Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193021 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cons. Tri Handoko
"Tulisan ini menjabarkan tentang perkembangan tato ditinjau dari aspek motif, makna, maupun fungsinya di kalangan narapidana di Yogyakarta sejak tahun 1950an. Narasumber adalah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Yogyakarta, mantan narapidana, dan seniman tato yang memahami seluk beluk perkembangan tato menato di Yogyakarta. Motif tato di kalangan narapidana meliputi tumbuhan, binatang, potret manusia, horor, tato tribal, ikon hati, tipografi, biohazard dan biomechanical, juga alam benda. Tampilan motif tato ada dua, yaitu berdiri sendiri dan perpaduan beberapa motif. Setiap motif mempunyai makna tertentu. Teknis menatonya menggunakan peralatan sederhana berupa benang, jarum, dan norit (merek obat sakit
perut) dan mesin tato mekanik. Tato dan kegiatan menato di kalangan narapidana mempunyai dua fungsi utama yaitu pribadi dan sosial. Fungsi pribadi berkaitan dengan tato sebagai karya seni. Dalam batasan ini, tato berfungsi sebagai ekspresi pengalaman hidup yang berfungsi juga sebagai
pengingat akan peristiwa tertentu dan hiasan tubuh, sebagai eksp resi religiositas, terapi dan relaksasi, jimat, daya tarik seks, keamanan diri, serta untuk menutupi luka atau tato yang dianggap tidak bagus. Fungsi pribadi lainnya adalah sebagai pendapatan bagi narapidana yang mampu menato. Fungsi sosial tato adalah lambang kelompok, sarana sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu dalam kelompok, baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan.

Abstract
This article describes about the developments of the motif s, meaning, and functions of the tattoo among the convicts and detainees in Yogyakarta since 1950s. The research respondents were the convicts and de
tainees in the Socialization Institution of Class IIA Yogyakarta, ex-c
onvicts, and tattoo artists who understood about the developments of tattooing in Yogyakarta. The Motifs of tattoo among the convicts and deta inees were flora, fauna, people portraits, horror, tribal tattoo, heart iconics, typography, biohazard and biomechanical, also still life. There were two appearances of the motif, standed alone and mix motifs. Each motif had particular meaning. The tattoing technique used simple equipment as
wool, needle, and norit (a brand of stomach-ache medicine) and mechanical tattoo machine. Tattoo and tattooing activities among the convicts consist of two major functions, in dividual and social. As indivi dual function, tattoo is an artwork. In this term, tattoo has a function as the expression of experiences, included as a reminder of specific experiences and body decoration. Others as a religious expression, therapy and relaxation, talisman, sex appeal, self-protection and to cover up the wounds and other tattoo which were not good. Another individual function was job
opportunity for anyone who had ability in tattoing. The social function of tattoo was as a group symbol, a medium of socialization and enhancing individual self-confidence in the group either inside or outside the Socialization Institution."
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI;Universitas Kristen Petra. Fakultas Seni dan Desain, Universitas Kristen Petra. Fakultas Seni dan Desain], 2010
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
RR. Early Dinda Puspita
"Tattoo is only one of many forms of body art. Tattoo was used by the indigenous to create fear to the enemy. In Indonesia tattoo has a strong relation with religious things, especially for the Dayak. But nowadays tattoo has become an industrial mass product. Tattoos are especially popular among younger people and have already become a life style, a status symbol and a part of fashion. Tattooing is no longer a rarity, but is present in everyday life. Using the postmodern theory and the semiotic theory of Charles Sanders Peirce, this thesis will show how chance in the use of tattoo has become a postmodern way of life."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S14672
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Pitaloka
"ABSTRAK
Menjadi seorang perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal kerap kali membuat perempuan mengalami opresi dan kekangan sehingga ia tidak bisa secara utuh memiliki kuasa atas tubuhnya. Pengalaman ketubuhan dalam kultur patriarkal tersebut dapat diekspresikan perempuan melalui praktik modifikasi tubuh, salah satunya adalah tato. Jika dahulu tato erat dengan hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas dan kriminalitas, kini tato sudah menjadi bagian dari gaya hidup kaum perkotaan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi, praktik bertato bagi sebagian perempuan yang sadar akan isu gender dan perempuan, dimaknai sebagai sebuah tindakan untuk merebut kembali tubuh mereka dari kultur patriarki. Pemaknaan yang diberikan berdasar pada pengalaman ketubuhan yang dialami, seperti kekerasan seksual, opresi verbal terhadap bentuk tubuh, dan kekangan aturan dari keluarga patriarkal. Selain itu, pemaknaan tersebut juga dipengaruhi oleh lingkup pertemanan informan yang juga paham akan permasalahan tubuh perempuan.

