Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128294 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endah Yuniningsih
"ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Konflik Wilayah Tapal Batas antar Kabupaten di Provinsi Bengkulu (studi Kasus Kabupaten Rejang Lebong – Kabupaten Kepahiang). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi: (1) faktor penyebab terjadinya konflik wilayah tapal batas antara kabupaten Rejang Lebong dengan Kabupaten Kepahiang, (2) dampak-dampak yang ditimbulkan dari terjadinya konflik tersebut terhadap ketahanan nasional. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor penyebab konflik wilayah tapal batas antara kabupaten Rejang lebong dengan kabupaten Kepahiang, dampak-dampak yang ditimbulkan dari terjadinya konflik tersebut terhadap ketahanan nasional. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sifat penelitian deskriptif analitik. Sejak implementasi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, batas antar daerah menjadi hal yang sangat penting dan menjadi perhatian daerah. Arti penting batas daerah berkaitan dengan batas kewenangan daerah yang kemudian berimplikasi pada kewenangan pengelolaan sumber-sumber daya di daerah. Konflik antar daerah di Indonesia sering terjadi berkaitan dengan penetapan batas antar daerah. Faktor penyebabnya berdimensi banyak serta saling berkaitan faktor yang satu dengan yang lainnya. Faktor tersebut meliputi: faktor-faktor yang bersifat struktural, Faktor perebutan sumber daya dan potensi daerah, Faktor kepentingan terhadap eksistensi Teritorial daerah, dan Faktor Kepentingan Elit Politik dan Antagoisme Kekuasaan. Konflik yang terjadi menyebabkan belum terwujudnya batas yang jelas dan pasti antara kedua daerah tersebut baik secara administatif maupun fisik, yang selanjutnya berakibat pada timbulnya dampak konflik terhadap ketahanan nasional yang melebar ke aspek-aspek lain yaitu politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Rekomendasi untuk penyelesaian konflik yaitu dilakukan melalui konsiliasi dengan mediasi oleh tingkat pemerintah lebih atas (Gubernur dan jika perlu Menteri Dalam Negeri) dengan didahului pihak berkonflik mengupayakan de-eskalasi konflik, dan terakhir didukung upaya elit politik yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan dalam kerangka NKRI.

ABSTRACT
The study titled is Conflict between District Boundary Region in the Bengkulu province (Case study Rejang Lebong District – Kepahiang District). Issues raised in the study include: (1) the causes of conflict between Rejang Lebong District and Kepahiang District, (2) adverse impact of the conflict on national security. Objectives of this study were to identify and analyze the factors that cause conflict zone boundary between Rejang Lebong District and Kepahiang District, and the adverse impact of the conflict on national security. The research was conducted using qualitative research methods with descriptive analytic study with emphasis on the analysis of field survey data. Since the implementation of regional autonomy vast, realistic and responsible, the boundary between regions become a very important area of concern. The significance associated with the boundary border regional authority which then has implications for the authority to manage the resources in the area. Conflict between regions in Indonesia often associated with the determination of the boundaries between regions. Dimensionless factor many interrelated factors as well as with each other. These factors include: that are structural, factors scramble for resources and potential of the region, factors of interest to the local Territorial existence and importance Factor Elite Politics and Power Antagoisme. The conflict cause the realization has not clear and definite boundaries between the two regions both administatif and physically, which in turn resulted in the emergence of impacts of the conflict on the national defense extends to other aspects of the political, economic, social, cultural and defense. Recommendations for the settlement of the conflict through mediation by conciliation with the upper levels of government (governor and if necessary, the Minister of Home Affairs) preceded the conflict to seek de-escalation of the conflict, and the recent efforts of political elites who supported the spirit of unity within the framework of the Republic of Indonesia."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shadeq Muttaqien
"Tesis ini membahas tentang Mekanisme Kerja Lembaga Lokal dalam Penyelesaian Konflik Suku/Etnis yang dilakukan oleh LKKMD di Kota Dumai, Provinsi Riau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi keefektifan dalam pengelolaan konflik baik itu mencegah maupun meredam jika terjadi konflik suku/etnis, yang dikelola secara kelembagaan lokal. Keberadaannya memberikan manfaat bagi masyarakat dan Kota Dumai karena memberikan suasana yang kondusif, aman dan nyaman serta terpeliharanya nilai dan budaya lokal di masyarakat.

