Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Charisma Rahmat Pamungkas
"Kelompok musik AKA merupakan kelompok musik yang terbentuk di Jalan Kali Asin, Surabaya, pada tahun 1967. Kelompok ini memiliki empat anggota inti, yaitu Ucok Harahap (penyanyi), Soenatha Tanjung (pemain gitar), Syech Abidin Jeffri (penabuh drum), dan Arthur Kaunang (pemain bass), serta manager, yaitu Ismail Harahap. Kelompok ini mencapai puncak kejayaan pada periode 1967—1974, dan mendapat julukan musisi underground. Pemberitaan media massa membuat kelompok ini semakin terkenal pada periode tersebut. Kelompok ini mulai goyah pada periode 1974-1976.

AKA band was formed on Jalan Kali Asin, Surabaya, in 1967. This band had four main player, which are Ucok Harahap (vocalist), Sunatha Tandjung (guitarist), Syech Abidin Jeffri (drummer), Arthur Kaunang (bassist), and also a manager named Ismail Harahap. They reached their peak of popularity in 1967—1974, and was referred as underground musician. News about AKA on mass media helped AKA reach its peak of popularity. This group had to face instability in 1974-1976."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizal Apriyansah
"Tulisan ini membahas mengenai identitas dan eksistensi musik Underground di Bandung pada tahun 1990 hingga 1999. Kebudayaan yang telah dirintis sejak akhir dekade 1960 di Indonesia, telah banyak mengalami penyesuaian identitas dan eksistensi terutama ketika memasuki dekade 1990. Kerusuhan yang terjadi pada konser Metallica tahun 1993 di Jakarta, berdampak kepada keberadaan musik Underground di Indonesia. Termasuk keberadaannya di kota Bandung. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui keadaan musik Underground di Bandung dalam mempertahankan identitas dan eksistensinya pada dekade 1990. Tulisan ini menggunakan metode sejarah dengan empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan telaah yang dilakukan, demi mempertahankan identitas dan eksistensinya. Komunitas musik Underground yang ada di Bandung menciptakan sebuah media yang bersifat independen dari nilai-nilai kemandirian dan anti kemapanan yang mulai diterapkan pada periode ini.

This article discussed the identity and existence of underground music in Bandung in 1990 until 1999. The culture that had been initiated since the late 1960s in Indonesia, has undergone many identity and existence adjustments, especially when entering the 1990s decade. The riots that occurred at the Metallica concert in 1993 in Jakarta, has an impact on the existence of Underground music in Indonesia. Including its presence in the city of Bandung. The purpose of this paper is to find out the state of underground music in Bandung in maintaining its identity and existence in the 1990s. It uses the historical method of the four stages: heuristics, criticism, interpretation and historiography. Based on the analysis, in order to maintain its identity and existence. The Underground music community in Bandung created a media that was independent from the values of independence and anti-establishment that began to be applied in this period."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Aditia Tjandra Asmara
"[ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang perempuan yang memutuskan untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground sebagai upaya counter-culture terhadap sistem kebudayaan yang patriarkis. Penelitian ini menggunakan dimensi analisa culture as crime dalam kajian kriminologi budaya mengingat terdapat praktik-praktik di dalam kebudayaan metal yang dilihat sebagai praktik-praktik yang menyimpang karena dianggap tidak sesuai dengan moralitas yang ada di masyarakat dominan. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan kajian teori feminis radikal-libertarian dan feminis sosialis sebagai dasar dalam memaknai upaya yang dilakukan perempuan sebagai bentuk counter-culture. Sebuah band dengan personel keseluruhannya yang adalah perempuan menjadi subyek dalam penelitian ini, yakni Psychotic Angels. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan studi kasus feminis dan critical social science guna memaknai keputusan perempuan untuk menjadi penampil di dalam musik metal underground sebagai upaya counter-culture.
