Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127874 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rizaldi
"Skripsi ini membahas mengenai penyelenggaraan transaksi e-commerce dalam lingkup Business to Consumer dan penyelesaian sengketanya melalui metode Online Dispute Resolution. Perkembangan teknologi membuat penyelenggaraan transaksi perdagangan semakin modern. Dengan menggunakan internet, setiap orang dapat bertransaksi secara bebas dan melewati batas-batas geografis. Namun demikian, pemanfaatan teknologi dalam transaksi e-commerce tetap memiliki resiko sengketa. Oleh karena itu, perlu ada mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat mengakomodir kepentingan para pihak dalam transaksi e-commerce. Kedudukan konsumen dalam transaksi e-commerce juga menjadi sangat penting karena konsumen memiliki kedudukanyang lemah dalam bertransaksi dengan pelaku usaha. Dengan demikian, penyelenggaraan transaksi e-commerce dan penyelesaian sengketanya juga harus mempertimbangkan upaya perlindungan terhadap konsumen. Penelitian ini akan membahas mengenai ketentuan hukum di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Perlindungan Konsumen, dan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berkaitan dengan penyelenggaraan transaksi e-commerce dalam lingkup B2C. selain itu peran BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen juga dibahas dalam hal penyelesaian sengeketa transaksi e-commerce dalam lingkup B2C. Terakhir, penelitian ini akan membahas model ODR yang diterapkan di China oleh China International Economic and Trade Arbitration Commision (CIETAC) berdasarkan CIETAC Online Arbitration Rules.

This thesis discussed application of B2C e-commerce transaction and its dispute resolution through online dispute resolution mechanism. The development of information technology around the world have made trading transaction more modern than ever. E-commerce now is a global phenomenon that makes peoples use internet to make a deal. Using internet, nowadays, peoples can communicate freely and make a cross border transaction. However, e-commerce transaction have risk of dispute. Therefore, there should be a dispute resolution mechanism which accommodate every party in e-commerce transaction. Consumer also have a significant role in developing e-commerce. Consumer is always been in a weak position when dealing with business in e-commerce transaction. Consequently, the performance of e-commerce transaction must also cover the consumer protection. This research describe the legal provision concerning B2C e-commerce in ICT aspect, consumer protection aspect, and arbitration and altervative dispute resolution aspect. It also describe the roles of BPSK as the consumer dispute resolution body in settling B2C e-commerce dispute. And in the last part, this research will also discussed about the relevant model of ODR which is applied in China by China International Economic and Trade Arbitration Commission (CIETAC) through CIETAC Online Arbitration Rules."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44951
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiyaa Ananda Khoirunnisaa
"Pesatnya aktivitas transaksi jual beli yang berlangsung melalui e-commerce tentunya berbanding lurus dengan peluang terjadinya sengketa antara pihak konsumen dengan pelaku usaha. Transaksi ini pun kerap kali melibatkan pelaku usaha dan e-commerce asing yang memiliki perbedaan dari segi yurisdiksi dengan konsumen Indonesia. Melalui metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan komparatif penulis memperoleh jawaban bahwa mekanisme penyelesaian sengketa lintas batas negara melalui e-commerce pada akhirnya diatur melalui klausula baku yang tercantum dalam syarat dan ketentuan penggunaan e-commerce tersebut. Hanya saja terhadap transaksi yang berlangsung pada e-commerce asing tentu umumnya juga menggunaan pilihan hukum dan pilihan forum asing. Kondisi-kondisi di atas tentu mampu memperlemah kedudukan konsumen Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Belum lagi dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk pergi dan berperkara di luar negeri yang belum tentu sebanding dengan kerugian yang diderita oleh konsumen. Seiring perkembangan teknologi, terdapat penyelesaian sengketa secara daring yang dikenal dengan istilah Online Dispute Resolution (ODR). Sejauh ini, Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan ODR pasca berkomitmen melalui ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP) 2016-2025 untuk mewujudkan ASEAN Regional Online Dispute Resolution (ODR) Network bersama negara-negara ASEAN lainnya. Sebelum mewujudkan ODR dalam skala regional, Indonesia harus terlebih dahulu mewujudkan ODR tersebut dalam lingkup nasional. Kehadiran proyek Digital Trading Online Dispute Resolution (DODR) Indonesia merupakan peluang besar atas kehadiran ODR berskala nasional ini. Proyek ini juga dibiayai oleh China Silk Road Group (CSRG) dan dikelola oleh UNCTAD. Dalam melakukan pengembangan ODR ini, Indonesia masih harus berkaca dari pengalaman negara-negara lainnya yang telah berhasil mewujudkan ODR, sehingga Penulis juga melakukan studi komparatif dengan Negara China dan Uni Eropa. Tak hanya itu, Indonesia juga perlu menentukan model ODR apa yang hendak diimplementasikan dengan mempertimbangan kelebihan dan kelemahannya disertai peluang dan tantangan yang terjadi. ODR ini juga masih perlu dikembangkan lebih jauh agar tidak hanya bersifat regional saja tetapi bersifat internasional.

