Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61653 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Taufiq Agus Siswagama
"ABSTRAK
Batuk yang muncul saat induksi anestesi merupakan sesuatu yang tidak diharapkan, terutama pada kasus dengan peningkatan tekanan intrakranial, peningkatan tekanan intraocular, open eye injury, retinal detachmen peningkatan tekanan intra abdomen, eneurisma aorta, pneumothoraks, hipereaktivitas jalan napas dan sebagainya. Kejadian reflek batuk setelah pemberian bolus fentanyl intravena / fentanyl induce cough ( FIC) telah dilaporkan berkisar antara 18 sampai 65 persen kasus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena terhadap kejadian batuk setelah bolus fentanyl 2 μg/kgBB intravena (Fentanyl Induce Cough). Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda, bersifat eksperimental dan ditujukan untuk menguji keefektifan pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena sebelum bolus fentanyl 2 μg/kgBB intravena dalam hal mengurangi kekerapan Fentanyl Induce Cough (FIC). Pasien dirandomisasi sederhana dengan menggunakan kertas undian yang telah dibuat menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang akan mendapat injeksi intravena normal salin 0,5 ml dan diikuti fentanyl 2 μg/kgBB (kelompok I) serta injeksi intravena fentanyl 25 μg, diikuti fentanyl 2 μg/kgBB (kelompok II). Variabel yang diukur adalah insiden batuk dan derajad batuk yang muncul setelah bolus intravena fentanyl 2 μg/kgBB. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg intravena satu menit sebelum bolus intravena fentanyl 2 μg/kgBB walaupun menunjukkan kecenderungan menurunkan kejadian FIC dari 40 % menjadi 15%, akan tetapi secara statistik tidaklah bermakna. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian pre-emptive fentanyl 25 μg dapat menurunkan insiden FIC (Fentanyl Induce Cough). Akan tetapi penurunannya secara statistik tidak bermakna.

ABSTRACT
Cough induced by induction of anesthesia is something that is not expected, especially in the condition such as increase of intracranial pressure, increase of intraocular pressure, open eye injury, retinal detachment, increase of intra-abdominal pressure, aorta aneurism, pneumothorax, airway hyper-reactivity etc. Cough reflex occurring after bolus of fentanyl intravenously (fentanyl-induced cough/FIC) is reported in 18 until 65% of cases. The goal of this research is to know the effect of pre-emptive intravenous fentanyl 25 μg to cough incidence after bolus of intravenous fentanyl 2 μg/kgBW. This research is a double-blind experimental study that studies the effectivity of intravenous fentanyl 25 μg before bolus intravenous of fentanyl 2 μg/kgBW to reduce the incidence of fentanyl-induced cough (FIC). The patients were divided into two groups with simple randomized method. One group received normal saline 0,5 cc first and then fentanyl 25 μg/kgBW (group I). The other group received intravenous injection of 25 μg fentanyl followed by intravenous bolus of fentanyl 2 μg/kgBw (group II). The variables measured were cough incidence and cough degree which occurred after bolus of intravenous fentanyl 2 μg/kgBW. The result of this research described that even though giving pre-emptive intavenous fentanyl 25 μg, one minute before bolus intravenous fentanyl 2 μg/kgBW can reduce the FIC incidence from 40% to 15%, but was not statistically significant. The conclusion of this research is that the giving pre-emptive fentanyl 25 μg tend to decrease FIC incidence, even though the decrease is not statistically significant."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safroni
"ABSTRAK
Latar belakang. Fentanil merupakan analgetik opioid yang hampir selalu
digunakan sebagai co-induksi di ruang operasi. Namun penggunaan fentanil
intravena bisa menimbulkan batuk yang dikenal juga dengan istilah fentanylinduced
cough (FIC). Batuk merupakan hal yang tidak diinginkan pada saat
induksi karena bisa menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, tekanan
intraokular dan tekanan intraabdominal. Kejadian FIC salah satunya dihubungkan
dengan kecepatan penyuntikan fentanil. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan kecepatan penyuntikan fentanil 5 detik dan 20 detik terhadap
angka kejadian dan derajat FIC pada pasien ras Melayu yang menjalani anestesia
umum di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda terhadap pasien
ras Melayu yang menjalani operasi dengan anestesia umum di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo pada bulan April sampai Juni 2015. Sebanyak 124 subyek
diambil dengan metode consecutive sampling dan dibagi ke dalam 2 kelompok
(kelompok kecepatan 5 detik dan kecepatan 20 detik). Pasien secara random
diberikan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi dengan kecepatan penyuntikan
5 detik atau 20 detik. Insiden dan derajat FIC dicatat pada masing-masing
kelompok. Derajat FIC dibagi berdasarkan jumlah batuk yang terjadi, yaitu ringan
(1-2 kali), sedang (3-5 kali) dan berat( >5 kali). Analisis data dilakukan dengan uji
Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov sebagai uji alternatif.
