Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32523 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Rhinos® SR adalah kapsul kombinasi tetap loratadin 5 mg dengan pseudoefedrin 60 mg lepas cepat dan pseudoefedrin 60 mg lepas lambat. Studi ini bertujuan untuk menilai efikasi Rhinos® SR pada nasal airway resistance (NAR) secara obyektif dengan rhinomanometer dan gejala-gejala nasal serta nonnasal pada pasien dengan rinitis alergik sepanjang tahun (RAST) di negara tropis. Ini adalah studi paralel berpembanding plasebo, acak, tersamar ganda, dilakukan pada 59 pasien RAST berobat jalan di klinik THT RS Umum Dr. Soetomo, Surabaya. Pasien laki-laki dan perempuan, menderita RAST sedang sampai berat minimal 2 tahun, berumur 12 tahun ke atas, dengan total skor gejala nasal (TSGN) > 6 dan skor kongesti nasal (SKN) > 2, mendapat Rhinos® SR atau plasebo 2 kali sehari selama 7 hari. Parameter efikasi yang utama adalah berkurangnya nilai-nilai NAR (yang diukur dengan rhinomanometer pada hari pertama) dari Rhinos® SR dibandingkan dengan plasebo. Nilai-nilai NAR dihitung sebagai luas area di bawah kurva (area under the curve = AUC) dari NAR terhadap waktu. Parameter efikasi sekunder adalah berkurangnya gejala-gejala klinik (nasal dan nonnasal) yang dinilai oleh pasien maupun oleh dokter peneliti setelah 1 minggu penggunaan Rhinos® SR atau plasebo. Dari 59 pasien yang memenuhi syarat, semuanya menyelesaikan studi 1 minggu ini. Untuk nilai-nilai NAR, setelah baseline disamakan menjadi 100%, AUC0-10 jam tidak berbeda bermakna antara Rhinos® SR dan plasebo. Akan tetapi waktu pseudoefedrin mencapai kadar puncak, yakni 2 jam untuk yang lepas cepat dan 6 jam untuk yang lepas lambat, maka AUC0-2 jam dan AUC0-6 jam Rhinos® SR lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan plasebo. TSGN berdasarkan penilaian penderita (jumlah skor 3 pagi terakhir) untuk Rhinos® SR menurun 33.0% dari skor awal (p < 0.001), untuk plasebo juga menurun 21.9% dari skor awal (p = 0.002), tetapi penurunan oleh Rhinos tidak berbeda bermakna dengan penurunan oleh plasebo. Penurunan TSGN berdasarkan penilaian dokter peneliti, serta penurunan skor kongesti nasal (SKN) dan total skor gejala (nasal dan nonnasal), dan bahkan skor masing-masing gejala, berdasarkan penilaian pasien maupun dokter peneliti, menunjukkan pola yang sama, yakni Rhinos® SR dan plasebo menurunkan gejala secara bermakna dari nilai awal, dan penurunan oleh Rhinos® SR lebih besar dibandingkan penurunan oleh plasebo tetapi tidak berbeda bermakna. Dalam studi ini tidak ditemukan efek samping. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pada pasien RAST sedang sampai berat di negara tropis, Rhinos® SR efektif dalam mengurangi kongesti nasal dengan pengukuran obyektf NAR. Rhinos® SR 2 x sehari selama 7 hari juga efektif dalam mengurangi gejala-gejala klinik RAST meskipun tidak mencapai kemaknaan statistik dibandingkan dengan plasebo, serta dapat ditoleransi dengan baik.