ABSTRACT
This thesis discusses about the choices that women made to be a performer in metal underground music as a way to make counter-culture to the patriarchy culture. This thesis using the culture as crime dimension analysis in cultural criminology because there are so many aspect in metal music culture that people view it as a forms of deviance that does not analogous with the dominant morality in society. This thesis also using radical-libertarian feminist and socialist feminist theory as a core to understand the way the women use to do counter-culture. The subject of this research is a full women personel band, named Psychotic Angels. This thesis using the qualitative methods with feminist case study and critical social science perspective to understand the women choices to be a metal underground music performer in order to do counter-culture.;This thesis discusses about the choices that women made to be a performer in metal underground music as a way to make counter-culture to the patriarchy culture. This thesis using the culture as crime dimension analysis in cultural criminology because there are so many aspect in metal music culture that people view it as a forms of deviance that does not analogous with the dominant morality in society. This thesis also using radical-libertarian feminist and socialist feminist theory as a core to understand the way the women use to do counter-culture. The subject of this research is a full women personel band, named Psychotic Angels. This thesis using the qualitative methods with feminist case study and critical social science perspective to understand the women choices to be a metal underground music performer in order to do counter-culture., This thesis discusses about the choices that women made to be a performer in metal underground music as a way to make counter-culture to the patriarchy culture. This thesis using the culture as crime dimension analysis in cultural criminology because there are so many aspect in metal music culture that people view it as a forms of deviance that does not analogous with the dominant morality in society. This thesis also using radical-libertarian feminist and socialist feminist theory as a core to understand the way the women use to do counter-culture. The subject of this research is a full women personel band, named Psychotic Angels. This thesis using the qualitative methods with feminist case study and critical social science perspective to understand the women choices to be a metal underground music performer in order to do counter-culture.]"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S62089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Hernawani
"Studi wacana dengan pendekatan kritikal yang `membongkar' wacana kritik dalam lirik lagu khususnya dalam musik dan komunitas underground, menjadi sebuah kajian menarik. Dalam berkambangnya musik rock atau underground ini, label kuat sebagai `anti kemapanan', pemberontakan, kritik sosial atau sejenisnya....menjadi dasar, apakah merupakan kondisi yang sesungguhnya terjadi. Penggunaan analisis wacana kritikal (CDA) dari Fairclough mencoba menganalisis teks (Erik lagu) dalam musik rock ini. Sedangkan paradigma kritis dari pemikiran Mahzab Frankrut oleh Adorno, Marcuse dan Benjamin menjadi dasar pemikiran la-Ms dari penelitaian ini. Ketika wacana kritik dalam link lagu dalam musik underground yang mereka tampilkan, bukanlah sebuah kritik yang sesungguhnya. Bahwa unsur pasar (market) mendominasi penciptaan link lagu tersebut. Sehingga kesan kritik dan identitas `anti kemapanan', `pemberontakan' menjadi kabur disamping lagu yang dinyanyikan juga `melemahkan' unsur pesan yang terkandung didalam lirik kritis tersebut.
Di awal tahun 1990-an kehadiran musik rock di warnai dengan kemunculan underground sebagai musik dan komunitas. Sebuah istilah atau aliran dalam musik yang mengakar pada aliran-aliran diatas. Yang sebenarnya pula dalam kesejarahan underground (bawah tanah) merupakan dasar dari musik rock ini. Selama perjalannya, identitas musik rock sebagai musik. `pemberontakan' dilihat dari berbagai sudut. Pemberontakan dan sisi musik, gaya berpakaian, life style dan juga lirik. Studi penelitian ini, melihat bagaimana musik rock yang identitasnya sebagai musik `pemberontakan' dilihat dari sudut lirik lagu. Lirik kritik yang ditampilkan dalam musik rock dan wacana kritik sebagai bentuk musik rock, merupakan wacana yang berkembang saat ini. Baik di media massa maupun masyarakat, benarkah lirik kritik dan wacana kritik dalam musik rock terjadi seperti itu...?
Kerangka berfikir dalam persoalan musik, secara global dapat dilihat dalam penyikapannya terhadap musik yang terkooptasi oleh sebuah industri. Industri yang menciptakan sebuah pola perubahan dan `pembohongan' terhadap realitas nilai dari sebuah kritik sosial. Seperti yang diungkapkan oleh pemikir semisal Adorno, Benjamin, Marcuse dan seterusnya. Rock (Underground) tidak melahirkan counter culture yang selama ini digemborkan. Namun merupakan `kamuflase' terhadap nilai kapitalisme yang sudah lekat dalam musik.
