Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188970 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kalalembang, Fristian T.E.P.
"Sebagai negara maritim terbesar di dunia, transportasi laut memegang peranan penting dalam meningkatkan konektivitas antar pulau dan juga dalam nilai tambah perekonomian Indonesia. Dalam transportasi angkutan laut domestik, Indonesia hanya menguasai proporsi sebesar 55,5 persen, sedangkan perusahaan asing mengangkut 45,5 persen sisanya. Sesuai dengan INPRES tahun 2005, pemerintah menerapkan azas cabotage yang melarang kapal asing untuk melakukan kegiatan di wilayah perairan Indonesia. Kebijakan cabotage pada pelayaran di Indonesia sudah berjalan dengan baik, namun di sisi lain, kebijakan cabotage yang diterapkan pemerintah dalam pelayaran minyak dan gas tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Oleh karena itu, industri perkapalan Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dampak dari adanya kebijakan cabotage terhadap industri pelayaran minyak dan gas di Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode input-output untuk melihat pengaruh dalam perekonomian apabila kebijakan Cabotage diterapkan sepenuhnya, serta analisis dilengkapi wawancara dengan beberapa pemangku kebijakan yang terkait.

As the largest maritime country in the world, maritime transport plays an important role in enhancing the connectivity between the island and also the value-added economy of Indonesia. In domestic sea freight transportation, Indonesia only control the proportion of 55.5 percent, while foreign companies transporting the remaining 45.5 percent. In accordance with Presidential Instruction in 2005, the government implemented cabotage principle that prohibits foreign vessels to carry out activities in Indonesian waters. The cabotage shipping policy in Indonesia has been going well, except a policy of cabotage in the oil and gas shipment are not completely worked well. Therefore, the Indonesian shipping industry has lagged far behind from other countries. The purpose of this study is to look at the impact of the cabotage policy against oil and gas shipping industry in Indonesia. Analysis were performed using the input-output method to see the effect in the economy if the cabotage policy is fully implemented, as well as in depth interviews with some of the relevant stakeholders."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S45769
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ezat Abdullah
"Negara Indonesia adalah salah satu Negara kepulauan terbesar di dunia, 2/3 dari bagiannya adalah laut. Ini membuktikan bahwa untuk kegiatan transportasi barang di dalam Negara sangat dibutuhkan armada transportasi laut. Sejak diterapkannya asas cabotage (yang berbunyi: semua kapal yang berada di perairan Indonesia harus lah berbendera Indonesia) pada tahun 2005 dan dikeluarkannya UU no. 17 tahun 2008 tentang pelayaran nasional, industri produksi kapal di Indonesia sudah menunjukkan perkembangannya. Ini dibuktikan dengan armada kapal pada tahun 2009 sudah bertambah hingga 50 % dari pada jumlah armada kapal pada tahun 2005. Dengan melihat potensi pasar yang begitu besar, maka dibutuhkan galangan ? galangan kapal yang baik pula, galangan berlomba ? lomba membuat kapal dengan kualitas terbaik dan efisien. Sudah mulai diterapkan penggunaan bulbous bow pada kapal ? kapal besar untuk mengurangi hambatan dan penggunaan kort nozzle pada Tug Boat untuk memaksimalkan sistem propulsi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efisiensi penggunaan daya mesin kapal Tug Boat pada kapal Tongkang 250 feet. Penelitian ini menggunakan dua variabel kapal Tug Boat yang berbeda daya mesinnya. Yang pertama sebesar 2 x 485 HP dan yang kedua sebesar 2 x 829 HP. Efisiensi dihitung dengan menganalisa dan membandingkan kecepatan kapal dan konsumi bahan bakar yang dibutuhkan oleh kapal untuk mencapai jarak antara pelabuhan Samarinda dengan pelabuhan Merak. Kapal Tug Boat dengan daya yang lebih besar memang membutuhkan bahan bakar lebih banyak untuk sampai di Merak yaitu sebanyak 24990 liter dibandingkan kapal Tug Boat dengan daya yang lebih kecil yaitu 23730 liter. Namun, kapal Tug Boat Serasi VI yang berdaya 2 x 829 HP membutuhkan waktu 2 hari lebih cepat yaitu 6 hari, dibandingkan dengan kapal Tug Boat Mahameru 3 yaitu 8 hari. Sehingga disimpulkan bahwa mesin kapal Tug Boat Serasi VI lebih efisien karena membutuhkan konsumsi bahan bakar per HP per jam lebih kecil yaitu 0.10 liter untuk menghasilkan daya yang lebih besar dibandingkan kapal Tug Boat Mahameru 3 dengan konsumsi bahan bakar per HP per jamnya sebesar 0.13 liter.