The rapid activity of buying and selling transactions that take place through e-commerce is certainly directly proportional to the opportunity for disputes between consumers and business actors. These transactions also often involve foreign business actors and e-commerce actors who have differences in terms of jurisdiction with Indonesian consumers. Through juridical-normative research methods with a comparative approach, the author obtained the answer that the mechanism for resolving disputes across national borders through e-commerce is ultimately regulated through the standard clauses contained in the terms and conditions of use of the e-commerce. It's just that transactions that take place in foreign e-commerce, of course, generally also use legal choices and foreign forum options. The above conditions are certainly able to weaken the position of Indonesian consumers in fighting for their rights. Not to mention that it takes a huge amount of money to go and litigate abroad, which is not necessarily worth the losses suffered by consumers. Along with the development of technology, there is online dispute resolution known as Online Dispute Resolution (ODR). So far, Indonesia is still in the early stages of ODR development after committing through the ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP) 2016-2025 to realize the ASEAN Regional Online Dispute Resolution (ODR) Network with other ASEAN countries. Before realizing ODR on a regional scale, Indonesia must first realize the ODR in the national scope. The presence of the Digital Trading Online Dispute Resolution (DODR) Indonesia project is a great opportunity for the presence of this national-scale ODR. The project is also financed by China Silk Road Group (CSRG) and managed by UNCTAD. In developing this ODR, Indonesia still has to reflect on the experiences of other countries that have succeeded in realizing ODR, so the author also conducted a comparative study with China and the European Union. Not only that, Indonesia also needs to determine what ODR model to implement by considering its strengths and weaknesses along with the opportunities and challenges that occur. This ODR also still needs to be developed further so that it is not only regional but international."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Sumardi
"Proses penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dibuat
selain untuk mendapatkan kepastian hukum juga dengan memperhatikan sisi
efektifitas dari prosedur penyelesaian sengketa, sehingga lahirlah proses penyelesaian
sengketa yang bisa dilakukan secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi.
Proses penyelesaian sengketa secara nonlitigasi ini bisa dengan sengketa secara
damai oleh para pihak sendiri. Dan melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui
BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
Dari hasil penelitian ini, dalam prakteknya BPSK selama ini menerima dan memutus
perkara wanprestasi, tetapi ketika perkara ini sudah sampai pada tahap Peninjauan
Kembali, Mahkamah Agung menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang atas perkara
wanprestasi tersebut. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia
maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh karenanya
BPSK tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya. Sengketa yang timbul dari
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut menurut MA merupakan
sengketa perjanjian yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari pengadilan
negeri. Diharapkan tidak ada lagi ke tumpang-tindih peraturan hukum, itu harus
diselesaikan dengan baik karena banyak sekali peraturan perundang-undangan yang
saling tumpang-tindih, sehingga menyusahkan untuk penegakan hukum ataupun
menjalankan undang-undang tersebut. Ketidakjelasan ini menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kerugian bari para pihak yang bersengketa, karena tidak
menjamin terselesaikannya sengketa yang efektif dan efisien. Serta perlu adanya
perubahan-perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga BPSK dapat berperan lebih aktif dalam
penyelesaian sengketa konsumen.