Penemuan penelitian ini, dapat dirasakan dalam sebuah kerangka lirik kritik rock (underground). Musik yang awalnya berjiwa kritik terhadap realitas sosial, namun dalam perkembangannya hanya sebagai kepentingan tangan para pemodal. Analisis wacana kritikal dalam penelitian ini menggunakan sebuah pola pemikiran Fairclough (CDA). Analisis wacana dalam Fairclough, menggambarkan dalam sebuah teks di media massa, namun penelitian ini menarik pada arena lirik lagu yang menusuk pada ruang-ruang kritik dalam musik rock (underground). Lirik musik underground yang bernada kritik bukanlah sebuah penggambaran realitas sesungguhnya, tapi penggambaran lirik kritik tersebut merupakan sebuah bahasa ringkasan tranci atau yang bisa dikenal dengan "bahasa pergaulan" yang bukan dari hasil sebuah penghayatan pribadi secara sepihak. Tapi sebuah perpaduan besar dalam kesepakatan dari aspek eksternal para pencipta.
Pemakaian wacana media dalam menulis lirk lagu, menjadi warna dominan menggambarkan kondisi yang sebenaranya bagi pencipta lagu, namun nyatanya tidaklah demikian. Lirik tersebut nyatanya hanya kepanjangan tangan kapitalisme masuk dalam proses penciptaan lirik kritik tersebut. Mereka para underground mania tanpa sadar telah dirasuki, terkooptasi, tereksploitasi dalam nilai-nilai kritik yang merupakan dasar dari kepentingan para kapitalisme."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12246
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Karin Khairana
"Perspektif kapitalis budaya mengasumsikan bahwa kebebasan kreativitas musisi dibatasi oleh logika industri yang berorientasi mencari keuntungan, oleh karena itu penelitian sebelumnya mengidentifikasi musisi indie bawah tanah bernegosiasi dengan perusahaan rekaman arus utama untuk mempromosikan subkultur yang berbeda dari genre dominan. Tulisan akademis ini bertujuan untuk memahami taktik grup musik indie bawah tanah “Efek Rumah Kaca”, sebagai negosiasi terhadap musik arus utama dominan dan sebagai produksi budaya DIY yang kreatif/ inovatif, untuk bertahan dalam industri musik kapitalis. Dengan menggunakan metode analisis tematik konten, bentuk negosiasi yang terjadi diidentifikasi melalui representasi teks khususnya lirik lagu dari karya musik Efek Rumah Kaca. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Efek Rumah Kaca menegosiasikan musik arus utama dengan mengadopsi praktik dan simbol dari industri musik populer, ke dalam tindakan alternatif mereka sendiri yang otonom serta kreatif/ inovatif. Bentuk negosiasi juga ditemukan dalam lagu-lagu bergenre indie pop mereka, yang dalam liriknya menyuarakan kepedulian terhadap isu sosial-politik, moral, agama, dan budaya, sebagai kritik terhadap institusi dominan di masyarakat serta industri musik populer arus utama yang kapitalis. Guna bertahan dalam industri musik kapitalis, grup musik indie bawah tanah ini menciptakan ruang khusus (niche space) dengan memaksimalkan capital dan arena (field) yang dikuasai untuk produksi budaya DIY yang mementingkan estetika, serta memanfaatkan sekaligus mengklaim legitimasi/ otoritas budaya setempat.

The cultural capitalist perspective assumes that musicians' freedom of creativity is limited by the industrial logic of profit laden, hence previous studies identified underground indie musicians negotiate with the mainstream recording company to promote a distinct subculture from the dominant genre. This academic paper aims to understand the tactics employed by underground indie music group “Efek Rumah Kaca”, as a form of negotiation between dominant mainstream music and indie musicians which represent creative/innovative DIY cultural production, to survive in the capitalist music industry. Employing thematic content analysis method, the findings suggest the form of negotiation that was occured could be identified through text representation, especially the song lyrics of the musical product of Efek Rumah Kaca. Moreover, Efek Rumah Kaca negotiates with mainstream music by adopting practices and symbols of the popular music industry, into their own autonomous and creative/innovative alternative acts. The form of negotiation is also found in their indie pop songs, which in the lyrics express concern for socio-political, moral, religious and cultural issues, as a critique of the dominant institutions in society and the capitalist mainstream popular music industry. In order to survive in the capitalist music industry, this underground indie music group creates a niche space by maximizing their capital and field for the production of DIY culture that emphasizes aesthetics, as well as utilizing and claiming the legitimacy/authority of local culture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Karin Khairana
