Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134021 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rika Anggraini
"Tesis ini membahas tentang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai di Indonesia Pasca Reformasi, dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaturan dan dasar pemikiran kebijakan penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan sistem kepartaian dan batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR.
Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah : 1) Partai Politik tidak mendapat status badan, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun terjadi penurunan jumlah partai politik yang diakui sebagai badan hukum dan parpol yang dapat mengikuti pemilu, namun dari pemilu 2004 sampai 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, namun demikian terdapat prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam pengaturan kebijakan tersebut, yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif.

This thesis discusses Political Party Simplification Policy Towards Moderate Multiparty System in Indonesia Post-Reform, with main objective figuring out the arrangement and underlining idea at party Simplification, legal implication at its implementation on political parties and party system and its boundaries in keeping in line with the mandate of 1945 Constitution. The research was conducted using the method of normative legal research, literature study, and comparing applicable legislation to the associated problems, then with the principles of existing law or doctrine, and with regard to current practices as a study of the history of law.
The results of this study demonstrate that the Political Party Simplification Policy Post-Reform in Indonesia aims to realize a simple multi-party system in an effort to strengthen the stability of the presidential system of government and also to create a political party as a national organization, promoting national integrity and strengthen the parties institutionallity. Manifestation of the simplification policies of political parties is through qualitative and quantitative terms in founding and registrating political parties as a legal entity, as well as qualitative and quantitative threshold requirement of seats (electoral threshold) for the party to take part in the elections and voting threshold requirement (parliamentary threshold) as a requirement to be able to put the seats in Parliament.
The legal consequences of simplification policies of political parties are : 1) Political parties do not get the status of the legal body, 2) political parties do not take part in the elections and 3). Political parties can not gain seats in the House. Despite the decline in the number of political parties which are recognized as legal entities and political parties to follow the election, but the election of 2004 to 2009, it still creates extreme multiparty system. However, the policy Parliamentary Threshold enforcement lowered ENPP Value (effective number of parties in parliament) which was originally worth 7.07 in 2004 to 6.47 in 2009. Simplification policy do not conflict with the 1945 Constitution, simplification policy is an implementation of Article 28 of the 1945 Constitution and legal policy options of the former act. However, there are principles that should be followed in setting the policy, namely : democratic principle, rationality and non-discriminatory
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Illiyina
"Tesis yang merupakan kajian interdisipliner antara kajian lembaga negara dengan kajian politik ini membahas perkembangan koalisi partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat dalam era reformasi. Penelitian ini menganalisis dinamika koalisi partai politik dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi legislatif di Indonesia. Dalam menganalisis dinamika koalisi partai politik dan pengaruhnya terhadap pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia penulis menemukan bahwa konfigurasi partai politik dan koalisi partai politik yang terbangun turut mempengaruhi pelaksanaan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan (statutory approach), dan pendekatan kasus (case approach) ini merekomendasikan perlunya koalisi berbasis kesamaan ideologi dan haluan (platform) politik diantara partai politik yang berkoalisi, menata pelembagaan koalisi yang mapan, menata ulang format pemilu dalam arti luas.

