Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174848 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
cover
Sri Murdawati
"Perekonomian di Indonesia mengalami perubahan yang
drastis dengan terjadinya gejolak moneter pada
pertengahan tahun 1997 yang lalu. Hal tersebut juga
berakibat dan berpengaruh terhadap kemampuan dunia usaha
itu sendiri dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang
atau prestasi kepada kreditur. Kepailitan adalah
ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Kewenangan
absolut bagi Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan
hanya sampai sejauh isi perjanjian saja dan bila terjadi
perselisihan dan dapat diperdamaikan maka yang berwenang
adalah Arbitrase itu sendiri, sedangkan apabila ada
permohonan pailit maka Arbitrase tidak berhak karena
yang berhak adalah pengadilan niaga sebagai peradilan
khusus yang sudah diatur sendiri dalam Undang-Undang
No.4 Tahun 1998 mengenai Kepailitan. Kewenangan
Pengadilan Niaga adalah kewenangan absolut dalam hal
menerima dan memeriksa serta memutuskan tentang
permohonan pailit, hal ini berbeda dengan kewenangan
absolut .Arbitrase dimana setiap perjanjian yang telah
mencantumkan klausula Arbitrase yang dibuat para pihak
menghapus kan kewenangan pengadilan negeri untuk
menyelesaikan setiap perselisihan."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satriana Dewandari
"Terdapat dua undang-undang yang mengatur permasalahan kepailitan setelah terjadinya krisis moneter pada tahun 1997 yakni Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK) serta Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU). Di dalam kedua undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Pengadilan Niaga yang berhak memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Namun demikian, pada saat UUK masih berlaku, penunjukkan Pengadilan Niaga tersebut masih bertentangan dengan kewenangan absolut yang dimiliki oleh lembaga arbitrase sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada prakteknya, masih terjadi perdebatan yang terjadi antara para pihak mengenai kewenangan dalam memeriksa dan mengadili sebuah sengketa kepailitan. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pun belum memiliki landasan hukum yang secara khusus mengatur hal tersebut sehingga perlu untuk membuat pertimbangan sendiri dengan dibantu oleh yurisprudensi yang telah ada. Setelah berlakunya UUK-PKPU, pertanyaan mengenai kewenangan Pengadilan Niaga dan lembaga arbitrase pun diatur secara lebih jelas terutama pada Pasal 303 UUK-PKPU. Adanya pasal tersebut memberikan para pihak yang bersengketa sebuah kepastian hukum yang secara jelas menerangkan bahwa apabila permasalahan yang timbul termasuk dalam lingkup kepailitan walaupun mengandung klausula arbitrase, maka hanya Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pun telah memiliki dasar hukum terhadap perkara kepailitan yang di dalamnya terdapat klausula arbitrase. Pada perkara kepailitan yang mengandung klausula arbitrase, teori Hukum Perdata Internasional yang dapat diterapkan adalah teori Status Personal, Pilihan Hukum, dan Pilihan Forum.

There are two laws that govern bankruptcy issues after the monetary crisis on 1997 Statute Number 4 Year 1998 regarding The Bankruptcy (Bankruptcy Law) and Statute Number 37 Year 2004 regarding Bankruptcy and Obligation Suspension of Debt Payment. Those statutes state that The Commercial Court is the institution that has the right to investigate and adjudicate the bankruptcy case. Nevertheless, when the Bankruptcy Law were still applicable, the appointment of The Commercial Court was contradicted with the absolute competence of arbitration institution which is regulated on Statute Number 30 Year 1999 regarding The Arbitration and Alternative Dispute Resolutions. In fact, there were controvertions about the competence in investigating and adjudicating the bankruptcy dispute. The Judges of The Commercial Court did not have the legal foundation that regulate specifically about the competence, so that it was necessary for the Judges to make their own consideration with the relief of the jurisprudence which was existing. After the Law Number 37 Year 2004 is applicable, the conflict of competence between The Commercial Court and the institution of arbitration is regulated specifically on Article 303 Law Number 37 Year 2004. That article states that if the dispute that appears is included on the bankruptcy case although it contains arbitration clause, then The Commercial Court has the competence to investigate and adjudicate. It gives a certainty of law for the the parties who are on the dispute. Thus, The Judges of The Commercial Court has the legal foundation concerning on the bankruptcy case which has the arbitration clause on it. In bankruptcy case that is containing the arbitration clause, the theories of International Private Law that can be applied are Personal Status theory, Choice of Law, and Choice of Forum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S406
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ardaning Sandrawati
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36581
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Husseyn Umar
Jakarta: Proyek Elips, 1995
341.522 HUS h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Iqbal
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S20032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumadi
"Proses pembuktian di dalam persidangan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses beracara di dalam suatu peradilan. Pada perkara pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup fungsi alat bukti keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah adalah sangat penting membantu majelis hakim untuk memahami masalah-masalah teknis ilmiah. Oleh sebab itu pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai bagaimana pendapat hakim dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan oleh para pihak, baik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun dari terdakwa atau penasihat hukum dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat. Skripsi ini juga membahas mengenai acuan atau dasar hukum apa yang dapat dipakai dimasa yang akan datang untuk melakukan penelitian/pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup. Alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan terdakwa atau penasihat hukum terdapat pertentangan yang sangat jauh berbeda satu sama lain. Hal ini menjadi tugas majelis hakim dalam menilai kebenaran keterangan alat bukti keterangan ahli dan dapat dilihat bagaimana majelis hakim menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli. Mengenai acuan atau dasar hukum yang dapat dipakai untuk melakukan penelitian/pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencemaran lingkungan hidup adalah dapat dipakai Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup serta peraturan-peraturan yang ada dibawahnya termasuk Keputusan Kepala Bapedal Nomor 113 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum dan Pedoman Teknis Laboratorium Lingkungan.

Substantiation process before court is a critical part in a proceeding. In environment pollution or devastation lawsuit, professional opinion as one of legal exhibits serves as an important part in supporting the court understanding of scientific technical issues. The subject matter in this thesis, therefore, concerns with the judge opinion in assessing the intensity of substantiation of professional opinion proposed by the parties, both the general prosecutor (JPU) and the defendant or legal counsel in the environment pollution crime alleged against PT. Newmont Minahasa Raya in Buyat Gulf. This thesis also discusses about future applicable reference or legal basis to carry out study/inquiry of environment pollution crime. The professional opinion exhibits presented by either General Prosecutor (JPU) and defendant or legal counsel contradict significantly against each other. It is the duty of the court to evaluate the professional opinion exhibits and it can be observed there from how the judges consider the intensity of the professional opinion substantiation. With respect to the reference or legal basis applicable in this study/inquiry of environment pollution crime, it can be used Law Number 23 of 1997 on Environment Management and existing regulations under it including Decision of the Chief Environment Impact Controlling Agency Number 113 of 2000 on General Guide and Technical Guide for Environment Laboratory."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S22592
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>