Indonesia is one of the world's largest archipelagic nation, 2/3 of its parts is the sea. This proves that for freight transport activities in the country much-needed fleet of maritime transport. Since the implementation of the cabotage principle (which states: all the ships that are in the waters of Indonesia should be is flagged Indonesia) in 2005 and the issuance of Law no. 17 of 2008 concerning the national shipping industry, ship production in Indonesia has shown its development. This is evidenced by the fleet in 2009 had increased to 50% of the number of ships in 2005. By looking at the market potential is so big, it takes shipyard - the better the dockyard, shipyard race - the race to make the ship with the best quality and efficient. It was implemented using bulbous bow on ships - large vessels to reduce barriers and use kort nozzle on the Tug Boat to maximize propulsion system.
The purpose of this study was to determine the efficient use of engine power to the vessel ship Tug Boat Barge 250 feet. This study uses two variables of different boats Tug Boat engine power. The first of 2 x 485 HP and the second of 2 x 829 HP. Efficiency is calculated by analyzing and comparing the speed of the ship and fuel consumption needed by the ship to reach the distance between Samarinda port and Merak port. Tug Boat with greater power it requires more fuel to get as many as 24990 litre to reach Merak port compared with less power is Tug Boat which is takes 23730 liters. However, Tug Boat Serasi VI-powered 2 x 829 HP takes 2 days faster is 6 days, compared with Tug Boat Mahameru 3 is 8 days. Thus concluded that the Tug Boat Serasi VI engine is more efficient because it requires fuel consumption per HP per hour smaller at 0:10 liter to produce more power than the ship Tug Boat Mahameru 3 with fuel consumption per HP per hour at 0:13 liter."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S44460
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriza Putri
"Asas cabotage di Indonesia merupakan kebijakan yang mengharuskan kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh warga negara Indonesia. Asas cabotage tersebut diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mana pada ketentuan peralihannya mengatur bahwa kapal asing yang melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tidak dapat lagi melakukan kegiatannya mulai tanggal 7 Mei 2011. Ketentuan dalam Undang-Undang ini menimbulkan reaksi khususnya di kalangan pelaku usaha industri minyak dan gas bumi karena kapal-kapal penunjang kegiatan usaha minyak dan gas bumi lepas pantai sebagian besar masih berbendera asing pada saat itu. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan yang mengatur bahwa kapal asing yang melakukan kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi masih tetap dapat beroperasi maksimal hingga akhir Desember 2015. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif hukum. Penulis melakukan analisis penerapan dan kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 tersebut terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang secara substansi tidak sejalan atau bertentangan dengan asas hukum bahwa norma hukum yang derajatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi derajatnya (lex superior derogate legi inferiori).

Indonesia's cabotage principle is a policy that requires domestic marine transportation activities conducted by national shipping companies to use Indonesian-flagged vessels and manned by Indonesian citizens. Cabotage principle is implemented in the Law No. 17 Year 2008 on the voyage, which is the provision of its transitional states that foreign vessels serving domestic marine transportation activities shall no longer perform its activities began on May 7, 2011. The provisions in this Act had a reaction especially among oil and gas businessmen because of the oil and gas offshore support vessels are still largely foreign-flagged at that time. Thus, Government issued Government Regulation No. 22 Year 2011 regarding Amendment to Government Regulation No. 20 Year 2010 on Water Transportation governing that foreign vessels conducting business activities in the field of oil and gas are still able to operate up until the end of December 2015. The research method is a normative legal research. Authors analyze the implementation and status of Government Regulation No. 22 Year 2011 against the Law No. 17 Year 2008 on the voyage which is substantially inconsistent or in conflict with the legal principle that lower legal norms degree must not conflict with the more high legal norms degree (lex superior derogate legi inferiori)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bintang Taufiq Hidayanto
"Pada skripsi ini akan dibahas tentang perkembangan penerapan azas cabotage sebagai suatu hak eksklusif, sejarah penerapan azas cabotage serta penerapan azas cabotage di Indonesia saat ini terutama dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi, baik dalam kegiatan hulu maupun hilirnya, memerlukan kegiatan perkapalan untuk menopang maupun sebagai pelaksana utama kegiatan usaha ini. Bentuk kapal yang digunakan dalam usaha industri minyak dan gas bumi juga bukanlah kapal yang mudah didapatkan karena selain harganya yang sangat mahal, kapal-kapal tersebut juga sarat dengan teknologi canggih. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya pemilik kapal-kapal penunjang operasi kegiatan minyak dan gas bumi di Indonesia. Dengan diberlakukannya azas cabotage di Indonesia, dan dengan mengingat fakta bahwa penguasaan kapal-kapal penunjang industri minyak dan gas bumi yang berbendera Indonesia masih belum mencukupi untuk menjamin keberlangsungannya kegiatan usaha minyak dan gas bumi, suatu permasalahan timbul dimana terjadi tarik ulur kepentingan antara pelaku usaha dan juga pemerintah. Penulis menggunakan tipologi penelitian yuridis normatif, dengan metode penelitian kepustakaan dihubungkan dengan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan.