ABSTRACT
Born as women in patriarchal society often creates oppression and restraint, towards their body. This fact takes their authority over their bodies. These bodily experiences expressed through various body modification practices, such as tattoo. In the past, tattoo is related with spirituality and criminality, but now, tattoo has become a urban lifestyle. Based on in-depth interview and observation held in this study with women who have knowledge with gender and woman issues, a tattoo practice means reclaiming their body from patriarchal culture. The meaning is given based on their bodily experiences, such as sexual violence, verbal oppression of ideal body, and restraint from patriarchal family. This meaning come from their bodily experiences which also influenced by their peer group."
2016
S67947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cons. Tri Handoko
"Tulisan ini menjabarkan tentang perkembangan tato ditinjau dari aspek motif, makna, maupun fungsinya di kalangan
narapidana di Yogyakarta sejak tahun 1950an. Narasumber adalah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Yogyakarta, mantan narapidana, dan seniman tato yang memahami seluk beluk perkembangan tato menato di
Yogyakarta. Motif tato di kalangan narapidana meliputi tumbuhan, binatang, potret manusia, horor, tato tribal, ikon
hati, tipografi, biohazard dan biomechanical, juga alam benda. Tampilan motif tato ada dua, yaitu berdiri sendiri dan
perpaduan beberapa motif. Setiap motif mempunyai makna tertentu. Teknis menatonya menggunakan peralatan
sederhana berupa benang, jarum, dan norit (merek obat sakit perut) dan mesin tato mekanik. Tato dan kegiatan menato
di kalangan narapidana mempunyai dua fungsi utama yaitu pribadi dan sosial. Fungsi pribadi berkaitan dengan tato
sebagai karya seni. Dalam batasan ini, tato berfungsi sebagai ekspresi pengalaman hidup yang berfungsi juga sebagai
pengingat akan peristiwa tertentu dan hiasan tubuh, sebagai ekspresi religiositas, terapi dan relaksasi, jimat, daya tarik
seks, keamanan diri, serta untuk menutupi luka atau tato yang dianggap tidak bagus. Fungsi pribadi lainnya adalah
sebagai pendapatan bagi narapidana yang mampu menato. Fungsi sosial tato adalah lambang kelompok, sarana
sosialisasi dan menumbuhkan rasa percaya diri individu dalam kelompok, baik di dalam maupun di luar Lembaga
Pemasyarakatan.
This article describes about the developments of the motifs, meaning, and functions of the tattoo among the convicts
and detainees in Yogyakarta since 1950s. The research respondents were the convicts and detainees in the Socialization
Institution of Class IIA Yogyakarta, ex-convicts, and tattoo artists who understood about the developments of tattooing
in Yogyakarta. The Motifs of tattoo among the convicts and detainees were flora, fauna, people portraits, horror, tribal
tattoo, heart iconics, typography, biohazard and biomechanical, also still life. There were two appearances of the motif,
standed alone and mix motifs. Each motif had particular meaning. The tattoing technique used simple equipment as
wool, needle, and norit (a brand of stomach-ache medicine) and mechanical tattoo machine. Tattoo and tattooing
activities among the convicts consist of two major functions, individual and social. As individual function, tattoo is an
artwork. In this term, tattoo has a function as the expression of experiences, included as a reminder of specific
experiences and body decoration. Others as a religious expression, therapy and relaxation, talisman, sex appeal, selfprotection
and to cover up the wounds and other tattoo which were not good. Another individual function was job
opportunity for anyone who had ability in tattoing. The social function of tattoo was as a group symbol, a medium of
socialization and enhancing individual self-confidence in the group either inside or outside the Socialization Institution."
