Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168994 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Julianti Widury
"Penyakit kronis merupakan penyakit yang bertahan dalam waktu yang lama dan biausanya tidak dapat disembuhkan. Salah satu penyakit yang termasuk ke dalam kategori tersebut, yaitu Lupus Erilemalosus Sistemik (SLE). SLE juga termasuk penyakit autoimun yang belum banyak diketahui masyarakat awam karena jumlah penyandangnya relaiif sedikit dan sulit untuk didiagnosa Para penyandang SLE rnemiliki gejala lisik dan psikologis, oleh karena itu peneliti tertaiik untuk mengetahui kondisi psikologis para penyandang SLE, Alai ukur psikologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah MMPI (ll/Hnnesota Multiphasfc Personality Inventory), Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kondisi psikologis para penyandang SLE yang pemah rernisi dan belum remisi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif Pengumpulan data menggunakan material tes MMPI dan wawancaru. Subjek peneliiian selumhnya adalah penyandang SLE, berjenis kelamin perempuan, berusia sekitar 16 hingga 45 tahun, dan berpendidikan minimal SMA. Jumlah sarnpel pada penelitian ini berjumlah 8 orang, 4 orang tergolong pemah remisi dan 4 orang tergolong belum remisi Penelitian dilakukan dalam 2 tahap, tahap pertama melakukan tes MMPI dan tahap kedua mewawancarai subjek penelitian berdasarkan profil yang diperoleh Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan bentuk narrative presentation.
Hasil penelitian pada penyandang SLE yang pemah remisi menggambarkan skala Pd (Psychopathic Deviate), skala Si (Social Imroversionj. skala R (Repression), skala Hs (Hypachondriasis), dan skala Es (Ego Strength) sebagai skala MMPI yang paling menonjol Pada penyandang SLE yang belum remisi, skala-skala MMPI yang paling menonjol pada penelitian ini adalah skala Hy (Hysteria). Selain ilu, diketahui bahwa kondisi psikologis yang berbeda anlara penyandang SLE yang pemah remisi dan belum remisi pada penelitian ini terutama dalam hal kesediaan untuk menerima satan, pendapat, sena mempercayaj orang Iain; keluhan Hsik yang disampaikan; serta kepercayaan dan kepuasaan pada diri sendiri.
Beberapa saran unluk penelitian selanjutnya adala|1 agar Iebih memperhalikan homogenttas sampek. memperbanyak jurnlah sampel, meneliti secara khusus skala Sc (Schizophrenia) pada MMPI menggunakan tes inventori lainnya (Edwards Personal Prekrence Schedule), dan melakukan Studi banding anlara hasil MMPI para penyandang SLE dengan subjek normal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhany Yudianto
2008
T38306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alisa Nurul Muthia
"Latar Belakang: Mikofenolat adalah salah satu imunosupresan yang efektif pada berbagai manifestasi LES. Penggunaan jangka panjang dihubungkan dengan teratogenisitas, risiko infeksi, dan biaya yang besar. Strategi "think-to-untreat" adalah strategi potensial untuk mengurangi beban imunosupresan jangka panjang pada pasien LES remisi, namun dihadapkan pada risiko eksaserbasi. Penelitian terkait risiko eksaserbasi dan faktor prediktornya pada penurunan dosis imunosupresan masih sangat terbatas. Tujuan: Mengetahui dampak penurunan dosis mikofenolat pada pasien LES yang telah mencapai remisi. Metode: Data diambil dari rekam medis Rumah Sakit Umum Nasional Cipto Mangunkusumo periode Januari 2021-Desember 2024. Desain penelitian kohort retrospektif. Pemilihan subjek dengan consecutive sampling. Kriteria inklusi: usia ≥18 tahun, diagnosis LES sesuai klasifikasi EULAR 2019, remisi sesuai kriteria DORIS 2021, mendapatkan terapi mikofenolat hingga tercapai remisi yang kemudian dosisnya diturunkan, kontrol >1 kali dalam 12 bulan pemantauan. Kriteria eksklusi: memiliki kondisi autoimun selain LES, mendapat mikofenolat untuk indikasi selain LES, dalam terapi imunosupresan lain selain mikofenolat, mengalami infeksi berat saat pengamatan, tidak memiliki data yang lengkap. Analisis kesintasan menggunakan kurva Kaplan Meier dan log-rank test. Faktor prediktor dievaluasi melalui analisis bivariat dan multivariat dengan metode regresi Cox. Hasil: Kesintasan bebas eksaserbasi 1 tahun pasca penurunan dosis mikofenolat pada LES remisi adalah 60,5%, dengan mean survival time 9,9 bulan. Berdasarkan analisis multivariat, anti-dsDNA yang tinggi saat remisi dan durasi remisi <6 bulan meningkatkan risiko ekaserbasi dengan HR 1,998 dan 1,985. Usia saat terdiagnosis, riwayat nefritis, riwayat neuropsikiatrik, kadar komplemen rendah, dan penurunan dosis steroid tidak terbukti sebagai faktor prediktor eksaserbasi. Simpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan dosis mikofenolat dapat dilakukan pada LES remisi, namun diperlukan stratifikasi risiko. Pasien dengan kadar anti-dsDNA yang tinggi saat remisi memerlukan pemantauan lebih ketat. Durasi remisi perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk menurunkan dosis mikofenolat

