Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202629 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gabriel F. Goleng
"ABSTRAK
Latar Belakang. Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit inflamsi autoimun kronik. LES dapat bermanifestasi ke berbagai macam organ, antara lain kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf, dan organ lainnya. Secara potensial fatal atau mengancam jiwa. Neuropsikiatrik LES (NPLES) merupakan istilah untuk menggambarkan klinis gejala neurologis dan gejala psikiatrik yang terjadi pada 18-60% pasien yang terdiagnosis LES dan merupakan keadaan yang paling berat dari menifestasi Lupus. Kejadian penyakit pembuluh darah otak pada NPLES didapatkan sekitar 5-18% kasus LES.
Metode. Desain penelitian berupa studi potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien LES yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Subyek diperoleh secara consecutive sampling. Pada subyek dilakukan wawancara, pengisian kuisioner, pemeriksaan fisik dan carotid duplex dan TCD. Dilakukan analisis data menggunakan perangkat SPSS 17.0.
Hasil. Diperoleh 100 subyek pasien LES di RSCM. Prevalensi aterosklerosis pada pembuluh darah karotis komunis adalah 31% yang terdiri dari, hard plaque kanan 4%, soft plaque kanan 4%, penebalan intima media 20%, plaque dan penebalan intima media 3%, sedangkan pembuluh darah serebri media 25% yang terdiri dari stenosis pembuluh darah serebri media kanan 13%, serebri media kiri 8%, bilateral 4%.
Kesimpulan. Pada semua pasien LES dengan usia < 21-36+ tahun, penggunaan kortikosterosi, dan penyakit penyerta ditemukan adanya aterosklerosis pada pembuluh darah karotis komunis maupun pembuluh darah serebri media. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna.

ABSTRACT
Background. Systemic lupus erythematosus (SLE) is a chronic autoimmune inflammatory disease. Systemic lupus erythematosus (SLE) manifests into a variety organs, such as skin, joint, kidney, lung, nervous system and other organs. Potentially fatal or life-threatening. Neuropsychiatric SLE (NPSLE) is a term that is used to describe the clinical symptoms of neurological and psychiatric symptoms occur in 18-60% of patients diagnosed with SLE and under the most severe manifestation of lupus. The prevalence of cerebrovascular disease in NPSLE obtained approximately 5-18% of SLE cases..
Method. The design study is cross-sectional study. The subjects were patients who met the inclusion criteria of the study. Subjects obtained by consecutive sampling. All subjects was interviewed, filled questionnaires, underwent physical examination and Carotid Duplex and TCD examination. Data analysis were performed by using SPSS 17.0 software
Result. From 100 SLE patients on RSCM, the result showed that the prevalence of atherosclerosis on carotid communis artery was 31%, consists of 4% right hard plaque, 4% right soft plaque, 20% thickening of intima media, 3% plaque and thickening of intima media. Whereas the prevalence of atherosclerosis on cerebri media artery was 25%, consists of 13% stenosis of right cerebri media artery, 8% stenosis of left cerebri media artery, and 4% of bilateral stenosis.
Conclusion. In all SLE patient between the age below 21 years old to the age above 36 years old, with corticosteroid therapy and several manifestation of SLE, the result showed that there was no significal difference between the prevalence of atherosclerosis on carotid communis artery and cerebri media artery."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wicaksono Narendro Utomo
"Latar Belakang : Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi luas yang melibatkan hampir seluruh sistem organ. Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun. Manifestasi klinik LES beragam tergantung organ yang terlibat. Risiko kematian pada pasien LES meningkat apabila tidak terdiagnosis dan tidak ditangani secara tepat.
