Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97129 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devi Meyliana S K
"ABSTRAK
Lembaga praperadilan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana adalah sebagai wadah perlindungan hukum bagi tersangka/terdakwa atas
tindakan penguasa, dalam hal ini adalah pejabat penyidik atau penuntut umum. Dalam
perkara pidana yang diatur secara umum dalam KUHP maupun delik-delik khusus yang
diatur tersendiri dalam undang-undang khusus, memperkenankan tindakan-tindakan
dalam rangka menangani perkara pidana yang disebut sebagai upaya paksa oleh pejabat
penyidik, seperti tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan
pemeriksaan-pemeriksaan surat. Tentunya menjadi penting diperhatikan yakni landasan
yuridis dari keabsahan suatu tindakan yang dijadikan alasan permohonan pemeriksaan
di pengadilan. Peraturan perundang-undangan terkait tata cara pemeriksaan dalam
penanganan perkara adalah dengan mengacu pada KUHAP serta aturan perpajakan yang
sifatnya internal lingkup Direktorat Jenderal Pajak.

ABSTRACT
The pretrial institution which is regulated in the Book of Criminal Legal
Procedure is a forum for the legal protection of suspects or defendants, against the
action of the authorities, in this case is an official investigator or prosecutor. In criminal
cases commonly regulated in the Book of Criminal Law either special offenses
separately regulated in special law, it allows actions to handle the criminal cases which
are called attempt force remedies by the authorities, such as actions of arrest, detention,
to make investigation searching, confiscation, and investigation of documentary letters.
It would be important to note the legal basis of the legitimacy of a consideration of
applications for excuse action in court. Laws and regulations relating to procedures for
inspection in handling case, with reference to the Book of Criminal Legal Procedure, as
well as its rule of internal Directorate General of Tax."
2010
S22508
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Imam Muhasan
"Proses penegakan hukum pada dasarnya merupakan serangkaian upaya, proses, dan aktivitas untuk menjadikan hukum berlaku sebagaimana seharusnya. Proses penegakan hukum meliputi tindakan prefentif dan tindakan represif. Dalam skripsi ini, pembahasan dilakukan terhadap proses penegakan hukum dalam arti tindakan represif, yaitu proses penindakan terhadap para pelanggar hukum, dalam hal ini adalah proses penindakan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak terhadap para Wajib Pajak yang melakukan penyimpangan pajak. Guna menjamin terciptanya suatu proses penegakan hukum yang berkeadilan, Ditjen Pajak hendaknya menerapkan prinsip equality of arms dan checks and balances, terlebih mengingat rezim pemungutan pajak yang dianut Indonesia adalah self assessment.

Basically, law enforcement is a series of measures, processes, and activities to make laws are applied as it should be. Law enforcement process includes preventive measures and repressive measures. In this paper, the discussion is done on the process of law enforcement in the sense of repressive measures, namely the process of prosecution of offenders, in this case the prosecution process conducted by the Directorate General of Taxes to the taxpayers making tax fraud. In order to ensure the creation of an equitable law enforcement process, the Directorate General of Taxation should apply the principle of equality of arms and checks and balances, especially considering that the tax regime adopted by Indonesian Government is self-assessment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dwi Antoro
"Pemberantasan korupsi merupakan prioritas utama penegakan hukum dewasa ini. Kejaksaan merupakan salah satu unsur penting dalam upaya mewujudkannya. Sesuai peraturan yang berlaku lnstansi Kejaksaan dengan personil Jaksa-Jaksanya mernpunyai tugas yang cukup berat antara lain sebagai Penuntut Umum dan juga sebagai Penyidik perkaraperkara tertentu termasuk perkara korupsi. Atas kewenangan yang dirnil i ki sebagai penyidik perkara korupsi, Jaksa memi liki wewenang khusus yang tertuano dalam Pasal 26 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nornor 20 Tahun 2001, yang isinya yaitu bahwa "Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tarhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukari lain dalam Undang-Undang ini, dan diperjelas dalam penjelasan Pasal 26 menyatakan bahwa "Kewenangan Penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk meiakukan penyadapan (wiretapping)". Dengan adanya kewenangan ini maka Jaksa memiliki wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretapping) dalam upaya penanganan perkara korupsi. Dengan kewenangan penyadapan (wiretapping) ini timbul permasalahan yang penting untuk dilakukan penelitian, yaitu tentang legalitas penyadapan (wiretapping) yang dilakukan oleh Jaksa penyidik, tentang kaftan penyadapan (wiretapping) dengan Hak Azasi Manusia, serta tentang nilai pembuktian dart hasil penyadapan dalam persidangan. Dengan permasalahan tersebut dikhawatirkan terjadi ketidak jelasan yang mengakibatkan penegakan hukum menjadi terhambat. Tulisan ini akan meneliti tentang permasalahan yang timbul akibat penyadapan (wiretapping) serta bagaimana mngatasinya, dengan mengemukakan hal-hal pendukung yang dapat memperjelas bagaimana sebenarnya Cara yang harus ditempuh guna mengatasi permasalahan ini dan dengan tulisan ini kita diharapkan akan memperoleh kejelasan tentang permasalahan-permasalahan lain yang timbul akibat kewenangan penyadapan (wiretapping) yang dimilik oleh Jaksa Penyidik.

