insiden Kritis, formatnya dirubah/disempurnakan, disusun standard pekerjaan tiap tugas/jabatan, dilakukan sosialisasi, diberlakukan buku laporan prestasi kerja, Biro Kepegawaian agar lebih berperan dalam manajemen hal-hal yang terkait dengan penilaian pekerjaan serta diusahakan perbaikan/penggantian Peraturan Penierintah Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>