Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213259 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Sirait, Siska Yosephin
"Dalam perkembangan ketatanegaraan saat ini, Mahkamah Konstitusi memiliki arti dan peranan penting, konstitusionalitas ketentuan atau kebijakan yang dibuat oleh pembuat undang-undang dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi selalu berupaya untuk menjaga konsistensi putusan antar perkara satu sama lain untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pencari keadilan dalam memutus suatu perkara.
Penelitian ini berangkat dari banyaknya pengujian yang dilakukan terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Permohonan pengujian terhadap Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini telah pernah dilakukan sebanyak 41 kali dalam rentang waktu tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. Materi muatan dari pasal-pasal Undang-Undang Pemda tersebut beragam, akan tetapi terdapat beberapa pengulangan terhadap pengujian materi muatan dari pasal-pasal yang sama. Dua permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai (1) konsistensi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang Pem,erintahan Daerah terkait ketentuan Pemilihan kepala daerah serta dampaknya bagi sistem ketatanegaraan Indoneisia; dan (2) pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi di negara Perancis, Jerman, Korea dan Indonesia bila dilihat dari kaidah hukumnya. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum tata negara. Adapun jenis penelitian ini adalah yuridis normatif.
Ada beberapa teori yang dapat dijadikan acuan unutk mengetahui konsistensi pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini, yaitu teori Yurisprudensi dan Kaidah hukum Yurisprudensi. Dengan melihat pada Yurisprudensi dan Kaidah Hukum yang digunakan oleh para Hakim dalam mengambil keputusan, dapat diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi berupaya untuk tetap menjaga konsistensi putusannya, sehingga asas keadilan, kemanfaatan dan kepasatian hukum terwujud dengan sebaik-baiknya.

Constitutional Court plays an important role in the current development of state administration system, constitutionality of provisions and policy made by lawmakers can be reviewed by the Constitutional Court. Constitutional Court invariably strives to maintain the consistency of one decision to another in order to guarantee legal certainty to justice seeker in adjudicating a case.
This research is triggered by the many cases concerning the review of local government law. From 2003 to 2014 local government law has been reviewed 41 times. The substance of articles in the law vary, but there are some repetitions in the review of the same articles of the law. Two questions that will be discussed in this research concern with (1) consistency of the legal consideration of the Constitutional Court in the review of Local Government Law related to the provisions regarding the election of head of local government and its impact to Indonesian administration system; and (2) legal consideration in the decisions of Constitutional Court of France, Germany, Korea and Indonesia seen from its legal norms. To answer the questions this research uses legal materials which are decisions of Constitutional Court, laws and regulations and articles on constitutional law. This research is a juridical normative research.
There are some theories that may be used as the basis to identify the consistency of legal consideration in the Constitutional Court Decisions regarding the review of local government law namely jurisprudence theory and legal norms of jurisprudence. By analysing the jurisprudence and legal norms used by the justices in making decisions, it can be concluded that the Constitutional Court endeavor to maintain the consistency of its decision so that the principle of justice, utility and legal certainty may be realized as well as possible.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan
Jakarta: Rineka Cipta, 2006
342.02 DAU m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ellen Nadya Salbaina
"Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangannya untuk melakukan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang seringkali memutus secara ultra petita. Walaupun penerapan ultra petita ini dilarang dalam hukum perdata, akan tetapi saat ini masih belum ada ketentuan hukum positif yang mengatur terkait dengan dilakukannya ultra petita di Mahkamah Konstitusi. Sehingga hal ini menimbulkan pro dan kontra, dimana sebagian ada yang berpendapat bahwasannya ultra petita itu dilarang untuk diterapkan di Mahkamah Konstitusi, ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu konsekuensi hukum. Terlebih Mahkamah Konstitusi memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan hukum lainnya. Dalam pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, putusan yang mengandung ultra petita muncul ketika adanya kepentingan dari seluruh warga negara (erga omnes). Asas ultra petita ini telah diterapkan sejak awal terbentuknya Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Penulis dalam skripsi ini ingin membahas mengenai konsep dan penerapan asas ultra petita yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi khususnya pada perkara pengujian undang-undang, mulai dari periode tahun 2003 hingga tahun 2021. Metode penulisan yang digunakan oleh Penulis adalah yuridis normatif dengan menggunakan bahan kepustakaan. Dari hasil penelitan, Penulis menemukan beberapa dari banyaknya putusan yang mengandung ultra petita, dengan jumlah terbanyak adalah pada periode tahun 2003-2008. Putusan ultra petita tersebut dikeluarkan tentunya berdasarkan pada pertimbangan hakim (ratio decidendi) bahwa hal tersebut memang benar-benar harus dilakukan.