The dispute resolution process between business actors and consumers is
made in addition to obtaining legal certainty as well as by taking into account the
effective side of the dispute resolution procedure, so that a dispute resolution process
that can be carried out by non-litigation and litigation resolution is born. The nonlitigation
dispute resolution process can be carried out by peaceful disputes by the
parties themselves. And institutions that are in the forest, namely through BPSK by
using through conciliation, mediation or arbitration. From the results of this study, in
practice BPSK has received and decided cases of default, but when this case reached
the Reconsideration stage, the Supreme Court stated that BPSK was not awarded for
the default case. The Supreme Court is of the opinion that the dispute that occurs in
the implementation of consumer financing, whether based on a fiduciary agreement
or a consumer dispute coverage right, by BPSK does not have the authority to try
them. Disputes arising from the implementation of the financing agreement according
to the Supreme Court are disputes which are the authority of the district court. It is
hoped that there will be no more overlapping legal regulations, it must be
implemented properly because many regulations overlap each other, making it
difficult for law enforcement or to implement the law. This uncertainty creates legal
uncertainty and losses for the disputing parties, because it does not guarantee an
effective and efficient resolution of the dispute. And there need to be changes to the
methods that help the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK), so that BPSK
can be more active in resolving consumer disputes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reina
"Kepastian hukum dalam upaya penyelesaian sengketa merupakan faktor terpenting dalam terciptanya perlindungan konsumen. Awal pergerakan perlindungan konsumen di dunia salah satunya berkaitan dengan adanya revolusi industri yang mengubah kedudukan konsumen dan pelaku usaha, perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang dalam menyelesaikan penyelesaian sengketa dilakukan dengan sengketa alternatif. Permasalahan dalam penelitian ini dimulai dari bagaimana perbandingan proses penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia dan bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen melalui penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia dilaksanakan untuk memperoleh kepastian hukum bagi konsumen di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan komparatif. Hasil dalam penelitian ini adalah Perbandingan penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia, dalam hal penyelesaian sengketa melalui sengketa alternatif, baik di amerika dan di Indonesia tidak ditemukan perbedaan yang mendasar yang mengkhususkan terhadap konflik antara konsumen dan pelaku usaha. Di Indonesia khususnya penyelesaian sengketa konsumen melalui alternatif dilaksanakan oleh BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan diberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen berskala kecil dan bersifat sederhana. Secara kelembagaan BPSK dibentuk berdasarkan adopsi dari model small claim tribunal, seperti yang ada di Amerika Serikat namun pada akhirnya pembentukan BPSK didesain dengan memadukan kedua model small claim tribunal diadaptasikan dengan model pengadilan dan model penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution-ADR) yang menggunakan ciri khas penyelesaian sengketa alternatif khas Indonesia. Namun pada pelaksanaannya keputusan BPSK belum dapat mewujudkan kepastian hukum pada Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Putusan Majelis bersifat final dan mengikat”, yakni dengan menambahkan ketentuan bahwa Putusan BPSK wajib memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan lain sebagainya

Legal certainty regarding dispute resolution is the most important factor in the creation of consumer protection. One of the early movements of consumer protection in the world was related to the industrial revolution which changed the position of consumers and business actors, the development of industrialization and globalization that occurred in the United States and Europe which in resolving dispute resolution carried out with alternative dispute. The problem in this research starts with how the consumer dispute resolution process in the United States and Indonesia compares and how the consumer dispute resolution process in Indonesia is implemented to obtain legal certainty for consumers in Indonesia. The research method used in this research is doctrinal research that uses a comparative approach. The results in this study are a