Tujuan : Mengetahui kesintasan pasien LES di RSCM beserta faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan menggunakan data rekam medis dari pasien yang terdiagnosis LES pertama kali pada tahun 2014-2019 di RSCM. Dilakukan analisis survival terhadap usia, jenis kelamin, anemia hemolitik, trombositopenia, NPSLE, anti ds-DNA tinggi, C3 dan C4 rendah, penggunaan
glukokortikoid dosis tinggi, limfopenia, Anti Cardiolipin Antibody ( ACA ) positif, penyakit kardiovaskular, dan nefritis lupus. Dilakukan analisis multivariat dengan cox regression.
Hasil: Terdapat 448 subjek yang diteliti. Kesintasan lima tahun pasien LES di RSCM adalah 88%. Rerata kesintasan 56 bulan (IK95% 55-57). Pada analisis multivariat, ditemukan bahwa NPSLE [HR 3,595 (IK95% 1,932-6,688)], kadar C3 dan C4 rendah [HR 2,501 (IK95% 1,330-4,701)], penyakit kardiovaskuler [HR 2,851 (IK95% 1,198-6,787)], dan anemia hemolitik [HR 2,106 (IK95% 1,008-4,404)] berpengaruh signifikan terhadap kesintasan 5 tahun pasien LES.
Kesimpulan: Kesintasan kumulatif 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dengan neuropsikiatri lupus (NPSLE), kadar C3 dan C4 rendah, penyakit kardiovaskuler, dan anemia hemolitik berpengaruh signifikan terhadap kesintasan pasien LES di RSCM.

Background : Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is an autoimmune rheumatic disease characterized by widespread inflammation involving almost all organ systems. This disease attacks young women with a peak incidence aged 15-40 years. The clinical manifestations of SLE vary depending on the organs involved. The risk of death in SLE patients increases if it is not diagnosed and treated appropriately.
Objective : knowing the survival of SLE patients at RSCM along with the factors that influence survival.
Methods : This study is a retrospective cohort study using medical record data from patients diagnosed with SLE for the first time in 2014-2019 at RSCM. Survival analysis was carried out on age, gender, hemolytic anemia, trombocytopenia, NPSLE, high anti ds-DNA, low C3 and C4, use of high doses of glucocorticoids, lymphopenia, positive Anti-Cardiolipin Antibody (ACA), cardiovascular disease, and lupus nephritis. Multivariate analysis with cox
regression was carried out.
Results : There were 448 subjects studied. The 5 year survival of SLE patients at RSCM is 88%. Mean survival time 56 months (95%CI 55-57). In the multivariate analysis, it was found that NPSLE [HR 3,595 (95%CI 1,932-6,688)], low C3 dan C4 [HR 2,501 (95%CI 1,330-4,701)], cardiovascular disease [HR 2,851 (95% CI 1,198-6,787 )], dan hemolytic anemia [HR 2,106 (95% CI 1,008-4,404)] had a significant effect on 5 year SLE survival.
Conclusion : The 5 year survival cumulative of SLE patients at RSCM is 88% with neuropsychiatric lupus (NPSLE), low C3 dan C4, cardiovascular disease, dan hemolytic anemia have a significant effect on the survival of SLE patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mala Hayati
"Latar Belakang: Anti dsDNA merupakan salah satu faktor risiko aterosklerosis yang berasal dari LES dan belum ada penelitian yang melihat hubungan antara kadar anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunik intima-media arteri karotis.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang, melibatkan 84 pasien LES dengan kriteria inklusi adalah pasie LES yang memenuhi kriteria diagnosis sesuai dengan ACR 1997 atau SLICC 2012, dan kriteria eksklusi adalah bila terdapat variasi anatomi pembuluh darah yang tidak dapat dilakukan pengukuran. Anti dsDNA diperiksa dengan menggunakan ELISA dan USG Doppler dilakukan pada pasien untuk mengukur ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis (max-IMT). Analisa statistik dilakukan dengan uji parametrik Pearson dan bila tidak memenuhi syarat dilakukan uji non parametrik Spearman.