Hasil. Insiden FIC berbeda bermakna diantara 2 kelompok, dimana lebih rendah
pada kelompok 20 detik dibandingkan kelompok 5 detik, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). Derajat FIC secara klinis lebih rendah pada kelompok 20 detik (ringan
4.84%, sedang 3.23% dan berat 0%) dibandingkan kelompok 5 detik (ringan
20.96%, sedang 3.23% dan berat 4.84%), namun secara statistik tidak berbeda
bermakna (p=0.131).
Simpulan. Insiden dan derajat FIC lebih rendah pada kelompok 20 detik
dibandingkan kelompok 5 detik pada penggunaan fentanil 2 mcg/kg bb sebagai co-induksi.

ABSTRACT
Background. Fentanyl, a analgesic opioid, commonly used by anaesthesiologists
in the operating room as co-induction. However, co-induction intravenous
fentanyl bolus is associated with coughing that known as fentanyl-induced cough
(FIC). Coughing during anesthesia induction is undesirable and is associated
with increased intracranial, intraocular, and intraabdominal pressures. Incidence
of FIC associated with injection rate of fentanyl. The aim of this study to compare
injection rate of fentanyl between 5 seconds and 20 seconds to incidence and
severity of FIC at Melayu race patients that underwent general anesthesia in
Cipto Mangunkusumo hospital.
Methods. This was a double blind randomized study at Melayu race patients that
underwent scheduled operation in general anesthesia at Cipto Mangunkusumo
hospital between April and June 2015. A total of 124 subjects were included in the
study by consecutive sampling and divided to 2 groups (5 seconds or 20 seconds
group). Patients were randomized to receive co-induction fentanyl 2 mcg/kg body
weight with rate of injection either 5 second or 20 seconds. The incidence and
severity of FIC were recorded in each group. Based on the number of coughs
observed, cough severity was graded as mild (1?2),moderate (3?5), or severe
(>5) . Data were analyzed by Chi-square and Kolmogorov-Smirnov test.
Results. Incidence of FIC was significantly different between two groups, lower in
the 20 seconds group compared with the 5 seconds group, 8.07% vs 29.03%
(p=0.003). The severity of FIC in clinically was lowerin the 20 seconds group
(mild 4.84%, moderate 3.23% and severe 0%) compared with the 5 seconds group
(mild 20.96%, moderate 3.23% and severe 4.84%)but in statistically was not
different significantly (p=0.131).
Conclusion. Incidence and severity of FIC was lower in the20 seconds group
compared with the 5 seconds group in regimen of fentanyl injection 2 mcg/kg body weight as co-induction.
"
2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wulung, Navy Gerard Humphrey Matasak Lolong
"Latar belakang : Suatu penelitian menyatakan bahwa penambahan klonidin 45 pg pada bupivakain plus fentanil intratekal menurunkan tekanan darah dan tidak menambah durasi analgesia persalinan. Penelitian lainnya menyatakan bahwa penambahan bupivakain hiperbarik segera setelah fentanil intratekal dapat meningkatkan durasi analgesia. Kami membandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg hiperbarik dengan penambahan klonidin 45 μg pada campuran bupivakain 2,5 mg 0,1 % dan fentanil 25 μg.