Background: Mycophenolate is one of the effective immunosuppressants for various SLE manifestations. Long-term use is associated with teratogenicity, infection risk, and high costs. The "think-to-untreat" strategy is a potential approach to reduce the long-term immunosuppressant burden in SLE patients in remission, but faces the risk of flare. Research regarding flare risks and their predictive factors during immunosuppressant dose reduction remains very limited. Objective: To determine the impact of mycophenolate dose reduction in SLE patients who have achieved remission. Methods: Data was collected from medical records at Cipto Mangunkusumo National General Hospital from January 2021 to December 2024. This was a retrospective cohort study. Subjects were selected using consecutive sampling. Inclusion criteria: age ≥18 years, SLE diagnosis according to EULAR 2019 classification, remission according to DORIS 2021 criteria, received mycophenolate therapy until remission was achieved followed by dose reduction, >1 follow-up visit during 12 months of monitoring. Exclusion criteria: having autoimmune conditions other than SLE, receiving mycophenolate for non-SLE indications, on other immunosuppressant therapy besides mycophenolate, experiencing severe infection during observation, incomplete data. Survival analysis used Kaplan Meier curves and log-rank test. Predictive factors were evaluated through bivariate and multivariate analysis using Cox regression. Results: One-year exacerbation-free survival after mycophenolate dose reduction in SLE remission was 60.5%, with a mean survival time of 9.9 months. Based on multivariate analysis, high anti-dsDNA during remission and remission duration <6 months increased exacerbation risk with HR 1,998 and 1.985. Age at diagnosis, history of nephritis, neuropsychiatric history, low complement levels, and steroid dose reduction were not proven to be predictive factors for exacerbation. Conclusion: This study shows that mycophenolate dose reduction can be performed in SLE remission, but risk stratification is needed. Patients with high anti-dsDNA levels during remission require closer monitoring. Remission duration needs to be considered before deciding to reduce mycophenolate dose."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mei Puspita Sari
"Banyak penyakit kronis yang menjadi masalah bagi aktivitas pekerjaan dan status bekerja (Taylor, 2003). Dengan bekerja, laki-laki memenuhi tugasnya dalam tahap dewasa awal dan peran gender sebagai penjaga dan pemberi nafkah (Papalia et al., 2007). Untuk memenuhi hal tersebut, pada penderita SLE diperlukan pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan berbagai alternatif berdasarkan pada teori Janis (dalam Janis & Mann, 1977), yang terdiri dari lima tahap proses pengambilan keputusan dan lima faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan (Kemdal & Montgomery, dalam Reynard, Crozier, & Svenson, 1997).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran proses pengambilan keputusan untuk bekerja pada penderita SLE laki-laki dan faktor-faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan. Partisipan penelitian ini adalah tiga penderita SLE laki-laki usia dewasa muda dan bekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua partisipan melewati kelima tahap dalam proses pengambilan keputusan. Kedua partisipan melewati tahap satu sampai empat dan hanya satu partisipan yang melewati tahap satu sampai tahap kelima. Selain itu, faktor preference, belief, circumstances dan action merupakan faktor yang berperan dalam proses pengambilan keputusan pada ketiga partisipan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor preference dan circumstances merupakan faktor yang paling berpengaruh dibandingkan faktor lainnya.