Hasil: Delapan empat responden (82 perempuan dan 2 laki-laki) dilakukan analisa. Rerata usia pasien 35,5±8,9 tahun dengan 64,3% berusia di bawah 40 tahun, median anti dsDNA 38,9 IU/L(0,9 ? 750 IU/L) dan Median max-IMT adalah 581 μm (385-1800 μm). Terdapat 43 (51,2 %) pasien dengan ketebalan pada tunika intima-media arteri karotis, 36 (42,9%) pasien dengan ketebalan saja, 6 (7,1%) pasien dengan ketebalan pada tunika intimamedia dan plak dan 1 (1,2%) pasien dengan plak di near wall bulbus kiri tanpa disertai dengan ketebalan pada tunika intima-media. Plak terutama ditemukan pada bulbus karotis kanan dan kiri. Berdasarkan uji korelasi speraman's tidak terdapat korelasi antara ati dsDNA dengan ketebalan maksimal tunika intima media arteri karotis. (r = 0,073, p= 0,520).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara anti dsDNA dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis pada pasien LES.

Background: Anti dsDNA is considered as one of SLE-related risk factors for atherosclerosis. The evaluation of Carotid intimal-media thickness has recently became one of the surrogate markers for atherosclerosis. Until now, there hasn't been any study relate the level of anti dsDNA antibody with Carotid intimal-media thickness. This study is conducted to determine the correlation between anti dsDNA and Carotid intima-Media Thickness.
Methods: This is a cross sectional study, 84 SLE patients were included. Patients diagnosed as SLE according to ACR 1997 or SLICC 2012 criteria were included in the study, while SLE patients with anatomical variation which difficult to measured were excluded from this study. Doppler ultrasound was carried out for patients and max-IMT was measured. Anti dsDNA was measured with ELISA.
Study results: Eighty four subjects (82 female, 2 male) were included. Mean age was 35,5 ±8,9 years old, 64,3 % between 18-39 years old, median anti dsDNA level 38,9 IU/L (0,9 - 750 IU), and median max-IMT value was 581 μm. There were 43 (51,2 %) patients Carotid intima-media thickness, 36 (42,9%) patients with increased IMT only, 6 (7,1%) patients with increase IMT and Plaque, and 1 (1,2%) patient with plaque in near wall left bulbus without increased IMT. Based on spearman's correlation test there are no correlation between anti dsDNA and max-IMT (r=-0,073, p= 0,520).
Conclusion: There are no correlation between anti dsDNA level and Carotid intimal-media thickness this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Anindito
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Perkembangan dalam tatalaksana Lupus eritematosus sistemik (LES) telah meningkatkan
kesintasan pasien dengan LES. Kualitas hidup merupakan komponen evaluasi terapi LES dan
value based medicine. Salah satu kuesioner khusus untuk menilai kualitas hidup adalah
Lupus QoL. Saat ini di Indonesia belum ada kuesioner khusus penilaian kualitas hidup pada
pasien dengan LES. Penelitian ini bertujuan membuktikan Lupus QoL sahih dan andal dalam
menilai kualitas hidup pasien dengan LES di Indonesia.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Penelitian diawali dengan menerjemahkan
Lupus QoL ke dalam bahasa Indonesia kemudian diujicobakan pada 10 responden. Penelitian
kemudian dilanjutkan pada jumlah sampel yang lebih besar. Keandalan dievaluasi dengan
Intraclass Correlation Coefficient (ICC) pada tes dan tes ulang dan cronbach α pada
konsistensi internal. Kesahihan konstruksi dinilai dengan multi trait scaling analysis.
Kesahihan eksternal dinilai dengan menilai korelasi antara Short form 36 (SF36) dengan
Lupus QoL dan aktivitas penyakit.