Metode : Sebanyak 34 ibu bersalin dengan pembukaan serviks z3 sm dirandomisasi ke dalam 2 grup. Grup pertama menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 pg diikuti oleh bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik (grup BH, n=17). Grup kontrol menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% plus fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg diikuti oleh NaCl 0,9% (grup K, n=17). Dari posisi duduk saat penyuntikan obat, pasien dibaringkan dengan posisi 30° sepanjang sisa persalinan. Dilakukan pencatatan durasi analgesia, skor VAPS, skor Bromage, efek samping, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR dan tingkat kepuasan ibu bersalin.
Hasil : Ibu bersalin dalam grup K memiliki durasi analgesia yang lebih lama (Tara-rata 168 menit, kisaran 140-240 menit) daripada ibu bersalin dalam grup BH (rata-rata 126 menit, kisaran 105-150 menit) (p<0,001). Grup BH juga memiliki lebih banyak ibu bersalin yang mengalami blok motorik (p=0,003). Efek samping lainnya seimbang di antara kedua grup, dengan catatan bahwa tidak ada kejadian mual-muntah pada kedua grup, dan hanya 1 kejadian hipotensi pada grip BH.
Kesimpulan : Penambahan klonidin 45 μg pada bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg menghasilkan durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik segera setelah bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg.

Background : One study reported that the addition of clonidine 45 pg to intrathecal bupivacaine and fentanyl reduced blood pressure and did not increase the duration of analgesia. In another study, the addition of hyperbaric bupivacaine right after intrathecal fentanyl increased the duration of analgesia. We compared the duration of analgesia of intrathecal hyperbaric bupivacaine 2,5 mg right after intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1 % and fentanyl 25 μg with that of intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg.
Method : Thirty-four parturients with a cervical dilation 3 cm were randomized into 2 groups. The first group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg which followed immediately by hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% (group BH, n=17). The second group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg followed immediately by NaCl 0,9% 0,5 ml (group K, n=17). After the administration of the drugs, the position of the patient was changed from sifting to supine with 30° elevation of torso. We collected the data of duration of analgesia, VAPS score, Bromage score, other side effect, duration of labor, type of labor, APGAR score and the maternal satisfaction.
Results : The duration of analgesia of group K (mean 168 minutes, range 140-240 minutes) is longer than group BH (mean 126 minutes, range 105-150 minutes) (p<0,001). There was more patient with motoric block in group BH than in group K (p=0,003). The other side effects are equal ini both groups. We noted that there was no nauseaNomiting in both group, and there was only one patient BH got hypotension which treated easily.
Conclusion : The addition of clonidine 45 μg to intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 pg results in longer duration of analgesia compared with the addition of hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% right after bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhanny Adhitya
"LATAR BELAKANG : Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) adalah salah satu terapi batu ginjal dan batu ureter yang minimal-invasif. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo anestesia spinal merupakan pilihan anestesia utama untuk PCNL, namun regimen anestesia spinal yang digunakan masih bervariasi, dan kejadian hipotensi masih cukup besar. Penelitian ini membandingkan angka kejadian hipotensi pada PCNL dengan anestesia spinal antara dua regimen, yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg.
METODOLOGI: Dua puluh dua pasien PCNL dewasa, ASA I-III, tanpa kelainan kardiovaskuler, dirandomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg ditambah fentanil 25 mcg dan kelompok II yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 15 mg ditambah fentanil 25 mcg. Anestesia spinal dilakukan dalam posisi duduk, pungsi di L3-4/L4-5, kemudian pasien telentang lalu derajat blok sensorik dan motorik dinilai. Sebelum pasien pasien diposisikan prone, derajat blok sensorik dan motorik dinilai lagi. Tekanan darah diperiksa pada menit ke-3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, dan 60 setelah injeksi obat spinal.