There are so many chronic diseases which become a problem in working activity and working status (Taylor, 2003). By working, men could fulfill his duty on young adulthood and gender role as a care taker and live provider (Papalia et al., 2007). In order to fulfill that situation, the SLE patient needs a decision making by considering various alternatives based on Janis theory (in Janis & Mann, 1977), which consist of five level the decision making process and five factors which have a role in decision making (Kemdal & Montgomery, in Reynard, Crozier, & Svenson, 1997).
This research intend to acknowledge the description of the decision making process to work on the men SLE patient and factors which have a role in decision making process. This research participant are three men SLE patient young adulthood and work.
The research result showed that not all participants pass through all the fifth level in decision making process. Two participants pass through first level up to fourth level and only one participant who pass through first level up to fifth level. Beside that, the preference, belief, circumstances and action factors are factors which have a role in decision making process on three participants. Among the fourth factor, preference and circumstances factors are the most influential factor than others.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
153.83 SAR g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ayuningtyas
"ABSTRAK
Latar belakang : Prevalens terjadinya malnutrisi bervariasi pada berbagai siklus kemoterapi LLA. Penelitian di Malaysia mendapatkan anak LLA pasca-kemoterapi fase induksi cenderung mengalami obesitas atau status gizi lebih. Penyebab malnutrisi pada anak LLA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perubahan status gizi selama kemoterapi dapat memengaruhi luaran kemoterapi.
Tujuan: mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perbaikan status gizi anak LLA setelah kemoterapi fase konsolidasi, serta pengaruhnya terhadap luaran kemoterapi, sehingga dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya mengatasi malnutrisi pada anak LLA.
Metode : Penelitian ini dengan uji retrospektif, di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2016-2018. Total sampling pada pasien leukemia limfoblastik akut yang terdiagnosis, dan menjalani kemoterapi di RSCM hingga fase konsolidasi.
Hasil : Seratus empat puluh satu subyek pasien anak LLA diikutsertakan dalam penelitian ini. Terdapat 69,5% subyek mengalami perbaikan status gizi, dan 30,5% mengalami perburukan status gizi, dengan 60% perburukan ke arah overnutrition pasca-kemoterapi fase konsolidasi. Faktor risiko independen terhadap terjadinya perbaikan status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi ialah tidak timbulnya efek samping kemoterapi (RR 1,36, 95% IK 1,02 - 1,81). Jenis makanan dan cara pemberian makan tidak memengaruhi perubahan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi dengan kejadian remisi (RR 1,24, 95% IK 1,03 - 1,5).
Simpulan : Status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi mengalami perbaikan dibandingkan sebelum kemoterapi, sedangkan yang mengalami perburukan status gizi cenderung mengalami overnutrition. Perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dipengaruhi oleh tidak timbulnya efek samping kemoterapi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dengan kejadian remisi.

ABSTRACT
Background: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common malignancy in childhood. The prevalence of malnutrition varies in phase of ALL chemotherapy. Study in Malaysia showed ALL children after induction phase of chemotherapy tended to be obese or overweight. The causes of malnutrition in ALL children can be influenced by various factors. Changes in nutritional status during chemotherapy can affect the outcome of chemotherapy.
Aim: To investigate factors that influence nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase, as well as the effect on the outcomes of chemotherapy, so it can be used as an input to overcome malnutrition in ALL children.
Method: A retrospective design was performed in Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 until 2018. Total sampling in patients with acute lymphoblastic leukemia who was diagnosed and started chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital until the consolidation phase.
Result: A total of 141 subjects were included in this study. After consolidation phase, 69.5% of subjects experienced nutritional status improvements, and 30.5% worsened, of which 60% become over nutrition post-consolidation phase. Independent risk factor for the improvement of nutritional status after consolidation phase was the absence of chemotherapy side effects (RR 1.36, 95% CI 1.02 - 1.81). There were no association between type of food and route of feeding with nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There was association between improvement in nutritional status of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission (RR 1.24, 95% CI 1.03 - 1.5).