The thesis discusses about mechanism action of local institutions in ethnic conflict resolution by LKKMD at Dumai city, Riau province. The result of this study indicate that the effectiveness in managing conflict occurs either prevent or reduce the case of ethnic conflict, managed by local institution. Its presence provides benefits to the community and the City of Dumai because it provides a conducive atmosphere, safe and comfortable as well as maintaining local values and culture in the community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manalu, Iwan Freddy
"ABSTRAK
Konflik tawuran menjadi suatu kejadian yang sangat intensif terjadi di Kecamatan Johar Baru, DKI Jakarta. Para pelaku tawuran tersebut berasal dari remaja-remaja membentuk suatu geng tawuran. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif guna mengetahui pemetaan konflik dan perilaku yang dilakukan secara massal sebagai reaksi dari kondisi berkonflik di Kecamatan Johar Baru secara komprehensif melalui analisi intelijen. Beberapa faktor pemicu terjadinya konflik terutama faktor sosial, ekonomi serta politik menjadikan tawuran menjadi salah satu kegiatan yang tergolong menyimpang dari norma sosial dan terjadi secara berkelanjutan. Bahkan disinyalir bahwa kelanggengan kegiatan tawuran antar warga remaja di Kecamatan Johar Baru merupakan alibibdari tindak kriminalitas terorganisir yaitu transaksi bandar narkoba di suatu wilayah di Kecamatan Johar Baru. Melalui análisis intelijen pula tawuran dianalisi dari perspektif sosial guna memberikan resolusi konflik bagi warga di wilayah Kecamatan Johar Baru. Sehingga dapat dipetakan peluang dan potensi yang dimiliki warga serta menyusun strategi dari kelemahan dan kendala yang dihadapi melalui analisa SWOT.

ABSTRACT
Conflicts brawl into a very intensive occurrence occurred in the district JoharBaru, DKI Jakarta. The brawlers are from teenagers forming a brawl gang. Through using qualitative research method, we began to know the mapping of conflict and the collective behavior as an action and reaction from conflict condition in JoharBaru sub-district comprehensively by intelligence analysis.Several factors trigger the occurrence of conflicts, especially social, economic and political factors make the brawl into one of the activities that belong to deviate from social norms and occur in a sustainable manner. In
fact, it is alleged that the perpetuation of brawl activities among adolescents in the district of JoharBaru is an alibi of organized crime acts of drug dealer transactions in an area in the district JoharBaru. This intelligence analysis, adolescent torturing or somewhat similar here is analyzed from a social perspective to provide conflict resolution for citizens in the JoharBaru sub-district. Hence, we can do the mapping of opportunities and potentials of its citizens and develop strategies of weaknesses and obstacles encountered,
referred to as SWOT analysis"
2018
T52250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaiful Bahri
"Dalam skripsi berjudul Perkelahian Massal Antarwarga di Jakarta, 1970-2000 ini menjelaskan tentang bagaimana perubahan sumber solidaritas perkelahian massal di Jakarta dari atas nama geng yang merebak pada akhir 1960-an hinggal970-an menjadi atas nama warga (RT, RW dan kampung) pada 1990-an hingga tahun 2000. Fenomena 1990-an sering di sebut dengan istilah tawuran warga. Skripsi ini jugs menjelaskan sebab-sebab terjadi tawuran warga. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode sejarah yakni: pertama heuristik, kedua kritik atau veripikasi sumber, ketiga interpretasi dan keempat penulisan atau historiografi. Agar diperoleh gambaran yang lebih baik, penelitian ini mengunakan bantuan ilmu sosial terutama sosiologi. Peminjaman istilah-istilah ilmu sosial tersebut dimaksudkan agar diperoleh gambaran lebih balk tentang beberapa peristiwa. Dari penelitian diketahui bahwa tindakan represif pemerintah seperti pembubaran geng pada tahun 1972 serta pembunuhan misterius atau PETRUS (1983-1984) terhadap GALI (Gabungan Anak-anak Liar), yang diantaranya adalah bekas anggota geng menyebabkan ketakutan luar biasa dalam masyarakat terutama anggota geng. Oleh karena itu masyarakat (warga) melakukan penyiasatan dengan cara memperbesar sumber solidaritas dari antar geng menjadi solidaritas warga. Pembesaran solidaritas ini dapat dianalogikan dengan pembesaran badan ikan buntal ketika diserang pemangsa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S12578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004
303.62 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Anitasari Sabaniah
"[ABSTRAK
Tesis ini mendiskusikan tentang bagaimana perempuan agensi mengelola faktorfaktor
yang bersifat struktural dan kultural yang mendukung dan menghambat
keagensiannya pada saat konflik dan pasca konflik. Studi sebelumnya telah
membuktikan bahwa dalam situasi konflik perempuan mampu memunculkan
keagensiannya. Namun dari studi yang telah ada umumnya tidak membahas
secara komprehensif bagaimana keagensian tersebut bekerja dan apa faktor-faktor
struktural dan kultural yang mendukung maupun yang menghambat keagensian
perempuan saat dan pasca konflik.