HASIL: Angka kejadian hipotensi pada kelompok I adalah 33% sedangkan pada kelompok II 60% (p=0,391). Tidak terdapat perbedaan profil blok sensorik dan motorik pada kedua kelompok. Satu pasien di kelompok II memerlukan tambahan fentanil intravena 100 mcg pada menit ke-70.
SIMPULAN : Angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian tidak berbeda bermakna.

BACKGROUND: Percutaneous nephrolithotomy (PCNL) is a minimally-invasive therapy for treatment of upper ureteral and renal stones. In Cipto Mangunkusumo Hospital, spinal anesthesia is the major option of anesthesia for PCNL, but spinal anesthesia regimens used are still varied, and the incidence of hypotension is still quite large. This study compared the incidence of hypotension in the PCNL with spinal anesthesia between the two regimens, 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg versus 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg.
METHODOLOGY: Twenty-two adult PCNL patients, ASA I-III, without cardiovascular abnormalities, were randomized into group I, which received 0.5% hyperbaric bupivacaine 12.5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II received 0.5% hyperbaric bupivacaine 15 mg plus fentanyl 25 mcg. Spinal anesthesia performed in sitting position, puncture in L3-4/L4-5, then the patient were positioned supine and the degree of sensory and motor block were assessed. Before the patient were positioned prone, the degree of sensory and motor block were assessed again. Blood pressure checked at minute 3, 6, 9, 12, 15, 20, 30, 40, 50, and 60 after injection of spinal regiments.
RESULTS: The incidence of hypotension in group I was 33% and in group II was 60% (p = 0.391). There were no differences in sensory and motor block profiles in both groups. One patient in group II requires additional intravenous fentanyl 100 mcg in the 70th minute.
CONCLUSION: The incidence of hypotension in both groups of study subjects did not differ significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Listyo Lindawati Julia
"LATAR BELAKANG : Hipotensi akibat anestesia spinal pada pasien yang menjalani bedah caesar berbahaya bagi ibu dan janinnya. Sehingga, kombinasi anestetik lokal dosis rendah dengan opioid yaitu bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg dan 6 mg ditambah fentanil 25 mcg diharapkan dapat menurunkan angka kejadian hipotensi dengan kualitas analgesia yang adekuat untuk memfasilitasi bedah caesar.
METODE : 394 pasien hamil aterm usia 20 ? 40 tahun yang akan menjalani bedah caesar, baik cito maupun elektif ASA I ? II,yang sesuai dengan kriteria inklusi.Randomisasi menjadi kelompok I yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 mcg serta kelompok II (kontrol) yang mendapat bupivakain 0,5% hiperbarik 6 mg ditambah fentanil 25 mcg.Posisi pasien pada kedua kelompok sama yaitu posisi lateral dengan pungsi lumbal setinggi L3-4/L4-5.Total volume 1,7cc disun tikkan dengan kecepatan 0,2 cc/detik.Kemudian telentang dengan posisi left lateral tilt. Dilakukan pencatatan tekanan darah pada menit ke - 3,6,,9,12,15,20,30,40,50,60 setelah disuntikkannya obat anestetik lokal ke ruang subaraknoid.
HASIL : Terdapat 3 subyek penelitian yang dikeluarkan pada kelompok I, karena dikonversi menjadi anestesia umum . Terdapat 2 subyek penelitian pada kelompok II yang mendapatkan fentanil 100 mcg intravena. Angka kejadian hipotensi pada kelompok I 9,3% dan pada kelompok II adalah 12,2%.
KESIMPULAN : Tidak terdapat perbedaan yang bermakna mengenai angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok subyek penelitian.

BACKGROUND: Hypotension due to spinal anesthesia in patients undergoing cesarean section is dangerous for both mother and fetus. So with a combination of low doses of local anesthetics 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg and 6 mg plus fentanyl 25 mcg is expected to reduce the incidence of hypotension with adequate quality of analgesia to facilitate cesarean section.