Abstract
Rhinos® SR is a fixed combination of 5 mg loratadine and 60 mg pseudoephedrine immediate release and 60 mg pseudoephedrine sustained release. The present study was aimed to assess the efficacy of Rhinos® SR on nasal airway resistance (NAR) objectively using rhinomanometer and on nasal symptoms in patients with perennial allergic rhinitis (PAR) in a tropical country. This was a randomized, double-blind, parallel group study in 59 PAR patients who visited the ENT clinic at Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya. Outpatients of both gender, having moderate to severe PAR for a minimal of 2 years, aged 12 years or older, with a total nasal symptom score (TNSS) > 6 and a nasal congestion score > 2, received Rhinos® SR or placebo twice daily for 7 days. The primary efficacy parameter was the decrease in the NAR values (measured by rhinomanometer on Day 1) of Rhinos® SR from those of placebo. The NAR values were calculated as the area under the curve (AUC) of NAR versus time. The secondary efficacy parameters were the percentage reduction of the clinical symptoms (nasal and nonnasal) evaluated by both the patient and the physician after 1 week use of Rhinos® SR or placebo. From 59 eligible patients, all completed this 1-week trial. For NAR values, after the baseline were considered as 100%, the AUC0-10 h were not significantly different between Rhinos® SR and placebo. However, as the pseudoephedrine reached its peak concentration, i.e. 2 hrs for the immediate release and 6 hrs for the sustained release, then AUC0-2 h and AUC0-6 h of Rhinos® SR were significantly lower compared to those of placebo. Total nasal symptom score (TNSS) evaluated by the patient (sum of the last 3 mornings) for Rhinos® SR decreased 33.0% from baseline (p < 0.001), for placebo decreased 21.9% from baseline (p = 0.002), but the decrease by Rhinos® SR was not significantly different from the decrease by placebo. TNSS evaluated by the physician, nasal congestion score (NCS) and total symptom score (TSS, total nasal and nonnasal), and even the individual symptom scores, evaluated by the patient and the physician, showed similar pattern, i.e. both Rhinos® SR and placebo decreased the symptoms significantly from baseline, and the decreases by Rhinos® SR were larger than the decreases by placebo, but the decreases by Rhinos® SR and placebo were not statistically different. No adverse event was found in this study. From the present study it was concluded that in patients with moderate to severe PAR in a tropical country, Rhinos® SR was effective in relieving nasal congestion by objective measurements of NAR. Rhinos® SR twice a day for 7 days was also effective in reducing the clinical symptoms of PAR although the reductions did not reach statistical significance compared to those by placebo, and was well tolerated. "
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maruto Harjanggi
"Pengantar: Batu saluran kencing adalah salah satu penyebab yang paling sering dari nyeri kolik yang muncul pada layanan kesehatan primer. Penanganan dari kasus batu saluran kemih dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu operatif dan juga konservatif. Cystone adalah salah satu terapi tambahan yang dapat ditambahkan pada regimen penanganan konservatif untuk ukuran batu dan memudahkan pengeluaran batu saluran kemih. Penelitian ini bertujuan untuk melihat keamanan dan efektivitas dari pemberian Cystone ini pasca tindakan ESWL. Metodologi : Penelitian ini dilakukan antara bulan Mei 2014-November 2015, jumlah sampel yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 81 sampel, 42 berada pada grup cystone dan 39 dalam grup placebo. Setelah dilakukan ESWL, satu grup diberikan tablet cystone 2 x 2 setiap hari selama 4 minggu, grup lain diberikan placebo. Penanganan lanjutan seperti KUB radiografi, CT urografi dan juga pemeriksaan USG dilakukan setelah mengkonsumsi obat-obatan ini.Hasil: Dari 84 sampel yang berpartisipasi dalam penelitian ini, karkteristik demografik dan baseline antara grup tatalaksana dan grup placebo mirip satu sama lain. Tidak ada perbedaan statistic yang signifikan antara besar batu sebelum dan sesudah konsumsi cystone baik pada grup cystone ataupun placebo. Satu kejadian efek samping yang serius dilaporkan pada grup cystone, tidak ada kejadian efek samping yang berat terlihat pada grup placebo. Diskusi: Penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa cystone ini secara signifikan dapat memperkecil besar batu ginjal dan mengubah komposisi batu ginjal. Hasil yang berbeda ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan besar batu ginjal baik pada riset ini maupun literature-literatur sebelumnya. Berdasarkan penelitian ini, kami tidak merekomendasikan penggunaan cystone sebagai terapi adjunctive- management conservative dari batu ginjal ini.