Tesis ini merupakan hasil penelitian kualitataif dengan mengambil studi kasus di
Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Pemilihan Kabupaten Poso
didasarkan pada pertimbangan bahwa Poso dikenal sebagai wilayah yang pernah
mengalami konflik. Beberapa tahun terakhir situasi damai terjadi di Poso,
berangsung-angsur masyarakat Poso termasuk perempuan mulai menata
kehidupannya kembali. Gejala yang terjadi di Poso ini dinilai oleh peneliti dapat
mengungkap permasalahan dan menjawab pertanyaan penelitian.
Argumentasi penelitian ini adalah bahwa perempuan dalam situasi konflik satu
sisi dihadapkan persoalan yang sulit, namun, di sisi lain perempuan juga mampu
menjadi agensi. Studi ini menggunakan ‘Analisis Archer membedakan Agen dan
Struktur dengan pendekatan Morphogenesis’. Analisis morphogenesis Archer
menjelaskan bekerjanya ‘keagensian’ yang saling mempengaruhi dengan kultur
(struktur) melalui tiga tahap, yaitu: (1) Structural conditioning, yang merujuk
pada struktur sebelumnya yang mengkondisikan namun tidak menentukan; (2)
Social interaction, yang muncul dari tindakan yang berorientasi pada realitas dan
kebutuhan yang berasal dari agen dan mengarah pada dua hal; yakni (3) Structural
elaboration atau reproduction, yaitu sebuah perubahan dalam hubungan dalam
sebuah sistem sosial. memungkinkan menghasilkan konfigurasi sosio-kultur yang memiliki sifat
perubahan dari agen.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa saat dan pasca konflik perubahan
konfigurasi sosio-kultur yang terjadi adalah konfigurasi sosio-kultur yang
memiliki sifat perubahan dari agen primer (passive agents) menuju lebih banyak
lagi kumpulan agen (active agents). Active agents yang dimaksud adalah
kumpulan agen-agen yang terorganisir yang berusaha ke luar dari batas-batas
struktur dan sistem kultur serta sosio-kultur yang ada menuju ‘we’ bersama-sama
berusaha untuk mengubah struktur yang ada tersebut atau dengan kata lain
mentransformasikan dirinya untuk tujuan mencapai perubahan sosial yang
transformatif. Di dalam perubahan sosial yang transformatif sebagai hasil dari
formasi siklus morphogenesis (morphogenetic cycles) maka peran baru akan
diciptakan hingga terjadi posisi baru dimana akan lebih banyak lagi agen yang
terlibat.

ABSTRACT
This thesis discusses how women's agency manage structural and cultural
factors that enable and contrains agency during conflict and post-conflict.
Previous studies have shown that in conflict situations women are able to emerged
their agency. However, the existing studies generally do not discuss
comprehensively how it works and what is the structural factors and cultural that
support or obstruct women agency during and after conflict.
This thesis is the result of qualitative research on a case study in Poso,
Central Sulawesi Province. Poso district election based on the consideration that
the Poso region once known as a conflict area. The last few years the people of
poso have living in peace, Poso community gradually including women began to
organize their lives back. According to the researcher it is useful to examine the
phenomenon that accurs in Poso to uncover problems and answer research
questions.