METHODS: 394 pregnant patients at term age 20-40 years undergo caesarean section, either cito and elective ASA I - II, in accordance with the criteria I inclusion. Randomization into groups that received 0.5% hyperbaric bupivacaine 5 mg plus fentanyl 25 mcg and group II (controls) who received 0.5% hyperbaric bupivacaine 6 mg plus fentanyl 25 mcg.Posisi patients in both groups were the same, namely the lateral position with the highest lumbar puncture L3-4/L4-5.Total injected volume is 1.7 cc with speed of injection 0.2 ml / second. Then move patient to supine position with left lateral tilt. Do blood pressure recording in minute - 3.6,9,12,15,20,30,40,50,60 after injection of local anesthetic drugs into the subarachnoid space.
RESULTS: There were three subjects that excluded subjects in group I, because converted to general anesthesia. There are two subjects in group II who received fentanyl 100 mcg intravenously. The incidence of hypotension in group I and 9.3% in group II was 12.2%.
CONCLUSION: There was no significant difference in the incidence of hypotension in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Veronica Juliet Marintan
"Latarbelakang: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) memerlukan sedasi dalam dan analgesia yang baik.Propofol sebagai agen sedatif pilihan bila dikombinasikan dengan opioid seperti fentanyl serta posisi tengkurap, menyebabkan angka kejadian efek samping terutama desaturasi oksigen yang tinggi. Tujuan: Membandingkan efek samping intrasedasi selama prosedur ERCP, menggunakan TCI Propofol kombinasi sufentanil bolus dibandingkan dengan TCI Propofol kombinasi fentanyl bolus.
Metode: 36 pasien ERCP dengan usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2, status fisik ASA 1-3 dirandomisasi. Satu kelompok mendapatkan bolus sufentanil 0,2 mcg/kgBB, kelompok lainnya mendapatkan bolus fentanyl 1,5 mcg/kgBB. Kedua kelompok diberikan TCI propofol rumusan Schneider dengan target Ce dimulai dari 2 mcg/ml sampai Ce maksimal 4 mcg/ml hingga tercapai nilai IOC 45-60. Dilakukan pencatatan kejadian desaturasi oksigen dan hipotensi, serta kebutuhan dosis propofol selama prosedur dan waktu discharge.
Hasil: Angka kejadian desaturasi oksigen pada kelompok sufentanil TCI propofol (11,1%), lebih rendah dibandingkan dengan kelompok fentanyl TCI propofol (55,6%) dengan nilai p<0,05. Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada angka kejadian hipotensi dan kebutuhan dosis propofol. Waktu discharge kelompok sufentanil TCI propofol lebih cepat dibandingkan kelompok fentanyl TCI Propofol.
Simpulan: Sufentanil lebih efektif dibandingkan dengan fentanyl dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi terutama desaturasi oksigen pada prosedur ERCP.

Background: Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) needs deep sedation and good analgesia. Propofol as a sedative agent of choice, if combined with opioid such as fentanyl and prone position, causes quite high intrasedation adverse events especially oxygen desaturation.
Methods: 36 patients undergoing ERCP aged 18-65 years old, BMI 18-30 kg/m2, ASA 1-3 were randomized. First group received sufentanil bolus (0,2 mcg/kgBW), second group received fentanyl bolus (1,5 mcg/kgBW). Propofol TCI initiated in both groups with Schneider model and targeted the initial Ce was 2 mcg/ml until Ce maximum 4 mcg/ml, reached IOC value between 45-60 which would be maintained. Any oxygen desaturation and hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time were recorded.
Results: Oxygen desaturation event in sufentanil TCI propofol group (11.1%) was lower than fentanyl TCI propofol group (55.6%) with p value <0.05. There were no significant differences in hypotension event rate and propofol dosage requirement. Discharge time in sufentanil TCI propofol group was lower than fentanyl TCI propofol group.