"Perspektif kapitalis budaya mengasumsikan bahwa kebebasan kreativitas musisi dibatasi oleh logika industri yang berorientasi mencari keuntungan, oleh karena itu penelitian sebelumnya mengidentifikasi musisi indie bawah tanah bernegosiasi dengan perusahaan rekaman arus utama untuk mempromosikan subkultur yang berbeda dari genre dominan. Tulisan akademis ini bertujuan untuk memahami taktik grup musik indie bawah tanah “Efek Rumah Kaca”, sebagai negosiasi terhadap musik arus utama dominan dan sebagai produksi budaya DIY yang kreatif/ inovatif, untuk bertahan dalam industri musik kapitalis. Dengan menggunakan metode analisis tematik konten, bentuk negosiasi yang terjadi diidentifikasi melalui representasi teks khususnya lirik lagu dari karya musik Efek Rumah Kaca. Hasil analisis memperlihatkan bahwa Efek Rumah Kaca menegosiasikan musik arus utama dengan mengadopsi praktik dan simbol dari industri musik populer, ke dalam tindakan alternatif mereka sendiri yang otonom serta kreatif/ inovatif. Bentuk negosiasi juga ditemukan dalam lagu-lagu bergenre indie pop mereka, yang dalam liriknya menyuarakan kepedulian terhadap isu sosial-politik, moral, agama, dan budaya, sebagai kritik terhadap institusi dominan di masyarakat serta industri musik populer arus utama yang kapitalis. Guna bertahan dalam industri musik kapitalis, grup musik indie bawah tanah ini menciptakan ruang khusus (niche space) dengan memaksimalkan capital dan arena (field) yang dikuasai untuk produksi budaya DIY yang mementingkan estetika, serta memanfaatkan sekaligus mengklaim legitimasi/ otoritas budaya setempat.
The cultural capitalist perspective assumes that musicians' freedom of creativity is limited by the industrial logic of profit laden, hence previous studies identified underground indie musicians negotiate with the mainstream recording company to promote a distinct subculture from the dominant genre. This academic paper aims to understand the tactics employed by underground indie music group “Efek Rumah Kaca”, as a form of negotiation between dominant mainstream music and indie musicians which represent creative/innovative DIY cultural production, to survive in the capitalist music industry. Employing thematic content analysis method, the findings suggest the form of negotiation that was occured could be identified through text representation, especially the song lyrics of the musical product of Efek Rumah Kaca. Moreover, Efek Rumah Kaca negotiates with mainstream music by adopting practices and symbols of the popular music industry, into their own autonomous and creative/innovative alternative acts. The form of negotiation is also found in their indie pop songs, which in the lyrics express concern for socio-political, moral, religious and cultural issues, as a critique of the dominant institutions in society and the capitalist mainstream popular music industry. In order to survive in the capitalist music industry, this underground indie music group creates a niche space by maximizing their capital and field for the production of DIY culture that emphasizes aesthetics, as well as utilizing and claiming the legitimacy/authority of local culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dararima Sani
"Konser musik underground (MUG), sebagai ruang alternatif bagi individu yang menentang budaya arus utama, belum menjadi ruang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi perempuan. Skripsi ini bertujuan untuk memahami kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan terhadap perempuan dalam konser MUG melalui kekerasan seksual oleh laki-laki. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal dan carnival of crime. Data dikumpulkan dengan metode penelitian wawancara mendalam,focus group discussion, observasi partisipan, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konser MUG mempertahankan nilai patriarkis melalui superioritas laki-laki, stereotip gender, dan hegemoni maskulinitas sebagai transgresi maskulin yang memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mengobjektifikasi perempuan. Hal tersebut menciptakan rape culture di mana kekerasan seksual oleh laki-laki menjadi alat kontrol sosial yang menanamkan rasa takut dan membebankan tanggung jawab untuk menghindari kekerasan seksual pada perempuan. Kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan tersebut menimbulkan perlukaan pada perempuan dan membangkitkan resistensi oleh perempuan. Dengan begitu, kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan laki-laki melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dalam konser MUG memengaruhi perbedaan pengalaman perempuan dalam konser MUG.