This thesis is an interdisciplinary study between state organ studies and political studies that discusses the development of political party coalition in reformation era of the House of Representative of the Republic of Indonesia. In analyze the dynamic of political party coalition and its influence to application to the House of Representative function in Indonesia, the author find that the configuration of political party and political party coalition that was built also influences the function of the House of Representative of the Republic of Indonesia. The research conducted by statutory approach and case approach recommend that need to set up the coalition base on similarity ideology and political platform among political party in coalition, to institutionalizing of establish coalition and reformulation of general electoral design in broader sense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31445
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanifuddin
"Tesis ini fokus mengkaji institusionalisasi Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang didorong oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi politik di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejak Pemilu 2009, 2014, hingga 2019, perolehan suara PKB meningkat. Jumlah kader partai yang terjerat kasus korupsi relatif sedikit dibanding dengan partai lain. Pertanyaan utama yang hendak dijawab adalah bagaimana institusionalisasi SIPP di PKB yang diinisiasi oleh KPK sebagai bagian dari upaya pencegahan korupsi politik? Kerangka teori yang digunakan adalah teori institusionalisasi O’Donnell. Terdapat dua tahapan institusionalisasi; penyebaran nilai (value infusion) dan tindakan rutinitas terhadap nilai tersebut (behavioral routinization). Data dikumpulkan melalui kajian pustaka dan wawancara. Penelitian ini menunjukan bahwa institusionalisasi SIPP di PKB berlangsung melalui tahap penyebaran nilai-nilai SIPP. Sebaran ini terdapat dalam Mabda’ Siyasi, AD/ART, Manifesto PKB, dan Peraturan Partai. Di dalamnya diatur tentang kode etik, kaderisasi dan rekrutmen, demokratisasi internal, dan tata kelola keuangan. Tahapan berikutnya adalah pembiasaan menjadikan ketentuan internal PKB ini dalam menjalankan kegiatan kepartaian. PKB adalah salah satu partai yang menyambut baik keberadaan SIPP. Bagi PKB, SIPP adalah akselerasi untuk memperkuat integritas partai. Menjadi langkah nyata pencegahan korupsi politik yang melibatkan kader partai. Dari penelitian ini, perlu dikembangkan lebih lanjut teori institusionalisasi yang dapat menganalisa lebih detail hubungan antara penyebaran nilai (value infusion) dan pembiasaannya (behavioral routinization).

This thesis focuses on examining the institutionalization of the Political Party Integrity System (SIPP) which was pushed by the Corruption Eradication Commission (KPK) as part of efforts to prevent political corruption in the National Awakening Party (PKB). Since the 2009, 2014 and 2019 elections, PKB's vote share has increased. The number of party cadres who were caught in corruption cases was relatively small compared to other parties. The main question to be answered is how the institutionalization of SIPP in PKB was initiated by the KPK as part of efforts to prevent political corruption? The theoretical framework used is O'Donnell's institutionalization theory. There are two stages of institutionalization; the spread of values ​​(value infusion) and routine actions against these values ​​(behavioral routineization). Data was collected through literature review and interviews. This research shows that the institutionalization of SIPP in PKB takes place through the stage of spreading SIPP values. This distribution is contained in Mabda' Siyasi, AD/ART, PKB Manifesto, and Party Regulations. It regulates the code of ethics, regeneration and recruitment, internal democratization, and financial governance. The next stage is getting used to the internal provisions of this PKB in carrying out party activities. PKB is one of the parties that welcomes the existence of SIPP. For PKB, SIPP is an acceleration to strengthen party integrity. Become a concrete step to prevent political corruption involving party cadres. From this research, it is necessary to further develop an institutionalization theory that can analyze in more detail the relationship between value infusion and behavioral routineization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erfandi
"Eksistensi penderogasian HAM melalui penyederhanaan partai politik dalam dialektika negara hukum (rechstaat) mulai banyak dikaitkan dengan konsep ketatanegaraan yang demokratis, baik dalam masa demokrasi tidak langsung (undirect democration) atau pada masa demokrasi langsung (direct democration) di Indonesia, realitas ini ditandai dengan munculnya Parlimentary Treshold dalam UU Pemilu dan UU partai politik.
Untuk memfokuskan pembahasan diatas, terutama yang berkaitan dengan korelasi HAM dan Partai Politik dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. maka perlu dibatasi dengan metode yuridis normatif dengan menelaah kepustakaan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan HAM dan Partai politik, serta mempertajam analisa secara komprehensif untuk memberikan solusi terhadap kebuntuan ketatatanegaraan Republik Indonesia saat ini dengan menggunakan Metode preskriptif evaluatif. Berhubungan dengan penegakan HAM melalui penyederhanaan partai politik akan banyak menimbulkan permasalahan ditengah maraknya sistem multi partai.
Disatu sisi banyaknya partai politik dalam sistem presidensial akan berimplikasi terhadap efektifitas kinerja parlemen dan Presiden dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Disisi lain adanya pembatasan partai politik ditengarai sebagai bentuk pembatasan HAM terhadap setiap indifidu yang justru bertentangan dengan semangat hak asasi untuk terlibat dalam pemerintahan. Tidak cukup hanya berdasarkan atas Konvenan Internasional Pasal 4 yang melegitimasi adanya pemabatasan terhadap hak sipil politik atau bersandarkan kepada Pasal 28 J yang menagtur pembatasan HAM, melainkan dibutuhkan perundang-undangan yang mengatur lebih teknis tentang mekanisme penderogasian terhadap partai politik, baik melalui syarat pembentukan partai dan/atau syarat masuknya partai politik ke parlemen sehingga akan berdampak pada kinerja di parlemen dan efektifitas sistem presidensial yang sudah ada.