The Constitutional Court in exercising its authority to examine the constitutionality of a law often decides on an ultra petita basis. Although the application of ultra petita is prohibited in civil law, there are currently no positive legal provisions governing the conduct of ultra petita in the Constitutional Court. So this raises the pros and cons, where some argue that ultra petita is prohibited from being applied in the Constitutional Court, there are also those who argue that this is a legal consequence. Moreover, the Constitutional Court has special characteristics that are different from other legal characteristics. In the judicial review at the Constitutional Court, decisions containing ultra petita arise when there is an interest from all citizens (erga omnes). The ultra petita principle has been applied since the establishment of the Constitutional Court. Therefore, the author in this thesis wants to discuss the concept and application of the ultra petita principle carried out at the Constitutional Court of the Republic of Indonesia, especially in law testing cases, starting from the period 2003 to 2021. Research method used by the author is normative juridicial using library materials. From the research results, the author found several of the many decisions containing ultra petita, with the highest number being in the 2003-2008 period. The ultra petita decision was issued based on the judge's consideration (ratio decidendi) that it really had to be done."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mahkamah Konstitusi, Republik Indonesia, 2004
342.02 IND c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nafi Uz Zaman
"Melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan partisipasi masyarakat dalam sebuah terminologi “meaningful participation” yang mencakup 3 (tiga) syarat yaitu right to be heard, right to be considered dan right to be right explained. Namun makna tersebut masih bersifat umum dan membutuhkan elaborasi lebih lanjut. Misalnya dalam menentukan sejauh mana indikator “bermakna” dapat dinilai dari partisipasi dan apakah jumlah masyarakat menentukan bermaknanya sebuah partisipasi. Melalui pendekatan doktriner dan analisis terhadap Putusan MK perihal pengujian formil sejak tahun 2003-2022, penelitian ini bertujuan untuk melihat pola Putusan MK dan menganalisis ratio decidendi yang digunakan oleh Majelis Hakim. Dari 49 putusan tentang permohonan pengujian formil, diperoleh 23 putusan yang dipertimbangkan dengan dalil permohonan “partisipasi masyarakat.” Hasil penelitian menunjukkan terdapat parameter yang menentukan meaningful participation sebagai elaborasi dari 3 (tiga) syarat sebelumnya yaitu Pertama keterbukaan akses masyarakat dalam mengetahui setiap tahapan beserta riwayat/risalah. Kedua, pertimbangan jangka waktu pembahasan dan subjek terdampak secara proporsional dengan cakupan undang-undang yang dibahas. Ketiga, tracking atas pendapat masyarakat yang diadopsi maupun tidak dalam perumusan norma. Selain itu, kedepan diharapkan adanya terobosan hukum dengan lebih mengedepankan keadilan substantif dalam pengujian formil terutama menguji pemenuhan partisipasi masyarakat. Hal ini bertujuan agar tercapainya hakikat dari meaningful participation itu sendiri.

Through Decision Number 91/PUU-XVIII/2020, the Constitutional Court (MK) interpreted the participation of the public in the terminology of "meaningful participation," which includes three requirements: the right to be heard, the right to be considered, and the right to be right explained. However, this meaning remains general and requires further elaboration. For example, it needs clarification on how the indicator of "meaningful" can be assessed in participation and whether the number of people determines the meaningfulness of participation. Using a doctrinal approach and analyzing MK's decisions on formal testing from 2003 to 2022, this study aims to observe patterns in MK's decisions and analyze the ratio decidendi used by the panel of judges. Out of 49 decisions on formal testing applications, 23 decisions were related to the argument of "public participation." The research findings indicate that there are parameters determining meaningful participation as elaboration of the previous three requirements. Firstly, it involves the openness of public. Secondly, it considers about the numbers. Thirdly, it involves tracking the adoption or non-adoption of public opinions. Moreover, in the future, it is hoped that legal breakthroughs will prioritize substantive justice in formal testing, especially when evaluating the fulfillment of public participation."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi RI, 2010
342.06 HUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Soedarsono
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008
342.02 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Rizky Soe'oed
"Amandemen konstitusi yang berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2022 mempertegas bahwa Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Salah satu cara yang sering dibahas untuk meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan presidensial adalah dengan melaksanakan pemilu secara serentak dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden yang sekarang diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberikan syarat kepada partai politik harus mendapatkan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam praktiknya, ketentuan ini selalu mengundang kontroversi dan sudah berulang kali diuji di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini akan menjelaskan secara detail bagaimana pengaturan ambang batas pencalonan presiden di Indonesia. Kemudian, tulisan ini juga akan menganalisis bagaimana ambang batas pencalonan presiden menurut putusan mahkamah konstitusi tahun 2022-2023. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma ambang batas pencalonan presiden tidak diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, konstitusi hanya mengatur ambang batas kemenangan yang tercantum pada pasal 6 ayat (3). Norma ambang batas pencalonan presiden diatur secara detail pada undang-undang yang mengatur tentang teknis pelaksanaan pemilihan umum seperti UU No.23 Tahun 2003, UU No.42 Tahun 2008, dan UU No.7 Tahun 2017. Mahkamah Konstitusi dalam putusan-putusan nya selalu menegaskan bahwa norma ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma ambang batas pencalonan presiden memberikan dampak positif kepada sistem pemerintahan presidensial yang kuat.

The constitutional amendments that took place from 1999 to 2022 emphasized that Indonesia adheres to a presidential system of government. One way that is often discussed to increase the effectiveness of the presidential government system is to hold elections simultaneously by implementing the presidential nomination threshold which is now regulated in article 222 of Law Number 7 of 2017 concerning Elections which provides conditions for political parties to obtain a minimum of 20 percent of DPR seats. or 25 percent of valid national votes to be able to nominate candidates for President and Vice President. In practice, this provision always invites controversy and has been repeatedly tested at the Constitutional Court. This article will explain in detail how the threshold for presidential candidacy is set in Indonesia. Then, this article will also analyze the threshold for presidential candidacy according to the decision of the constitutional court in 2022- 2023. This article was prepared using doctrinal research methods. The research results show that the threshold norms for presidential candidacy are not regulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the constitution only regulates the victory threshold as stated in article 6 paragraph (3). The threshold norms for presidential candidacy are regulated in detail in laws that regulate the technical implementation of general elections, such as Law No. 23 of 2003, Law No. 42 of 2008, and Law No. 7 of 2017. The Constitutional Court in its decisions always emphasized that the threshold norm for presidential candidacy is an open legal policy and does not conflict with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The Constitutional Court considered that the threshold norm for presidential candidacy had a positive impact on a strong presidential government system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>