Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197921 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Calvin
"Puri merupakan sebuah identitas kelompok elite yang berasal dari keluarga kerajaan dalam masyarakat Bali. Puri terbentuk sejak masa penaklukan Kerajaan Bedahulu oleh Majapahit pada abad ke-14. Peran sosial yang dilakukan oleh puri masih tetap bertahan hingga masa kini, meskipun puri tidak lagi memiliki kekuasaan formal dalam pemerintahan. Secara umum, puri memiliki tiga peran sosial yang menjadi bagian utama, yaitu (1) peran kultural dalam preservasi seni, khususnya di tengah derasnya perkembangan pariwisata di Pulau Bali, (2) peran ekonomi terkait kesejahteraan masyarakat yang berada di bawah naungannya, dan (3) peran politik dalam mengarahkan figur tertentu dan/atau ikut serta dalam pemerintahan lokal melalui pemilihan umum. Meskipun demikian, perubahan pespektif dari masyarakat terhadap puri pada masa kini dan perbedaan kapabilitas puri yang besar menjadikan peran puri tidak lagi sama antara satu dengan lainnya.
Untuk memahami lebih lanjut mengenai peran puri dalam masyarakat Bali pada masa pasca-Orde Baru, penelitian ini dititikberatkan pada dua studi kasus di dua wilayah berbeda, yaitu Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar. Kabupaten Klungkung merupakan lokasi Puri Agung Klungkung yang merupakan puri tertua di Pulau Bali. Kabupaten Gianyar merupakan lokasi tiga puri yang menjadi obyek penelitian, yaitu Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) di Kecamatan Gianyar, serta Puri Saren Ubud dan Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) di Kecamatan Ubud. Penelitian ini dirancang untuk menganalisis peran politik puri di Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar serta faktor yang mempengaruhi peran politik tersebut. Teori oligarki, pseudohistori, dan penjelasan mengenai relasi antarkasta dalam masyarakat Bali menjadi penting dalam menganalisis temuan-temuan yang ada dalam penelitian ini. Melalui metode kualitatif, sumber primer penelitian yang didasarkan pada wawancara mendalam dengan sejumlah tokoh puri dan nonpuri diletakkan sebagai kunci utama dalam penelitian ini, selain sumber-sumber sekunder yang juga menunjang kebutuhan informasi lanjutan dalam memahami peran puri secara lebih mendalam.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Puri Klungkung memiliki kapabilitas internal dan eksternal yang lebih lemah dalam memainkan tidak hanya peran politik, namun juga peran ekonomi dan kultural jika dibandingkan dengan peran sosial Puri Gianyar dan Puri Ubud. Kalangan elite Puri Gianyar dan Puri Ubud di Kabupaten Gianyar mampu menjalin relasi yang lebih intensif dengan masyarakat, sehingga partai politik tidak pernah merekomendasikan tokoh di luar puri untuk maju dalam pemilihan umum, setidaknya sampai tahun 2012. Penelitian ini juga tidak menemukan kepentingan bisnis yang bersifat oligarkis dalam jabatan politik tokoh puri di Kabupaten Gianyar, meskipun wilayah ini merupakan wilayah pariwisata terbesar ketiga di Bali, selain Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kecenderungan bias status dari kalangan puri dan nonpuri juga menjadi temuan penting dalam penelitian ini yang menunjukkan perbedaan perspektif terjadi secara nyata dalam memandang puri dari kalangan nonpuri dan sebaliknya. Kasus pseudohistori yang ditujukan untuk memperbaiki citra puri dalam kasus Puri Agung Klungkung juga menambahkan temuan penting dalam penelitian terkait peran politik puri dan strategi untuk mendapatkan jabatan politik praktis.
Skripsi ini diharapkan mampu mengisi celah penelitian terkait politik lokal di Bali, khususnya dalam memahami peran politik puri di masa pasca-Orde Baru secara lebih kontemporer hingga mencakup tahun 2012. Berdasarkan temuan penelitian yang ada, secara keseluruhan puri masih menjadi entitas sosial penting yang memiliki kapabilitas khusus dalam memperoleh dukungan dan legitimasi dari masyarakat di kedua wilayah tersebut, meskipun berbeda secara karakter.

Puri is an elite group identity which originated from Balinese royal family. Puri was formed since the Majapahit conquest of Bedahulu Kingdom in the 14th century. The Puri‟s social role still hitherto persists, albeit puri is no longer holds formal authority in local goverment. Generally, puri has three social roles which are substantial, there are (1) cultural role in arts preservation, mainly through vigorous development of tourism in Bali Island, (2) economic role which is related to community welfare under its influence, and (3) political role in directing certain figures and/or participating in local government through elections. Nevertheless, changing perspectives on puri in Balinese community in recent days and huge capability divergences among puri themselves render puri‟s roles being different from each other.