Hasil:
Pengambilan data terhadap 65 pasien LES yang berobat di unit rawat jalan Ilmu Penyakit
Dalam RSCM selama bulan Oktober ? November 2015. Kesahihan eksternal Lupus QoL baik
dengan korelasi terhadap SF36 dengan r :0.38 ? 0.66 (p<0.05). Multi trait analysis scaling
menunjukkan korelasi yang baik antara nilai tiap domain dengan nilai total (r:0.46 ? 0.85)
dan antara skor tiap butir pertanyaan dan skor total domain (r:0.44 ? 0.93). Nilai ICC
(interval 7 hari) baik (ICC>0.7). Nilai cronbach α> 0.7 pada setiap domain. Korelasi Lupus
QoL terhadap aktivitas penyakit memiliki korelasi yang lemah dan tidak bermakna yang
sesuai dengan penelitian ? penelitian sebelumnya.
Simpulan:
Kuesioner Lupus QoL Indonesia sahih dan andal dalam menilai kualitas hidup pada pasien
dengan LES di Indonesia

ABSTRACT
Background:
The development in Systemic Lupus Erythematosus treatment has led into the increasment of survival.
Quality of life has become a component to evaluate therapy ini SLE and value based medicine. One
spesific questionnaire to asses quality of life is Lupus Quality of Life (Lupus QoL). Currently in
Indonesia there has not been spesific questionnaire to asses quality of life in SLE patients. This study
aims to prove that Lupus QoL is valid and reliable to asses the quality of life in SLE patients in
Indonesia.
Methods:
This study is cross sectional study. This study began with the translation the Lupus QoL into
indonesian language then tested in 10 respondents. After that,this study continued with a larger
sample size. The intraclass coefficient correlation was used to evaluate test and re test reliability, the
cronbach alpha was used to evaluate internal consistency. Construct validity evaluated using multi
trait scaling analysis and the extrenal validity evaluated using the correlation between domains in
short form 36 (SF 36) with Lupus QoL and with disease activity. Results:Data collection were done
on 65 SLE patients in Oktober ? November 2015 in RSCM. The external validity with SF 36 was good
with r:0.38-0.66(p<0.05). The construct validity is good with r > 0.4 (0.44 ? 0.93). The ICC value in
one week >0.7 and Cronbach α was >0.7 in each domain. The correlation with disease activity was
weak and consistent with another studies.
Conclusion:
Lupus QoL questionnaire is valid and reliable to asses quality of life in SLE patients in Indonesia."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maula N. Gaharu
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk menilai pemanjangan Iatensi Event-Related Potential P300 auditorik pada
penderita lupus eritematosus sistemik (LES) berdasarkan beberapa variabel seperti umur, durasi penggunaan steroid, aktifitas penyakit dan depresi.
Metode: Penelitian potong lintang pada populasi penderita LES yang terdaftar di Yayasan Lupus Indonesia dan berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (Jabodetabek) serta memenuhi kriteria inlusi.
Hasil: Didapatkan 55 penderita LES dan terutama perempuan kelompok usia 30-40 tahun (rerata 33,54 SD 8.41). Abnormalitas latensi P300 didapatkan pada 32 orang (58.2%) dan terdapat kemaknaan berdasarkan umur (p=0.000), aktifitas penyakit (p=0.015) dan fungsi kognitif (p=0.020). Kelompok usia muda dan derajat aktifitas penyakit pada analisa multivariat merupakan penentu abnormlitas latensi P300. Komponen gelombang lain seperti P200, N200 and P200 daiam batas normal baik latensi dan amplitudo.
Kesimpulan: P300 dapat digunakan untuk evaluasi aspek kognitif sebagai manifestasi sistim saraf pusat pada penderita LES."