The argument of this study is women in conflict situations, encountered
difficult situation, but on the other hand women also capable of being the agency.
This study uses ‘Archer’s analysis of Agen-Structure: the morphogenetic
approach’. The Archer’s analysis is explained the agency works interplay with
culture (structure) through three stages: (1) Structural conditioning, which refers
to the previous structure, but does not specify; (2) Social interaction, which
emergence from the actions oriented to the realities and needs and leads to two
things; are (3) Structural elaboration or reproduction, is a change in the
relationship in a social system.
At the stage of social interaction, agency works begins with the
emergence of self-consciousness, then the emergence of personal identity and
continued to the emergence of social identity. The third stage enables generating
socio-cultural configurations which have the changing nature of the agent.
The research findings showed socio-cultural configuration changes that
occur during and post-conflict changing nature of the primary agent (passive
agents) into collection agents (active agents). Active agents are organized agent,
that attempted to exit outside of the confines of existing structure and socioculture
systems and culture that exist towards 'we' and jointly try to change the
existing structure, or in other words to transform itself to achieve a transformative
social change. In transformative social change as a resulted of the formation cycle of morphogenesis (morphogenetic cycles) then the new role will be created until
there is a new position emerge and involving more agents., This thesis discusses how women's agency manage structural and cultural
factors that enable and contrains agency during conflict and post-conflict.
Previous studies have shown that in conflict situations women are able to emerged
their agency. However, the existing studies generally do not discuss
comprehensively how it works and what is the structural factors and cultural that
support or obstruct women agency during and after conflict.
This thesis is the result of qualitative research on a case study in Poso,
Central Sulawesi Province. Poso district election based on the consideration that
the Poso region once known as a conflict area. The last few years the people of
poso have living in peace, Poso community gradually including women began to
organize their lives back. According to the researcher it is useful to examine the
phenomenon that accurs in Poso to uncover problems and answer research
questions.
The argument of this study is women in conflict situations, encountered
difficult situation, but on the other hand women also capable of being the agency.
This study uses ‘Archer’s analysis of Agen-Structure: the morphogenetic
approach’. The Archer’s analysis is explained the agency works interplay with
culture (structure) through three stages: (1) Structural conditioning, which refers
to the previous structure, but does not specify; (2) Social interaction, which
emergence from the actions oriented to the realities and needs and leads to two
things; are (3) Structural elaboration or reproduction, is a change in the
relationship in a social system.
At the stage of social interaction, agency works begins with the
emergence of self-consciousness, then the emergence of personal identity and
continued to the emergence of social identity. The third stage enables generating
socio-cultural configurations which have the changing nature of the agent.
The research findings showed socio-cultural configuration changes that
occur during and post-conflict changing nature of the primary agent (passive
agents) into collection agents (active agents). Active agents are organized agent,
that attempted to exit outside of the confines of existing structure and socioculture
systems and culture that exist towards 'we' and jointly try to change the
existing structure, or in other words to transform itself to achieve a transformative
social change. In transformative social change as a resulted of the formation cycle of morphogenesis (morphogenetic cycles) then the new role will be created until
there is a new position emerge and involving more agents.]"