This thesis shall discuss the development of the application of the principle of cabotage as an exclusive right, the history of the application of the principle and current application of cabotage principle in Indonesia, especially in oil and gas business activities. In oil and gas business activities, both in its upstream and downstream sectors, shipping activities are required to support as well as to perform main functions of this business. Forms of vessels used in oil and natural gas business activities are also not easily available due to the very high price and technologies involved in such vessels. It is evidenced by the fact that there is a scarcity of Indonesian vessels supporting the operation of oil and gas activities in Indonesia. With the implementation of cabotage principle in Indonesia, and by considering the fact that ownership of Indonesian vessels supporting oil and gas industry are still not sufficient to ensure sustainability of the business activities of oil and gas, a problem arises where there is a conflict between business interests and government. The author uses a typology of normative research, library research methods associated with the legal norms contained in legislation and court decisions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S24836
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Pasar tunggal penerbangan ASEAN (ASEAN Single Aviation Market) pada tahun 2015, merupakan kebijakanyang telah disepakati oleh seluruh negara anggota ASEAN yang tertuang dalam ASEAN MultilateralAgreement on Air Services (ASEAN MAAS) dan telah ditandatangani pada tanggal 20 Mei 2009di Manila, Filipina. Dalam menghadapi ASEAN Single Aviation Market 2015, selain memperhatikanpotensi keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakan open sky tersebut, pemerintah harus mewaspadaipeluang ancaman perebutan pangsa pasar penerbangan di wilayah ASEAN juga pangsa pasar penerbangandomestik. alah satu faktor yang dapat mengancam Indonesia adalah lemahnya pengawasan(direct or indirect) investment bidang angkutan udara, sehingga kemungkinan terjadi penyelundupanhukum investasi, yang akhirnya pasar nasional dikuasai asing melalui badan hukum Indonesia yangdibentuknya (cabotage terselubung). Prinsip cabotage diterapkan secara umum di seluruh dunia dengantujuan menjaga dan melindungi kepentingan politik dan ekonomi negara yang bersangkutan. Penerapanprinsip cabotage secara operasional bisa bersifat fleksibel, selama kepentingan strategis negara tersebuttetap terjaga dan terlindungi. Pelayanan penerbangan di Indonesia saat ini dianggap sudah melanggarprinsip cabotage."
340 ARENA 6:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nisrina Jannati
"Indonesia telah memberlakukan cabotage, suatu konsep atau asas yang melarang
kapal asing ikut serta dalam pelayaran domestik di sepanjang perairan pesisir
negara pantai, sejak tahun 2005 dan diperkuat dengan UU No. 17 tahun 2008
tentang Pelayaran, agar tercipta pelayaran nasional yang kuat. Pada saat
pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (sekarang Undang-Undang),
muncul kembali perdebatan perlu atau tidaknya cabotage diatur dalam UU Cipta
Kerja. Penelitian ini membahas alasan-alasan negara memberlakukan cabotage
khususnya dalam bidang pelayaran; dan membandingkan kebijakan cabotage di
Indonesia dengan kebijakan serupa di Amerika Serikat dan Malaysia. Dengan
menggunakan penelitian yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan
(statutory approach) dan perbandingan (comparative approach), hasil penelitian
ini menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat enam alasan negara memberlakukan
cabotage yaitu alasan strategi, ekonomi, operasional, pemasaran, pendidikan, dan
lingkungan. Keenam alasan ini akan dituangkan dalam kebijakan (policy) cabotage
yang ketat (strict/protectionist cabotage) atau longgar (relaxed/liberal cabotage).
Hasil penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pada awalnya baik Indonesia,
Amerika Serikat maupun Malaysia memberlakukan kebijakan cabotage yang ketat
(strict cabotage), walaupun kemudian Malaysia menghapuskan cabotage di
beberapa negara bagiannya sejak tahun 2017; diikuti oleh Indonesia pada tahun
2020 dengan membuka kesempatan bagi kapal asing untuk ikut serta dalam
pelayaran domestik sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja. Perubahan ini
membuat Malaysia dan Indonesia termasuk ke dalam negara dengan kebijakan
cabotage yang liberal, sedangkan Amerika Serikat masih tetap dengan kebijakan
cabotage-nya yang ketat.