Conclusion: Nutritional status at post-consolidation phase has improved compared to pre- chemotherapy, while those who worsening nutritional status tend to overnutrition. The absence of chemotherapy side effects affects nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There is a relationship between nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avian Andika
"Peningkatan atensi terhadap penggunaan Screen Time orang tua maupun anak sudah menjadi bagian integral dalam kehidupan. Sayangnya, anak usia sekolah saat ini lebih sering beraktivitas dengan hanya menatap layar selama waktu yang lama. Hal itu, membuat anak terpapar layar dengan durasi yang melebihi rekomendasi sehingga menimbulkan efek negatif terhadap tumbuh kembang anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran Screen Time dan mengidentifikasi hubungan lama Screen Time dengan perkembangan sosial. Penelitian menggunakan pendekatan cross-sectional pada 285 responden orang tua yang sesuai dengan kriteria inklusi melalui metode stratified sampling. Instrumen SCREENS-Q untuk mengukur Screen Time dan Strength and difficulties Questionnaire (SDQ) mengukur perkembangan sosial. Hasil penelitian menunjukkan 74,4% anak mengalami Screen Time berlebihan dan terdapat hubungan antara lama Screen Time dengan setiap sub-skala perkembangan sosial (p value <0,05). Peneliti merekomendasikan adanya sosialisasi dan kerjasama pihak tenaga kesehatan dengan orang tua untuk mencari solusi bersama mengatasi permasalahan ini.

Increasing attention to the use of Screen Time for parents and children has become an integral part of life. Unfortunately, today's school-age children are more active by just staring at the screen for a long time. This causes children to be exposed to screens for a duration that exceeds the recommendations, which has a negative effect on children's development. This study aims to look at the description of Screen Time and identify the relationship between long Screen Time and social development. The study used a cross-sectional approach to 285 parents who fit the inclusion criteria through a stratified sampling method. The SCREENS-Q instrument to measure Screen Time and the Strength and Difficulty Questionnaire (SDQ) to measure social development. The results showed that 74.4% of children experienced excessive Screen Time and there was a relationship between the length of Screen Time and each social development sub-scale (p value <0.05). Researchers recommend socialization and collaboration between health workers and parents to find solutions together to overcome this problem."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deta Annisa Nalayani
"ABSTRAK
SLE atau lupus yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah di perkotaan. Perjalanan penyakit SLE/lupus yang bersifat episodik berulang yang diselingi periode sembuh membuat klien merasakan kecemasan dan ketidakberdayaan yang diakbatkan dari kondisi penyakitnya. Karya ilmiah akhir ners ini akan menganalisis mengenai asuhan keperawatan masalah ketidakberdayaan dan ansietas pada klien dengan penyakit SLE/lupus selama 4 hari. Tindakan keperawatan bertujuan untuk mengontrol perasaan tidak berdaya dengan membuat klien mampu mengambil keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya serta untuk mengeatasi kecemasan. Hasil evaluasi yang dilakukan terlihat dalam keseharian klien selama klien mendapatkan perawatan, klien menunjukkan perkembangan dan berkurangnya tanda gejala masalah tersebut.Dibutuhkan upaya seperti menjaga keefektifan koping, mengurangi/menjauhi stres, dan sistem dukungan support system yang baik dari lingkungan di sekitar klien untuk membantu klien untuk mengurangi masalah terutama masalah psikososial yang dirasakan klien. Kata Kunci :Ansietas, asuhan keperawatan, ketidakberdayaan, sistemik lupus eritematosus SLE /lupus

ABSTRACT
SLE /lupus is not contagious diseases which prevalence increases each year and causing a problem especially in urban areas. The course of episodic SLE / lupus disease recurrent interspersed with periods of recovery makes the client feel the anxiety and powerlessness implied by the condition of the illness. This final paper will analyze the nursing care of powerlessness and anxiety in clients with SLE / lupus disease for 4 days. Nursing actions aim to control feelings of powerlessness by allowing clients to make effective decisions to control their life situations and to overcome anxiety. The results of evaluations made visible in the client 39;s daily life as long as the client gets treatment, the client shows the development and decrease of symptoms of the problem. It takes efforts such as maintaining the effectiveness of coping, reducing / avoiding stress, and a good support system from the environment around the client to help clients reducing the problem, especially the psychosocial problems felt by the client. Keywords: Anxiety, nursing care, powerlessness, systemic lupus erythematosus SLE /lupus."