comparison of consumer dispute resolution in the United States and in Indonesia, in terms of dispute resolution through the courts, both in America and Indonesia there are no fundamental differences that specialize in conflicts between consumers and business actors. In Indonesia, especially through alternative consumer dispute resolution implemented by BPSK as an alternative dispute resolution institution outside the court, it is given judicial authority to resolve small-scale and simple consumer disputes. Institutionally BPSK was formed based on the adoption of the small claim tribunal model, as in the United States but in the end the formation of BPSK was designed by combining the two small claim tribunal models adapted to the court model and the alternative dispute resolution (ADR) model which uses typical Indonesian alternative dispute resolution characteristics specifically in relation to the law assurance, Article 54, paragraph (3) of Law on Consumer Protection that reads “The decision of Assembly shall be final and binding”, and adding the provision that the decision of BPSK shall contain the heading “For the sake of Justice under the One Almighty God”, and others."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Istihara Zain
"Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Jenis penelitian yuridis normatif dengan Socio Legal Research. Setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) di sektor jasa keuangan, atas amanat OJK yang didasari oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, tidak menghilangkan kewenangan BPSK dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, karena pilihan atas lembaga mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, baik BPSK ataupun LAPS merupakan pilihan sukarela para pihak dan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dari analisis 7 (tujuh) putusan, mayoritas hakim menolak permohonan keberatan pemohon, karena terdapat hubungan hukum berupa perjanjian pembiayaan. Debitur telah wanprestasi, menurut hakim wanprestasi merupakan kewenangan Peradilan Umum bukan BPSK. Selain itu, terhadap beberapa putusan hakim tidak menerapkan hukum dengan baik, hakim tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan, dimana para pihak telah sepakat menentukan pilihan lembaga penyelesaian sengketa, namun hakim dalam pertimbangan hukumnya tidak mencantumkan pertimbangan tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa BPSK memiliki wewenang dalam menangani sengketa di sektor jasa keuangan akibat ingkar janji/wanprestasi karena UUPK tidak menentukan batas-batas sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, sepanjang terkait dengan sengketa atas peredaran barang dan jasa. Seharusnya, pemerintah merevisi pasal di UUPK terkait sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, agar tidak terjadi disharmonisasi terhadap perundang-undangan yang ada. Hakim sbelum menjatuhkan putusan sebaiknya membuat pertimbangan hukum dengan benar dan bersikap konsisten dalam menjatuhkan putusan.

The Dispute Settlement Board (BPSK) in carrying out consumer dispute resolution in the financial services sector. This type of juridical normative research with Socio Legal Research. After the establishment of the Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS) through the Financial Services Authority Regulation (POJK) in the financial services sector, as mandated by the OJK which is based on the Financial Services Authority Law, it does not diminish the authority of BPSK in carrying out dispute resolution in the financial services sector, by choice. on which institution is used in dispute resolution, either BPSK or LAPS is a voluntary choice of the parties and on the agreement of the parties in dispute. From the analysis of the 7 (seven) decisions, the majority of judges rejected the petitioner for objection, because there was a legal relationship in the form of a financing agreement. The debtor has defaulted, according to the judge, default is the authority of the General Court, not BPSK. In addition, for several judges' decisions that did not apply the law properly, the judges were inconsistent in making decisions, where the parties had agreed to determine the choice of dispute settlement institutions, but the judges in their legal considerations did not include these considerations. Therefore, it is said that BPSK has the authority to handle disputes in the financial services sector due to broken promises /or defaults because the UUPK does not determine the boundaries of what disputes are the authority of BPSK, as long as they are linked to disputes over the circulation of goods and services. The government should have revised the articles in the UUPK regarding any disputes that fall under the authority of BPSK, so that there is no disharmony with existing laws. Before making a decision, the judge should make proper legal considerations and be consistent in making the decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zalfa Alifia Yasmine