Corruption Handling is the main priority in law enforcement now a day. Attorney General Office is open of the main essence to put it real. According to the rule, Attorney General Office and its personnel have the heaviest duty such as a prosecutor and also an investigator on s special cases included corruption cases. Based on the authority as an investigator in corruption cases, public attorney have special task in Article 26 Law Number 31 year 1999 which reform by Law Number. 20 Year 2001 Which says : "Investigating, Prosecuting, and Hearing in trial of corruption field based on the criminal procedure, unless it says differently in this Law" and clearance in the explanation of Article 26 which says "The Investigator authority in this article included the authority to wiretapping'. Based on this authority, public attorney can do the wiretapping while handling the Corruption Cases. With this wiretapping authority occurs some problem that important to researched, there are the legality of wiretapping by public attorney as investigator, the relation between wiretapping and Human Rights, and the valve of evidence from the result of wiretapping in the court. With those problems concern to be blur in law enforcement these thesis will discuss the problem occurred from wiretapping and how to solved and explain all those things to make it clearly of how to handling the problem, with this writing hopefully we will have clearness about the other problems which occur from the investigator authority of wiretapping."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19291
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: PPATK, 2023
345.023 BUK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rihal Amel Aulia Haqi
"Tindak pidana Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah memiskinkan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan sistematik. Dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi secara serius, maka pada tahun 1999 dibuatlah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam perkembangannya, pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak bisa dilaksanakan secara optimal akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Atas penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi, masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarat (LSM)/Organisasi Masyarakat (OrMas) melakukan protes dengan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri untuk membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ataupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang diterbitkan oleh penyidik ataupun penuntut umum tersebut. Namun pada kenyataannya, masyarakat maupun LSM/OrMas yang menamakan dirinya sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan", mengalami banyak hambatan dalam mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Hal ini karena kedudukan mereka sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan" tidak secara jelas diatur dalam KUHAP maupun Undang-undang Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai "pihak ketiga yang berkepentingan" menyebabkan banyak interpretasi yang saling bersebrangan dikalangan ahli hukum di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, hal tersebut menimbulkan keanekaragaman putusan praperadilan pada Pengadilan Negeri, yaitu menerima ataupun menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh masyarakat maupun LSM/OrMas sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan". Skripsi ini akan mengulas mengenai legal standing "pihak ketiga yang berkepentingan" dalam permohonan praperadilan tindak pidana korupsi, baik menurut teori maupun penerapannya dalam praktik peradilan di Indonesia, serta hendak menganalisis Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara penghentian penyidikan kasus korupsi Texmaco, penghentian penuntutan H.M. Soeharto dan penghentian penyidikan Sjamsul Nursalim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22399
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hangkoso Satrio W
"ABSTRAK
Perkembangan tindak pidana korupsi sekarang ini disertai dengan upaya-upaya
menyembunyikan aset hasil tindak pidana dengan menggunakan mekanisme
pencucian uang. Paradigma baru dalam memecahkan persoalan pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah dengan menggunakan rezim anti pencucian uang
yang lebih memfokuskan pada perampasan aset hasil kejahatan, karena aset hasil
kejahatan merupakan darah yang menghidupi tindak pidana dan juga titik
terlemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Perampasan aset di
dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih sempit
jangkauannya dibandingkan dengan Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang lebih berfokus kepada asalusul
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana. Oleh karena itu
untuk memaksimalkan perampasan aset di dalam tindak pidana korupsi lebih baik
juga disertakan ketentuan tindak pidana pencucian uang

ABSTRACT
In corruption case at this time is also followed by the effort to hide proceeds of
crime with money laundering mechanisms. The new paradigm to eradicate
corruption is by using anti-money laundering regime which focuses to confiscate
proceeds of crime, because of the proceeds of crime is a lifeblood of the crime
and also the weakest point of a chain of crime which most easily to be detected.