Universitas Kristen Petra. Fakultas Seni dan Desain, 2010
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Kuwati
"Karya akhir ini membahas pengelolaan seni pertunjukan yang
mementaskan Topeng Tolay di Rawa Bunga. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Pengelolaan seni pertunjukan yang sesuai dengan jenis seni pertunjukan dan masyarakatnya akan membantu perkembangan seni pertunjukan serta senimannya. Manajemen akan membantu organisasi seni pertunjukan untuk dapat mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Pengelolaan seni pertunjukan yang kami lakukan dengan menyajikan pertunjukan Topeng Tolay di Rawa Bunga merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan seni pertunjukan tradisi, memberikan hiburan serta apresiasi seni tradisi bagi masyarakat. Topeng Tolay merupakan salah satu jenis seni pertunjukan teater tradisi yang berkembang di Desa Sukabakti, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang. Di Kabupaten Tangerang terdapat 17 (tujuh belas) grup Topeng yang sejenis, tetapi yang masih diminati masyarakatnya hanya ada 3 (tiga) grup yaitu: Topeng Tolay (Grup Cipta Wargi) di Desa Sukabakti, Odah (Grup Sinar Muda) di Gintung, dan Saban (Grup Pusaka Sinar Baru) di Rajek. Pertunjukan Topeng Tolay terdiri dari: musik Dangdut, Kliningan, Jaipong, Tari Gawil, Lawak dan Drama.

The focus of this study is the management of performing art staging
Topeng Tolay, Tangerang at Rawa Bunga. This research is qualitative descriptive interpretive. The appropriate management of performing arts would support the development of the arts and artists. It will help organising performing arts to reach the goal effectively andefficiently. Staging and performing Topeng Tolay at Rawa Bunga was one of the efforts to develop traditional performing arts, entertaining people, and giving the traditional communities appreciation. Topeng tolay is one of the traditional theatrical performance from Sukabakti, Kecamatan Curug, Tangerang. There are 17 (seventeen) similar groups but only 3 (three) groups which are still preferred by the people : Topeng Tolay (Grup Cipta Wargi) at Sukabakti, Odah (Grup Sinar Muda) at Gintung, and Saban (Grup Pusaka Sinar Baru) at Rajek. Topeng Tolay performance consists of : Dangdut Music, Kliningan, Jaipong Dance, Gawil Dance, Comedy, and Drama."
2009
T26171
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Anabel Herdian
"Ruang publik seharusnya dapat diakses secara terbuka oleh setiap kalangan masyarakat, termasuk dalam ruang publik berbasis visual seperti pameran seni. Namun, perbedaan penggunaan media dan proses komunikasi disabilitas netra menimbulkan kendala dalam mengakses ruang publik secara umum. Keadaan ini mewujudkan proses mediatisasi yang unik pada kalangan disabilitas netra. Dengan mengangkat pameran seni sebagai bentuk ruang publik berbasis visual, peneliti menggunakan kerangka figurasi komunikatif Hepp untuk mempelajari proses mediatisasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk figurasi komunikatif dalam kunjungan disabilitas netra dalam pameran seni. Untuk memperoleh pemahaman yang utuh, peneliti mengeksplorasi elemen figurasi komunikatif yang terdiri dari bingkai tematik, konstelasi aktor, praktik komunikatif, dan ansambel media; serta kapasitas konstruksi yang meliputi identitas kolektif, peraturan, segmentasi, dan kekuasaan. Dengan pendekatan partisipatoris, penelitian menggunakan metode wawancara mendalam terhadap lima orang disabilitas netra dan dua orang pendamping awas serta observasi selama tur pameran dilaksanakan. Disabilitas netra mengandalkan audio secara verbal dan nonverbal serta sentuhan untuk memahami karya seni dan kebutuhan mobilitas. Berbagai objek pada pameran seni dapat dikategorikan sebagai ansambel media: material karya, suara, warna, dan bahkan tongkat untuk navigasi. Adanya perbedaan pada kategori gangguan penglihatan-low vision dan buta total; peran pengunjung, pendamping, pemandu; dan pengetahuan seni mempengaruhi dinamika kapasitas konstruksi para aktor. Penelitian ini melibatkan partisipasi aktif disabilitas netra agar dapat memberikan rekomendasi bagi mediatisasi ruang publik yang lebih baik untuk mencapai masyarakat yang lebih inklusif.

