Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123905 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pudia Hwai Willy Wibowo
"Mahkamah Pelayaran merupakan lembaga quasi yudisial yang melaksanakan fungsi yudisial (mengadili) dalam hal terjadinya kecelakaan kapal, walaupun tidak termasuk peradilan yang secara limitatif diatur dalam Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Permasalahan muncul saat pihak yang diperiksa dan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Pelayaran ternyata diproses kembali secara pidana dan kemudian dalam penjatuhan sanksi pidananya, hakim juga menggunakan putusan Mahkamah Pelayaran sebagai bahan pertimbangannya dalam menjatuhkan putusan. Walaupun begitu ternyata dua kali pemrosesan tidak melanggar asas Ne Bis In Idem dengan tidak terpenuhi dua syarat keberlakuannya, serta penggunaan putusan Mahkamah Pelayaran tidak akan melanggar asas Non-Self Incrimination tergantung dari cara penggunaannya.

Voyage Court is a quasi-judicial institution which perform judicial functions (try) in the event of ship accident, although not included in the limitative regulated court in the Law of Judicial Power. Problems arise when party are examined and sanction by the Voyage Court turned out to be processed again in a Criminal Court and at the imposition of criminal sanctions, the judge also uses Voyage Court decision as a consideration material for its decision. Although the twice processing itself does not violate the principle of Ne Bis In Idem with some of the unmet requirements and the use of Voyage Court decision would not violate the principle of Non-Self-Incrimination depending on how to use it."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22602
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Donny Hartama
"Penelitian ini berguna untuk menganalisis bagaimana penggunaan aspek historis dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim dan sejauh mana aspek historis tersebut dapat memengaruhi sebuah putusan pengadilan terkait sengketa delimitasi maritim. Penyelesaian sengketa delimitasi maritim sendiri telah diatur dalam UNCLOS 1982 beserta Annex-nya, mulai dari pilihan forum yang dapat dipakai hingga prosedur-prosedur apa saja yang tercantum di dalamnya. Dalam konvensi yang sama disebutkan juga tentang aspek historis, walaupun konvensi ini tidak menjelaskan secara rinci tentang definisinya dan bagaimana penggunaannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim. Hal ini lah yang menjadi tujuan dari penelitian ini agar menemukan titik terang antara apa yang tertulis dalam UNCLOS 1982 dan praktik yang dilakukan oleh pengadilan dalam penerapannya dalam penyelesaian sengketa delimitasi maritim.