Asset forfeiture in eradication corruption act is narrower than prevention and
combating money laundering act which more focus in the origin of the asset that
suspected as proceeds of crime. Therefore to maximize the asset forfeiture in
corruption case would be better to use the money laundering law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43852
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Munthe, Saut Erwin Hartono A.
"Penerapan Teleconference untuk penghadiran saksi dalam Persidangan Pidana menimbulkan perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi sedangkan disisi lainnya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana {KUHAP} sebagai basis acara Pemeriksaan Perkara Pidana tidak mengaturnya. Pasal 185 KUHAP ayat (1) yang isinya sebagai berikut "keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan". Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi tidak hadir langsung secara fisik kedepan persidangan kesaksiannya tidak sah, di pihak lain menyatakan bahwa dengan teleconference saksi sudah hadir dipersidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di Cross-Check oleh kedua belah pihak dan fisik saksi dapat dilihat pada layar monitor yang ada. Berkaitan dengan permasalahan hukum pembuktian, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk memecahkan permasalahan yang ada mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi, khususnya kekuatan bukti keterangan saksi melalui teleconference dan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh melalui teleconference. Permasalahan hukum pembuktian Teleconference terkait dengan kekuatan bukti dan kekuatan pembuktian tidak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada beberapa asas-asas umum yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu asas terbuka secara umum, asas pemeriksaan secara langsung,asas peradilan cepat, sederhara, dan biaya ringan,asas kelangsungan/oral debat. Penggunaan teleconference sudah memenuhi syarat materiil dan syarat formil KUHAP. Dalam syarat formil tidak terlihat adanya hambatan, kecuali pasal 185 ayat (1), Penerapan Teleconference justru menutupi kelemahan Pasal 162 KUHAP karena dengan teleconference maka tetap dilakukan dialog dan tanya jawab serta melihat emosi saksi selama memberikan keterangan. Padoaharuan hukum pembuktian terutama dikaitkan dengan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh mutlak dilakukan karena beberapa Undang-undang sebenarnya telah memasukkan dokumen elektronik sebagai alat bukti seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU Perlindungan Saksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, UU Terorisme. Berkaitan dengan hal itu KUHAP sebagai "UU Payung" mestinya mengakomodasi Perkembangan Alat Bukti modern khususnya Teleconference sebagai data Elektronika."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margie Marina Syam
"ABSTRAK
Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi
komunikasi telah membawa kita memasuki era baru yang
disebut sebagai era digital (digital age). Surat
Elektronik, baik dalam bentuk e-mail, layanan pesan
singkat (SMS) ataupun hasil cetak komunikasi yang telah
dilakukan dengan menggunakan alat elektronik telah
memiliki andil yang besar dalam setiap kehidupan manusia.
Perkara pidana yang diatur dalam KUHP dan yang diatur
diluar KUHP yaitu Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak
Pidana Korupsi, memerlukan suatu upaya yang maksimal
dalam hal penanganan dan pemberantasan. Beberapa perkara
pidana akhir-akhir ini ditemukan karena adanya surat
elektronik antara para pihak yang terkait. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi pasal 26 A dan Undang-undang No. 25 Tahun 2003
Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah mengatur
tentang alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk, selain
yang diatur dalam KUHAP, juga termasuk alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik.
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, semakin
maraknya perkara pidana dan sesuai dengan yang telah
diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, maka surat
elektronik adalah sebagai salah satu alat bukti petunjuk.
Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan dengan metode penulisan menggunakan
pendekatan kualitatif dengan hasil penelitian yang bersifat
Evaluatif-Deskriptif-Analitis."
2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>