2007
T21340
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Azizah
"Keikutsertaan peran keluarga dalam penatalaksanaan medis pada penderita Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) menjadi indikator penting dalam mempertahankan kualitas hidup yang baik untuk mencegah terjadinya eksaserbasi. Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak yang menderita SLE, dan menyiapkan keluarga serta merawat anggota keluarga dengan SLE. Discharge planning sebagai salah satu bagian dari intervensi keperawatan untuk mempertahankan kontinuitas perawatan yang komprehensif dan aplikatif bagi perawat dan keluarga. Discharge planning memberikan dampak yang positif, yaitu dapat memastikan dengan aman kapan pasien siap untuk dipulangkan. Hasil karya ilmiah ini menyarankan instansi pelayanan dapat menjadikan discharge planning sebagai bagian dari proses keperawatan terintegrasi khususnya pada pasien dengan penyakit kronik.

Family role of medical management in patients with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) to be an important indicator in maintaining a good quality of life to prevent exacerbations. The purpose of this papers is intended to provide an overview of nursing care to children with SLE, and set up a family in caring for family members with SLE. Discharge planning as a part of nursing interventions to maintain continuity and comprehensive care applicable to nurses and families. Discharge planning have a positive impact, can ensure the safety when the patient is ready to be discharged. The results suggest that health care providers can make discharge planning as a part of an integrated nursing process especially in patients with chronic disease.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahya Dewi Satria
"Latar belakang: Lupus eritrematosus sistemik (LES) adalah penyakit yang kompleks dengan manifestasi yang bervariasi. Interleukin-6 (IL-6) merupakan sitokin pleitropik yang mempunyai aktivitas biologis dengan rentang luas yang berperan penting pada regulasi imun dan inflamasi. Saat ini belum ada biomarker yang dapat membedakan kondisi remisi total dengan aktivitas penyakit ringan. Interleukin-6 diharapkan dapat digunakan sebagai parameter aktivitas penyakit terutama pada kasus-kasus dimana antara manifestasi klinis dan skor SLEDAI tidak sesuai yaitu pada pasien LES dengan aktivits ringan dan remisi total.
Tujuan: Mengetahui karakteristik IL-6 pada LES anak dengan berbagai aktivitas ringan dan remisi total.
Metode: Penelitian kasus kontrol dilakukan di poli rawat jalan Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta mulai Mei hingga Juni 2019. Pasien anak usia 1-18 tahun dengan diagnosis LES dinilai kadar IL-6 dan aktivitas penyakit yang dinilai dengan skor SLEDAI. Uji korelasi chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan luaran. Analisis data dilakukan dengan program SPSS for Window ver 20,0
Hasil: Dari 60 subjek penelitian yang terdiri dari 30 pasien LES aktivitas ringan dan 30 remisi total. tidak ada perbedaan kadar IL-6 tinggi pada kelompok kasus dibanding kelompok kontrol dengan p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628). Terdapat 2 subyek dengan kadar IL-6 tinggi menderita infeksi saluran kencing.
Simpulan: Tidak ada perbedaan aktivitas penyakit pada pasien LES anak dengan aktivitas ringan dibanding remisi total.

Background: Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a complex disease with various manifestations. Interleukin-6 (IL-6) is a pleiotropic cytokine with a wide range of biological activities that plays an important role in immune regulation and inflammation. Recently, there is no other biomarker that could differentiate total remission condition and mild disease activity in juvenile SLE. Interleukin-6 may be used as a parameter of disease activity, especially in the cases with different clinical manifestations and SLEDAI scores among SLE patients with mild activities and total remissions.
Aim: To indentify the characterictics of serum IL-6 concentration in juvenile systemic lupus erythematosus with mild activities and total remissions.
Methods: Case control study was performed at outpatient clinic of allergy-immunology, department of child health dr. Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta and dr. Sardjito hospital, Yogyakarta during May-June 2019. Serum IL-6 consentration and disease activity were assessed in all juvenile SLE patients aged 1-18 year. SLE disease activity was assessed with SLEDAI scores and serum level of IL-6 was measured by enzyme linked immunosorbent assay. Chi square correlation analysis was used to determine the correlation of serum IL-6 concentration with disease activity in juvenile SLE patients. Analyses of data were performed using the SPSS statistical software for windows version 20,0.