Konsep penderogasian tersebut, tidak hanya berhenti melalui penderogasian terhadap partai politik melainkan dilanjutkan dengan penyederhanaan fraksi di parlemen sebagai wujud balances system di parlemen. Pembentukan dua fraksi, posisi dan oposisi sangat penting dilakukan untuk efektifitas pemerintahan dalam sistem presidensial dengan sistem multi partai seperti Indonesia ini.

The Existence of Human Rights derogation through political party simplification in Law State (rechstaat) dialectics has been started to be associated with the democratic constitutional concept, either in indirect democracy era or direct democracy era in Indonesia. This reality is marked by the emergence of Parliamentary Threshold in Election and Political Party Laws.
To make focus the above discussion which is primarily about the correlation between Human Rights and Political party in Indonesian Constitutional System, the limitations are made. The research is limited by means of Juridical Normative Method by reviewing the literature and the laws that are related to Human Rights and Political Party. Moreover, it is also important to sharpen the analysis comprehensively to give the solution towards the impasse of current Indonesian Constitutional System by using Prescriptive Evaluative Method.
Human Rights establishment through the simplification of political party will trigger many problems in the midst of multi-party system. On one side, the amount of political parties in presidential system will have an implication towards the effectiveness of parliamentary performance and president in running their duties and functions. On the other side, the existence of political party limitation is suspected as the form of Human Rights restraint towards each individual which is contradict with the spirit of right to involve in governmental ruling. The 4th article of international covenant which is legitimate the existences of the political civil right limitation or the 8th J article of Human Rights restriction Laws are not enough. In spite of that, the laws which regulate about derogation mechanism more technically toward political party are needed. They are needed either through the requirement of party establishment and/or the requirement of political parties? inclusion into parliament, thus it will have an impact towards their performance in the parliament and the effectiveness of the current presidential system.
That derogation concept is not only stopped through the political parties derogation but also continued with the simplification of factions in the parliament as the form of balanced system in the parliament. The establishment of two factions, position and opposition is very important for government effectiveness in presidential system with multi-party system such as in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Gelora Mahardika
"Tesis ini membahas tentang dinamika perselisihan internal partai politik paska reformasi. Bagaimana terjadinya tumpang tindih kewenangan lembaga peradilan yang pada akhirnya menciptakan ketidakpastian hukum terhadap status partai politik. Badan hukum yang pada awalnya berfungsi untuk mengembalikan kedaulatan partai politik ke tangan anggota justru menjadi alat politik baru bagi pemerintah. Berbagai macam putusan pengadilan telah dikeluarkan, namun bukan menyelesaikan justru menimbulkan kekacauan baru dalam dunia hukum ketatanegaraan Indonesia.Penelitian ini melihat bagaimana mekanisme penyelesaian partai politik yang saat ini terjadi berdasarkan Undang-Undang tentang Partai Politik dan bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitannya.

This thesis discusses the dynamics of internal strife post-reform political party. Overlapping authority of the judiciary, which in turn creates legal uncertainty on the status of political parties. The legal entity that initially serves to restore sovereignty to the political parties itself became a new political tool for the government. Various kinds of court rulings have been issued, but not yet resolved, instead of would lead to new turmoil in the Indonesia constitutional law .This reserach see how the mechanism for resolution of political parties that currently occurs based on to Law No. 2 of 2011 on Political Parties and how to overcome its difficulties"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dony Syali Saputra
"Penelitian ini menjelaskan bagaimana proses pembahasan kebijakan subsidi BBM dalam RUU APBNP 2015 yang dilakukan pada saat DPR dikuasai oleh kelompok di luar koalisi presiden, tidak mengalami kebuntuan politik yang berujung pada disfungsi pemerintahan. Berpijak pada pendekatan koalisi presidensial sebagai dasar argumennya, penelitian ini mengeksplorasi kerangka kerja kelembagaan baik formal maupun informal yang mengatur relasi presiden dan DPR dengan berpusat pada Presiden Widodo sebagai aktor utama. Temuan penelitian menunjukkan ada dua faktor utama yang menyebabkan pembahasan kebijakan subsidi BBM dalam RUU APBNP 2015 tidak mengalami kebuntuan politik. Pertama, unsur-unsur institusional baik formal maupun informal yang mengatur relasi presiden dan DPR dalam proses politik anggaran di Indonesia menyebabkan integrasi eksekutif-legislatif yang mendorong Presiden Widodo dan elit-elit partai politik untuk bersikap akomodatif dan mengutamakan musyawarah mufakat. Kedua, perilaku akomodatif dan musyawarah mufakat difasilitasi oleh tersedianya alat kekuasaan eksekutif yang dapat digunakan Presiden Widodo untuk membangun dukungan politik di DPR terkait dengan: mendisiplinkan fraksi-fraksi dalam koalisi presiden untuk satu suara dengan pemerintah; serta melakukan kompromi dengan fraksi-fraksi di luar koalisi presiden.