2015
T43903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Munandar
"Konflik sosial dukun santet sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dengan rata-rata penyebabnya keresahan masyarakat yang memuncak akibat ulah yang diduga dukun santet/memiliki ilmu hitam memperdayai/berulah kepada korbannya dengan alasan tertentu ataupun iri dengki misalnya menyebabkan sakit aneh hingga kematian. Kejadian tersebut menimbulkan reaksi dari masyarakat yang pada umumnya berawal kekerasan dan tidak jarang aksi kekerasan dan main hakim sendiri dari massa tersebut berujung kematian terhadap yang diduga dukun santet. Kekerasan massa tersebut dilakukan karena masyarakat merasa frustasi dengan ulah dukun santet/memiliki ilmu hitam karena sulit untuk dibuktikan dan tidak diatur secara rinci di perundang-undangan hukum yang berlaku, namun di Kabupaten Ciamis yang lokasinya sekarang telah dimekarkan menjadi Kabupaten Pangandaran melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2012 Tentang Pembentukan Kabupaten Pangandaran di Provinsi Jawa Barat terjadi pembunuhan yang diduga dukun santet oleh sekelompok orang yang dipimpin oleh seseorang dan menyebabkan korban meninggal dunia terduga dukun santet lebih dari 50 orang. Pengkajian ini bukan untuk membuktikan kesaktian dukun santet/memiliki ilmu hitam ataupun kesaktian pelaksana eksekusi yang diduga membunuh dukun santet/ilmu hitam melainkan untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang, pokok permasalahan dan awal mula aksi kekerasan itu terjadi sehingga kekerasan massa terjadi dari sejak lama khususnya di Kabupaten pangandaran dan memuncak sekitar tahun 1998 s.d. 2000, kedalam sebuah tesis dengan pendekatan analisa kualitatif. Prilaku dari sekelompok massa yang dipimpin oleh seseorang untuk bereaksi berbuat tindak kekerasan terhadap terduga dukun santet merupakan sebuah prilaku menyimpang yang terjadi di masyarakat dan sejalan dengan teori labeling. Teori ini memiliki asumsi pokok Menjelaskan proses terjadinya melekatnya cap atau stigma menyimpang pada seseorang atau kelompok oleh orang lain atau masyarakat, tetapi lebih menggali pada terjadinya definisi dan sanksi sosial negatif yang menekan individu sehingga dia terlibat lebih dalam pada suatu tindakan menyimpang.

Witches social conflicts often occur in various regions in Indonesia with an average cause of public unrest which culminated induced suspected witches / have a black magic trick / acting up to the victim for any reason or cause pain eg disease strange to death. The incident caused a reaction from the public that make them violent and often violence and vigilantism of the masses led to the death against suspected witches. The mass violence because people feel frustrated with the behavior of witches / have a black magic because it is difficult to prove and are not regulated in detail in statutory law, however, Ciamis District which are located in the Pangandaran district has now expanded into Pangandaran district through Republic Act Indonesia Number of 2012 on the Establishment of the District of Pangandaran in West Java province occurred killings allegedly by a group of witches led by a person and causing the victim died unexpectedly suspected witches more than 50 people. This assessment is not to prove the witches magic / black magic or supernatural have execution powers on of killing suspected witches / black magic but to know what is the background, the subject matter and the beginning of the violence that turn into mob violence occurred from a long time, especially in the District of pangandaran and peaked around 1998 sd 2000, into a thesis with a qualitative analysis approach. Behavior of mob led by a person to react to unexpected act of violence against witches is an aberrant behavior that occurs in the community and in line with the labeling theory. This theory has a fundamental assumption that Explain the process of attachment of the cap or deviant stigma to a person or group by another person or the community, but more digging on the definition and negative social sanctions that suppresses the individual so that he was more deeply involved in a deviant act.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lya Anggraini
" Kota Jayapura merupakan Ibu Kota dari Provinsi Papua yang rawan konflik vertikal-horizontal dan konflik elit.Tujuan penelitian adalah menganalisis kebijakan pencegahan konflikdi Kota Jayapura. Membahas bagaimana Pemerintah Kota Jayapura menurunkan Undang-undang No.7/2012 setelah Permendagri No.42/2015 untuk pencegahan konflik. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan Model Ambiguitas Konflik untuk Implementasi Kebijakan dari Matland 1995 . Hasil Penelitian menunjukkan bahwa konflik di Kota Jayapura adalah akibat Ambiguitas Kebijakan dalam interpretasi tujuan dan alat kebijakan. Pemerintah Kota Jayapura menurunkan kebijakan dari pemerintah pusat secara simbolik dengan program dan alokasi dana. Instrumen yang digunakan untuk mengelola OPD dan pemangku kepentingan adalah instrumen kapasitas. Keberhasilan kebijakan pencegahan konflik didukung alat otoritas dari TNI/Polri, sehingga stabilitas sosial dan politik di Kota Jayapura terjaga untuk pembangunan. Pemerintahan kota dapat bersinergi dengan pemerintahan adat dalam mengelola konflik ditingkat sosial. Permasalahan implementasi kebijakan adalah kurang menjawab permasalahan mendasar orang asli Papua.