Results: Among 60 subjects included in this study, 30 subjects with mild activities in the case group and 30 subjects with total remissions in the control group. There was no differences of serum IL-6 concentration between case and control group (p=0,500, OR= 0,483 (95% IK: 0,041-5,628)). In this study, we found 2 subjects with urinary tract infection have high serum IL-6 concentration.
Conclusion: There was no differences of serum IL-6 concentration between juvenile SLE patients with mild activities compared with total remissions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57644
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oriana Zahira Putri
"Latar Belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun sistemik yang dapat melibatkan berbagai organ dan sistem tubuh. Pasien dengan LES tidak bisa disembuhkan, melainkan dikontrol dengan pendekatan terapi treat-to-target bertujuan mencapai low lupus disease activity state (LLDAS) atau remisi. Pemantauan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan sekali untuk menghindari kerusakan organ lebih lanjut. Metode: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien LES di RSCM. Didapatkan total 66 pasien yang telah berobat selama 6 bulan pada Mei 2021—Juni 2022. Respons yang dilihat yaitu status aktivitas penyakit berdasarkan skor SLEDAI-2K pada bulan pertama dan keenam serta luaran penyakit, meliputi remisi, perbaikan, persisten aktif, dan perburukan.
Hasil: Sebagian besar pasien LES adalah perempuan (95,5%), rerata usia 31,23 tahun, dan keterlibatan organ terbanyak muskuloskeletal (93,9%). Hidroksiklorokuin dan metilprednisolon merupakan terapi yang paling banyak didapatkan pasien. Setelah 6 bulan terapi, status aktivitas penyakit pasien membaik dengan luaran penyakit perbaikan (33,3%) dan remisi (10,6%).
Kesimpulan: Setelah menjalani pengobatan selama 6 bulan, status aktivitas penyakit pasien membaik dari kategori aktivitas penyakit sedang (37,9%) menjadi ringan (48,5%). Terdapat perbedaan yang bermakna signifikan secara statistik dan klinis antara skor SLEDAI-2K bulan pertama dengan bulan keenam (p = 0,000).

Introduction: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease that involve various organs and body systems. Patients with SLE cannot be cured, but rather controlled with a treat-to-target therapy approach aimed at achieving low lupus disease activity state (LLDAS) or remission. Monitoring is carried out regularly every 3- 6 months to avoid further organ damage.
Method: Observational analytical study with retrospective cohort design using database from medical records of SLE patients at RSCM. There were a total of 66 patients who had received treatment for 6 months in May 2021—June 2022. The interests were disease activity based on the SLEDAI-2K score in the first and sixth months as well as disease outcomes, such as remission, improvement, persistently active, and flare.
Results: Most SLE patients were women (95.5%), the average age was 31.23 years, and the most organ involvement was musculoskeletal (93.9%). Hydroxychloroquine and methylprednisolone are the most common therapy received by patients. After 6 months of therapy, the overall patient's disease activity status improved with an outcome of improvement (33.3%) and remission (10.6%).
Conclusion: After undergoing treatment for 6 months, the patient's disease activity status improved from moderate (37.9%) to mild (48.5%) disease activity category. There was a statistically and clinically significant difference between the SLEDAI-2K score for the first month and the sixth month (p = 0.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mir`Atul Ginayah
"Latar belakang: Gangguan Kognitif adalah salah satu manifestasi dari NPSLE. Pasien LES dengan gangguan kognitif telah dilaporkan memiliki dampak yang besar pada kualitas hidup dan berpengaruh besar pada peran sosial pasien LES.