This research aims to analyze how the use of historical aspects in the settlement of maritime delimitation disputes and the extent to which these historical aspects can influence a court decision related to maritime delimitation disputes. The settlement of maritime delimitation disputes itself has been regulated in the 1982 UNCLOS and its Annexes, starting from the choice of forum that can be used to the procedures listed therein. The same convention also mentions the historical aspect, although this convention does not explain in detail about its definition and how it is used in resolving maritime delimitation disputes. This is the purpose of this research in order to find a bright spot between what is written in UNCLOS 1982 and the practice carried out by the courts in its application in the settlement of maritime delimitation disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melda Kamil Ariadno
Jakarta: UI-Press, 2015
PGB 0302
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Erna Widjajati
"Dalam mengkaji masalah penahanan kapal, dilihat dari segi Hukum Indonesia dan hukum lain, khususnya hukum Common Law, diusahakan menemukan kesamaan dan perbedaannya, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman dalam usaha perencanaan dan pembentukan hukum maritim di Indonesia. Masalah 'penahanan kapal' hukum Indonesia yang menganut sistem Civil Law ternyata berbeda dengan sistem Common Law yang banyak diikuti oleh konvensi Internasional, tetapi dengan adanya konvensi untuk unifikasi peraturan penahanan kapal (arrest kapal) dapat diakomodasikan dalam Hukum Acara Perdata Nasional. Jika diperhatikan ketentuan beberapa negara yang menganut sistem Eropa Kontinental, prosedur tuntutan terhadap penahanan kapal agak berbeda dengan negara-negara yang menganut sistem Common Law, terutama mengenai jenis-jenis klaim yang dapat menimbulkan tuntutan terhadap penahanan kapal. Praktek di Pengadilan Negeri eksekusi terhadap hipofik kapal sama dengan eksekusi hipotik tanah (barang tidak bergerak) karena menggunakan Pasal 224 HIR jo 195 HIR sampai dengan 200 HIR dan tidak menggunakan Pasal 559 - 599 Rv. Apabila dibandingkan, praktek pelaksanaan arrest kapal sebagai sita jaminan di Indonesia dilakukan oleh juru sita dengan menyampaikan penetapan Ketua Pengadilan kepada Nahkoda dan Syahbandar di mana kapal tersebut ditahan, oleh karena itu prosedur sita terhadap kapal, baik sita jaminan atau sita eksekusi, agak berlarut-larut, sedangkan menurut sistem hukum Common Law, prosedur untuk menahan kapal sejak diajukan aplikasi permohonan hanya memakan waktu tiga hari, dan tergugat baru dapat melepaskan kapalnya setelah menyerahkan sejumlah uang jaminan sebesar utang yang dituntut kepada pengadilan. Dalam tulisan ini, Penulis mengkaji masalah penahanan kapal, berturut turut penahanan kapal Joharmanik I dan II dan selanjutnya penahanan kapal Niaga XXXI, serta perkara perdata antara Ambach Marine Ltd. sebagai penggugat dan PT Pelayaran Badra Samudra Antar Nusa sebagai Tergugat yang menyangkut di dalamnya sita jaminan dan eksekusi atas kapal. Dalam permohonan Peninjauan Kembali PT Pelayaran Badra Samudra Antar Nusa sebagai Penggugat dan Hima Shipping (PTE) Ltd sebagai Tergugat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Anggadinata Wirtadjaja
"Dalam kegiatan perdagangan nasional dan internasional yang semakin berkembang menjadikan pengangkutan barang melalui laut memegang peranan yang penting dalam penyelenggaraan pengangkutan laut, pengangkutan barang melalui laut melibatkan banyak pihak. Pencarter Kapal dan Pemilik Kapal merupakan suatu pihak yang selalu ada di dalam perjanjian carter kapal. Perjanjian carter kapal memegang peranan penting dalam mengatur mengenai tanggung jawab kedua belah pihak pada keseluruhan proses pengangkutan. Termasuk pula kewajiban pihak-pihak yang terkait, seperti tindakan apa saja yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh nakhoda. Berkaitan dengan penulisan hukum yang dilakukan, ketika timbul permasalahan mengenai tindakan nakhoda yang melakukan perbuatan melanggar hukum dengan tidak mengikuti perintah pencarter kapal, maka para pihak harus merujuk pada perjanjian carter yang digunakan serta peraturan perundang-undangan terkait. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yang menitikberatkan pada data sekunder dan data kepustakaan sebagai sumber utama serta hukum positif yang berlaku, antara lain konsep-konsep pengangkutan laut, teori-teori tanggung jawab para pihak dalam perjanjian carter, serta Hague Visby Rules 1968 dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

The carriage of goods by sea in national and international scope nowadays is rapidly growing as a result of commercial business that is also developing. There are many parties involve in the process. In most of the charterparty, shipowener and charterer were existed. The charterpary itself holds a significant part of the whole process, as it stipulates both parties’ responsibilities and the ship’s master duty within the agreement. In relation with this project, when there is a problem arising out of tort by the master, then the shipowner and the charteret must refer to the charterparty and to the prevailing laws. The method of this final project is a normative juridical, which emphasize on the secondary data and literature study as its primary source and also the governing law and regulation. These data would be in the form of concepts in shipping law, responsibilities and liabilities of parties within charterparty theories, as well as Indonesian Commercial Code and the Hague Visby Rules 1968.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35293
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulisyanti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22606
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bertinus Haryadi Nugroho
"Transportasi laut memiliki peran penting dalm perekonomian, sehingga diperlukan undang-undang yang mengaturnya, untuk menjamin pelayaran yang tertib dan teratur. UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah undangundang administrasi yang memiliki sanksi pidana. Penggunaan hukum pidana dalam hukum administrasi merupakan masalah kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana dilihat secara fungsional, terdapat tiga tahap dalam bekerjanya hukum pidana yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi dan eksekusi. Tahap formulasi atau disebut juga tahap kebijakan legislatif merupakan tahap yang paling strategis karena pada tahap tersebut suatu perbuatan ditetapkan menjadi tindak pidana. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran memuat perbuatan-perbuatan yang diancam dengan sanksi administratif serta sanksi pidana, dan beberapa tindak pidana tersebut sebenarnya bukanlah perbuatan-perbuatan yang karena pada dasarnya bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat beradab (mala in se, natural crime), sehingga penetapan perbuatan-perbuatan tersebut menjadi tindak pidana di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan overcriminalization.
Penelitian ini untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah konsep kriminalisasi di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, apakah hukum pidana benar-benar merupakan ultimum remidium. Apakah kriminalisasi dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyebabkan overcriminalization. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tidak memiliki konsep yang jelas dalam penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remidium. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai overlapping offenses/crimes, adalah Pasal 291, 316, 324, 325, dan 326. Pasal-pasal di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang dapat digolongkan sebagai crimes of risk prevention, yaitu Pasal 286, 294, 302, 303, dan 323. Perlu dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dengan cara memasukkan Pasal 316 ke dalam KUHP, melakukan dekriminalisasi terhadap Pasal 324, 325, dan 326, serta melakukan depenalisasi terhadap pasal-pasal lainnya.