Conclusion: Sufentanil was more effective than fentanyl in reducing intrasedation adverse events especially oxygen desaturation in ERCP procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Sanjaya
"LATAR BELAKANG: Sedasi dan analgesia yang baik diperlukan dalam prosedur Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP). Spektrum terapeutik propofol sebagai agen sedatif pilihan yang sempit bila dikombinasikan dengan opioid seperti fentanyl menyebabkan angka kejadian efek samping akibat sedasi terutama desaturasi oksigen yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan membandingkan efek ketamin (0,2 mg/kgBB) dengan fentanyl (1,5 mcg/kgBB) sebagai ajuvan propofol dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi, serta mengetahui waktu discharge dan kebutuhan dosis propofol pada ERCP.
METODE: 36 pasien ERCP dengan usia 18-65 tahun, IMT 18-30 kg/m2 dan status fisik ASA 1-3 dirandomisasi. Satu kelompok (18 pasien) mendapatkan bolus ketamin 0,2 mg/kgBB, kelompok lainnya (18 pasien) mendapatkan bolus fentanyl 1,5 mcg/kgBB. Kedua kelompok selanjutnya menggunakan TCI propofol rumusan Schneider dengan target konsentrasi efek (Ce). Target Ce dimulai dari 2 mcg/ml dinaikkan 1 mcg/ml setiap menitnya (Ce maksimal 4 mcg/ml) hingga tercapai nilai IOC 45-60 yang dipertahankan selama prosedur berlangsung. Dilakukan pencatatan ada tidaknya kejadian desaturasi oksigen dan hipotensi, serta kebutuhan dosis propofol selama prosedur dan waktu discharge.
HASIL: Angka kejadian desaturasi oksigen pada kelompok ketamin-TCI propofol (11,1%) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok fentanyl-TCI propofol (55,6%) dan secara statistik bermakna (p<0,05). Sementara tidak ditemukan perbedaan bermakna pada angka kejadian hipotensi, kebutuhan dosis propofol dan waktu discharge antara kedua kelompok perlakuan.
SIMPULAN: Ketamin (0,2 mg/kgBB) lebih efektif dibandingkan dengan fentanyl (1,5 mcg/kgBB) dalam mengurangi angka kejadian efek samping intrasedasi terutama desaturasi oksigen pada prosedur ERCP.

BACKGROUND: Appropriate sedation and analgesia are needed in Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) procedures. The narrow therapeutic spectrum of propofol as a sedative agent if combined with opioid such as fentanyl causes quite high intrasedation events especially oxygen desaturation. This study aims to compare the effect of ketamine (0,2 mg/kgBW) and fentanyl (1,5 mcg/kgBW) as an adjuvant of propofol in reducing intrasedation adverse events, also to measure discharge time and propofol dosage requirement in ERCP procedures.
METHODS: 36 patients undergoing ERCP aged 18-65 years old, BMI 18-30 kg/m2 and ASA physical status 1-3 were randomized. First group (18 patients) received ketamine bolus (0,2 mg/kgBW), second group (18 patients) received fentanyl bolus (1,5 mcg/kgBW). Propofol TCI was then initiated in both groups with Schneider pharmacokinetic model and targeted effect concentration (Ce). The initial effect concentration was 2 mcg/ml increased by 1 mcg/ml every minute (Ce maximum 4 mcg/ml) until IOC value between 45-60 which would be maintained during the procedure. Any oxygen desaturation and hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time were recorded.
RESULTS: Oxygen desaturation event in ketamine-propofol TCI group (11.1%) was lower than fentanyl-propofol TCI group (55.6%) and this was statistically significant (p<0.05). While there were no significant differences in hypotension event, propofol dosage requirement and discharge time in both groups.