This research explained about budgeting process of fuel subsidy policy on RUU APBNP 2015, which is done by president and DPR while they controlled by groups outside the president coalition. Even though, this situation didn't made a political impasse which is can create a government dysfunction. Based on presidential coalitional approach as foundation to build its argument, this research explored the institutional framework either formal or informal that set the relation between president and DPR which centered to President Widodo as main actor. The findings of the study indicate that there are two main factors that causing the discussion of fuel subsidy policy in RUU APBNP 2015 doesn't have political deadlock. First, institutional elements either formal or informal which govern the relation between president and DPR on budgetting process in Indonesia causes executive legislative integration, thus encouraging President Widodo and elites of political parties to be accomodative and consensual in their behavior. Second, accomodative and consensus behavior has been facilitated with the executive toolbox. In this case, can be use by the President Widodo to build political support in DPR, which are diciplining parties within his coalition and build cooperation with parties from outside his coalition.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Purwanti
"Affirmative Action (tindakan khusus sementara) untuk perempuan di bidang politik, pertama kali termuat dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR RI, DPD dan DPRD. Regulasi tersebut berlanjut pada Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD dan DPRD (Legislatif). Ketentuan tersebut merupakan hal baru di Indonesia karena mengatur keadilan gender dalam rekruitmen dan manajemen partai politik dan memasukkan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, selain itu ada keharusan partai politik untuk memasukkan setidaknya 1 orang perempuan dalam setiap 3 bakal calon Legislatif (zipper system).
Politik hukum dianggap sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang diharapkan bisa membantu mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat, karena politik akan mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukumnya serta akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Politik Hukum adalah aktivitas memilih cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan tujuan hukum tertentu. Undang-Undang Paket Politik yang ada sejak Reformasi merupakan representasi dari keinginan masyarakat (perempuan) untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan di bidang Legislatif, dan hasilnya pada Pemilu Legislatif pada Tahun 2004 jumlah keterwakilan perempuan sebesar 11,3 %. Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009, setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak, keterwakilan perempuan di DPR sebesar 18,04% , di DPRD Provinsi sebesar 16,0 % dan pada DPRD Kabupaten/Kota sebesar 12,0 % .Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelum diterapkannya affirmative action pada masa Orde Lama dan Baru yaitu pada Pemilu Tahun 1992 (sebesar 12,50%).
Penelitian dalam disertasi ini melihat hukum dalam konsepnya sebagai norma sekaligus perilaku dan implementasinya, metode yang digunakan adalah sosio legal research, dengan demikian teks yang mengatur partisipasi perempuan dikaji dengan konteksnya di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana perkembangan politik hukum pengaturan partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di Lembaga Legislatif (Perwakilan), (2) bagaimana implementasi pengaturan keterwakilan perempuan di bidang Legislatif sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif. Sedangkan permasalahan (3) adalah merumuskan bagaimana sebaiknya pengaturan partisipasi perempuan di Legislatif (Perwakilan) yang akan datang.