Indonesia has enacted cabotage since 2005, a conception or principle that prohibits
foreign vessels involved in the domestic shipping of a coastal state, then it was
inserted in Law No. 17 of 2008 concerning Shipping. The inclusion of such
provision in the Law aimed to create a strong national shipping. When government
prepared the Job Creation Bill (now Job Creation Law), there was a debate as to
whether the cabotage will still be governed in the Job Creation Law. This thesis
discusses the rationale for the enactment of cabotage in a state particularly in its
shipping sector; and cabotage policy in Indonesia by comparing it with the United
States and Malaysia. By conducting a normative juridical method with statutory
and comparative approaches, the thesis concludes that there are at least six reasons
of a state to impose cabotage, namely strategic, economic, operational, marketing,
educational, and environmental reasons. These six reasons will then be stated in
cabotage policy or law as a strict or protectionist cabotage; or a relaxed or liberal
cabotage. This thesis also concludes that initially, Indonesia, the United States and
Malaysia imposed a strict cabotage policy, although later on in 2017, Malaysia
decided to abolish cabotage in several of its states. It is followed then by Indonesia
in 2020 by providing opportunities for foreign vessels to participate in the domestic
shipping as regulated in the Job Creation Law. This policy change has made
Malaysia and Indonesia are considered as states with relaxed/liberal cabotage
policy, while the United States remains as strict cabotage policy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boston : M. Nijhoff ; [Leiden] , 1992
343.097 LEO c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Christo Yosafat
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S24837
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Khairunissa Yuliandhini
"Indonesia dan Filipina merupakan bagian dari negara penggagas berdirinya organisasi Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN. Pada Januari 2007 di ASEAN Cebu Summit, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA di tahun 2015. Salah satu sarana utama dalam merealisasikan MEA adalah melalui arus bebas jasa yang bertujuan untuk menghilangkan batasan secara substansial bagi penyedia jasa ASEAN, di antaranya dalam jasa pelayaran. Akan tetapi, Indonesia dan Filipina menerapkan asas cabotage dalam kebijakan pelayarannya di mana hak istimewa dalam industri pelayaran dalam negeri diberikan kepada warga negaranya sendiri sehingga membatasi kepemilikan asing dalam industri tersebut. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut bagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Indonesia dan Filipina terhadap realisasi MEA sehubungan dengan penerapan asas cabotage dalam peraturan perundang-undangan negaranya masing-masing. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini menjelaskan pendekatan yang dilakukan terkait kebijakan investasi asing dalam bidang pelayaran untuk melihat upaya realisasi MEA di Indonesia dan Filipina. Berdasarkan pembahasan kebijakan-kebijakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Indonesia dan Filipina telah melaksanakan komitmennya dalam AFAS, namun peraturan perundang-undangan pelayaran internal masing-masing negara tersebut masih membatasi pelaksanaan komitmennya secara lanjut. Oleh karena itu, harus dilakukan penyelarasan peraturan internal Indonesia dan Filipina sesuai dengan komitmennya masing-masing dalam AFAS.

Indonesia and Philippines are part of the founding of the Association of Southeast Asian Nations or ASEAN organizations. In January 2007 at the ASEAN Cebu Summit, ASEAN leaders agreed to establish in the ASEAN Economic Community Masyarakat Ekonomi ASEAN or MEA in 2015. One of the main tools in realizing MEA is through free flow of services which aimed at removing restrictions substantially for ASEAN service providers, including shipping service. However, Indonesia and Philippines apply cabotage principle in their shipping policies in which privileges in the domestic shipping industry are granted to their own citizens thereby limiting foreign ownership in the industry. Therefore, it is necessary to further examine the approach taken by Indonesia and Philippines towards the realization of MEA in connection with the application of cabotage principles in their law and regulations. Using normative juridical research methods, this paper describes the approach taken in terms of foreign investment policies in the field of shipping to see the efforts of realization of MEA in Indonesia and the Philippines. Based on the discussion of these policies, it can be concluded that Indonesia and Philippines have implemented their commitments in AFAS, but the internal shipping legislations of these countries still restrict the further implementation of their commitments. Hence, there shall be alignment of internal legislations of Indonesia and Philippine in accordance with their respective commitments in AFAS.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>