"Layanan pengaduan bagi konsumen pada platform e-commerce menyediakan solusi untuk kerugian konsumen atas barang yang dibelinya melalui platform tersebut sehingga tentu diperlukan mekanisme yang jelas serta efektif untuk melindungi konsumen dan memastikan penyelesaian yang adil. Layanan pengaduan bagi konsumen ini sangat berpengaruh terhadap kepercayaan dan loyalitas konsumen dalam menggunakan platform e-commerce tersebut sehingga dapat memastikan keberlanjutan maupun peningkatan bisnis platform e-commerce dalam jangka panjang. Merujuk pada Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, pelaku usaha memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan pengaduan bagi konsumen, yang mana paling sedikit mencakup alamat dan nomor kontak pengaduan, prosedur pengaduan konsumen, mekanisme tindak lanjut pengaduan, petugas yang kompeten dalam memproses layanan pengaduan, dan jangka waktu penyelesaian pengaduan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tanggung jawab platform e-commerce terhadap kerugian konsumen yang timbul akibat penyelesaian sengketa pada layanan pengaduan di platform e-commerce. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif, secara umum bersandar pada data sekunder seperti bahan hukum primer, namun juga tetap menggunakan data primer berupa wawancara. Hasil analisis menunjukkan bahwa platform e-commerce memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan pengaduan yang efektif untuk melindungi konsumen dalam menyelesaikan sengketa transaksi online. Meskipun demikian, masih ditemukan beberapa kendala dalam implementasi mekanisme penyelesaian sengketa tersebut sehingga dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang lebih tegas serta kontrol pemerintah terhadap praktik bisnis platform e-commerce guna melindungi kepentingan konsumen secara maksimal.

Complaint services for consumers on e-commerce platforms provide solutions for consumer losses on goods purchased through these platforms, so a clear and effective mechanism is needed to protect consumers and ensure a fair settlement. This complaint service for consumers greatly influences consumer trust and loyalty in using the e-commerce platform so that it can ensure the sustainability and increase of the e-commerce platform business in the long term. Referring to Article 27 of Government Regulation Number 80 of 2019 concerning Trading Through Electronic Systems, business actors have an obligation to provide complaint services for consumers, which at least include complaints address and contact number, consumer complaint procedures, complaint follow-up mechanisms, competent officers in processing complaints services, and the period of complaint resolution. This study aims to analyze the responsibility of e-commerce platforms for consumer losses arising from dispute resolution on complaint services on e-commerce platforms. The form of this research is normative juridical, generally relying on secondary data such as primary legal materials, but also still using primary data in the form of interviews. The analysis shows that e-commerce platforms have a responsibility to provide effective complaint services to protect consumers in resolving online transaction disputes. Even so, there are still some obstacles in the implementation of the dispute resolution mechanism that can cause harm to consumers. Therefore, there is a need for stricter regulations and government control over e-commerce platform business practices in order to protect consumer interests to the fullest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stanley Patria Armando
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis aspek hukum perlindungan konsumen sektor jasa perbankan dalam kasus antara Bank X dengan Y yang dimediasi oleh LAPSPI. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan terkait Perlindungan Nasabah Perbankan menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia dan bagaimana penerapannya dalam kasus antara Bank X dengan Y. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif dengan studi kepustakaan.
Hasil penelitian terhadap pengaturan terkait Perlindungan Nasabah Perbankan, ditemukan bahwa terdapat peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak Nasabah Perbankan, antara lain UndangUndang Perbankan, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, dan Peraturan Bank Indonesia tentang Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.