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kualitatif dengan mengunakan teori dari Hans Kelsen, Teori Responsif Philippe Nonet dan Philippe Selznick, Teori Hukum Progresif, Lawrence M Friedman dan William J Chambliss dan Robert B Seidman, dan Teori Pembentukan Agenda dari J.M.Otto Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Bali, dengan perbandingan negara Swedia, The Netherlands dan Malaysia dan 3 Partai Politik yaitu PDI Perjuangan, Golkar dan PKB.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) perkembangan politik hukum terutama sejak era reformasi tahun 1998 mendorong meningkatnya partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di lembaga Legislatif (Perwakilan), (2) Budaya patriarkhi yang masih berkelindan pada stakeholder termasuk partai politik dan masyarakat pemilih termasuk perempuan menjadi kendala belum optimalnya partisipasi perempuan di Legislatif (Perwakilan) di Jawa Tengah, Sumatra Barat dan Bali. (3) pengaturan ideal keterwakilan perempuan di bidang politik khususnya pada Legislatif (Perwakilan) memerlukan pengaturan yang bersifat responsif dan progresif khususnya pada pembentukan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif yang akan datang.
Partai Politik segera memasukkan program terkait dengan pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. dengan demikian Partai Politik dapat melaksanakan program kaderisasi, rekruitmen, pendidikan politik bagi perempuan, sehingga akan tersedia cukup banyak calon legislatif perempuan yang berkualitas. Hasil lainnya adalah memaksimalkan lembaga suprastruktur, infrastruktur dan lembaga non departemen dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas perempuan di bidang politik.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penelitian ini merekomendasikan agar tetap memasukkam prinsip affirmatif action di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif. Selain itu Partai Politik sebagai stakeholder utama diwajibkan memasukkan program pemberdayaan perempuan dalam AD/ART sebagai syarat utama menjadi peserta pemilu Legislatif. Hal ini disebabkan karena dari 12 partai politik peserta pemilu tahun 2014 hanya 3 partai politik yang mempunyai program pemberdayaan perempuan di dalam AD/ART yaitu (PKB, Gerindra, dan PAN). Partisipasi perempuan di Lembaga Legislatif akan meningkat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang yaitu sebesar 30% jika pada Paket Undang-Undang Politik yang akan datang menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup, dengan syarat partai politik mempunyai komitmen yang kuat terhadap peningkatan partisipasi perempuan di lembaga Legislatif.

Affirmative Action is temporary special measure for woman in political area has regulated on Act of Political Party (UU Nomor 31 Tahun 2002) and Act of Parliament Election (UU Nomor 12 Tahun 2003), it is regulate further and revised on Act Number 2 Year 2008 and Act Number 2 Year 2011 on Political Party and Act Number 10 Year 2008 and Act Number 8 Year 2012 on Parliament Election. Those regulation on affirmative action for woman are considered as a "new stuff" in Indonesia that specificly regulate about the gender equility on political party recruitment and management thats include the 30% woman representation on legislative candidate selection, it is also regulate that political party have to included at least one woman in every three candidate of preliminary legislative (zipper system).
Legal policy are considered as a legal policy that expected to change purpose on society because political will in law making process could make an impact on law from the basis of the configuration of political background process on law making process in legislative. The Act of Political Parties which had been exist since reformation can be considered as reflaction of people will to influence on policy making. The result from Legislative Election at 2004 has make woman representation in parliament about 11,3% and Legislative Election at 2009, after Constitutional Court Decree result 18,04 woman representation in Legislative and 16% on Province Legislative and 12% on City Legislative , those numbers are higher if its compared to the legislative election on the new order regime (12,5% on the 1992 election).
This doctoral research is trying to see the problem of woman representation based on law as norm and also behavior include its implementation by using socio legal research method to actualize law on its text and context. The problem that appear on this research are : first, how the development of the legal policy on woman representation in the political field especially in legislative, the second is how the regulation of woman representation works in reality according to the Act of Political Parties and the Act of Parliament Election, and third is how to formulate the ideal regulation of woman political legislative participation in the upcoming election.
This qualitative research using the theories from, Hans Kelsen, , Lawrence M Friedman and William J Chambliss and Robert B Seidman, Satjipto Rahardjo Progressive Law Theories and Agenda?s Theories from JM Otto. This research took place in Central Java, West Sumatra and Bali, with the comparison three different nation state Swedia, Netherlands dan Malaysia, the study of political party in Indonesia take place on PDI Perjuangan, Golkar and PKB.