Sea transport has an important role economic performance, so we need laws that govern it, to ensure the orderly and regular shipping. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage is the administrative laws that have criminal penalties. The use of penal law to enforcement of administrative law is penal law policy's problem. Penal law policy can be seen from functional aspect. There are three steps in penal law processing i.e. formulation, application and execution. Formulation step or known as legislative policy is the most strategic step because in this step, a behavior is set to be a criminal act. Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage to load acts punishable with administrative sanctions and criminal penalties, and some are in fact criminal acts that are not as fundamentally at odds with fairness, morals and general principles of civilized society (mala in se, natural crime), so the determination of the acts are a criminal offense in the Shipping Act 2008 No. 17 on a voyage overcriminalization.
This research to answer the question how the concept of criminalization in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, whether criminal law is really a ultimum remidium. Is the criminalization of the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage causing overcriminalization. This research is a normative juridical research. From the result showed that Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage did not have a clear concept in the use of criminal law as an ultimum remidium. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as overlapping offenses / crimes, is Article 291, 316, 324, 325, and 326. The articles in the Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage that can be classified as crimes of risk prevention, namely Article 286, 294, 302, 303, and 323. Need for revision of Shipping Act 2008 No. 17 on the voyage, by entering into the Criminal Code Article 316, to the decriminalization of Article 324, 325, and 326, as well as doing depenalization to other articles.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30004
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, S.
Jakarta: Sekretariat P.P. PERSAHI, 1984
341.44 DAL p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Husseyn Umar
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1993
343.096 HUS n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kay Azaria Adita
"Sebagai negara kepulauan, kepastian batas-batas maritim merupakan hal yang sangat krusial bagi Indonesia dalam rangka menegakkan kedaulatannya.
>br>
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prinsip dan metode delimitasi maritim yang diterapkan dalam perjanjian-perjanjian perbatasan maritim di antara Indonesia dan Singapura, serta penerapan delimitasi maritim tersebut secara nyata.
>br>
Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip yang digunakan dalam perjanjianperjanjian di antara Indonesia-Singapura adalah prinsip delimitasi maritim laut teritorial, sedangkan metode yang digunakan adalah metode sama jarak termodifikasi.
>br>
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa perjanjian-perjanjian delimitasi maritim diantara kedua negara berlangsung dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari minimnya pelanggaran batas maritim di antara kedua negara

As an archipelagic state, the certainty of maritime boundaries is a crucial factor for Indonesia, in order to uphold its sovereignty.
>br>
The objectives of this research are to find out the principle and method of maritime delimitation that was applied on the maritime boundary treaties between Indonesia and Singapore, and also the application of the maritime delimitation on the field.
>br>
The method that is used is the juridical-normative method. The research shows that the principle that was used on the treaties between Indonesia-Singapore was the territorial sea delimitation principle, and the method that was used was the modified equidistance method.
>br>
The research also shows that the maritime delimitation treaties between the two countries are running well. This can be seen from the lack of maritime boundary violation between the two countries."
2013
S46011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>