Public spaces should be openly accessible to all sections of society, including visual-based public spaces such as art exhibitions. However, differences in media use and communication processes for the visually impaired create obstacles in accessing public spaces. This situation creates a unique mediatization process among people with visual disabilities. The researcher highlights art exhibitions as a visual-based public space, using Hepp's communicative figurative framework to study the mediatization process. This study aims to describe the form of communicative figuration in visiting persons with visual impairment in art exhibitions. To gain a complete understanding, the researcher explores elements of communicative figuration consisting of thematic frames, actor constellations, communicative practices, and media ensembles; as well as construction capacity which includes collective identity, regulation, segmentation, and power. With a participatory approach, the research used an in-depth interview method with five people with visual disabilities and two sighted companions, also supported by observations during the exhibition tour. People with visual disabilities rely on verbal and nonverbal audio and touch to understand artwork and mobility needs. Various objects in art exhibitions can be categorized as media ensembles: work materials, sounds, colors, and even walking sticks. There is a difference in the categories of visual impairment-low vision and total blindness; the role of visitor, companion, guide; and artistic knowledge affect the dynamics of the actors' construction capacities. This research involves the active participation of the visually impaired to provide recommendations for better mediatization of public space to achieve a more inclusive society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Limilia
"Pertumbuhan pengguna internet yang begitu cepat, membuat portal berita online sebagai salah satu media baru di Indonesia. Karakteristik portal berita online yang unik, membuat portal berita menjadi salah satu media yang penting dalam mencari informasi. Penelitian ini menguji apakah terdapat intermedia agenda setting di antara portal berita online, khususnya detik, viva, dan okezone.  Untuk mengetahui apakah terdapat intermedia agenda setting di antara ketiga portal berita, maka penelitian ini menggunakan analisis isi dengan unit pencatatan berupa isu, topik, dan sumber pemberitaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan isu, topik, dan sumber pemberitaan di antara ketiga portal berita selama pemantauan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat intermedia agenda setting di antara ketiga portal tersebut.

As thepopulation of Internet users grows rapidly, online news websites has become one of the new media in Indonesia. The unique characteristics of online news websites make them a new important media outlet in finding an information.This study examined the intermedia agenda-setting effects among three online news websites, especially on detik, viva, and okezone. To examine whether the three of online news websites have an inter-media agenda-setting, this study applies content analysiswith a recording units i.e. issues, topic, and sources. The result showed that there are similarities among three online news websites about issues, topic, and sources. Therefore, it can be concluded that there is intermedia agenda setting among three online news websites."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2103
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Yogyakarta is wedely known as a city of culture since a substantial number of cultural and historical heritages are found in this city. Artistic activities kept flourishing since the pre - independent era to the present time. Keroncong is one of the various genres of music that continue to exist in and around this city...."
PATRA 10 (3-4) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Mabuha Rahamad
Malaysia: Balai Seni Visual Negara; National Visual Arts Gallery, 2011
R 708 ALI k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Kesenian Singo Ulung merupakan kesenian yang hidup dan berkembang di wilayah kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, tepatnya di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang...."
PATRA 10(1-2) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>