Introduction: Urinary stone is one of the most common cause of colicky pain in primary care. Management of urinary stone is divided into operative management and conservative management. Cystone is one of the traditional adjunctive therapy that may added to conservative management regiment to reduce kidney stone size and speed-up the stone passing. This study aims to see the efficacy and safety of Cystone after Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy. Methods : This clinical trial was conducted from May 2014-November 2015, the total sample for this research are 81 samples, 42 in cystone group and 39 in placebo group. After undergoing ESWL procedure, one group were given 2 x 2 cystone tables daily for 4 weeks, and the other were given placebo. Further examination such as KUB radiography, CT urography, USG examination were conducted after consumption of the drugs. Results : Among 84 subjects that participated in this research, demographic charcteristics and baseline disease were comparable. No statistically significant changes on the stone size in both cystone and placebo group. One serious adverse event appeared in cystone group compared to none in the placebo group. Discussion: Previous research showed that cystone made significant changes on the renal stone size and composition. This differing results may be caused by different stone sizes in both this research and previous literature. Based on this research’s result we do not recommend using cystone as an adjunctive conservative management of renal stone"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Abdul Aziz Rani
"Telah dilakukan penelitian samar ganda acak untuk menilai manfaat pemberian Asam Traneksamat pada 54 penderita hemoroid interna yang baru berdarah. Umur, kelamin, berat badan, tinggi badan, beratnya hemoroid serta lamanya onset perdarahan telah dibuat sebanding pada kedua kelompok. Efek hemostatik berupa berhentinya perdarahan didapatkan pada 100% (23/23) kelompok Asam Traneksamat pada hemoroid grade 2 sementara hanya 78.26% (18/23) pada kelompok plasebo. Setelah obsevasi 3 hari perdarahan berhenti lebih awal pada kelompok Asam Traneksamat dan secara statistik bermakna. Sejak hari ke empat kedua kelompok berbeda dalam hal perdarahan ulang. Pada kelompok plasebo rerata median perdarahan ulang setelah 36 hari, sementara kelompok Asam Traneksamat tidak pernah mencapai nilai median tertentu sampai akhir observasi. Kesimpulan: Asam Traneksamat efektif untuk menghentikan perdarahan pada hemoroid berdarah, dan mencegah perdarahan ulang.

Double blind randomized placebo controlled trial was conducted to evaluate the efficacy of Tranexamic acid in 54 patients with recent hemorrhoid bleeding. Age, gender, body weight, height, grade of hemorrhoid, time of onset of recent bleeding were comparable between two groups. Analysis of haemostatic effect or stop bleeding as an immediate outcome of this study revealed that in the grade 2 patients, 23/23 (100%) of tranexamic group and 18/23(78.26%) of placebo group the bleeding stop. After 3 days of observation, there was statistically significant different for the rate of stop bleeding as well as at the end of observation. Bleeding stop earlier in the Tranexamic group with median 4 days (3-5 days), compare to placebo, median 11(9.55-12.45). Analysis of recurrent bleeding as an outcome of this study revealed that in the placebo group 9/18(50%) of grade 2 patients and all grade 3 (100%)patients suffered from recurrent bleeding. Since the days 4, both group have significant different time for recurrent bleeding and at the end of observation, cumulative probability of free of bleeding between two groups significantly different. Median still stop bleeding in the placebo group was 36 days, and the tranexamic group never reaches the median until the end of observation. Conclusion: tranexamic acid was an effective drug to stop recent hemorrhoid bleeding and prevent further recurrent bleeding, significantly better than placebo.
"
Medical Journal of Indonesia, 2002
MJIN-11-4-OctDec2002-215
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nafrialdi
"Background: the use of statin to lower blood cholesterol is often associated with bothersome adverse effects such as myopathy and liver dysfunction. NC120 is herbal lipid lowering drug containing red yeast rice (RYR) extract, guggulipid, and chromium picolinate, and expected to have better safety profile. The aim of this study was to evaluate the efficacy and safety profiles of NC120 in lowering blood lipid.