CONCLUSION: Ketamine (0,2 mg/kgBW) was more effective than fentanyl (1,5 mcg/kgBW) in reducing intrasedation adverse events especially oxygen desaturation in ERCP procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ambo Sumange
"Latar Belakang: Brakiterapi merupakan modalitas tata laksana kanker serviks dengan radiasi yang dilakukan pada tumor yang besar pada saat akhir atau bersamaan dengan kemoradioterapi. Anestesia spinal merupakan prosedur anestesi yang umum dilakukan pada prosedur rawat jalan brakiterapi intrakaviter untuk kanker serviks. Pemilihan obat yang memiliki waktu kesiapan pulang yang lebih cepat diharapkan dapat membuat pasien pulang lebih cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu kesiapan pulang pasca anestesia spinal dengan bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis acak yang tersamar tunggal yang dilaksanakan pada unit radiologi RSCM. Pada penelitian ini, terdapat 48 orang subyek penelitian yang akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg. Pengukuran waktu kesiapan pulang pada kedua kelompok dilakukan dengan menggunakan Modified PADSS score. Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menggunakan bromage score.
Hasil: Variabel usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh (IMT), dan skor ASA tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Median waktu pulih pada kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dan kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg adalah 60 (30 – 120) menit dan 90 (60-120) menit (p<0,001) sedangkan rata-rata waktu kesiapan pulang adalah 130,00 ± 22,84 menit dan 170,00 ± 22,84 menit (p<0,001). Efek samping hipotensi pasca anestesia hanya ditemukan pada 1 pasien (4,2%) yang mendapatkan bupivakain.
Kesimpulan: Waktu kesiapan pulang, waktu pulih pasca anestesia spinal pada kelompok bupivakain 2,5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakiterapi intrakaviter rawat jalan.

Background: Brachytherapy is a treatment modality for cervical cancer in which radiation is applied to large tumors at the end or at the same time with the chemoradiotherapy. Spinal anesthesia is an anesthesia procedure commonly performed in outpatient intracavitary brachytherapy for cervical cancer. The selection of drugs with earlier time to readiness for discharge is expected to make patients go home earlier. This study measures the time to readiness for discharge of after spinal anesthesia using 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl in brachytherapy outpatient clinic.
Methods: This was a single-blind randomized controlled trial study conducted at radiotherapy unit Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021. There were 48 patients divided into two groups: 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl. Time to readiness for discharge was measured using Modified PADSS score. Recovery time was measured using Bromage score.
Results: Age, body weight, body mass index (BMI), and ASA score were not significantly different between the two groups. Median of recovery time in 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl group and 5 mg hyperbaric levobupivacaine + 25 mcg fentanyl group were 60 (30 – 120) minutes and 90 (60- 120) minutes, respectively (p<0,001) while mean of time to readiness for discharge were 130,00 ± 22,84 minutes and 170,00 ± 22,84 minutes, respectively (p<0,001). Hypotension side effect of spinal anesthesia was only found in 1 patient (4,2%) in bupivacaine group.
Conclusion: Time to readiness for discharge and recovery time after spinal anesthesia using 2,5 mg hyperbaric bupivacaine + 25 mcg fentanyl was shorter than 5 mg hyperbaric levobupivacaine+ 25 mcg fentanyl in intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fahmi Agnesha
"Latar Belakang : Brakhiterapi intrakaviter merupakan terapi keganasan pada stadium lanjut yang sering digunakan pada bidang ginekologi. Pasien brakhiterapi pada umumnya dilakukan dengan pelayanan rawat jalan sehingga anestesia yang menjadi pilihan selama ini adalah anestesia spinal.Pemilihan obat yang memiliki waktu pulih anestesia spinal yang lebih cepat membuat pasien dapat pulang kerumah lebih cepat. Penelitian ini mencoba mengetahui waktu pulih anestesia spinal levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dan uji klinik acak tersamar ganda yang akan dilaksanakan di unit radioterapi RSCM pada bulan Oktober 2015. Sebanyak 60 orang subyek penelitian akan dibagi menjadi dua kelompok perlakuan yaitu levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (LV) dan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg (BV) untuk menilai waktu pulih anestesia spinal antara kedua kelompok perlakuan tersebut.