The results from this research are (1) the development of the legal policy especially in reformation era after 1998 is very determining woman representation in political field especially legislative field. (2) Patriarkhi culture is still give an impact to the stakeholders such as political party and the voters include women it self become the main factor in the optimalization of woman participation number in Central Java, West Sumatra and Bali. (3) The ideal woman legislative representation should be regulate with progressive and responsif laws which is required in the formulated of Political Party Acts should held women empowering programme on their basic principles, so they could run and should be given on the party that doesnt obey the woman political representation both on the recruitment or in the management of the party.
Political parties as the main stakeholders that related to the woman participation especially political party should have a clear agenda to achieve the ideal condition of woman representation in political field from the level of caderization, recruitment, political education for woman, that have a clear impact both on the quality and quantity on the woman politician. The Maximalization of the suprastructure and infrastructure institution, and even the grassroot political movement and woman movement from NGO's.
Based on these Research, I recommend that the future Political Party Act and Legislative Election Acts should maintain the affirmative action principles. On the other hand, all of the stakeholders that correlated with empowering woman, on political area, especially the Political Party to held an woman empowerement programmes. So far, there are only three among twelve party on the 2014 election that has already have woman empowerement program on their rule of conduct; PKB, Gerindra and PAN. On the future,the rule of conduct that consist the woman empowerement and political agenda as one of the election's verification reqruienment. The number of woman participation on Parliament could raised if on the future election act is using the Proportional Closed List System, plus the commitment of political party to enhance the number of woman member is a must.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D1469
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Wail Akhlas
"Pada tahun 2015, Australia membentuk kebijakan China-Australia Free Trade Agreement untuk merealisasikan kerja sama bilateral dengan negara Cina. Di Australia, kebijakan China-Australia Free Trade Agreement merupakan program dari partai Koalisi (Liberal, Nasional, Liberal Nasional Queensland, dan Country Liberal) untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal. Terkait hal itu, partai Buruh sebagai oposisi menentang kebijakan tersebut karena potensi masuknya tenaga kerja asal Cina yang dapat mengganggu lapangan pekerjaan masyarakat lokal dan penyertaan ketentuan Investor-State Dispute Settlement. Penelitian ini membahas mengenai proses politik dalam pembentukan kebijakan China-Australia Free Trade Agreement yang dibentuk pada tahun 2015. Penelitian ini menggunakan teori formulasi kebijakan yang dikemukakan oleh Werner Jann dan Kai Wegrich dan teori kepentingan nasional yang dikemukakan oleh Daniel S. Papp. Berdasarkan temuan, kerja sama China-Australia Free Trade Agreement menghasilkan kebijakan bipartisan yang disetujui oleh partai Koalisi dan partai Buruh. Hal ini karena partai Koalisi memasukkan agenda partai Buruh mengenai regulasi perlindungan tenaga kerja. Sebagai timbal balik, partai Buruh menyetujui rancangan kebijakan China-Australia Free Trade Agreement. Temuan lain pada penelitian ini yakni kebijakan bipartisan tersebut didorong oleh adanya kepentingan nasional Australia dalam bidang ekonomi seperti untuk melakukan diversifikasi ekonomi, intensifikasi ekspor, dan menciptakan lapangan kerja.

In 2015, Australia formed the China-Australia Free Trade Agreement to obtain a bilateral agreement with China. In Australia, the China-Australia Free atrade Agreement is a program from coalision party (Liberal, National, Liberal National Queensland and Country Liberal Party) to increase the local economic growth. Hence, Labour Party as an opposition rejected the policy due to the potential of Chinese workers that might disrupt the job opportunities of local workforce and the conditions of Investor-State Dispute Settlement. This journal explores the political process in the formation of China-Australia Free Trade Agreement that was formed in 2015. This research uses the policy formulation theory adopted by Werner Jann and Kai Wegrich and the theory of national interests by Daniel S. Papp. The findings show that China-Australia Free Trade Agreements resulted in bipartisan policy which is approved by Coalision Party and Labour Party. It is because the Coalision Party has included the agenda of Labour Party regarding the protection of labour force regulation. On the other hand, Labour Party has approved the China-Australia Free Trade Agreement bill. It is also found that the bipartisan policy is driven by economic factors such as economic diversification, export intensification and creating more jobs opportunities.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Political party has been an important instution in the democracy system.The role is to unify nation and to grow free and justice and brotherhood to form an united nation...."
JUILPEM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>