Underground music (MUG) concerts, as an alternative space for individuals who oppose mainstream culture, have not yet become safe spaces free from sexual violence for women. This thesis aims to understand the control of women's bodies and sexuality in MUG concerts through sexual violence by men. The theories used are radical feminism and the carnival of crime. Data were collected using research methods such as in-depth interviews, focus group discussions, participant observation, and literature studies. The research findings indicate that MUG concerts uphold patriarchal values through male superiority, gender stereotypes, and the hegemony of masculinity as a masculine transgression that marginalizes, subordinates, and objectifies women. This creates a rape culture where sexual violence by men becomes a tool of social control that instills fear and places the responsibility for avoiding sexual violence on women. Control over women's bodies and sexuality causes harm to women and provokes resistance from women. Thus, the control of women's bodies and sexuality by men through sexual violence at the MUG concert affects the differing experiences of women at the MUG concert.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahzam Bahdari Razif
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1976
S5416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafii Rama Naidu
"Industri musik telah menghadapi perubahan drastis akibat revolusi digital yang mengubah cara konsumen mengonsumsi musik. Revolusi digital membuka peluang baru bagi musisi baru karena dinamika baru membuka pasar dan platform baru yang memungkinkan musisi independen mengelola karir mereka tanpa menandatangani kontrak dengan perusahaan label besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui transisi musisi dan band Indonesia dalam beradaptasi dengan revolusi industri musik. Makalah ini menggunakan analisis digital dan metode kualitatif untuk memahami Fourtwnty, sebuah band Indonesia yang dibentuk pada tahun 2010. Tulisan ini mengeksplorasi platform media sosial sebagai alat pemasaran mereka untuk mempromosikan karya seni mereka pada tahun 2013. Penelitian ini berhasil menginformasikan motivasi, urgensi, dan ketergantungan saat ini pada aktivasi digital. di media sosial dalam mendistribusikan karya seni musisi di era digital. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara online dengan tim media Fourtwnty dan observasi online melalui akun media sosial Fourtwnty. Makalah ini membahas tentang revolusi digital yang mengubah model bisnis industri musik dan bertujuan untuk menangkap peluang bisnis yang diberikan oleh munculnya teknologi web untuk mendistribusikan karya seni musisi di platform online.

The music industry has faced drastic changes due to the digital revolution that changed how consumers consume music. The digital revolution opened up new opportunities for new musicians since the new dynamic opened new markets and platforms that enable independent musicians to manage their careers without signing a contract with major label companies. This study aimed to investigate the transition of Indonesian musicians and bands in adapting to the revolutionised music industry. This paper uses digital analytics and qualitative methods to understand Fourtwnty, an Indonesian band formed in 2010. It explores social media platforms as their marketing tools to promote their artwork in 2013. This research successfully informed the motivation, urgency and the current dependence on digital activation in social media in distributing musicians' art forms in the digital era. The data was collected through an online interview with the Fourtwnty media team and an online observation through Fourtwnty's social media account. This paper discusses the digital revolution that changed the music industry business model and aims to capture the business opportunities provided by the rise of web technology to distribute musicians' artwork on online platforms."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muammar Gilbran
"Penelitian ini membahas mengenai jenis dan makna metafora yang terkandung dalam lirik lagu dari tujuh lagu yang dipilih dalam album “Kessoku Band” yang diputarkan dalam anime “Bocchi the Rock!”. Penelitian dengan metode penelitian kualitatif ini menggunakan teori dan metode analisis metafora Knowles dan Moon. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis metafora, serta mengetahui dan menjelaskan makna metafora yang terdapat pada lirik lagu-lagu tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metafora kreatif merupakan metafora yang paling sering digunakan dari total 42 metafora yang ditemukan. Untuk dapat memahami sebagian besar makna metafora dalam lirik lagu ketujuh lagu tersebut diperlukan diperlukan pengetahuan konteks anime “Bocchi the Rock!”. Hal tersebut karena metafora kreatif lebih banyak digunakan dibandingkan metafora konvensional oleh penulis lirik untuk menyampaikan pesan/perasaan berdasarkan sudut pandang dan kejadian-kejadian yang dialami tokoh Bocchi dalam anime “Bocchi the Rock!”.

This study discusses the types and meanings of metaphors contained in the song lyrics of seven selected songs in the album “Kessoku Band” that are played in the anime “Bocchi the Rock!”. This qualitative research uses Knowles and Moon's metaphor theory and their metaphor analysis method. The purpose of this study is to identify the types of metaphors, as well as to know and explain the meaning of the metaphors contained in the lyrics of the songs. The results of this study show that creative metaphor is the most frequently used metaphor of a total of 42 metaphors found. To understand most of the metaphorical meanings in the lyrics of the seven songs, it is necessary to know the context of the anime "Bocchi the Rock!". This is because creative metaphors are used more than conventional metaphors by the lyricists to convey messages/feelings based on the point of view and events experienced by the character Bocchi in the anime "Bocchi the Rock!"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>