Jayapura city is the capital of Papua Province, prone to vertical horizontalconflicts, and conflicts of elites. The focus of this study is to analyze conflict prevention policies in Jayapura City. To elaborate how the government of Jayapura City adopts Law Nr.7 2012 and MOHA Decree Nr.42 2015. This qualitative research uses the Ambiguity Conflict Model of Policy Implementation by Matland 1995 . The researcher suggests that conflict in Jayapura City is the outcome of Policy Ambiguity in interpreting goals and instrument of policies. The city government of Jayapura implements the central governments rsquo policy symbolically in forms of program and budget earmarking. The instrument used to manage the city governance and stakeholders is the capacity instrument. Success of conflict prevention policy is supported by authoritative instruments from the military police, resulting the maintenance of social and political stability in Jayapura City needed for development. The city government is able to synergize with the indigenous governance in managing conflict at the social level. Problems of policy implementation are the inability to answer the basic needs of Indigenous Papuans. "
2018
T50802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwiyoto
"Sistem perladangan merupakan adaptasi terbaik dari masyarakat yang tingkat teknologinya sederhana. Sistem perladangan ini dapat dipertahankan selama penduduk masih sedikit dan hutan tersedia, namun sekarang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan pertanyaan :
Mengapa sistem perladangan di Bengkulu mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup ?
Apakah batas secara teknis dari kawasan hutan lindung yang ada sekarang sudah memadai ?
Penelitian ini mengajukan dua hipotesis.
(a) Terlalu besarnya jumlah penduduk yang bergantung pada bidang pertanian kecil, memaksa sebagian penduduk menggunakan tanah di kawasan hutan lindung sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.
(b) Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung di Kecamatan Kepahiang belum memadai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang mengakibatkan kerusakan hutan dan mengetahui batas secara teknis yang sesuai dari kawasan hutan lindung.
Variabel bebasnya adalah penggunaan tanah, yang mempengaruhi kerusakan hutan sebagai variabel tidak bebas. Responden berjumlah 127 kepala keluarga, dan data dikumpulkan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan. Sampel kesuburan tanah diambil di wilayah berlereng 15%-40% dan lebih dari 40%. Data penggunaan tanah dan kemampuan tanah berasal dari Badan Pertanahan Nasional.
Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dan data peta dianalsis dengan pendekatan analisis wilayah melalui teknik Overlay, kemudian keseluruhan data dikorelasikan.
Temuan hasil penelitian ini yang penting adalah bahwa sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang dilakukan dengan membuka hutan primer dan luas tanah garapan 2,61 hektar tiap keluarga serta laju perluasan 0,49 hektar tiap keluarga tiap tahun. Daya dukung lingkungan yang ada sudah terlampaui sehingga sistem perladangan ini tidak dapat dipertahankan. Di samping itu, sifat berpindah-pindahnya bidang tanah garapan dengan mencari hutan primer mengakibatkan kerusakan hutan.
Orientasi usahatani penduduk adalah perkebunan kopi, di mana penggarapan tanah wilayah berlereng lebih dari 40% menyebabkan terjadinya penurunan kandungan N,P,K dan pH. Penggarapan di kawasan hutan lindung merupakan akibat terlalu besarnya jumlah petani yang bergantung pada tanah dan timbulnya lapar tanah karena meningkatnya kebutuhan petani.
Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung menurut Tata Hutan Guna Kesepakatan, ternyata belurn memadai dan sebagian tanahnya digarap sebagai tempat usahatani. Batas secara teknis untuk kawasan hutan lindung meliputi 28.049 hektar, yang terdiri dari 15.202 hektar sebagai kawasan hutan lindung mutlak, dan 12.847 hektar sebagai daerah penyangga.

Shifting cultivation system is the best adaptation from community with simple level technology. The shifting cultivation system can be maintained as long as population are rare and forest are still available, however this system now results in environmental destruction, therefore rise the question:
Why do the shifting cultivation system in Bengkulu cause the destruction of environmental?
Is the present technical boundary of the protecting forest area appropriate?