2018
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyunianto Hadisantoso
"Latar Belakang: Untuk tujuan kuratif, regimen D37 masih menjadi pilihan utama kemoterapi induksi remisi pada LMA yang bukan leukemia promielositik akut (LPA). Tercapainya remisi lengkap (CR) serta waktu yang diperlukan untuk mencapainya menentukan kesintasan. NCCN dan ESMO merekomendasikan pemeriksaan sumsum tulang hari ke-14 kemoterapi untuk memprediksi CR, namun metode ini bersifat invasif dan masih kurang akurat. Tujuan: Mengkaji peran nadir leukosit dalam memprediksi CR pada pasien LMA yang menjalani kemoterapi induksi remisi D3A7. Metode Penelitian: Studi prognostik dengan desain kohort retrospektif dilakukan di RS Dharmais PKN dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo berdasarkan data rekam medis pasien yang menjalani kemoterapi induksi remisi D3A7 dari 1 Januari 2015 sampai 31 Desember 2019. Peran prediktif kadar lekosit nadir dan waktu yang diperlukan untuk tercapainya terhadap CR dinilai melalui analisis kurva ROC. Hasil: Seratus satu subjek penelitian direkrut dengan median usia 39 tahun dan 55% pria. Sebanyak 55,4% subjek mencapai CR. Kadar leukosit nadir memiliki peran dalam memprediksi CR (AUC 0,63; IK 95% 0,52 – 0,74) namun tidak untuk waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya. Kesimpulan: Kadar nadir leukosit memiliki peran dalam memprediksi CR namun tidak untuk waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya pada pasien LMA non-LPA yang menjalani kemoterapi induksi remisi D3A7.

Background: The D3A7 regimen is still the main choice of remission induction chemotherapy in AML. Achieving complete remission (CR) and the time required to achieve it determine survival. NCCN and ESMO recommend bone marrow examination on day 14 of chemotherapy to predict CR, but it is invasive and less accurate. Objective: To examine the role of the leukocyte nadir in predicting CR in AML patients undergoing D3A7 chemotherapy. Methods: A prognostic study with retrospective cohort design was conducted at Dharmais PKN Hospital and Dr. Cipto Mangunkusumo Public Hospital based on medical record data of patients underwent D3A7 remission induction chemotherapy from January 1, 2015 to December 31, 2019. The predictive role of nadir leukocyte level and the time required to achieve it was assessed. Results: One hundred and one subjects were recruited with median age 39 years and 55% men. A total of 55.4% subjects achieved CR. Nadir leukocyte level had a role in predicting CR (AUC 0.63; 95% CI 0.52 – 0.74) but not for the time required to achieve it. Conclusion: The nadir leukocyte level has a role in predicting CR but not for the time required to achieve it in non-APL AML patients undergoing D3A7 remission induction chemotherapy."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dara Indira Diniarti
"Latar belakang: Sindrom nefrotik (SN) idiopatik merupakan penyakit glomerulus dengan proteinuria akibat peningkatan permeabilitas glomerulus. Transferin merupakan salah satu protein yang keluar di urin dan dapat mengganggu homeostasis besi. Keadaan ini dapat menyebabkan defisiensi besi dan anemia defisiensi besi (ADB).
Tujuan: Mengetahui perbedaan status besi, transferin urin, proporsi defisiensi besi dan ADB pada pasien SN idiopatik aktif dan remisi.
Metode: Penelitian potong lintang pada pasien SN idiopatik aktif dan remisi usia 1-18 tahun di RSCM. Pengukuran status besi menggunakan Hb,MCV, MCH, Ret-He, SI, TIBC, ferritin, dan saturasi transferin. Pengukuran transferin urin menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Hasil: Terdapat 65 subyek, dengan 32 pasien SN idiopatik aktif dan 33 pasien remisi. Kadar SI antara kelompok aktif dan remisi adalah 60,7±33,5 µg/dL dan 84,6±35,3 µg/dL (p<0,05). Kadar TIBC antara kelompok aktif dan remisi adalah 220±90,7 µg/dL dan 309,4(±47,7) µg/dL (p<0,05). Kadar transferin urin antara kelompok aktif dan remisi adalah 435,3(7,7-478,4) ng/mL dan 23,4 (0-358) ng/mL (p<0,05). Proporsi defisiensi besi dan ADB pada kelompok aktif adalah 7(21,9%) dan 5 (15,6%) subyek, sedangkan pada kelompok remisi adalah 4(12,6%) dan 1(3%) subyek. Perbedaan proporsi tersebut tidak bermakna (p=0,04; RR 2,47; IK95% 0,98-6,23).
