Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150387 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pandam Kuntaswari
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya. Pengukuran perfeksionisme menggunakan alat ukur Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 63 seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionisme dan psychological well-being (r = -0.584; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi perfeksionisme yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah psychological well-being yang ia miliki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dimensi perfeksionisme yang memberikan sumbangan paling banyak terhadap psychological well-being adalah socially prescribed perfectionism. Berdasarkan hasil tersebut, perlu dilakukan intervensi lebih dini terhadap perfeksionisme, terutama pada socially prescribed perfectionism.

This research was conducted to find the correlation between perfectionism and psychological well-being in artists in their young and middle adulthood. Perfectionism was measured by using Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989), and psychological well-being was measured by using Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). The participants of this research were 63 artists currently in their young and middle adulthood.
The main result of this research showed that perfectionism is negatively significant correlated with PWB (r = -0.584; p = 0.000, significant in L.o.S 0.01). This meant that the higher the level of one's perfectionism, the lower the level of PWB in oneself. Other result of this research was that the dimension of perfectionism that contributed the most to PWB was socially prescribed perfectionism. Based on such results, there needs to be an early intervention about perfectionism, especially about the socially prescribed perfectionism.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azalea Eka Imannia Intan Utomo
"Melihat semakin terbukanya pengetahuan masyarakat tentang LGBT, saat ini tidak hanya lesbian dan gay yang dikenal, tetapi juga biseksual. Oleh karena itu, Coming out sebagai biseksual juga dilakukan para dewasa muda untuk kebutuhan identifikasi. Coming out juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu biseksual. Maka penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana gambaran psychological well-being dewasa muda biseksual yang telah coming out. Psychological well-being diukur dengan menggunakan Skala Psychological Well-Being (Ryff & Singer, 2008) yang telah diadaptasi dan berjumlah 42 item. Kemudian untuk melihat orientasi seksual individu yang digunakan Skala Orientasi Seksual (Kanagaraj & Gopal, 2020) yang sudah diadaptasi dan berjumlah 32 item. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif. Berdasarkan analisa kepada 33 partisipan biseksual yang sudah coming out (usia 18-25 tahun, 60,6 % perempuan), hasil penelitian menunjukkan bahwa psychological well-being mayoritas partisipan berada pada tingkat sedang. Secara spesifik, hasil tersebut diperoleh pada hampir semua dimensi dari psychological well-being kecuali environmental mastery yang menunjukkan skor well-being yang tinggi dengan jumlah yang lebih banyak.

Seeing the public's increasing exposure to knowledge about LGBT, currently not only lesbians and gays are known, but also bisexuals. Therefore Coming out as bisexual was also carried out especially as a young adult as a need for identification. Coming out can also affect the psychological well-being of bisexual individuals. So this research was conducted to see how the psychological well-being of bisexual young adults who have come out is described. Psychological well-being is measured using the Psychological Well-Being Scale (Ryff & Singer, 2008) which has 42 items and has been adapted to Bahasa. Meanwhile to see the individual's actual sexual orientation, this research uses Sexual Orientation Scale (Kanagaraj & Gopal, 2020) which has 32 items that also has been adapted to Bahasa. This research was conducted using a descriptive quantitative approach. Through 33 bisexual participants who were already coming out (age 18-25 years, 60.6% female), the results showed that the psychological well-being of the majority of the participants was at a moderate level. Specifically, these results were obtained for almost all dimensions of psychological well-being except for environmental mastery which showed higher results."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Fransisca
"Penilaian dan penolakan dari masyarakat, menyebabkan kaum homoseksual sulit untuk menyatakan pada publik tentang orientasi seksualnya (coming-out). Hal yang terpenting dalam masa dewasa muda selain tugas perkembangan adalah kebutuhan akan intimacy. Untuk memenuhi tugas perkembangan tersebut, individu biasanya akan menjalin hubungan dengan lawan jenis untuk menyeleksi dan memilih pasangan hidupnya. Jika kebutuhan intimacy dewasa muda tidak terpenuhi, maka individu akan mengalami kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan hubungan antara intimacy dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat gambaran psychological well-being pada pria gay yang telah coming-out. Untuk mendapatkan gambaran kesejahteraan psikologis, peneliti menggunakan konsep psychological well-being dari Ryff. Dalam penelitian ini diketahui bahwa terdapat keterkaitan antara coming-out, intimacy dan kesejahteraan psikologis individu. Jika dalam proses coming-out individu mendapatkan dukungan sosial maka kaum homoseksual dewasa muda dapat memenuhi kebutuhan intimacy dengan baik, dan itu akan membuat kaum homoseksual mempunyai kualitas kesejahteraan psikologis yang baik. Demikian pula sebaliknya, jika terjadi hambatan dalam proses coming-out yang menyebabkan individu sulit memenuhi intimacy-nya, hal itu akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologis yang dimiliki.