Methods: this was a double blind randomized clinical trial comparing NC120 with placebo in subjects with hypercholesterolemia. Two capsules of NC120 or placebo were administered twice a day for 28 days. Blood total-cholesterol, LDL-cholesterol, and triglyceride were measured on day-0, day-7, and day-28. Unpaired t-test was used to compare study parameter between groups, and one-way ANOVA was used to compare within group.
Results: 25 subjects received NC120 and 24 subjects received placebo. Significant decrease of total cholesterol and LDL-cholesterol were observed since day-7 in NC120 group, while the changes in placebo group were not significant at all time of observation. No significant decrease of triglyceride was observed in NC120 group and in placebo group. Side effects were minor and comparable between the two groups.
Conclusion: NC120 is effective in reducing total cholesterol and LDL-cholesterol, but not triglyceride. This drug shows a good safety profile, and thus can be considered for patients who can not tolerate statin drugs.

Latar belakang: penggunaan obat golongan statin untuk menurunkan kolesterol darah sering disertai efek samping yang mengganggu seperti mialgia dan gangguan fungsi hati. NC120 adalah obat herbal yang mengandung ekstrak ragi beras merah, guggulipid, dan chromium picolinat yang diharapkan tidak menimbulkan efek samping seperti statin. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan disain acak tersamar ganda, menurunkan lipid darah.
Metode: penelitian ini merupakan uji klinik dengan disain acak tersamar ganda, membandingkan NC120 dengan plasebo pada subjek dengan hiperkolesterolemia. NC120 atau plasebo diberikan dengan dosis 2 kapsul dua kali sehari selama 28 hari. Kadar kolesterol total, kolesterol LDL dan trigliserida diukur pada hari-0, hari-7, dan hari-28. Uji t-test tidak berpasangan digunakan untuk membandingkan parameter penelitian antar kelompok, sedangkan uji ANOVA satu arah digunakan untuk analisis dalam satu kelompok.
Hasil: 25 subjek mendapat NC120 dan 24 subjek mendapat plasebo. Penurunan bermakna pada kadar kolesterol total dan kolesterol-LDL terlihat pada kelompok yang mendapat NC120, sedangkan pada kelompok plasebo tidak terlihat perbedaan bermakna. Tidak terlihat penurunan yang bermana pada kadar trigliserida pada kelompok NC120, maupun kelompok plasebo. Efek samping umumnya ringan dan seimbang pada kedua kelompok.
Kesimpulan: NC120 efektif menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol-LDL, tapi tidak efektif menurunkan trigliserida. NC120 menunjukkan profil keamanan yang cukup baik, dan obat ini dapat dipertimbangkan tidak bisa merekomendasikan sesuatu berdasar satu RCT apalagi jumlah sampel masih terbatas terutama untuk pasien hiperkolesterolemia yang tidak toleran terhadap statin.
"
Jakarta: Faculty of Medicine University of Indonesia, 2019
610 UI-IJIM 51:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Melati
"Salah satu penyebab hidung tersumbat adalah disfungsi katup hidung, baik akibat kolapsnya katup hidung luar KHL atau sempitnya katup hidung dalam KHD. Namun hal ini belum ada data di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan besar sudut KHD dan tahanan udara hidung TUH dengan penilaian subjektif hidung tersumbat pada orang Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar untuk penelitian selanjutnya dan menjelaskan peran KHD pada ras Asia, khususnya orang Indonesia. Studi kasus kontrol terdiri atas 40 kasus hidung tersumbat dan 80 kontrol tanpa keluhan hidung tersumbat. Kedua kelompok dilakukan penilaian subjektif dengan kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation NOSE. Penilaian objektif terdiri atas pengukuran besar sudut KHD dengan nasoendoskopi dan TUH dengan rinomanometri aktif anterior. Penelitian ini mendapatkan besar sudut KHD kanan kelompok kasus sebesar 15,5 10,1 p = 0,123 dan sudut KHD kiri 17,2 9,0 p = 0,022. Pada kelompok kontrol, sudut KHD kanan 19,6 11,8 p = 0,123 dan sudut KHD kiri 23,2 12,5 p = 0,022. Studi ini mendapatkan bahwa kombinasi besar sudut KHD kanan ndash; kiri dan total TUH saja, tidak mampu berdiri sendiri untuk menjelaskan hubungannya terhadap fenomena kompleks hidung tersumbat yang dinilai menggunakan kuesioner NOSE. Penilaian hidung tersumbat perlu mempertimbangkan faktor lain, yaitu dinamika fisiologis dan kelainan mukosa lainnya seperti kondisi konka inferior, adanya septum deviasi yang menyempitkan area KHD, kelapangan kavum nasi, keberadaan/kondisi NSB, dan bentuk KHD setiap lubang hidung, sebagai sebuah kesatuan.