Kesimpulan: Kelompok SN idiopatik aktif memiliki nilai SI dan TIBC yang rendah serta transferin urin yang tinggi. Proporsi defisiensi besi dan ADB pada kelompok SN idiopatik aktif lebih tinggi walaupun tidak bermakna secara statistik.

Background: Idiopathic nephrotic syndrome (NS) is a common glomerular disease in children, which cause increased glomerular permeability resulting in proteinuria. Transferrin is one of the protein that is excreted in the urin, thus disturbing iron homeostasis and may lead to iron deficiency (ID) or iron deficiency anemia (IDA).
Objective: To know the differences in iron status, urinary transferrin, and the proportion of ID and IDA in children with active and remission idiopathic NS.
Methods: A cross-sectional design study was conducted on patients with active and remission idiopathic NS aged 1-18 years at RSCM. Measurement of iron status using Hb, MCV, MCH, Ret-He, SI, TIBC, ferritin, and transferrin saturation. Measurement of urinary transferrin using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Result: There were 65 study subjects, with 32 patients with active idiopathic NS and 33 subjects were in remission.The SI levels between the active and remission groups were 60.7±33.5 g/dL and 84.6±35.3 g/dL (p<0.05). The TIBC levels between the active and remission groups were 220±90.7 g/dL and 309.4(±47.7) g/dL (p<0.05). The median of urinary transferrin levels between the active and remission groups were 435.3(7.7-478.4) ng/mL and 23.4 (0-358) ng/mL (p<0.05). The proportions of ID and IDA in the active group were 7(21.9%) and 5(15.6%) subjects, while in the remission group were 4(12.6%) and 1(3%) subjects. Nonetheless the difference were not statistically significant (p=0.04; RR 2.47; CI95% 0.98-6.23).
Conclusion. Active idiopathic NS had significant lower values of SI and TIBC, and higher urinary transferrin levels. The proportion of ID and IDA in the active group was higher, although not significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Fadilah
"Kerusakan struktur dan penurunan fungsi ginjal pada anak pengidap Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dengan komplikasi Chronic Kidney Disease (CKD) mengakibatkan penumpukan produk sisa-sisa metabolisme yang disebut uremia. Komplikasi ini mengakibatkan terjadinya gangguan integritas kulit berupa kulit kering (xerosis) yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menimbulkan infeksi lebih lanjut. Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak pengidap SLE dengan komplikasi CKD dan menganalisis penerapan intervensi pemberian Virgin Coconut Oil (VCO) pada masalah gangguan integritas kulit. Intervensi diterapkan sebanyak dua kali dalam sehari dan dilakukan selama 3 hari. Metodologi yang digunakan adalah metode studi kasus. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat penurunan luas kulit yang mengalami xerosis yang ditandai dengan penurunan nilai overall dry skin score dari 4 menjadi 3 dan keluarga mampu melakukan perawatan kulit secara mandiri. Rekomendasi dari studi kasus ini adalah diharapkan pemberian VCO dapat menjadi terapi penunjang sebagai upaya untuk mengatasi gangguan integritas kulit pada kondisi xerosis.

Structural damage and decreased kidney function in children with Systemic Lupus Erythematosus (SLE) with the Chronic Kidney Disease (CKD) complication caused accumulation of metabolic waste products called uremia. This complication resulted in impaired skin integrity in the form of dry skin (xerosis) which can affect the patient's quality of life and lead to further infection. This scientific work aims to provide an overview of nursing care in children with SLE with complication of CKD and to analyze the intervention of Virgin Coconut Oil (VCO) application to the impaired skin integrity area. The intervention applied twice a day and has been carried out for 3 days. The methodology used is the case study method. The results of the analysis showed that there was a decrease in the area of skin with xerosis which was indicated by a decrease in the overall dry skin score of 4 to 3 and the family was able to perform skin care independently. The recommendation from this case study is application of VCO can be a supporting therapy as an effort to overcome impaired skin integrity in xerosis conditions."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>