Evaluation and denial from society causing homosexual have difficulty to declare to the public about their sexual orientation (coming-out). Most important thing in adult period other than growing up is necessity to for intimacy. To fulfill such growing task, individual usually create relationship with their opposite sex to select their spouse. If the adult intimacy necessity is not fulfilled, a person shall undergo loneliness, anxiety, and unconfident. This shows relationship between intimacy and psychological well-being.
In this research, researcher wishes to see image of psychological well-being at gay who has coming-out. To obtain image of psychological well-being, researcher using concept of psychological well-being from Ryff. In this research known that there is relationship between coming-out, intimacy and psychological well-being. If in the process of comingout a person receives social support, therefore young homosexual may fulfill intimacy with well, and it makes homosexual having good psychological well-being. On the contrary, if there is obstacle in coming-out process making a person difficult to fulfill their intimacy, it shall affect to their psychological well-being they had.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2009
155.5 MAY g
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pradnya Corinelia
"Kegiatan perilaku prososial semakin sering terjadi pada situasi krisis, seperti situasi pandemi COVID-19. Dalam upaya pencegahan dan penanganan pandemi COVID-19, pemerintah membuat kebijakan pembatasan sosial sehingga memengaruhi kondisi well-being masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara perilaku prososial dan well-being pada dewasa muda setelah berakhirnya pembatasan sosial COVID-19. Sejumlah 409 individu dewasa muda berusia 18-29 tahun yang berdomisili di Jabodetabek berpartisipasi dalam penelitian ini. Perilaku prososial diukur menggunakan alat ukur Prosocialness Scale for Adults (PSA) (Caprara dkk., 2005) dan well-being diukur menggunakan alat ukur PERMA Profiler (Butler & Kern, 2016). Hasil analisis korelasi menggunakan Pearson correlation menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dan well-being (r(409)= 0.487, p < 0.01, r2=0.237).