To deepen comprehension on puri‟s roles in Balinese society in post-New Order era, this research is scrutinized in two case studies in two different locations, namely Klungkung Regency and Gianyar Regency. Klungkung Regency is home to the Puri Agung Klungkung which is the oldest puri on the island of Bali. Gianyar Regency is home to three puris which are being research objects, namely Puri Agung Gianyar (Puri Gianyar) in Gianyar subdistrict, along with Puri Saren Ubud and Puri Agung Peliatan (Puri Ubud) in Ubud subdistrict. This research is designed to analyze political role of puri in Klungkung Regency and Gianyar Regency along with some factors affecting the so-called political role. Oligarchic theory, pseudohistorical, and elucidation of caste social relations in Balinese society become necessary to analyze the findings on this research. Through qualitative method, primary sources of this research which are based on in-depth interview with several puri and nonpuri figures provide the setting on this research, aside from secondary sources which bolster additional informations to comprehensively deepen understanding of puri.
The results of this research show that Puri Klungkung has weaker internal and external capacities in playing not solely political role, but also economic and cultural roles if collated with social roles of Puri Gianyar and Puri Ubud. Elite cohort of Puri Gianyar and Puri Ubud in Gianyar Regency is still able to maintain intensive relations with its people, hence political parties never recommend figures outside puri to join local elections, leastwise up to 2012. This research also finds no business interests in Gianyar Regency through political offices held by puri elites which seems like oligarchic, whereas this regency is the third most favorite tourist destinantion in Bali, after Badung Regency dan Denpasar City. The propensity of status bias from both puri and nonpuri elites also becomes an important finding on this research which shows different perspectives that occur apparently regarding puri through nonpuri and vice versa. Pseudohistorical cases which addressed for beautification attempts of puri‟s image in case of Puri Agung Klungkung also add important findings on political role and strategies of puri to achieve political offices.
At last, this thesis is expected to fill the gap on study of local politics in Bali, particularly in comprehension of puri‟s political role in post-New Order era contemporarily up to 2012. Based on existing research findings, overally puri is still an important social entity which has special capabilities to obtain support and legimation from its people in both locations, despite different characteristically.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46919
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irtanto
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
320.8 Irt d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ati Nurbaiti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deddy Supriady Bratakusumah
"The reforms triggered by the economic crisis that hit Indonesia and a number of other Asian countries in 1998 have resulted in not only an improvement over a system that has been in force for the past 30 years but also fundamental changes. Although reform is born by a spirit of renewal, in response to the failure of the state to develop a system that can generate prosperity and justice for the people, both in the political and economic fields, but in the process has not produced a better relationship system between politics and public administration, which is professional, effective, efficient and free from corruption. This unsuccessfulness is predictable because the administrative reform is not based on a strict economic school. We had previously applied the Keynesian school, then Neo-liberalism, up until now the world is still searching for a new school. No exception for Indonesia. Reform has established a new system, completely different from the previous system, but without consistent ideology and paradigm. The lack of clear direction is the cause of the failure of administrative reform in Indonesia. The paper will analyze the cause of this unsuccessful, and propose recommendations for improvement."
Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2019
330 JPP 3:3 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bisyri
"Undang-Undang Nomor 4/1950 Jo. UU No. 14/1954 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang ber moral. Hal ini ditafsirkan bahwa manusia yang bermoral dapat diupayakan tidak hanya melalui agama karena dasar moral tidak selalu agama. Oleh Karena itu, pada 1950-an agama tidak wajib di ajarkan di sekolah. Pada tahap selanjutnya, sebagaimana diatur dalam UU No. 2/1989 pendidikan adalah tujuan menciptakan manusia yang taat mengabdikan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pelajran agama wajib diberikan di sekolah. Walaupun kesenjangan undang-undang tersebut adalah sekolah dengan agama tertentu seharusnya tidak diajarkan Agama yang bebrbeda dengan Agama yang ada di sekolah tersebut. Ketentuan ini kemudian menjadi bermasalah. Pada 2003, UU No 20 tentang sistem pendidikan nasional diberlakukan menekankan adanya pendidikan agama. Undang-undang ini ini mengamanatkan bahwa agama adalah wajib di setiap intuisi pendidikan di mana materi yang akan diberikan kepada siswa yang akan diajarkan oleh guru yang bersangkutan. Sudah jelas bahwa pendidikan secara historis telah ditingkatkan dari waktu ke waktu."
Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah , 2014
370 TAR 1:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pungky Sukmawati
"ABSTRAK
Latar belakang penelitian ini adalah gagalnya Setgab mendukungkebijakan pemerintah SBY-Boediono di Sidang Paripurna DPR RI, 31 Maret 2012 tentang RAPBN-P 2012. Fenomena ini bertentangan dengan konsep koalisi untuk membentuk pemerintahan mayoritas yang stabil, efektif dan berjangka lama. Atas dasar itu,permasalahan penelitian adalah: 1). bagaimanapolahubunganantarpartaikoalisidalamSekretariatGabungan (Setgab) denganformasipemerintahanan SBY-Boediono?; 2). bagaimanasikappolitikanggotaSetgabdalamSidangParipurna DPR RI, 31 Maret 2012 tentang RAPBN-P 2012?; 3). mengapakoalisipolitikyangmayoritasdilegislatifgagalmengamankankebijakanpemerintahdalam RAPBN-P2012 diSidangParipurna DPR RI, 31 Maret 2012?.
Penelitian ini menggunakan teori koalisi dari Arendt Lijphart, teori Hubungan Eksekutif-Legislatif oleh Alan Ware, teori Konflik dari Lewis A. Coser, dan teori Pilihan Rasional dari James Anderson. Penelitianini menggunakan metodekualitatif, dengan teknikanalisis data deskriptif analitis. Sedang pengumpulan data dengan data primer dansekunder, baik dokumen maupunwawancaramendalamdengan tokoh dalam koalisi.
Kesimpulan penelitian ini adalah Setgab merupakan koalisi besar (oversized coalition),terdiri dari partai politik dengan jarak ideologi lebar, berorientasi kekuasaan (office seeking) dan bersifat pragmatis. Secara formal hubungan eksekutif-legislatif menganut sistem presidensil, namun dalam realitasnya presiden sangat tergantung dukungan legislatif. Dalam koalisi terjadi konflik politik, namun langkah Golkar dapat dimaknai sebagai bentuk katub penyelamat menghindarkan dari konflik yang lebih besar. Sikap politik anggota koalisi dalam merespon usulan pemerintah mengenai APBN-P 2012 dalam Sidang Paripurna DPR, 31 Maret 2102 lebih menekankanpertimbangan maksimalisasi kepentingan internal partai dibandingkan komitmen terhadap kepentingan koalisi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kegagalan anggota Setgab dalam mengamankan kebijakan pemerintahan pada saat Sidang Paripurna DPR RI, 31Maret 2012.
Implikasi teoritis menunjukan bahwa partai-partai dalam Setgab sikap politiknya cenderung bersifat pragmatis, mengutamakan kepentingan internalnya sehingga sering mengalami konflik internal, sesuai dengan pendapat Arendt Lijphart, James Anderson dan Lewis A. Coser. Sedangkan teori hubungan eksekutif-legislatif dari Alan Ware mampu menjelaskan hubungan secara normatif, namun lemah dalam menjelaskan hubungan eksekutif-legislatif dalam konteks praktek empirisnya.

ABSTRACT
This study was based on the fact of frictions that took place among members of the Government Coalition called the Setgab at the Plenary Session of DPR RI on March 31, 2012, during the discussion of the Bill of the Revision to the 2012 National Budget. It included the political manoeuvering of Golkar Party by petitioning to add a clause to the proposed Bill. The other is PKS Party's rejection to the Governrnent's proposed Bill.These have hindered the coalition from reaching a consensus to further secure the Governrnent's policies.
This phenomenon went against the intention of building acoalition in order to guarantee a stable, effective and sustainable majority governrnent. Based on this issue, the research question is formulated as follows: what was the pattem of relation among parties in the Coalition of Setgab related to the formation of SBY's govemment?;what was the positioning of members of the Govemment Coalition on the Bill of the Revision to the 2012 National Budget at the Plenary Session of DPR RI, March 31, 20127; and, why did the Coalition fail to secure the Govemment's Bill on the Revision of the 2012 Budget Bill despite having built a majority in the legislature? This research involves the use of qualitative method with descriptive analytical technique in analysing the data. In the section of theoretical framework, it incIudes the use of theories on coalition, conflict, executive-legislative relation, and rational choice. The data collected incIudes primary and secondary data.Data collection also usedin-depth interview with prominent persons within the Coalition.