One of the cause for nasal obstruction is nasal valve dysfunction, which may happen due to collapsing external nasal valve ENV or narrowing of the internal nasal valve INV angle. There is no published data in Indonesia, in regards to this matter. This thesis aims to investigate the relation of INV angle and nasal airway resistance NAR in regards to subjective complaint of nasal obstruction in Indonesian. This thesis also hope to contribute as basic data for future studies and may provide explanation about the role of INV in Asian, especially Indonesian. A case control study was conducted with 40 cases of nasal obstruction and 80 controls without nasal obstruction. Both groups' subjective evaluation was examined using Nasal Obstruction Symptom Evaluation NOSE quessionaire. Objective assessments such as INV angle using nasoendoscopy and NAR using active anterior rhinomanometry. The right INV angle in case group was 15,5 10,1 p = 0,123 and left INV angle was 17,2 9,0 p = 0,022. In the control group, the right INV angle was 19,6 11,8 p = 0,123 and left INV angle was 23,2 12,5 p = 0,022. This study shows the combination of right-left INV angle and total NAR alone are not sufficient to explain the complex phenomena of nasal obstruction which was measured using NOSE questionnaire. Nasal obstruction evaluations should consider other factors such as the physiology dynamics and other mucosal state such as the inferior turbinate's condition, presence of septal deviation which narrowed the INV area, wide nasal cavity, presence of NSB and the shape of INV in each nostril as a unit."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferawaty
"Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling umum dan paling banyak diderita, terutama oleh lanjut usia (lansia). Beberapa penelitian menunjukkan vitamin D berperan dalam tekanan darah. Pada lansia kadar 25(OH)D menurun karena kurangnya paparan sinar matahari dan asupan makanan yang mengandung vitamin D. Kekurangan vitamin D dapat dicegah, salah satunya dengan suplementasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain uji acak terkendali tersamar ganda pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 bulan April sampai Juni 2023 dengan tujuan menganalisis pengaruh suplementasi vitamin D terhadap kadar 25(OH)D dan tekanan darah. Kadar 25(OH)D serum diperiksa menggunakan metode Chemiluminescent Immunoassay (CLIA), tekanan darah diperiksa menggunakan sphygmomanometer digital. Suplementasi diberikan 1 kali perhari selama 8 minggu, untuk kelompok kontrol diberikan plasebo sedangkan untuk kelompok perlakuan diberikan vitamin D dengan dosis 2000IU (subjek Insufisiensi) dan 4000IU (subjek defisiensi). 62 subjek penelitian berusia 60-89 tahun (median 67 tahun) ikut serta dalam penelitian ini dan terbagi secara random menjadi 30 subjek kelompok kontrol dan 32 subjek kelompok perlakuan. Peningkatan kadar 25(OH)D pada kelompok kontrol 23 ± 4,87 ng/mL menjadi 27,3 ± 7,34 ng/mL (p=0,000), pada kelompok perlakuan 17,9 ± 4,38 ng/mL menjadi 36,07 ± 9,84 ng/mL (p=0,000). Analisis rerata perubahan menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D meningkatkan kadar 25(OH)D secara bermakna (D = 4,2 ± 2,47 ng/mL pada kelompok kontrol dan D = 18,17 ± 5,46 ng/mL pada kelompok perlakuan; p = 0.000). Penurunan tekanan darah sistolik pada kelompok kontrol 133,9(121 – 159,5) mmHg menjadi 129,3(96 – 159) mmHg (p=0,027), pada kelompok perlakuan 135,3(121 - 180) mmHg menjadi 126(101 - 153) mmgHg (p=0,000). Penurunan tekanan darah diastolik pada kelompok kontrol 89,6(80 - 105) mmHg menjadi 82,4(64 - 103) mmHg (p=0,000), pada kelompok perlakuan 89,2(81,5 – 98,5) mmHg menjadi 80,8 (67 – 90) mmHg (p=0,000). Akan