Prosocial activities are happening more often during the time of a crisis, like the COVID-19 pandemic situation. As a measure to prevent and manage the COVID-19 pandemic, changes in regulations are made by the government which limit people’s daily activities and thus potentially affect their well-being. Therefore, this study aimed to see a relationship between prosocial behavior and well-being in young adults’ post COVID-19 pandemic. The study sample is 409 young adults between the ages of 18-29 years old living in Jakarta greater area (Jabodetabek). Prosocial behavior was assessed with Prosocialness Scale for Adults (PSA) (Caprara et al., 2005) and well-being was assessed with the PERMA Profiler (Butler & Kern, 2016). Result in correlation by Pearson correlation technique shows a significant and positive relationship between prosocial behavior and well-being (r(409)= 0.487, p < 0.01, r2=0.237)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasya A.M.
"Berbagai macam alasan bisa menjadi motivasi seseorang untuk melakukan body modifications berupa tattoo dan body-piercing. Body modifications sendiri merupakan tindakan permanen maupun semi permanen yang menghasilkan perubahan fisik pada tubuh seseorang dan membutuhkan prosedur dalam pelaksanaannya (Featherstone, 1999 dalam Wohlrab, Stahl, dan Kappeler, 2006). Terdapat beberapa penelitian di Amerika dan Eropa yang menyatakan bahwa individu yang melakukan body modifications (tattoo dan/atau body-piercing) memiliki kecenderungan perilaku yang negatif dan aspek psikologis yang negatif pula.
Ada satu penelitian yang menyatakan bahwa tidak ada penyimpangan perilaku pada individu yang melakukan body modifications. Namun belum ditemukan penelitian yang memfokuskan pada kesejahteraan psikologis individu, khususnya dewasa muda, yang melakukan body modifications di Indonesia. Untuk itu, penelitian ini ingin melihat apakah terdapat perbedaan psychological wellbeing pada dewasa yang melakukan dan tidak melakukan body modifications (tattoo dan/atau body-piercing).
Penelitian ini mengacu pada teori psychological well-being yang dikembangkan oleh Ryff (1989) yang terdiri dari enam (6) dimensi, yaitu otonomi, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup dan penerimaan diri. Sampel dari penelitian ini adalah dua ratus sembilan (209) orang yang berusia 20 - 40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan psychological wellbeing pada dewasa muda yang melakukan dan tidak melakukan body modifications.

There are so many reasons that motivate people to have their body modified with tattoo and body-piercing. Body modifications itself is defined as the (semi-) permanent, delibrate alteration of the human body and embraces procedures such as tattooing and body-piercing (Featherstone, 1999 in Wohlrab, Stahl, and Kappeler, 2006). The result of some researches in United State of America and Europe show that participants who got their body modified with tattoo and/or body-piercing tend to have negative behavior and psychologically ill.
There is one research that shows there is no behavior disorder on participant with body modifications. But still, there is no research in Indonesia that specifies and focuses on the psychological well-being of people, especially young adults, who got their body modified. Therefore, this research is conducted to see the differences of psychological well-being between young adults with and without body modifications (tattoo and/or body-piercing).
This research is based on Ryff's theory of psychological well-being (1989), which consists of six (6) dimentions: autonomy, environmental mastery, personal growth, positive relations with others, purpose in life and self-acceptance. The sample of this research are 209 participants, aged 20 - 40. The result of this research is that no difference of psychological well-being between young adults with and without body modifications.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45770
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Ramdhanu
"Penelitian ini ditujukan untuk melihat hubungan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada mahasiswa Universitas Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah mahasiswa program Sarjana Strata Satu dan Diploma Tiga Universitas Indonesia sebanyak 66 orang. Penggunaan Internet diukur dengan alat ukur Internet Attitude Scale yang dibuat oleh Eric B. Weiser pada tahun 2001.
Psychological well-being diukur dengan PWB Scale yang dikembangkan oleh Carol D. Ryff pada tahun 1995, dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh kelompok payung penelitian psychological well-being Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2011 (Larasati, 2012). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi Pearson Product Moment, diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.362 dengan nilai signifikansi sebesar 0.003 (p<0.01). Ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan Internet dengan psychological well-being pada Mahasiswa Universitas Indonesia.