Tujuan: Mengetahui prevalensi gangguan kognitif pada pasien LES dan hubungan gangguan kognitif dengan kualitas hidup pada pasien LES.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES di poliklinik rawat jalan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik pasien, hasil tes MoCA-Ina, LupusQol, dan HADS. Data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, penyakit komorbid, aktivitas penyakit, penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan lainnya, serta durasi penyakit. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji T independen jika data terdistribusi normal, jika data tidak terdistribusi normal maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan Uji Mann Whitney. Analisis multivariat regresi linier dilakukan untuk menilai pengaruh variabel perancu terhadap hubungan gangguan kognitif dengan kualitas hidup. Nilai p yang dianggap signifikan adalah <0,05.
Hasil: Dari 116 subjek, 112 (96,6%) adalah perempuan, dengan usia rerata (SB) 34,41 (10,15) tahun, memiliki tingkat pendidikan perguruan tinggi sebanyak 45 (38,8%). Durasi penyakit median (RIK) adalah 52 (16,75 - 109,5) bulan, dan yang memiliki komorbid sebanyak 41 (35,3%). Aktivitas penyakit berdasarkan penilaian Mex-SLEDAI adalah 2,75 (0-6), dengan keterlibatan organ terbanyak adalah mukokutaneus (90,5%) dan muskuloskeletal (91,4%). Sebagian besar pasien menggunakan kortikosteroid, sedangkan yang tidak menggunakan hanya 12 (10,3%) dan hidroksiklorokuin adalah penggunaan tertinggi sebesar 79 (68,1%). Depresi dan ansietas berdasarkan kuesioner HADS masing-masing 24 dan 44 subjek. Prevalensi gangguan kognitif pada pasien LES adalah 57,8%. Berdasarkan analisis bivariat dengan uji Mann Whitney, ditemukan bahwa kualitas hidup, yang dinilai dengan kuesioner LupusQoL, tidak berhubungan dengan gangguan kognitif. (p-value = 0,750).
Kesimpulan: Lebih dari separuh subjek mengalami gangguan kognitif. Tidak ada hubungan antara gangguan kognitif dan kualitas hidup pada pasien LES.

Background: Cognitive Impairment is one of the manifestations of NPSLE. SLE patients with cognitive impairment have been reported to have a major impact on quality of life and a major effect on the social role of SLE patients.
Objective: This study aimed to find out prevalence of cognitive impairment in SLE patients and the relationship between cognitive impairment and quality of life in SLE patients.
Method: This was a cross-sectional study of SLE patients from outpatient clinic Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Data collected were patient characteristics, MoCA-Ina, LupusQol, and HADS test results. Data on patient characteristics included age, gender, comorbid diseases, disease activity, use of corticosteroids and other immunosuppressants, and duration of disease. The analysis was carried out using the independent T test if the data was normally distributed, if the data was not normally distributed then a statistical test was carried out using the Mann Whitney Test. Linear regression multivariate analysis was performed to assess the effect of confounding variables on the relationship between cognitive impairment and quality of life. The p value that was considered significant was <0.05.
Result: Of the 116 subjects, 112 (96.6%) were female, with a mean age of 34.41 (10.15) years, had tertiary level of educations at 45(38.8%). The duration of illness was 52 (16.75-109.5) months with 41 (35.3%) had comorbidities. Their disease activity based on Mex-SLEDAI assessment was 2.75 (0-6), with the most organ involvement of the participants were mucocutaneous (90.5%) and musculoskeletal (91.4%). Most of the patients were using corticosteroid as their therapy, while those who did not use was only 12 (10.3%) and hydroxychloroquine was the highest usage among the participants 79 (68.1%). Depression and anxiety were assessed with HADS questionnaire were 24 and 44, respectively. The prevalence of cognitive impairment in SLE patients was 57.8%. Based on bivariate analysis with the Mann Whitney test, it was found that the quality of life, which was assessed by the Lupus QoL questionnaire, there was no relationship between cognitive impairment and quality of life in SLE patients (p-value= 0.750).
Conclusion: More than half of the subjects experienced cognitive impairment. There was no significant relationship between cognitive impairment and quality of life in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>