tetapi, analisis rerata perubahan menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D tidak menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik (D = -4,6(-25 - -0,5) mmHg pada kelompok kontrol dan D = -9,2 (-20 - -27) mmHg pada kelompok perlakuan; p = 0.109) dan tekanan darah diastolik secara bermakna (D = -7,2 (-16 - -2) mmHg pada kelompok kontrol dan D = -8,4 (-14,5 - -8,5) mmHg pada kelompok perlakuan; p=0,559). Suplementasi vitamin D dapat meningkatkan kadar 25(OH)D secara bermakna, tetapi tidak menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik secara bermakna pada lansia.

Hypertension is the most common cardiovascular disease, especially in the elderly. Previous studies have reported that vitamin D play a role in blood pressure. In elderly, serum 25(OH)D levels decrease due to lack of sun exposure and intake of food sources of vitamin D. Vitamin D deficiency can be prevented by supplementation. This is an experimental study with double-blind randomized placebo-controlled trial (RCT) on elderly subjects at the Tresna Werdha Budi Mulia 1 Social Institution from April until June 2023 to analyze the effect of vitamin D supplementation on serum 25(OH)D levels and blood pressure. Serum 25(OH)D levels were examined using Chemiluminescent Immunoassay (CLIA) method, blood pressure was checked using digital sphygmomanometer. Supplementation was given once per day for 8 weeks, control group was given a placebo while treatment group was given vitamin D3 supplementation at dose of 2000IU (insufficiency subjects) and 4000IU (deficiency subjects). A total of 62 research subjects aged 60-89 years (median 67 years) participated in this study and randomized into 30 control group subjects and 32 treatment group subjects. The increase in serum 25(OH)D levels in the control group was 23 ± 4,87 ng/mL to 27,3 ± 7,34 ng/mL (p = 0.000), the treatment group was 17,9 ± 4,38 ng/mL to 36,07 ± 9,84 ng/mL (p = 0.000). Data analysis showed that vitamin D supplementation significantly increased 25(OH)D levels in the treatment group compared to the control group (D = 4,2 ± 2,47 ng/mL for control group and D = 18,17 ± 5,46 ng/mL for treatment group; p = 0.000). The decrease in systolic blood pressure in the control group was 133,9(121 – 159,5) mmHg to 129,3(96 – 159) mmHg (p = 0.027), the treatment group was 135,3(121 - 180) mmHg to 126(101 - 153) mmgHg (p = 0.000). The decrease in diastolic blood pressure in the control group was 89,6(80 - 105) mmHg to 82,4(64 - 103) mmHg (p = 0.000), the treatment group was 89,2(81,5 – 98,5) mmHg to 80,8 (67 – 90) mmHg (p = 0.000). However, data analysis showed that vitamin D supplementation did not cause a significant reduction in systolic blood pressure (D = -4,6(-25 - -0,5) mmHg for control group and D = -9,2 (-20 - -27) mmHg for treatment group; p = 0.109) and diastolic blood pressure in the treatment group compared to the control group (D = -7,2 (-16 - -2) mmHg for control group and D = -8,4(-14,5 - -8,5) mmHg for treatment group; p = 0.559). Vitamin D supplementation significantly increase serum 25(OH)D levels, but not significantly reduce systolic and diastolic blood pressure in the elderly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Sumaratih