The objective of this study was to see the correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia students. Participants of this research were 66 students among undergraduate and vocational program of Universitas Indonesia. Internet use was measured using Internet Attitude Scale, constructed by Eric B. Weiser in 2001.
Psychological well-being was measured using PWB Scale constructed by Carol D. Ryff in 1995, and had been adapted by psychological well-being research group of Fakultas Psikologi Universitas Indonesia in 2011 (Larasati, 2012). The coefficient of Pearson Product Moment reported was 0.362, with 0.003 significance value (p<0.01). Those numbers indicated that there was significant correlation between Internet use and psychological well-being among Universitas Indonesia Students.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45839
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noori Lukman Pradipto
"Selama masa pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi oleh guru semakin berat
dengan strategi mengajar yang baru. Hal tersebut membuat guru kesulitan untuk
mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka terutama guru perempuan yang mengajar di tingkat SD. Stres yang dirasakan oleh guru perempuan semakin bertambah dengan beban sebaga seorang ibu yang mengurus anak. Komunikasi antara anggota keluarga diasumsikandapat membantu guru untuk melewati masa sulit selama pandemi Covid-19. Penelitian inidilakukan untuk melihat peran pola komunikasi keluarga, baik dimensi conversation ataupun conformity, sebagai mediator dalam hubungan antara perceived social support dengan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan teknik pengambilan sampel convenient sampling dari guru perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perceived social support
dengan psychological well-being baik secara langsung (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000), maupun tidak langsung melalui pola komunikasi keluarga dimensi conversation (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). Di sisi lain, pola komunikasi keluarga yang mementingkan konformitas dalam berpendapat tidak berperan sebagai mediator karena tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). Salah satu limitasi penelitian ini adalah penelitian
ini hanya dapat dilakukan masa pandemi akan tetapi hasil yang didapatkan mengimplikasikan bahwa dukungan sosial dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh guru dalam menghadapi masa pandemi agar dapat menjadi bahagia, terlepas dari pola komunikasi di rumah. Meskipun demikian, pola komunikasi yang mementingkan kehangatan dalam berpendapat dan keterbukaan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang menunjang psychological well-being guru di situasi pandemi.

During the Covid-19 pandemic, teachers are facing more challenges such as new teaching strategies. Thus, makes it difficult for teachers to maintain their psychological well-being especially female teachers who teach elementary students. Some of those female teachers have responsibilities as mothers at home. The burden of caring for children in home increasing the stress felt by these teachers. It is assumed that communication between family members can help teachers through difficult times during the Covid-19 pandemic. This
research was conducted to see whether conversation or conformity dimension within family communication pattern can act as mediator in the relationship between perceived social support and psychological well-being. This research is non-experimental study with convenient sampling technique given to female teachers. The result indicates that there is significant relationship between perceived social support and family communication pattern, either directly (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000) or indirectly through the conversation
dimension within family communication family patterns (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). On the other hand, family with high conformity dimension do not act as mediator in relationship between perceived social support and psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). One of the limitation of this study is this study can only be conducted in pandemic Covid-19 situation but the results obtained shows that social support from various sources is needed by teachers in order to be mentally healthy and happy regardless of communication patterns at home. However, communication patterns that emphasize warmth and openness can be one of the social
support that teachers needed in this pandemic situation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Nurizki Rifaie
"Tingkat turnover yang tinggi diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya. Saat ini perilaku turnover yang tinggi banyak terjadi pada karyawan Generasi Y dibandingkan dengan generasi lainnya. Peneliti menemukan ada hubungan antara Kesejahteraan Psikologi dan perilaku turnover. Penelitian ini dilakukan untuk melihat perbedaan kesejahteraan psikologis pada karyawan Generasi X dan Generasi Y. Kesejahteraan psikologis terdiri dari 6 dimensi dan diukur dengan menggunakan The Scale of Psychological Well-Being. Hasil penghitungan pada 290 responden karyawan Generasi X dan Generasi Y menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi tujuan dalam hidup (t(288) = -2,854, p<0,05) dan pertumbuhan pribadi (t(288) = -2,589, p<0,05) antara karyawan Generasi X dan Generasi Y serta tidak ada perbedaan yang signifikan dalam dimensi penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, dan otonomi.