Hasil : Pengukuran waktu pulih dilakukan dengan menilai waktu kesiapan pulang pasien, waktu ambulasi dan waktu pasien dapat miksi spontan. Pada variabel waktu ambulasi, miksi spontan, dan waktu kesiapan pulang didapatkan hasil berbeda bermakna (p < 0,05).
Simpulan : Waktu pulih anestesia spinal, waktu ambulasi dan waktu miksi pada kelompok levobupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg lebih cepat jika dibandingkan dengan bupivakain 5 mg hiperbarik + fentanil 25 mcg pada brakhiterapi intrakaviter rawat jalan.

Introduction : Intracavitary brachytherapy is one of advanced stage cervical cancer modality treatment. These patients were treated as outpatient clinic fashion and the chosen anesthesia was spinal anesthesia. The regimens of spinal anesthesia will influenced the recovery time. The aim of the study is to compare the recovery time between two spinal anesthesia regimens Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl for brachytherapy outpatient clinic patient.
Method: This is a double blind randomized control trial study. The study was taken place at radiotherapy unit RSCM at October 2015. There were 60 patients that divided into two groups Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group and 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group. These two groups will be measured for spinal anesthesia recovery time.
Result : The spinal anesthesia recovery time measured by discharged readiness time, ambulation time, spontaneous micturition time. From the result of the study all of these three variables were significantly different between these two group regimens (P< 0,05).
Conclusion : spinal anesthesia recovery time, ambulation time, spontaneous micturition time of Levobupivacaine + 25 mcg Fentanyl group were faster than 5 mgs Hyperbaric Bupivacaine+ 25 mcg Fentanyl group at intracavitary brachytherapy outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T55725
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Nurkacan
"Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian ajuvan fentanyl atau sufentanil intratekal mencegah menggigil pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal.
Metode: Uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal. Pasien dibagi dalam dua kelompok. Kelompok I, diberikan ajuvan fentanyl 25 mcg pada 10 mg bupivacain hiperbarik 0,5%. Kelompok II, diberikan ajuvan sufentanil 2,5 mcg pada 10 mg bupivacain hiperbarik 0,5%. Dilakukan pengamatan derajat menggigil, pemgukuran suhu membran timpani, parameter hemodinamik setiap interval 5 menit sampai 120 menit.
Hasil: Penelitian dilakukan terhadap 188 pasien. Terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p<0,05) dalam insiden menggigil pada kedua kelompok. Kelompok I terdapat insiden menggigil 26,6%. Kelompok II terdapat insiden menggigil 12,8%.
Kesimpulan: Penambahan sufentanil 2,5 mcg intratekal pada anestesia spinal menggunakan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg lebih efektif menurunkan insiden menggigil dibandingkan dengan penambahan fentanyl 25 mcg intratekal pada wanita hamil yang menjalani seksio sesarea dengan anestesia spinal.

Background: The aim of this study is to know the effectiveness fentanyl 25 mcg or sufentanil 2,5 mcg intrathecal to prevent incidence of shivering in pregnant women who undergoing cesarean section with spinal anesthesia.
Methods: In a randomized clinical trial, pregnant women undergoing cesarean section under spinal anesthesia were enrolled. Patients were randomly assigned to two groups. In group I, 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacaine combined with fentanyl 25 mcg were administered. In group II, 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacaine combined with sufentanil 2,5 mcg were administered. The degree of shivering were observed, tympanic temperature, hemodynamic parameter were recorded at 5 minutes interval until 120 minutes.
Results: The sample consisted of 188 patients. There was significant difference (p<0,05) incidence of shivering between two groups. In group I, the incidence of shivering was 26,6% and in groups II was 12,8%.
Conclusions: The addition of 2,5 mcg sufentanil in 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacain intratechally was more effective reduce the incidence of shivering than 25 mcg fentanyl in 10 mg of 0,5% hyperbaric bupivacain in pregnant women who undergoing cesarean section with spinal anesthesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>