The research proposes two hypothesis:
The large population that depends on small farming area, press forces the part of the population to cultivate the land in protecting forest area, that resulting forest destruction.
Technical boundary from protecting forest area in Kepahiang Sub-district is not sufficient yet.
The aims of the research are to get to know the causes of shifting cultivation system in Kepahiang Sub-district which result in forest destruction, and to know the appropriate technical boundary from protecting forest area.
The independent variable of this research is land utilization that influences forest destruction as a dependent variable.
The number of respondence are 127 head of household, and the data was collected by interviewing based on the questionnaire list, and soil fertility samples were taken from area of slope 15%-40% and more than 40 %. The data of land utilization and land capability were gained from "Badan Pertanahan Nasional".
The data were analyzed by Kruskal-Wallis test, and the data of maps were analyzed by region analysis approach with Overlay technic, then all of the data were correlated.
The important finding of this research is that the shifting cultivation system in Kepahiang Subdistrict is carried out by cultiving primary forest and cultivation area 2,61 hectare for each family with growth area 0,49 hectare each family every year. The present environmental carrying capacity is exceeded therefore this shifting cultivation system can not be maintained. In addition, the shifting cultivation system by looking for primary forest causes forest destruction.
The orientation of the farmer's work is coffee plantation, which the area cultivation in slope region is more than 40%, causes the declining deposit of N,P,K, and pH. The cultivation_ in protecting forest area is the result of too large number of farmers that depend on land, and need of land because of the increase of farmer's need.
Technical boundary of the protecting forest area according to "Tata Guna Hutan Kesepakatan" actually is not appropriate yet, and part of this land cultivated as farmer's work area. Technical boundary of this protecting forest area comprises 28.049 hectare, consists of 15.202 hectare as an absolute protecting forest area, and 12.847 hectare as a buffer zone.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elis Mudjiwati
"ABSTRAK
Konflik sosial terjadi hampir diseluruh Indonesia dan mengakibatkan kerugian baik kerusakan rumah, korban luka- luka bahkan kematian. Remaja sering terlibat koflik sosial dengan menunjukkan perilaku agresif. Koping merupakan kemampuan yang dimiliki remaja agar dapat menurunkan perilaku agresif dalam konflik sosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan koping dengan perilaku agresif remaja pada kejadian konflik sosial. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif cross-sectional dengan metode total sampling. Responden dalam penelitian ini berjumlah 62 orang. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan koping mengatasi masalah dengan perencanaan dengan agresif fisik, mencari dukungan sosial dengan agresif fisik, dan menghindar dengan agresif verbal. Sedangkan tidak ditemukan hubungan koping konfrontasi, mencari tahu masalah lebih dalam, mengontrol diri, menerima tanggung jawab dan penilaian positif dengan semua jenis perilaku agresif. Rekomendasi penelitian adalah remaja dapat meningkatkan koping dalam menghadapi masalah dengan cara bertanya kepada sahabat, membaca buku yang dapat meningkatkan kemampuan dalam mengatur emosi, serta mengikuti ceramah keagaman. Keluarga juga diharapkan dapat memberikan perhatian dan kasih sayang kepada remaja untuk meningkatkan perilaku adaptif.

ABSTRACT
Social conflicts occur almost all over Indonesia and result in harm to both house damage, injuries and even death. Teenagers often engage in social conflict by showing aggressive behavior. Koping is a capability teenagers have in order to decrease aggressive behavior in social conflicts. The purpose of this research is to know the koping relationship with aggressive behavior of adolescent on the occurrence of social conflict. The research design used was cross sectional quantitative research with total sampling method. Respondents in this study amounted to 62 people. The instrument used in this study is a questionnaire. Data analysis using Chi Square statistical test. The results showed that there is a relationship Planful problem solving with physical aggression, Seeking social support with physical aggression, and Escape Avoidance with verbal aggression. Whilethere is no relationship Confrontive coping, Distancing, Self controlling, Accepting responsibility, and Positive reappraisal with all kinds of aggressive behavior. The research recommendation is that adolescents can improve coping in the face of problems by asking friends, reading books that can improve the ability to manage emotions, and follow the lectures of diversity. Families are also expected to give attention and affection to adolescents to improve adaptive behavior. "
2017
T49132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>