"Latar Belakang. Selama ini pemberian oksigen dengan nasal kanul, sungkup hidung dan wajah merupakan tatalaksana pertama untuk gagal nafas hipoksemia. Alat high flow nasal cannula (HFNC) merupakan alternatif terapi oksigen yang lebih baik dari nasal kanul, karena dapat mengalirkan oksigen hingga 60 L/menit, FiO2 21% hingga 100% yang dilengkapi penghangat serta pelembab udara. Alat tersebut dapat menurunkan kerja otot- otot pernafasan dengan mekanisme menurunkan tekanan jalan nafas positif dan tahanan jalan nafas, meningkatkan oksigenasi, serta menghilangkan ruang rugi nasofaring. Penelitian ini bertujuan membandingkan HFNC dengan terapi oksigen konvensional (TOK) terhadap profil hemodinamik dan mikrosirkulasi pada pasien pascabedah.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji acak terkendali yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo bulan Februari hingga Juli 2019. Sebanyak 40 subjek terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok HFNC (n=20) dan kelompok terapi oksigen konvensional (TOK) (n=20). Pengambilan data dilakukan pada menit ke-0, 30, 60, jam ke-3 dan ke-24 setelah prosedur ekstubasi. Pengambilan data dilakukan menggunakan kateter vena sentral yang tertera di monitor, pengambilan darah dari kateter vena sentral, serta pengukuran hemodinamik dengan ICON® dari Ospyka. Uji kemaknaan dilakukan dengan uji-t tidak berpasangan dan generalize estimating equation (GEE) dengan SPSS versi 23.
Hasil. Hasil uji kemaknaan menunjukkan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok HFNC dengan kelompok TOK untuk seluruh luaran hemodinamik (p>0,05). Terdapat perbedaan bermakna untuk luaran kadar laktat pada uji GEE dengan perbedaan rerata sekitar 0,78 mmol/L (nilai p=0,049), namun secara klinis tidak berbeda bermakna. Hal ini disebabkan tidak ada subyek kami yang mengalami hipoksemia maupun gangguan hemodinamik perioperatif.
Kesimpulan. Penggunaan alat HFNC tidak lebih baik dibandingkan nasal kanul pada pasien pascabedah laparotomi abdomen atas di ICU.

Background. Conventional oxygen therapy (COT) with nasal cannula, simple mask or face mask remains as the first line therapy for hypoxemic respiratory failure. High flow nasal cannula (HFNC) serves as an alternative oxygen therapy which can deliver oxygen at the flow up to 60 L/min and FiO2 ranging from 21% to 100% via warm and humid air based on human's physiology. This device can decrease the workload of respiratory muscles by reducing positive airway pressure and airway resistances, improving oxygenation and washing out airways' dead space. This research was conducted to study the comparison between HFNC and COT on hemodynamic profile and microcirculation in post-upper abdominal patients.
Methods. This was an open label randomized controlled trial (RCT) at National Cipto Mangunkusumo between February to July 2019. Forty patients were recruited and divided into HFNC group (n=20) and COT group (n=20). Hemodynamic parameters were recorded using the bedside monitor (heart rate, respiratory rate, and mean arterial pressure) as well as the electrical cardiometry using ICON® measurements (stroke volume index, cardiac index and systemic vascular resistance index); laboratory parameters were ScvO2 and lactate serum collected via central venous catheter. Data were collected at 0, 30 minutes, 60 minutes, 3 hours and 24 hours after extubation. Statistic analysis were conducted using independent sample T-test and generating estimating equations (GEE) with SPSS 23.
Results. All analysis showed no statistically significant difference between HFNC and COT group for all hemodynamic parameters (p>0.05). There was a significant mean difference for 0.78 mmol/L of serum lactate level according to GEE analysis in HFNC group (p=0.049), whereas this difference is not clinically significant. This results are caused by relatively stable subjects condition without the occurrence of perioperative hypoxemia or hemodynamic disturbances.
Conclusion. In post-upper abdominal surgery patients, HFNC is not superior compared to COT on improving hemodynamic and microcirculation outcomes.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>