Penyelesaian sengketa antara Bank X dengan Y melalui mediasi oleh LAPSPI telah memenuhi persyaratan berupa dipenuhinya kriteria sengketa dan sudah sesuai dengan peraturan Perlindungan Nasabah Perbankan khususnya peraturan yang mengatur terkait penyelesaian pengaduan nasabah dan penyelesaian sengketa antara bank dengan nasabah. Dimana dalam kasus ini sengketa tersebut telah diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah terlebih dahulu secara internal antara Bank X dengan Y. Dan setelah upaya penyelesaian secara internal tidak berhasil, Bank X dan Y sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui proses mediasi di LAPSPI, dengan adanya kesepakatan untuk melaksanakan mediasi antara kedua belah pihak.

This research is purposed to describe and analyze the legal aspect of Consumer Protection in Banking Sector in the case of X Bank against Y that was mediated by LAPSPI. The main issue in this research is about the regulations related to the Protection of Banking Customer according to Indonesian Law and how it is implemented in the case between X Bank and Y. The method used in this research is normative law research with literature study.
Research on the regulation related to Protection of Banking Customer, shows that there are regulations that guarantee the rights of Banking Customers, including the Banking Act, the Consumer Protection Act, the Law of the Financial Services Authority, the Regulation of the Financial Services Authority on Consumer Protection Financial Service Sector, and Bank Indonesia Regulation on Consumer Protection of Payment System Services.
The settlement of disputes between X Bank and Y through mediation by LAPSPI has met the requirements that is the compliance of the criteria of disputes and is in compliance with the Banking Customer Protection regulations in particular the regulations related to the settlement of customer complaints and dispute resolution between the bank and the customer. In this case both parties tried to settle this dispute internally. And after the internal settlement efforts are unsuccessful, Bank X and Y agree to resolve this dispute through mediation process at LAPSPI, with the requirements of agreement to mediate between the two sides was made.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Desiree Hardigaluh
"Perkembangan teknologi dan informasi serta internet telah memudahkan manusia untuk melakukan segala sesuatu secara daring, termasuk membeli suatu barang atua jasa. Salah satu dari banyak jenis perkembangan teknologi dan informasi adalah e-commerce. E-Commerce adalah segala bentuk transaksi bisnis atau pertukuran informasi yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perdagangan barang dan jasa secara elektronik. Di dalam perjanjian jual-beli baik secara konvensional maupun elektronik, perlindungan terhadap hak-hak konsumen seyogianya menjadi perhatian utama pelaku usaha. Hal ini disebabkan meskipun sudah terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen, hingga saat ini masih sering ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, terutama dalam transaksi e-commerce. Skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif yang mengkomparasikan peraturan perundang-undangan tentang hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce antara Indonesia, India, dan Amerika Serikat. Melalui studi komparasi dan analisis menggunakan sumber data dari kepustakaan, penelitian ini menemukan jawaban atas bagaimana kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan perihal perbandingan kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia dengan India dan Amerika Serikat berdasarkan United Nations Guidelines for Consumer Protection. Lebih lanjut, penelitian ini juga memberikan preskripsi tentang kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang seharusnya, apabila ditinjau dari perbandingan kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di India dan Amerika Serikat.

The development of technology and information and the internet has made it easier for humans to do many things, including purchasing goods and services. One of many developments in technology and information is e-commerce. E-Commerce is all kinds of business transactions or information exchange carried out through the internet, including trading of goods and services electronically. In the matter of buying and selling, both conventionally and electronically, the protection of consumer rights should be the main concern of business actors. This is because despite the provisions of laws and regulations governing consumer protection, until now there are still frequent violations of consumer rights, especially in e-commerce transactions. This thesis is a piece of juridical-normative research that compares the laws and regulations concerning consumer protection law in e-commerce transactions between Indonesia, India, and the United States. Through comparative studies and analysis using literature study, this thesis explores on how the legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia is being achieved. In addition, this research also describes about the comparison regarding legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia between India and the United States based on the United Nations Guidelines for Consumer Protection. Furthermore, this study provides a prescription on how the legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia should be, when viewed from a comparison of consumer protection laws in e-commerce transactions in India and the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Irfandi
"Pekembangan Teknologi dan Informasi yang sangat cepat membuat perdagangan secara elektronik (e-commerce) menjadi salah satu pilihan yang terbaik bagi masyarakat. PT. Mitra AdiPerkasa Tbk merupakan pelaku usaha e-commerce yang mengelola planetsports.net. Situs tersebut menjual produk peralatan olahraga mulai dari kaos, sepatu, hingga aksesoris olahraga dengan berbagai macam merk terkenal. Planetsports.net menerapkan prinsip efisiensi melalui pencantuman klausula baku pada perjanjian pembelian peralatan olahraga, hal ini dilakukan demi menghindari negosiasi yang berlarut-larut. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan batasan-batasan aturan mengenai klausula baku. Pada klausula baku yang ditetapkan oleh planetsports.net terdapat klausula yang bertentangan dengan aturan Pasal 18 UUPK sehingga dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu klausula tersebut batal demi hukum dan pihak pengelola planet sports.net wajib menyesuaikan klausula-klausula baku tersebut dengan aturan-aturan UUPK.

