Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96772 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febria Yunita
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita dewasa untuk
rnembentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (UndangĀ»
Undang Perkawinan 1974, dalam Soewondo, 2001). Adapun tujuan pernikahan tidak
selamanya tercapai karena beberapa faktor, salah satunya dengan adanya perisliwa
nagatif dalam perkawinan. Salah satu peristiwa negatif yang terjadi adalah poligami
Menurut Soewondo (2001) poligami adalah bentuk ketidaksetiaan pasangan yang
diresmikan melalui perkawinan sehingga dapat membuat sakit hati pasangan lainnya.
Sikap perempuau sendiri dalam menyikapi poligami bermacam-macam. Menurut
Poenvandari (2003) ada perempuan yang terpaksa menerima dipoligami walaupun
hatinya sakit, ada yang menerima karena bentuk kepatuhan kepada agama, dan
sbagainya. Bagaimanapun, bagi perempuan yang tetap memutuskan bersama suaminya
dibutuhkan cara penyelesaian agar ia dapat tetap hidup sehat secara mental, salah satu
caranya dengan memaatkan. Menurut McCullough (1997), memaafkan adalah bentuk
motivasi prososial dimana individu yang disakiti menurunkan keinginan untuk
melakukan hal negatif kepada pelaku seperti menghindar dan balas dendam, dan mulai
memberikan hal positif kepada pelaku.
Dalam hal ini peneliti ingin melihat proses yang dijalani subjelc dalam memaalkan
suaminya. Peneliti menggunakan teori proses memaafkan dalam perkawinan menurut
Gordon & Baucom (1999) yang menyatakan ada 3 tahap dalam proses memaafkan, yaitu
mengalami akibat dari peristiwa tersebut, mencari makna dan berempati, dan
menjalankan kehidupan selanjutnya dengan konsep lceyakinan baru. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan subjek sebanyak 3 orang. Mereka
semua adalah istri pertama. Penelitian ini memakai studi desknriptif sebagai tipe
penelitian dan wawancara serta observasi sebagai metode pengambilan data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seliap subjek menghayati setiap tahap
dalam proses secara berbeda. Dua orang subjek berhasil memaafkan suaminya walaupun
masih menghayati perasaan negative, sedangkan satu orang subjek belum dapat
memaafkan suaminya karena masih didominasi perasaan negative. Dengan memaafkan,
dua orang subjek menghayati hidupnya lebih positif dibandingkan subjek yang tidak
memaafkan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38511
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bety Diana
"ABSTRAK
Gangguan autis adalah suatu gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya mulai tampak pada tiga tahun pertama (Simpson, 2005). Gangguan ini khususnya ditandai dengan adanya kesulitan dalam interaksi sosial, hendaya pada kemampuan berbahasa dan komunikasi, serta tidak dapat disembuhkan. Kehadiran seorang anak autis seringkali membawa kesedihan bagi suami-istri tersebut. Hasil diagnosis anak juga akan memunculkan banyak masalah baru. Selain itu menurut Powers (1989), pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis harus melakukan beberapa perubahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Mereka akan memperoleh banyak tambahan tugas rumah tangga (domestic tasks), seperti menyediakan lebih banyak waktu untuk mengurus dan mengawasi perilaku anak mereka, memikirkan bentuk pengobatan atau terapi yang diperlukan, memikirkan permasalahan seputar pendidikan yang akan diberikan bagi anak autis mereka, dan masih banyak lagi. Semua ini menuntut ekstra waktu, perhatian, dan tenaga, serta memerlukan kerja keras dan adaptasi yang besar. Perjuangan yang terus menerus dari orangtua seringkali dapat membuat mereka lupa menjaga keseimbangan hidupnya dan hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan pasangan. Ekstra perhatian dan investasi waktu yang diberikan oleh orangtua kepada anak autisnya secara pasti akan berdampak pada pola interaksi di antara pasangan suami-istri tersebut. Misalnya pada frekuensi interaksi, komunikasi, pembagian peran, cara penyelesaian konflik, kedekatan fisik maupun emosional (keintiman), kehidupan seksual, dll yang pada akhirnya akan mempengaruhi kepuasan pernikahan pada masing-masing pasangan. Kepuasan pernikahan adalah suatu evaluasi subjektif mengenai keseluruhan aspek pernikahan dari individu yang bersangkutan (www.charismatest.comlresearch141what-is marital-satisfaction,1999). Menurut Rosen-Grandon, Myers, & Hattie (2004) kepuasan pernikahan ini dapat dilihat dari 6 (enam) pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri. Berdasarkan fenomena di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan mendalam mengenai kepuasan pernikahan pada pasangan suami-istri yang mempunyai anak autis. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Subjek penelitian yang digunakan terdiri dari 2 (dua) pasang suami-istri yang diambil dengan menggunakan metode "snowball". Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kehadiran anak autis sedikit banyak akan mempengaruhi pola interaksi yang terjalin di antara pasangan suami-istri dan seringkali menambah keragaman konflik yang terjadi. Pada satu pasangan, kehadiran anak autis menyebabkan menurunkya kepuasan pernikahan mereka. Kehadiran anak autis cukup menyita waktu mereka sehingga waktu yang diberikan kepada pasangan semakin berkurang. Pada akhirnya hal ini akan mempengaruhi keintiman dan kemesraan (ekspresi afeksi) di antara mereka, komunikasi juga menjadi memburuk. Sedangkan kehadiran anak autis pada satu pasangan lainnya tidak menurunkan kepuasan pernikahan mereka. Waktu dan perhatian yang mereka berikan untuk pasangan masing-masing tidak jauh berbeda dari sebelumnya sehingga keintiman di antara mereka tetap terjaga. Pada akhirnya keintiman yang terjalin juga akan mempengaruhi kehidupan seksual mereka dan pola interaksi yang lain. Perbedaan penghayatan kepuasan pemikahan di antara kedua pasangan ini dapat disebabkan oleh perbedaan mereka dalam menghayati kehadiran anak autis. Kemungkinan lainnya juga dapat disebabkan karena urutan anak yang menderita autis pada kedua pasangan responden ini berbeda sehingga besarnya stres atau tekanan yang dialami oleh kedua pasangan juga berbeda. Oleh karena itu kedua hal di atas perlu dipertimbangkan untuk dikontrol atau diteliti pada penelitian selanjutnya."