The high rate of turnover is predicted to keep rising every year. This high rate of turnover behavior happens in Generation Y employee compared to other generations. Researcher found correlation beetween psychological well-being and turnover behavior. This study was conducted to look at differences in psychological well-being among Generation X and Generation Y employee. Psychological well-being consists of 6 dimensions and measured using the Scale of Psychological Well-Being. The results of the calculation on 290 respondents Generation X and Generation Y employee shows there are significant differences in the dimensions of purpose in life (t(288) = -2,854, p<0,05), and the personal growth (t(288) = -2,589, p<0,05) and there is no significant differences in the dimensions of positive relationship with others, autonomy, purpose in life, and self acceptance.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55317
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madinatul Munawaroh
"Karakteristik khusus dari anak dengan autistic spectrum disorder (ASD) umumnya membuat para orang tua khususnya ibu sebagai caregiver utama dari anak-anak ASD memiliki well-being yang rendah. Belum lagi kebutuhan akan pendidikan untuk anak yang mulai memasuki usia sekolah membuat beban dan stres ibu semakin bertambah. Perceived social support diasumsikan mampu menjadi penahan dalam menghadapi situasi yang menekan (stressful). Perceived social support yang dimaksud berasal dari tiga jenis sumber, yaitu keluarga, teman, dan significant other. Penelitian ini melibatkan 32 responden yaitu para ibu dari anak dengan ASD di sekolah inklusif di kota Jakarta Timur dan Depok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara ketiga jenis sumber dari perceived social support dan psychological well-being (r= .446). Jenis sumber keluarga dan significant other berkorelasi positif dan signifikan dengan psychological well-being (r= .360 dan r=.575). Tidak ada perbedaan signifikan antara usia ibu, jenis pekerjaan ibu, status pernikahan ibu, tingkat pendidikan, jumlah anak, pengeluaran per bulan, jenis kelamin anak, jenis ASD anak, dan urutan kelahiran anak dengan ASD.

In general, unique characteristic from chidren with autistic spectrum disorder (ASD) bring negative results for parent’s mental health, especially for mothers who are role as a primary caregiver from children with ASD. Moreover, education need for their school-aged children increase high-level on negative symptoms. Perceived social support assumed as a buffer against stressful events by reducing stress level. Perceived social support which are included from family, friends, and significant other. This research involved 32 mothers of children with ASD.
The results showed that there is a significant and positive relationship between perceived social support and psychological well-being (r= .446). In addition, subtes family and significant other significantly correlated with psychological well-being (r= .360 and r=.575).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desyana Kurniawan
"Penelitian ini dilakukan untuk meneliti hubungan antara causality orientation dengan kesejahteraan psikologis pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian.Pengukuran Causality Orientation menggunakan alat ukur hasil adaptasi dari alat ukur General Causality Orientation Scale (GCOS) yang dibuat oleh Deci dan Ryan pada tahun 1985 dan pengukuran kesejahteraan psikologis menggunakan alat ukur hasil adaptasi Ryff Psychological Well-Being Scale (RPWBS). Responden dalam penelitian ini berjumlah 139 orang dengan menggunakan metode purposive sampling.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara autonomy orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi, sebesar 0.000, p<0.05; terdapat hubungan yang signifikan antara controlled orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi sebesar 0.012, p<0.05; terdapat hubungan yang signifikan dan bersifat negatif antara impersonal orientation dengan kesejahteraan psikologis dengan skor signifikansi sebesar 0.000, p<0.05.

The purpose of this research is to study the correlation between Causality Orientation and Psychological Well-being of students Police College. The Causality Orientation was measured with an instrument that was adapted from the General Causality Orientation Scale (GCOS) that Deci and Ryan developed, while the Psychological Well-Being was measured with an instrument that was adapted from the Ryff Psychological Well-Being Scale (RPWBS). 139 people participated in this study and they were sampled using the purposive sampling method.
The results of this research shows a significant correlation between autonomy orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.000, p<0.05; a significant correlation between controlled orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.012, p<0.05; a negative and significant correlation between impersonal orientation and Psychological Well-Being with a significance score of 0.000, p<0.05.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46865
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>