Findings of this study demonstrate th at the Coalition established was a large one,consisting of political parties with wide ideological range, tied together by office­seeking motivation and was a pragmatic move to fulfill practical considerations. Consequently, the relationship between the executive and legislative institutions became a vulnerable one, particularly in the face of political conflicts. Formally adopting presidential system, in reality the Indonesian president largely depends on the parliament's support. Furthermore, coalitions formed to guarantee parties' support for governrnent's policies in the legislative is at times interrupted by the extension of certain party' s selfish interest which created conflict between the president and other coalition member/s.Finally, findings and conclusions of this study show the theoretical implications in the analysis and that the theories are relevant in explaining the answer to research questions.
"
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Tokan Pureklolon
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2021
320 THO k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
A. Rahman Zainuddin
"Terlebih dahulu saya memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala atas segala nikmat dan rahmatNya, termasuk kurnia yang memungkinkan kita berkumpul dalam ruangan ini pada pagi ini.
Dalam kesempatan ini, saya ingin membicarakan masalah aspek-aspek moral dalam pemikiran polilik. Saya memperhatikan bahwa dalam waktu-waktu terakhir telah menjadi semacam pendapat yang diterima masyarakat bahwa kata-kata politik itu seringkali diasosiasikan dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moral. Karena itu, politik merupakan sebuah dunia tempat orang memberikan janji-janji yang tidak akan dipenuhi, serta mengucapkan kata-kata yang memang dari semula telah direncanakan untuk memberikan kesan yang tidak benar bagi para pendengar. Dalam politik seperti itu, orang mengadakan perjanjian-perjanjian rahasia yang sama sekali tidak akan dapat diterima masyarakat, apabila mereka mengetahuinya. Dalam politik, orang melakukan segala macam tindakan yang tidak sesuai dengan budi pekerti, moral dan akhlak yang mulia. Kenyataan seperti ini telah menjadikan kata-kata politik memiliki konotasi yang tidak terhormat.
Karena itu, dalam kesempatan ini, saya mengajak agar kita menelusuri kembali perkembangan pemikiran politik itu semenjak dari semula, mulai dari pemikiran yang terdapat di dunia Yunani Kuno. Dengan demikian diharapkan agar kita dapat menempatkan kata-kata politik itu pada tempatnya yang tepat, terutama dalam pemikiran politik kontemporer, termasuk masalah-masalah politik di tanah air kita tercinta ini.
Apabila kita telusuri pemikiran politik semenjak dari asal usulnya di dunia Yunani Kuno itu, kita dapati bahwa apa yang dipikirkan para pemikir seperti Socrates dan Plato adalah upaya untuk mendirikan sebuah negara, atau persemakmuran, atau polis, yang akan dapat memberikan kesempatan kepada manusia untuk berkembang sesuai dengan potensi yang terdapat di dalam dirinya. Mungkin karena di masa itu, dunia politik di bagian dunia itu telah ditandai oleh kekacauan dan peperangan yang berkepanjangan, maka tampak bahwa yang menjadi obsesi Plato dalam tulisan-tulisannya, yang dikemukakan dengan perantaraan mulut Socrates, adalah mendirikan sebuah negara yang stabil, aman dan makmur, dan setiap orang memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensinya demi untuk kebaikan bersama.
Namun karena demikian hanyutnya Plato dalam utopianya, maka apa yang terlampaui olehnya adalah memikirkan apakah masalah yang direnungkannya itu dapat ditegakkan di alam nyata atau tidak. Upaya pendidikan yang ingin ditegakkannya dalam persemakmuran atau negaranya itu adalah demikian sentralnya, sehingga tidak begitu jauh panggang dari api apabila kita katakan bahwa pendidikan dan ilmu pengetahuan itu pada pendapatnya menjadi syarat mutlak bagi kemajuan negara yang dicita-citakannya itu.
Pendapat para pakar tentang diri dan pemikiran Plato, serta motivasinya dalam menulis buku-bukunya, juga bermacam-macam. Bagi Popper (1980) jelas bahwa Plato merupakan musuh dari masyarakat yang terbuka. Baginya Plato adalah musuh demokrasi dan lambang dari kesewenang-wenangan penguasa. Ia mengatakan bahwa program politik Plato jangankan akan menjadi lebih unggul secara moral daripada totalitarianisme, ia malah pada dasarnya sama dengannya."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0479
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
"This paper discusses and analyses Indonesia's 2009 presidential election. The central question raised is wheter the result of 2009 legislative election produce similar outcome in the presidential election. It is argued that the trend of electoral pattern between the two election are similar, and this is made possible because of Indonesian electorates have become more rational in their votings."
Jakarta: Jurnal Poelitik, 2009
321 JKPMP
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Schlesinger, Arthur Meier
Boston: Houghton Mifflin, 1962
320 SCH p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>