2006
T18092
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dinda Annisa paramitha
"Tingginya mobilitas dan interaksi manusia memungkinkan dua orang yang berbeda agama untuk bertemu, menjalin hubungan, dan kemudian melakukan perkawinan dimana masing-masing tetap mempertahankan agamanya. Dengan segala hambatan, anjuran, bahkan larangan untuk tidak melakukan perkawinan beda agama, masih banyak pasangan yang tetap memutuskan untuk melakukannya. Berdasarkan sebuah penelitian, baik di Amerika atau Indonesia, jumlah pasangan yang melakukan perkawinan beda agama semakin meningkat. Berbagai masalah dapat timbul dalam kehidupan perkawinan beda agama karena perbedaan agama dapat menyebabkan perbedaan nilai, perilaku, dan cara pandang. Masalah tersebut dapat menimbulkan ketegangan dan ketidakharmonisan hubungan, sehingga pasangan akan berusaha menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu penyelesaiannya adalah melalui penyesuaian perkawinan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat masalah-masalah yang muncul pada perkawinan beda agama serta penyesuaian perkawinan yang dilakukan untuk masalah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara dan didukung dengan metode observasi. Wawancara dan observasi tersebut dilakukan kepada delapan orang subyek, empat laki-laki dan empat perempuan. Subyek tersebut telah menikah secara beda agama lebih dari tujuh tahun dan masih berbeda agama sampai dilakukannya wawancara, mempunyai anak dengan usia anak tertua minimal enam tahun, beragama Islam dan Kristen Protestan, berpendidikan minimal SMU, dan berdomisili di wilayah Jabotabek.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masalah yang timbul dalam perkawinan beda agama dirasakan dalam bentuk dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap subyek. Masalah lingkungan dialami oleh satu subyek, masalah keluarga oleh dua subyek, masalah ibadah oleh tujuh subyek, masalah anak oleh lima subyek, masalah kehidupan sehari-hari menyangkut makanan oleh satu subyek dan menyangkut pakaian oleh tiga subyek, masalah saat menghadapi waktu sulit oleh lima subyek, dan tidak ada subyek yang mengalami masalah menyangkut seksualitas. Selain itu empat subyek merasa berdosa telah melakukan perkawinan beda agama dan tiga orang tua subyek tidak menyetujui perkawinan subyek. Penyesuaian perkawinan yang dilakukan oleh setiap subyek berbeda-beda untuk setiap masalah, walaupun ada cara penyesuaian perkawinan yang lebih dominan digunakan oleh beberapa subyek. Satu subyek menggunakan cara pasif dan aktif akomodatif secara seimbang, dua subyek lebih banyak menggunakan cara pasif, dua subyek lebih sering menggunakan cara pasif walaupun menggunakan cara aktif akomodatif di masalah tertentu, dan dua subyek lainnya lebih sering menggunakan cara aktif akomodatif walaupun menggunakan cara pasif di masalah tertentu.
Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan wawancara terhadap pihak lain yang dekat dengan kehidupan perkawinan, seperti anak subyek; dilakukan wawancara suami dan istri pada saat bersamaan; menggunakan jumlah subyek yang lebih banyak; dan menggunakan gabungan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Bagi pasangan perkawinan beda agama hendaknya sejak awal menyadari bahwa perkawinan beda agama membawa masalah yang cukup banyak, membuat perjanjian sebelum perkawinan, mengembangkan sikap toleransi, dan lebih banyak melakukan penyesuaian secara aktif."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2855
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fuliawati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1991
S2265
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwina Dian Rianti
"Salah satu sumber yang dapai mendatangkan masalah yang seringkali menjadi momok bagi pasangan beda agama adalah kehadiran seorang anak (Blood&Blood, 1978). Seperti yang diketahui, agama mempunyai peran penting dalam kehidupan anak. Agama yang diturunkan orangtua pada anak akan menentukan apa yang akan diseleksi oleh anak dari pengaruh lingkungan yang diterimanya, juga akan memberikan identitas diri yang dibutuhkan oleh anak (Barns, 1997). Dalam keluarga beda agama, pasangan tersebut harus memutuskan bagaimana mereka akan membesarkan anak tersebut, dengan aturan agama siapa anak akan dibesarkon, berpartisipasi, dan diidentifikasikan (Blood & Blood, 1978). Keputusan yang akan dibuat oleh pasangan beda agama ini bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Pada dasarnya, individu, baik pihak ayah maupun ibu, selalu ingin agar anaknya dibesarkan menurut agamanya masing-masing, karena bagaimanapun juga agama merupakan bagian yang sangat mendasar dalam identitas tiap pihak orangtua, dan sangatlah sulit untuk melepaskan identitas diri seseorang (Heins, 2001 dolom vvww.parentkidsright.com). Belum lagi bila keluarga besar dan tiap pasangan ikut campur dan memberi tekanan pada individu agar anaknya dibesarkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Dengan melihat keadaan diatas, dapat dikatakan bahwa individu yang menikah beda agama dalam menentukan agama anaknya dapat mengalami konflik. Kontlik ini dapat menimbulkan stress, penderitaan hingga mengganggu aktivitas individu. Atas dasar itu peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran konflik yang dialami individu dalam proses menentukan agama anak.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi sebagai penunjang. Penelitian dilakukan terhadap tiga orang subyek, dan dianalisa berdasarkan data yang didapat dari hasil wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan ketiga subyek mempunyai keinginan agar anak beragama sama dengan dirinya, Adapun tipe konflik yang dialami para subyek adalah konflik antara own need forces dengan Induced froces, dan konflik antara driving forces dengan restraining forces. Proses konflik yang dialami para subyek berbeda-beda, dan penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan cara leaving the field, meruntuhkan induced forces dan menunggu induced forces melemah dengan sendirinya. Selain itu difemukan beberapa faktor yang turut mempengaruhi konflik ang dialami para subyek baik secara langsung maupun tidak, yaifu: faktor agama (penghayatan agama, pola asuh terutama disiplin dalam pendidikan agama yang diterapkan keluarga), faktor historis ada/tidaknya pasangan beda agama dalam keluarga, faktor penolakan keluarga terhadap perkawinan beda agama, dan faktor proses terjadinya kesepakatan (ada/tidaknya campur tangan orang lain, proses pembahasan, dan hasil kesepakatan).
Temuan lain adalah konflik tampaknya tidak terlalu terasa pada ketiga subyek pada saat kesepakatan dibuat. Konflik muncul kepermukaan pada saat kehadiran anak mulai dirasakan (saat kehamilan dan kelahlran). Konflik juga dapat menimbulkan kebimbangan, marah, stress hingga reaksi psikosomatis seperti sesak nafas."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2779
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S2873
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eliestya Rakhmanda
"Penelitian ini memberikan gambaran mengenai fenomena commuter marriage yang dialami oleh pasangan suami-istri yang bekerja dan pelaku migrasi tersebut berasal dari pihak istri. Penelitian menggunakan pendekatan kualitiatif dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, observasi, dan data sekunder. Adapun tahapan yang dilalui oleh kedua pasangan ini, yaitu tahap pengambilan keputusan, tahap awal atau transisi hingga tahap menetap. Agar commuter marriage dapat berjalan dengan baik diperlukan adanya dukungan sosial, baik dari keluarga orientasi, teman kerja hingga Pembantu Rumah Tangga. Mengacu pada tipologi relasi suamiistri menurut Scanzoni & Scanzoni, relasi pada pasangan commuter marriage paling mendekati dengan pola relasi senior-junior partner. Selain itu, penelitian ini menganggap bahwa emotional security atau keamanan emosional berpengaruh terhadap kelanggengan pola relasi yang ada.

The purpose of this research is to describe about phenomenon of commuter marriage that experienced by spouse who worked and wife become the person who doing the migration. This research using qualitative approach through collecting data; indepth interview, observation, and secondary data. There are some stages that will be faced by the spouses like decision making process, early stage or transition, and the settle stage. In order to make commuter marriage goes well, social supports, as from family, colleagues, even housemaid are necessary. According to the typology of husbandwife relation from Scanzoni & Scanzoni, the closest is senior-junior partner relation pattern. Moreover, this research assume that emotional security take effect to the continuity of the exsisting relation pattern.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56902
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>