Rapidly development technology and information make electronic commerce (e-commerce) to be one of the best option for the community. PT. Mitra Adiperkasa Tbk is an e-commerce business that manages planetsports.net. The site sells sports equipment products ranging from shirts, shoes, accessories of sports with a variety of well-known brands. Planetsports.net applies the efficiency principle through the inclusion of standard clauses on the exercise equipment purchase agreement, it is also being done to avoid lengthy negotiation. The Law Number 8 of 1999 regarding Consumer Protection (UUPK) gives limitation for the use of standard clauses. The standard clauses set by planetsports.net contained clauses that are contrary to the Article 18 of UUPK that can harm consumers. Therefore, the clauses are considered ?null and void? and the managers of planetsports.net is obliged to accommodate their standard clauses within the regulation of UUPK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61309
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvana Jovanka Putri Surbakti
"Seiring dengan kemajuan teknologi, kini penjualan obat tak lagi hanya melalui apotek atau toko obat yang dilakukan secara fisik atau tatap muka. Kini banyak situs daring seperti, apotek commerce maupun media sosial yang menawarkan dan menjual berbagai produk farmasi. Dengan keadaan demikian,  konsumen dapat dengan mudah mendapatkan obat - obatan tersebut termasuk obat keras dan obat tanpa izin edar yang dapat membahayakan kesehatan konsumen. Penelitian yuridis-normatif ini akan membahas mengenai upaya pengawasan yang dilakukan BPOM maupun pelaku usaha dalam mengatasi peredaran obat keras dan tanpa izin edar pada situs jual beli daring di Indonesia serta menganalisis apakah regulasi yang ada telah melindungi konsumen. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa regulasi yang ada saat ini masih bersifat sektoral dan  masih mengatur sebatas peredaran obat secara kovensional sehingga diperlukan adanya peraturan yang mengatur secara spesifik mengenai peredaran obat secara daring sehingga dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi konsumen. Adapun upaya pengawasan yang telah dilakukan masih terkendala oleh keterbatasan anggaran, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia.
Along with technological advances, drug sales are now no longer only through pharmacies or drug stores that are carried out physically or face to face. But nowdays, many online sites such as online pharmacies, online marketplace, and social media offer and sell various pharmaceutical products. Under these circumstances, consumers can easily obtain drugs including prescription drugs and unlicensed drugs which can endanger consumer’s health. Through normative juridical research, this thesis will discusses the supervision efforts by BPOM and business actors to overcome the circulation of prescription drugs and unlicensed drugs on online marketplace in Indonesia and analyzes whether the existing regulations have protected consumers. Based on the results of the study, it can be concluded that the current regulations are still sectoral and only regulate the distribution of drugs conventionally so that there is a need for regulations that specifically regulate drug distribution online so as to provide legal certainty and legal protection for consumers. Meanwhile, the supervision that have been done are still constrained by the limitation of budget, facilities and infrastructure as well as human resources."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>